Kamis, 10 Juni 2010

SALIB ADALAH KEBIJAKSANAAN, KEBIJAKSANAAN ADALAH SALIB (Tinjauan Teologis atas Salib Menurut St. Louis Marie Grignion de Montfort)

Tulisan ini adalah ringkasan Skripsiku 2008
(Tulisan ini sebagai syarat untuk lulus STFT Widya Sasana, Malang)



1. Pengantar
Salah satu hal yang menjadi gambaran kesucian Montfort adalah bagaimana ia menghidupi salib. Setiap orang kudus ditandai oleh abad yang membentuknya dan di sana kita melihat tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang lazim pada zamannya. Begitu pula halnya dengan Montfort, kekudusan hidupnya tidak pernah terlepas dari abad atau konteks di mana ia hidup. Dari buku catatannya “Cahier des Notes”, kita menemukan apa yang berkesan pada Montfort. Melalui pembacaan buku-buku rohani pada zamannya, ia berusaha memilih hal-hal yang berkenan bagi hidupnya. Dalam minatnya itu, Roh berkarya dan melalui zamannya, ia dibentuk seturut kehendak Allah.
Dalam pembahasan berikut ini, kita akan melihat bagaimana konteks hidup rohani di zaman Montfort turut memengaruhi cara berpikir dan gaya hidup Montfort.

2. Montfort dan Salib dalam Konteks Hidup Rohani Abad XVII
J. Bulteau mengatakan bahwa aksentuasi keistimewaan hidup rohani seorang kudus tidak lain merupakan hasil dari kesetiaan imannya kepada Injil dan kepada karya Roh Kudus. Apa yang dikatakan Bulteau ini sungguh mengena juga dalam kehidupan rohani St. Montfort sendiri. Jikalau kita mengamati seluruh dinamika hidupnya, tampak bahwa ia sungguh memperlihatkan keistimewaan hidup rohaninya di hadapan Allah dan sesamanya. Pertanyaan kita adalah apa yang membesarkan hati dan semangatnya sehingga ia begitu berkobar-kobar menyatakan cintanya kepada Tuhan dalam dan melalui salib dan penderitaannya? Mesti ada yang melatarbelakanginya, yang membangkitkan minatnya untuk mengakrabi dan menghidupi salib. Untuk itu, baiklah kita simak konteks hidup rohani di zamannya, tokoh-tokoh spiritual yang sangat memengaruhi seluruh dinamika kehidupannya.
Montfort hidup pada zaman di mana aliran Spiritualitas Perancis (Sekolah Perancis) begitu kuat mempengaruhinya. Dan pengaruh ini terasa sekali ketika ia masuk ke dalam lingkungan Seminari St. Sulpice (1673-1700), sebuah seminari yang sangat terkenal di bidang formasi pendidikan bagi calon imam di Eropa, bahkan mungkin seluruh Eropa pada waktu itu. Dari lingkungan Sulpisian, Montfort dibantu untuk menghayati kekudusan hidupnya, misalnya melalui tulisan-tulisan dari Henri Boudon, J. J. Olier, Jean-Joseph Surin. Bulteau mengatakan bahwa ajaran Montfort tentang Salib, sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa karya dan spiritualitas dari beberapa tokoh spiritual yang terkenal di zamannya, misalnya: Henri Boudon (1624-1702) dengan karyanya Les saintes voies de la Croix (Jalan-jalan suci dari Salib), Jean-Joseph Surin dengan karyanya Lettres Spirituelle, (Surat-surat Rohani), karya-karya Olier dan lingkungan Sulpisian, tempat ia telah menerima latihan-latihannya selama delapan tahun. Namun dari semua karya tersebut, Boudon, Diakon Agung dari Evreux yang berhutang budi pada tulisan Louis Chardon’s, La Croix de Jésus mempengaruhi secara langsung pada jalan Montfort menuju salib. Menurut Blain, teman kuliah Montfort, buku favorit hari-harinya di seminari adalah Les saintes voies de la Croix, (Jalan-jalan suci dari Salib), karya Boudon. Menurut Boudon, salib merupakan sebuah rahmat yang paling berharga bagi Kristus dan bagi orang-orang Kristen, sehingga salib harus diterima dengan penuh hormat, cinta dan sukacita.
Dari tulisan Boudon tersebut, Montfort dibantu untuk semakin menghayati unifikasi dengan Allah dalam dan melalui salib-salibnya. Berkenaan dengan hal ini, Raja Rao mengatakan demikian: kiranya kata-kata Boudon yang menekankan kebahagiaan dalam menanggung derita sungguh menyentuh hati Montfort untuk semakin mencintai dan menghidupkan salib yang dijumpainya. Bagi Boudon apa yang disebut dengan kebahagiaan itu hanya ditemukan dalam penderitaan dan melalui penderitaan itu orang akan mengalami kegembiraan bersama Allah. Bagi Raja Rao, cara berpikir seperti ini khas Boudon yang pada gilirannya meninggalkan suatu kesan tersendiri bagi Montfort.
Raja Rao melihat hubungan lebih lanjut antara usaha-usaha Montfort dalam rangka untuk melepaskan diri dan hasratnya untuk menempuh dan bertumbuh di jalan mistik dipengaruhi oleh Boudon sendiri. Dan motif terdalam yang menginspirasikan cinta terhadap salib adalah Yesus sendri. Raja Rao mengutip kata-kata Boudon:

Cintailah penderitaan-penderitaan. Mereka adalah harta-Nya, sukacita-Nya, kemuliaan-Nya, terang-Nya, jantung hati-Nya dan cinta-Nya. Ia menikahi salib tatkala Ia menjelma ke dalam dunia dan cintailah itu, Dia menderita sebagai hamba; Ia tidak meninggalkannya; di sana Ia hidup dan mati (le sante vie della Croce).

Ajaran Boudon ini kemudian meyakinkan Montfort untuk melaksanakan praktek matiraga secara ekstrem oleh karena kata-katanya langsung menyentuh hati seminaris muda ini. Akhirnya, dari Boudon sendiri Montfort dibantu untuk mengubah paradigma pemahamannya tentang penderitaan dari pemahaman yang bersifat negatif ke sebuah pemahaman yang lebih positif, yakni menerima penderitaan demi sebuah nilai yang tertinggi.
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, Monfort dipengaruhi juga oleh gagasan dari ketiga tokoh spiritual: Jean-Jospeh Surin, J. J. Olier dan Louis Tronson. Untuk memperoleh keutuhan hidup rohani, Surin menekankan penyerahan jiwa yang total terhadap Allah dan sikap lepas bebas sepenuhnya terhadap ciptaan, yang meliputi matiraga secara sukarela, di samping salib-salib yang biasa dijumpai dalam kehidupan kristiani. Oleh karena ia tertarik dengan pemikiran Surin, Montfort akhirnya pindah dari Boudon dan mengikuti Surin.
Melalui gagasan J. J. Olier (1608-1657), seorang misionaris keliling, Montfort diajari agar mau berjiwa miskin secara radikal dan ditandai oleh hambatan-hambatan sejak awalnya. Di dalam masa pembinaan di St. Sulpice, muncul seorang yang bernama Louis Tronson (1622-1770). Ia mulai dengan pendekatan psikologis yang kemudian mulai dilihat sebagai landasan untuk melawan orientasi pewartaan Injil yang mengawang-ngawang. Trend psikologis diperkenalkan oleh Tronson untuk memperoleh dasar bagi hidup mistik dan misi apostoliknya. Formasi itu bertujuan untuk sungguh-sungguh membawa kepada kehidupan spiritual yang otentik, walaupun diliputi dengan cita-cita yang tak berlebihan, kebijaksanaan, kecocokan dalam hidup komunitas dan ketaatan yang tepat terhadap semua aturan. Montfort tak pernah merasa nyaman dalam kerangka kerja yang kaku ini, yang menyerupai sebuah cetakan. Ia memberikan dirinya hanya dalam ketaatan secara penuh tanpa melekat dalam hatinya. Seminari baginya merupakan tempat di mana dia mengalami penderitaan, misalnya celaan-celaan, ejekan, hinaan, yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya penyesuaian dirinya dengan masyarakat oleh karena watak kepribadiannya yang temperamental. Perjalanan misinya diadakan selama beberapa waktu, tetapi ini hanya memimpinnya untuk menyelami misteri Yesus yang disalibkan. Montfort sedikit demi sedikit menjadi dirinya sendiri setelah dia meninggalkan Seminari St. Sulpice. Dia akan meneruskan perjalanan rohani dan apostoliknya, yang selalu ditandai dengan salib, sebagai konsekuensi logis dari keputusannya untuk hidup menurut tuntutan Injil.
Dari uraian-uraian tersebut, kita dapat mengatakan bahwa di satu pihak Montfort dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh tersebut, namun di pihak lain, (mungkin yang lebih menggerakkan hatinya) untuk meneruskan perjalanan rohani dan apostoliknya, ia didorong oleh keinginannya sendiri tanpa mereduksi sedikit pun pengaruh dari para “mentor” (tokoh) rohani tersebut. Tentu ini oleh karena Rahmat Allah.


3. Refleksi Teologis tentang Salib dalam Terang Ajaran St. Montfort
Di bawah terang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Montfort mencoba menafsirkan misteri penderitaan Kristus sebagai rencana Allah yang ingin mencintai dan menjalin persahabatan-Nya dengan manusia. Dalam poin ini, Montfort, selain ingin menunjukkan betapa besarnya cinta Allah bagi manusia, ia juga mengajak seluruh umat kristiani agar mau menempuh jalan salib dengan penuh iman dan keberanian, tanpa merasa malu dan takut. Refleksi teologis yang akan disajikan dalam pembahasan berikut ini, kiranya dapat membantu kita untuk menemukan apa yang menjadi inti refleksi Montfort tentang salib.

3.1. Salib dan Kerinduan Allah
3.1.1. Salib sebagai Puncak Revelasi Cinta Allah
Bagi Montfort, peristiwa salib merupakan sebuah misteri yang paling agung, rahasia terbesar dari “Kebijaksanaan Kekal” (bdk. CKA 167; K 19:1; K 102:2). Jika Allah diyakini sebagai “Sang Cinta”, maka sebetulnya cinta-Nya itu tidak ditemukan di tempat lain kecuali di dalam penghampaan diri-Nya di kayu salib. Melalui salib, Sang Kebijaksanaan menunjukkan cinta-Nya yang teramat dalam bagi manusia. Dengan kata lain, lewat Salib-Nya, Ia mengaktualisasikan diri-Nya menjadi manusia yang paling hina. Menurut Montfort, kerinduan Sang Kebijaksanaan untuk mati dalam rangkulan salib, dapat kita lihat sebagai sebuah kerinduan untuk memberi kesaksian kepada manusia tentang persahabatan-Nya (bdk. CKA 168).
Montfort memandang salib sebagai puncak pemberian diri Allah sebagai upaya untuk menjalin persahabatan-Nya dengan manusia. Menarik untuk disimak bahwa Montfort melihat esensi cinta akan persahabatan-Nya dengan manusia bukan terjadi dalam segala kemuliaan dan kemegahan-Nya, melainkan justru sebaliknya, yakni tampil dalam kemelaratan, kehinaan dan mati di kayu salib. Dengan demikian, jika Allah lebih suka memilih “jalan negatif” (jalan salib), maka sebetulnya di situ terkandung sebuah harapan agar setiap orang pun masuk ke dalam keilahian dan cinta-Nya. Dari sebab itu, Montfort berkata: Ia rindu turun sendiri ke dalam dunia supaya dunia dapat naik ke surga. Montfort melihat pilihan-Nya ini sebagai sesuatu yang mengherankan, mengagumkan dan sebagai sebuah cinta yang tak terungkapkan. Montfort berkata:

O altitudo sapientiae Dei (Rm 11:33): Ah! Betapa mendalam Kebijaksanaan dan Pengetahuan Allah! Betapa mengherankan pilihan-Nya ini dan betapa agung dan tak terpahami segala rencana dan keputusan-Nya. Tetapi lebih lagi betapa tak terungkapkan cinta-Nya kepada salib ini (CKA 168).

Berkenaan dengan pernyataan tersebut, Pierre Humblet mengafirmasi bahwa dengan menunjukkan penderitaan Kristus sebagai bukti cinta-Nya bagi manusia, sebetulnya di situ Montfort hendak melukiskan cinta-Nya sebagai sebuah cinta yang menggelora (passionate), mendahagakan dan penuh dengan kerinduan.
Montfort telah melihat salib sebagai mediasi cinta Allah bagi manusia, tepatnya locus revelasi diri-Nya. Jika salib disimak sebagai suatu kondisi yang khas manusiawi, maka kondisi ini juga diambil-Nya untuk menunjukkan dan membuktikan kedalaman cinta-Nya. Salib ini justru dilihat Montfort sebagai pemberian diri yang tertinggi dari Allah. Montfort berkata:

Namun, apakah anda menyangka bahwa Kebijaksanaan Abadi ini akan tampil dengan kemuliaan dan kejayaan, diiringi berjuta-juta malaikat atau setidak-tidaknya berjuta-juta pengawal pilihan; dengan pasukan-pasukan ini, yang penuh kemegahan dan keperkasaan ini tanpa sedikit pun disertai kemiskinan, kehinaan, … Ia akan merebahkan semua musuh-Nya dan memenangkan segala hati manusia oleh gaya-Nya yang menawan hati, oleh kesenangan yang dibawa-Nya, oleh keagungan-Nya dan kekayaan-Nya (CKA 168)?

Sebagai puncak pemberian diri Allah, Montfort melihat Salib Yesus dari dua perspektif. Pertama, penghampaan diri menjadi manusia. Kondisi penghampaan diri ini dilihat Montfort sebagai salah satu bentuk penderitaan yang harus “dirangkul-Nya” demi keselamatan umat manusia. Apa maksudnya? Artinya kerinduan Sang Kebijaksanaan untuk menarik manusia kepada diri-Nya tidak bisa tidak lewat penghampaan diri-Nya. Meskipun demikian, keharusan ini justru menjadi sebuah salib yang tidak bisa dihindari-Nya. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Kita mengetahui bahwa Allah itu Mahakuasa, dengan segala kekuasaan-Nya pasti segala sesuatu yang ingin dikehendaki supaya terlaksana, dapat terjadi. Montfort berkata: dengan sepatah kata saja, Dia dapat meniadakan dan menciptakan, apalagi yang dapat saya katakan? Dia hanya perlu menghendaki saja dan semuanya sudah terjadi (CKA 167). Itu berarti Ia tidak perlu menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia, karena Ia dapat menghendaki keselamatan terjadi pada manusia. Akan tetapi, justru cinta-Nyalah yang membuat diri-Nya takluk di bawah kekuasaan-Nya untuk tampil dalam pihak kemanusiaan. Montfort berkata: Tetapi cinta kasih-Nya mengatur kekuasaan-Nya …. (CKA 168).
Kebijaksanaan turun ke dalam dunia berarti Ia masuk ke dalam kategori manusiawi, ke dalam banalitas hidup manusia. Kondisi eksistensial ini, secara gamblang dilukiskan Montfort dalam CKA 109-116 dan juga dalam beberapa kidungnya, yakni Kidung 19:9; 102:10. Ia harus masuk ke dalam situasi seperti ini agar ia dapat memungkinkan manusia menatap dan mengalami kebahagiaan surgawi. Dengan demikian, masuk ke dalam dimensi eksistensial tersebut berarti di satu pihak Ia harus melepaskan segala kemewahan dan kemuliaan diri-Nya dan serentak itu pula Ia harus menghadapi segala macam keterbatasan yang khas manusiawi. Berkenaan dengan hal ini, menurut Montfort, inkarnasi adalah salib pertama yang diterima Sang Kebijaksanaan. Montfort berkata:
Baru saja masuk dunia, Ia memperolehnya dari tangan Bapa Abadi dalam rahim ibu-Nya dan Ia menempatkannya dalam pusat hati-Nya, ... Ia memerintah dan berkata: ‘Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku.’ Allahku dan Bapaku, di dalam pangkuan-Mu sudah Kupilih salib ini …. (CKA 169).

Montfort kemudian melihat seluruh konstelasi kehidupan Yesus sebagai salib. Montfort berkata: sepanjang hidup, Ia telah mencari salib penuh kerinduan … Aku sangat rindu, pada waktu itu semua perjalanan, semua kerinduan, pencarian dan harapan ini tertuju pada salib (CKA 170, bdk. K 19: 9-11; 102:11-14). Malahan ia memandang salib tersebut sebagai puncak kemuliaan dan kebahagiaan yang tertinggi untuk mati dalam “rangkulannya.” Kerinduan-Nya untuk mencari salib dilihatnya sebagai alasan untuk menarik manusia lebih dekat kepada Bapa-Nya.
Kedua, Montfort selanjutnya melihat penderitaan dan kematian Yesus sebagai sebuah salib. Penderitaan dan kematian ini, dapat kita sebut sebagai “puncak revelasi cinta Allah”, klimaks pemberian diri Allah yang tak terlukiskan. Montfort berkata: akhirnya kerinduan-Nya sampai ke puncak. Ia dicemarkan oleh penghinaan. Ia dipaku dan direkatkan pada salib. Ia mati dengan kegembiraan dalam rangkulan sahabat-Nya …. (CKA 171).

3.1.2. Salib sebagai Misteri Cinta dan Kebijaksanaan
Bulteau mengatakan bahwa misteri salib pertama-tama adalah misteri cinta, yang dilahirkan karena cinta. Bapa mencintai Putra dengan cinta yang tak terbatas di dalam penjelmaan-Nya dan Sabda yang tersalib: Inilah Anak yang Kukasihi .... (Mat 3:17). Putra yang menjelma dan tersalib mencintai Bapa-Nya dengan cinta yang sama sebagaimana Bapa mencintai-Nya sejak kekal (Yoh. 14:31). Bapa tidak dapat mencintai Putra-Nya tanpa mencintai Dia dalam keadaan bebas-Nya sebagai manusia yang menderita; Putra, dalam keadaan yang sama akan menerima dengan gembira cinta Bapa-Nya. Begitu pula halnya dengan Roh Kudus merupakan cinta kasih timbal balik dari Allah Bapa dan Putra yang dapat diberikan juga kepada manusia.
Untuk itulah Allah ingin memperlihatkan dan memberikan cinta-Nya kepada manusia. Di dalam cinta-Nya yang tak terbatas, Dia menjadi penyelamat dan pengantara kita kepada Bapa (BS 85, 87). Berkenaan dengan hal ini, Montfort melihat salib sebagai mediasi perwujudan cinta Allah bagi manusia. Dengan kata lain, Montfort tidak melihat sarana lain yang lebih memungkinkan cinta-Nya itu terwujud dan hanya kepada saliblah Ia menjatuhkan pilihan-Nya. Montfort menulis: … Ia lebih suka memilih salib dan penderitaan untuk memberikan bukti cinta yang lebih besar kepada umat manusia (CKA 164; bdk. K 19; 25).
Kebijaksanaan Abadi, Yesus Kristus, dapat saja memenangkan hati pria dan wanita lewat kecantikan-Nya, keindahan-Nya, kecemerlangan-Nya dan kekayaan-Nya; tidak bersentuhan dengan kemiskinan, kehinaan dan jauh dari kelemahan, Dia dapat saja dengan mudah menguasai kejahatan (CKA 168). Dia justru memilih untuk tidak melakukannya. Berkenaan dengan hal ini, Montfort ingin memperlihatkan bahwa Allah memilih salib untuk menunjukkan bahwa pilihan tersebut merupakan suatu kebijaksanaan tertinggi, suatu kebijaksanaan yang berseberangan dengan kebijaksanaan manusiawi, seperti cinta kepada harta duniawi, terhadap kenikmatan dan cinta terhadap kehormatan (bdk. CKA 80, CKA 81, CKA 82). Bulteau melihat hal ini sebagai ringkasan dari argumen Montfort. Berkenaan dengan argumentasi yang diberikan Montfort, Bulteau melihat bahwa Kebijaksanaan Abadi telah menyatukan diri-Nya dengan salib dan itu tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara keduanya sudah mendarah daging sehingga kita dapat memahami mengapa Montfort berkata bahwa Kebijaksanaan sejati, Yesus Kristus menetapkan kediaman-Nya dalam salib dengan begitu kuatnya sehingga kita tidak dapat menemukannya di tempat manapun di dunia ini kecuali dalam salib. Pada poin inilah, ia berseru: Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan (CKA 180).

3.1.3. Salib sebagai Misteri Penderitaan dan Kemuliaan
Hubungan yang tak terputuskan antara Yesus, Kebijaksanaan, dan salib terjalin di Kalvari ketika mereka saling menyerahkan diri dalam “rangkulan” yang luhur: Ia mati dengan kegembiraan dalam rangkulan sahabat-Nya tercinta ibarat di ranjang kehormatan penuh kemuliaan (CKA 170-171). Bagi Monfort, kebangkitan tidak terjadi setelah Jumat Agung; kemuliaan tidak menyusul setelah penyaliban. Baginya, Jumat Agung adalah Paskah dan salib adalah kemuliaan, kematian yang hina di Kalvari adalah kemenangan. Sebagaimana yang lazim pada zaman itu, Montfort kurang memusatkan perhatian pada pesta Paskah. Ia merayakan “Kemenangan dan Kebijaksanaan Abadi dalam dan oleh Salib” (CKA 14).
Montfort menjelaskan semuanya ini hanya untuk membendung argumen yang memisahkan salib dan kemuliaan. Bagi Montfort, “kejayaan” hanya dapat diperoleh dalam Salib Tuhan kita Yesus Kristus. “Kejayaan salib” ini dilambangkan dalam Kidung 19, yang memuji “kejayaan salib” atas maut, dunia dan kefanaan (hawa nafsu), serta musuh yang kelihatan dan yang tak kelihatan di atas bumi dan di dalam surga. Montfort melihat salib sebagai sebuah trofi kemenangan yang pantas disembah. Ia berkata: Kebijaksanaan akan menyuruh orang membawa Salib ini mendahului Dia, tempat-Nya di atas awan yang bersinar dengan cahaya cemerlang serta dengan dan oleh Salib ini Ia akan mengadili dunia (CKA 172). Dalam poin ini, salib menjadi panji para prajurit Kristus yang mengumpulkan mereka untuk memperoleh kemenangan demi kemenangan (CKA 173). Kejayaannya bukan hanya bersifat eskatologis semata; kejayaannya itu menjadi kentara dalam dunia sekarang ini: kegembiraan hati, damai dan kelembutan hati, seperti yang ada pada Kristus.

3.2. Salib: Sebuah Jalan untuk Meraih dan Memeluk Kebijaksanaan
3.2.1. Salib sebagai Bukti Cinta Manusia kepada Allah
Lukisan Montfort tentang unifikasi antara salib dan Kebijaksanaan sungguh menarik untuk disimak. Bagi Montfort, salib dan Kebijaksanaan merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan. Hanya kepada saliblah, Menurut Montfort, Sang Kebijaksanaan mengarahkan diri-Nya dan menganggapnya sebagai puncak kemuliaan dan kebahagiaan. Keterarahan-Nya kepada salib tidak hanya berhenti di puncak Kalvari, akan tetapi menurutnya, justru diteruskannya bahkan sesudah kematian-Nya (bdk. CKA 170).
Lukisan yang indah ini dapat mengantar kita kepada sebuah pemahaman tentang perkawinan rohani antara Kristus dan Salib-Nya. Pemahaman ini pun dapat membantu kita untuk melihat kembali identitas diri kita sebagai murid Kristus. Montfort berkata: mengenal Yesus Kristus Kebijaksanaan Abadi berarti mengenal segala-galanya; mengenal segala-galanya dan tidak mengenal Dia berarti tidak mengenal apa-apa (CKA 11). Itu berarti kita dapat mengatakan bahwa mengenal Kristus berarti pula mengenal dan memahami penderitaan-Nya. Dengan demikian, ungkapan Montfort tersebut dapat juga diartikan demikian: mengenal Yesus Kristus sama dengan mengenal Salib-Nya. Dalam konteks panggilan hidup kekristenan, apa yang menjadi inti kemuridan seseorang harus dikaitkan dengan penderitaan yang dialami Kristus. Dalam hal ini, ia perlu menyangkal diri dan memikul salibnya (bdk Mat 16:24). Montfort pun menegaskan hal yang sama; tidak seorang pun diterima sebagai prajurit, jika tidak rela mengambil salib sebagai senjatanya, … untuk membela diri, menyerang … dan untuk menghancurkan semua musuhnya (CKA 173). Dengan demikian, pengakuan diri kita sebagai seorang pengikut Kristus dapat dijawab, yaitu mengikuti Kristus berarti memikul salib-salib sendiri.
Dalam kaitan dengan unifikasi dengan Kristus dalam dan melalui salib, R. Gabbiadini mengatakan bahwa penerimaan akan Salib Kristus dalam meneladani Kristus sebagaimana yang ditegaskan Montfort, sungguh merupakan suatu keharusan. Prinsip dari pernyataan ini secara gamblang ditegaskan Montfort dalam SSS 42. Dalam amanat ini, Montfort mengajak umat kristiani untuk tidak dengan sengaja mencari salib-salib tetapi berusaha agar meneladani Yesus Kristus. R. Gabbiadini menekankan bahwa aktualisasi seperti ini justru membuat kita lebih menyerupai Kristus dan layak disebut sebagai Putra-putri Bapa, anggota-anggota Kristus dan kenisah Roh Kudus. Tatkala aktualisasi itu dijalankan dengan baik, maka salib tidak lain merupakan tanda cinta kita kepada Tuhan. Kenyataan bahwa Montfort begitu menekankan aspek pengimitasian ini, sebetulnya tidak terlepas dari kerinduannya untuk menunjukkan kepada kita bahwa jalan salib sebagai jalan pengimitasian tersebut merupakan sebuah jalan yang “sedap”, “manis” dan paling menggembirakan (SSS 34-35).
Dalam poin tersebut, Montfort sekali lagi mau meyakinkan kita bahwa sebetulnya salib itu baik, berharga karena beberapa alasan yang mendasarinya. Barbara dan Ann Nielson berkata bahwa andaikata kita melihat dengan lebih cermat lagi, sebetulnya kita dapat memahami maksudnya, yaitu bahwa kita akan menemukan “harta” dari ajaran Kebijaksanaan dalam enam alasan mengapa kita harus mencintai salib. Montfort menunjukkan enam alasannya sebagai berikut:

Pertama, karena salib membuat kita mirip dengan Yesus Kristus. Kedua, karena salib membuat kita pantas disebut anak-anak dari Bapa yang kekal …. Ketiga, karena salib menerangi budi dan memberi pengetahuan lebih banyak daripada segala buku di seluruh dunia. Keempat, karena asal dipikul dengan cara tepat, salib merupakan sebab, penyedap dan bukti cinta kasih. Salib mengobarkan api cinta ilahi …, memelihara dan memperbanyak cinta itu; seperti kayu adalah makanan bagi api, demikian salib adalah makanan bagi cinta, karena salib adalah bukti yang paling jelas untuk menyatakan bahwa orang mencintai Allah. Allah telah menggunakan kesaksian ini untuk membuktikan bahwa Ia mencintai kita. Sekaligus salib merupakan kesaksian yang diminta Tuhan untuk memperlihatkan kepada-Nya, bahwa kita mencintai Dia. Kelima, salib adalah baik, karena salib adalah sumber yang berlimpah-limpah cinta kasih dan penghiburan …. Keenam, akhirnya salib adalah baik, karena ia menghasilkan pahala kekal di surga bagi orang yang memanggulnya (2 Kor 4:17; CKA 176).

Semua alasan tersebut hanya dapat dibuktikan dalam pengalaman yang nyata dan Montfort sendiri telah membuktikannya di dalam pengalamannya sendiri (SSS 50-53). Berkenaan dengan hal ini, Montfort mengajak para “sahabat salib” untuk merenungkan dan mengintegrasikan empat belas aturan praktis bagaimana orang harus mengikuti jalan Salib Kristus (bdk. SSS 42-62).
Untuk mengimitasi Kristus, itu berarti juga tinggal di dalam Kebijaksanaan, yang telah menyediakan kediaman-Nya yang nyaman di sana dan perlahan-lahan menyatukan diri-Nya kepada salib: Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan (CKA 180). Untuk mencari Kristus yang disalibkan itu berarti mencari Kebijaksanaan dan menemukan Kebijaksanaan berarti menemukan Kristus yang disalibkan. Dengan demikian dalam poin ini, Kebijaksanaan Abadi itu tidak dapat ditemukan di mana pun juga kecuali di dalam salib yang dipilih-Nya. Itu berarti pula salib dapat menjadi mediasi bagi siapa saja yang ingin mencintai, menjumpai atau menemukan bahkan “memeluknya” (memiliki) Kebijaksanaan Abadi, karena salib adalah “mempelai-Nya” dan di sanalah Ia telah menyatukan diri-Nya dan menetapkan kediaman-Nya (bdk. CKA 170, 172, 180; bdk. CKA 194-202).

3.2.2. Salib sebagai Medan Transformasi Diri di Hadapan Allah
Menurut Montfort, keberartian seorang pengikut Kristus hanya bisa diverifikasi (dibenarkan) dalam dan melalui unifikasi (persatuan) dirinya dengan Yesus yang menderita. Kesempurnaan seorang pengikut Kristus justru terletak dalam wilayah ini: memikul salib dan menyangkal diri. Montfort berkata: seluruh kesempurnaan kristiani terdiri dari: keputusan untuk menjadi seorang suci: ...., mengingkari diri: ia harus menyangkal dirinya; rela menderita: memikul salibnya; mau bertindak dan mengikut Aku (Mat 16:24; Luk 9:23; SSS 13). Dengan berkata demikian, Montfort ingin menekankan agar kita juga mau mengalami penderitaan seperti yang dialami oleh Tuhan sendiri. Dalam hal ini, ia menantang kita untuk merumuskan ulang hakekat kemuridan kita. Montfort menulis:

Tidak seorang pun diakui sebagai anak-Nya, kecuali kalau ia ditandai oleh salib. Tidak seorang pun diakui sebagai murid-Nya, kecuali kalau ia membawa salib pada dahinya tanpa malu, dalam hatinya tanpa menolaknya, pada bahunya tanpa menyeretnya atau berusaha melepaskannya (CKA 173).

Seruan Montfort ini dapat menghentak kesadaran kita untuk melihat kembali identitas kemuridan kita di hadapan-Nya, malahan dapat menjadi sebuah kritikan bagi kita yang belum menghayati dimensi kemuridan kita. Artinya, bobot kemuridan dan kelayakan identitas kekristenan kita harus didasarkan pada wilayah tersebut. Pada poin ini, kita dapat menjadi manusia baru. Persisnya peristiwa salib pada dasarnya adalah suatu peristiwa transformatif. Pertanyaan kita, mengapa transformasi diri itu harus melalui pengalaman salib.
Transformasi kita harus melalui salib oleh karena salib adalah mediasi yang dipilih Allah untuk membawa manusia kepada kehidupan bahagia di surga. Montfort berkata: ingatlah baik-baik: sejak Kebijaksanaan yang menjelma diharuskan masuk surga melalui salib, anda juga harus masuk melalui jalan yang sama (CKA 180). Dengan seruan tersebut, Montfort hendak membantu kita untuk melihat lagi seluruh peristiwa salib Yesus sebagai momen transformasi untuk mengubah dan membawa manusia kembali kepada Bapa di surga. Seluruh konstelasi hidup Yesus (lahir-mati) disimaknya sebagai momen pembaharuan dunia, karena yang terjadi pada peristiwa itu adalah gugatan eksistensial Yesus terhadap kejahatan yang dilakukan dunia. Kelahiran-Nya di kandang telah menantang keangkuhan dunia untuk tunduk pada-Nya. Montfort berkata:

Para gembala yang datang mengunjungi-Nya di kandang, semuanya begitu terpesona oleh wajah-Nya yang manis dan elok ... malahan para raja yang paling anggun setelah baru saja memandang penampilan jelita anak bagus ini, langsung melepaskan segala keanggunan dan secara spontan bertekuk lutut di depan palungan (CKA 121).

Kemiskinan dan kehinaan yang mau dialami-Nya ini sebetulnya di satu pihak dapat memberi nilai baru pada kemiskinan manusia dan pada saat yang sama pula dapat mengubah kesadaran manusia agar berpihak kepada kemiskinan orang lain (bdk. CKA 124). Begitu pula dengan penderitaan dan kematian-Nya, melalui Salib-Nya, Ia mengangkat setiap penderitaan manusia ke level yang lebih tinggi. Montfort berkata:

Berkat kematian-Nya, Kebijaksanaan yang menjelma telah mengangkat kehinaan salib menjadi suatu kehormatan, kemiskinan dan ketelanjangan suatu kekayaan, ... sehingga bisa dikatakan, Ia telah mengilahikan salib itu dengan maksud agar disembah oleh malaikat-malaikat dan manusia (CKA 180).

Dengan logika seperti ini, kita dapat menyimpulkan bahwa transformasi diri di hadapan Allah dalam dan melalui salib (penderitaan) berarti: pertama, kita mau merumuskan ulang status kemuridan kita, yakni menghampakan diri, menerima segala konsekuensi kemuridan kita (ditolak, dihina, dll.). Kedua, dengan kemauan untuk menanggung derita demi Kristus, maka konsekuensinya penderitaan kita merupakan suatu bentuk penghayatan sikap solider dengan orang lain. Dalam hal ini, Kristus adalah par excellence-nya solidaritas kita.

3.3. Hubungan Misteri Salib dan Maria
“Fiat” Maria terhadap tawaran Allah untuk menjadi wadah penghampaan diri Putra-Nya adalah bukti keikutsertaannya dalam karya keselamatan Allah. Dan peran Maria di sini sungguh penting untuk disimak bahwa ia sendiri mau taat kepada kehendak Allah bahkan sampai pada kematian Putranya di kayu Salib. Pertanyaan kita, bagaimana Montfort melihat kehadiran dan partisipasi Maria dalam misteri Salib Putra-Nya. Berkenaan dengan hal ini, Battista Cortinovis mencoba membantu kita untuk memahami hubungan tersebut.
Menurutnya, misteri Paskah disimak Montfort dalam peristiwa pertama, yakni inkarnasi. Baginya, misteri Paskah berada di dalam misteri ini. Dalam inkarnasi, Yesus melaksanakan segala misteri kehidupan-Nya yang lain yang akan menyusul kemudian karena semua misteri itu terangkum di dalamnya. Jadi misteri ini merupakan rangkuman segala misteri, karena berisikan kehendak tersebut dan dari dalamnya mengalir segala rahmat. Di situ terungkap partisipasi Maria di dalam semua misteri kehidupan Kristus dan ketergantungan Kristus kepada Maria, yakni pada saat Ia dikandung, dilahirkan, dipersembahkan di Bait Allah dan dalam kehidupan-Nya yang tersembunyi selama tiga puluh tahun. Bahkan menurut Montfort, pada saat kematian-Nya, Maria dengan setia mendampingi-Nya. Montfort menulis: … dengan cara itu, Tuhan mau membawa kurban yang satu dan sama bersama Maria. Dia mau dikurbankan melalui persetujuan Maria ….
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kesempurnaan kita terletak dalam konformasi diri kita dengan Yesus Kristus. Montfort berkata bahwa Kebijaksanaan sejati tidak ditemukan dalam perkara-perkara dunia ini, tidak juga dalam jiwa-jiwa mereka yang hidup dengan seenaknya, melainkan di dalam salib (CKA 180). Dengan kata lain, menurut Montfort, sarana yang paling unggul dan paling mengesankan dari semua rahasia untuk memperoleh dan memiliki Kebijaksanaan Ilahi adalah sikap bakti yang lembut dan benar kepada Santa Perawa Maria (BS 203). Perjalanan tersebut dimulai bersama Maria dengan sebuah sikap bakti yang sejati dan benar kepadanya. Melalui Maria kita dimampukan untuk memikul Salib Yesus.
Selanjutnya, kita dapat melihat bahwa dalam rumusan Montfort tentang “Pembaktian Diri kepada Yesus lewat tangan Maria”, selalu disebut Salib Kristus. Menurut Battista, saat itu merupakan momen ajakan bagi kita untuk memikulnya, yakni menolak setan, menyerahkan seluruh diri kepada Yesus melalui tangan Maria untuk memikul salibnya seperti diri-Nya …. Dalam doa Pembaktian Diri, Montfort berkata demikian:

Aku … pendosa yang tidak setia, memperbaharui dan meneguhkan janji-janji baptisku dalam tanganmu pada hari ini. Untuk selamanya aku menyangkal setan, segala kesia-siaannya dan perbuatan-perbuatannya; aku menyerahkan diriku seluruhnya kepada Yesus Kristus … untuk memikul salibku mengikuti Dia di segala hari hidupku supaya menjadi lebih setia kepada-Nya …. (CKA 225).

Dalam pandangan Montfort, andaikata kita mencari Yesus Kristus Kebijaksanaan Abadi, maka kita akan menemukan-Nya tersalib. Menurutnya, jika kita ingin bersatu dengan-Nya, maka kita juga harus memikul salib kita bersama-Nya setiap hari. Pada poin ini, kemampuan seseorang untuk memikul salibnya setiap hari disimaknya sebagai suatu bakti yang sejati dan lemah lembut kepada Maria. Praktek devosi kepada Maria yang dipraktekkan Montfort meliputi di dalamnya suatu ketergantungan total kepada Maria dengan maksud agar orang dapat mengimitasi Yesus Kristus. Montfort berkata:

Ia meluhurkan kedaulatan dan keagungan-Nya dengan bergantung pada Perawan yang jelita itu pada saat Ia dikandung … dan sampai kematian-Nya … Maria dengan setia mendampingi-Nya. Dengan cara itu Tuhan mau membawa kurban yang satu dan sama bersama Maria (BS 18).

Battista melihatnya ini sebagai Paskah, kurban Kristus kepada Bapa. Yesus memenuhinya bersama dengan Maria dan dengan persetujuan bersama Maria.
Kebenaran spiritual yang menghiburkan ini disimak Montfort dalam peristiwa Maria berada di bawah kaki salib. Bagi Maria sendiri, momen tersebut merupakan ujian kelayakan akan kesetiaannya dalam iman. Montfort berkata: imannya yang hidup yang membuat dia percaya akan perkataan malaikat tanpa ragu. Dia telah percaya dengan setia dan tekun sampai di kaki salib di Kalvari (BS 260). Melalui partisipasinya dalam misteri agung Kristus dan dalam konteks Paskah, Maria diberikan kepada kita sebagai ibu dan kita menerimanya di dalam kehidupan rohani kita. Battista melihat kesadaran kita akan penerimaan Maria di dalam kehidupan kita tidak lain merupakan “pembaktian diri” yang diajarkan Montfort. Battista masih melanjutkan bahwa semuanya ini terjadi di bawah kaki salib di Kalvari dalam suasana Paskah. Dengan berpartisipasi dalam Misteri Paskah, kita dapat menemukan Maria, kehadirannya, keberartiannya bagi kita dan menerimanya di dalam kehidupan rohani kita.

4. Kesimpulan
Menarik untuk disimak bahwa elaborasi Montfort tentang “salib” sangat sederhana, tidak mengawang-awang (apalagi abstrak-spekulatif). Meskipun demikian, refleksi teologisnya tidak kehilangan ciri ilmiahnya (sistematis, argumentatif) sehingga lebih mudah diingat dan dihayati oleh umatnya. Montfort adalah produk dari zamannya dan dari sanalah ia dibentuk oleh tradisi dan kebiasaan yang lazim pada waktu itu, yang menuntutnya untuk menghayati hidup secara radikal, mengkontemplasikan Allah, melepaskan segala atribut-atribut lahiriah dengan bermatiraga secara ketat. Dari sebab itu, tidak mengherankan bahwa seluruh hidupnya merupakan sebuah pencarian yang tak pernah berakhir akan Kebijaksanaan Abadi, Yesus Kristus. Antusiasme genial inilah yang mendorongnya memikul salib dan mengikuti-Nya.
Antusiasme itu tidak hanya muncul begitu saja, tetapi sebetulnya lahir dari permenungannya, yang dituangkannya ke dalam tulisan-tulisannya, salah satunya adalah tentang salib. Setelah kita melihat bersama refleksi teologis tentang salib menurutnya, kita akhirnya menyimpulkan beberapa hal berikut ini. Pertama, baginya, salib adalah misteri cinta, puncak revelasi cinta Allah atau momen pemberian diri Allah bagi manusia untuk menarik manusia kembali ke hadapan-Nya. Kedua, salib merupakan jalan bagi manusia untuk meraih dan “memeluk” Kebijaksanaan sebagai bukti cinta manusia kepada-Nya. Pada poin inilah, Montfort menguji setiap umat kristiani untuk menghadapi salib-salibnya dengan sabar.
Momen tersebut merupakan saat perumusan ulang hakekat kemuridannya, menerima dan menghadapi segala macam konsekuensi kemuridannya. Dan konformasi diri tersebut seakan belum lengkap jika tidak melewati tangan Maria, yakni memikul salib bersamanya. Akhirnya, salib itu sendiri tidak lain adalah Yesus Kristus, Kebijaksanaan Abadi yang menjelma dan disalibkan, yang sepanjang hidup-Nya hanya mencari salib, dan mati dalam “rangkulannya.” Pada poin inilah, Montfort berseru: Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan (La Saggese est la Croix, la Croix est la Saggese).










Daftar Pustaka

Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of St. Louis-Marie de Montfort, (Bay shore, NY: Montfort Publications, 1994)

S. A. Muto, in the Preface to W. A. Thompson, Bérulle and the French School, (New York: Paulist Press, 1989)

Thelagathoti Joseph Raja Rao, The Mystical Experience and Doctrine of St. Louis-Marie Grignion de Montfort, (Roma: Editrice Pontificia Universitá Gregoriana, 2005

Jean-Baptiste Blain, Summary of the Life of Louis-Marie Grignion de Montfort, terj. Bross Julien Rabiller et al., (Rome: St. Gabriel Press, 1977)

Benedetta Papasogli, The Man Who Came up from the Wind, Saint Louis Marie Grignion de Montfort, (Singapore: Boy’s Town, 1987),
St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Bakti Sejati kepada Maria, terj. Mgr. R. Ishak Doera, Bandung: SMM.

Tidak ada komentar: