Kamis, 10 Juni 2010

KONTEMPLASI BERSAMA DIA DI TENGAH RUTINITAS PASTORALKU

By Fidel Wotan I. Pengantar Hidup adalah sebuah pergumulan bahkan merupakan sebuah kontemplasi di hadapan Allah sendiri. Kontemplasi ini mesti menyadarkan diri kita bahwa apakah kita di hadapaNya, mengapa kita harus berhenti sejenak di tengah segala kesibukan kita sehari-hari. Dengan berhenti sejenak, di situ kita bisa melihat dan menghadirkan Dia yang tersembunyi dalam hidup kita sehari-hari. Berikut ini adalah refleksi singkat tentang pengalamanku bersama Dia di sela-sela rutinitas harianku.

II. Bagaimana Aku Mengalami Allah dalam Hidupku
2.1. Pengalaman-pengalaman yang menyadarkan saya sebagai manusia Allah:
Selama saya berada di tempat pastoral, khususnya di Paroki St. Martinus, Embaloh Hulu, saya mengalami banyak hal yang berkenaan dengan kedekatan atau intimitasku dengan Allah. Dan pengalaman-pengalaman tersebut sungguh saya alami sebagai suatu pengalaman yang menyadarkan saya sebagai manusia Allah. Pengalaman-pengalaman tersebut antara lain:

1. Membaca dan Merenungkan Sabda Tuhan
St. Hieronimus pernah berkata bahwa orang yang tidak pernah mengenal atau membaca Kitab Suci, itu sama dengan orang yang tidak mengenal Kristus. Secara pribadi, kata-kata orang kudus ini sungguh menggugah semangatku untuk senantiasa hidup dekat dengan Sabda Tuhan (Kitab Suci). Kitab suci bagi saya sangat penting dan bahkan menjadi santapan rohani atau makananku sehari-hari. Kitab Suci yang saya baca dan renungkan dalam suasana doa menunjukkan kepada saya suatu dunia yang membantu saya menemukan janji-janji Allah dan pemenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Dalam arti ini, pengalaman mengajarkan saya bahwa ternyata dengan membaca dan merenungkan Sabda Tuhan dalam suasana doa, di situ saya semakin mengenal dan mengalami kehadiran Tuhan Yesus. Kitab suci yang saya baca dan renungkan setiap hari menjadi panduan hidupku. Sambil mendengarkan Sabda Allah, saya menemukan jalan-jalan pertobatan terus-menerus untuk semakin bersatu dengan Yesus Kristus. Hanya dengan demikian, saya sudah mau menjadikan diri sebagai anak Allah yang tidak pernah mau memisahkan atau mengabaikan kehadiran-Nya dalam hidupku.

2. Berdoa dan Berkontemplasi
Setelah sekian bulan hidup dan tinggal di paroki, saya mengalami dan merasakan bahwa ternyata di tengah-tengah kesibukan pastoral saya, saya pun perlu meluangkan waktu untuk berdoa dan berkontemplasi. Sering hal ini saya abaikan, oleh karena kesibukan saya dalam berpastoral (sibuk melayani umat, akhirnya kadang lupa mengisi (men-charge) diri dengan doa-doa pribadi, meditasi dan berkontemplasi). Oleh karena itu, sering terjadi juga bahwa saya lupa bahwa diri saya pun perlu diisi (charged), dengan kekuatan rohani.
Saya merefleksikan dan mudah-mudahan ini menjadi bekal perjalanan hidup rohaniku, yaitu bahwa bagaimanapun juga, sebagai seorang biarawan, saya merasa perlu mengarahkan diri kepada sebuah cara hidup (way of life) yang berakar pada Kristus. Dalam arti ini, saya perlu membangun selalu keakraban yang intim dengan Kristus Yesus. Mengapa saya harus berbuat demikian? Karena bagaimana pun juga, saya memahami dan juga mengalami bahwa hidup rohani yang otentik dan berdaya guna menuntut bahwa dalam kesibukan dan karya pelayanan saya, saya perlu secara bertahap, setiap hari (bahkan setiap saat) meluangkan waktu yang tepat untuk bertemu dengan Tuhan. Dalam arti ini, saya sendiri ingin membangun gaya hidup yang tidak didominasi oleh aktivisme belaka, melainkan diseimbangkan atau diselaraskan dengan kehidupan doa dan kontemplasi.

3. Memusatkan Diri pada Daya Karya Ekaristi
Bagi saya, sebagai seorang Montfortan, Ekaristi merupakan sumber yang membangkitkan tenaga dan puncak ke mana seluruh kegiatan saya tertuju. Dengan berpartisipasi dalam perayaan misteri iman ini, saya menyatukan diri dengan Yesus yang wafat dan bangkit.
Ekaristi yang saya rayakan di paroki dan di dalam komunitas saya, sungguh memberi bentuk kepada persembahan hidup saya, kepada komitmen untuk hidup berkomunitas dan kepada perutusan untuk merasul dan membaharuinya terus-menerus. Dengan merayakan Ekaristi, saya pun dapat membaharui diri saya setiap hari.
4. Menghayati Cinta Kasih Kristus
Salah satu kerinduan terdalam saya adalah berusaha selalu (dan berkat dorongan Roh Kudus) untuk menjadi tokoh Allah atau anak Allah yang mau membaktikan seluruh hidup saya kepada perintah cinta kasih yang terarah kepada Alllah dan sesama. Dalam semangat ini, pengalaman mengajarkan bahwa hanya dengan menanamkan semangat cinta kasih yang menyala-nyala kepada Tuhan dan sesama melalui karya pelayanan saya di paroki, sebetulnya di situ, saya sudah membuka pintu bagi Yesus Kristus, yang juga secara tidak langsung hadir dalam diri orang-orang sederhana (umat sederhana, yang miskin dan berkekurangan).


Nilai-nilai dalam diri Yesus (sebagai Misteri, Komunio, Misi, Kepala, Gembala, Mempelai) yang saya hayati:

1. Sebagai Misteri

Sebagai misteri, Yesus sungguh menjadi Wahyu Allah sekaligus pengantara. Dialah kepenuhan wahyu, Utusan Allah, Sabda Kekal yang menyinari hati semua orang. Sebagai Sabda yang menjadi daging, saya memahami (dan mengalami) bahwa Yesus benar-benar diutus Bapa sebagai manusia kepada manusia, “menyampaikan Sabda Allah (Yoh 3:34) dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa-Nya.
Selama 5 (lima) bulan berada di tempat pastoral (Paroki St. Martinus), saya berusaha agar menghayati dengan sungguh-sungguh kehadiran Kristus sebagai misteri dengan menyerahkan diriku seutuhanya kepada-Nya, mempersembahkan segala kehendak pribadiku kepada Allah dan dengan sukarela menerima kehadiran-Nya dalam Sabda yang kubaca dan kurenungkan sebagai suatu kebenaran wahyu yang dikaruniakan-Nya. Firman atau Sabda-Nya itu, selain menjadi santapan rohani yang mesti kurenungkan dan kuhidupi sehari-hari, mesti saya wartakan pula kepada siapa saja yang saya layani. Hal sederhana yang bisa saya lakukan di sini adalah dengan cara membawa renungan untuk diperdengarkan kepada umat (saat ibadat sabda pada waktu turne atau waktu berkhotbah di paroki, atau pada waktu memimpin doa-doa di rumah-rumah umat). Oleh karena apa yang hendak saya sampaikan dalam renungan itu adalah sabda Tuhan, maka saya berusaha agar sebelum hal itu disampaikan kepada orang lain, saya pun mesti mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya (membaca dan merenungkannya, minimal untuk refleksi pribadiku).

2. Sebagai Komunio
Sebagai komunio, Yesus hadir untuk membawa persekutuan, menciptakan kerukunan. Kehadiran Kristus yang mempersatukan semua orang ini, sungguh membantu saya untuk melihat kembali perjalanan hidup dengan orang lain, terutama dalam lingkungan paroki. Selama berada di tempat pastoral, saya sudah berusaha sejauh kemampuan saya untuk senantiasa menjaga semangat persatuan dan kerukunan, baik dengan umat secara global, maupun dengan konfrater saya di pastoran. Hal sederhana yang saya lakukan adalah, bagaimana saya harus bersikap santun, ramah, sopan dan taat kepada orang lain, terutama mereka yang dituakan dan juga terhadap Pastor Paroki sendiri. Pada dasarnya kerinduan saya adalah menciptakan suasana hidup yang harmonis, rukun dan damai dengan siapa saja. Berkenaan dengan ini, hal yang selalu saya hindari adalah membuka peluang terjadinya konflik intern maupun ekstern dengan orang lain.
Dengan menciptakan situasi hidup yang nyaman dan damai bersama orang lain, sebetulnya di situ, secara tidak langsung saya telah membangun atau menghidupi ”spiritualitas persekutuan”. Spiritualitas ini, sudah mulai saya bangun, pertama dalam hidup intern (dengan Pastor Paroki), kemudian dalam jemaat (dalam lingkungan lokal maupun dalam scope yang lebih luas lagi). Dalam mengarungi hidup bersama umat, saya menyadari betapa penting dan berharganya peran seorang pemimpin yang memiliki jiwa mempersatukan. Sebagaimana Yesus hadir untuk membawa persekutuan, menciptakan kerukunan, begitu pula saya sebagai orang yang dipanggil untuk memimpin umat (kelak) diajak untuk belajar dari sekarang bagaimana menjadi figur yang bisa menciptakan situasi hidup yang harmonis, yang rukun, hidup yang dilandasi semangat persatuan. Dalam arti ini, saya menyadari pentingnya persekutuan dan persatuan di antara umat beriman itu terpelihara. Kesadaran seperti ini, tidak hanya saya ciptakan dalam lingkungan komunitas saya (bersama Pastor Paroki) melainkan terlaksana pula dalam hubungan saya dengan umat beriman di paroki. Saya mencoba menghayati arti communio ini dengan membina relasi yang baik dengan umat paroki (baik di stasi pusat maupun di stasi-stasi lainnya). Dalam membina relasi ini, saya sendiri tidak hanya membuka diri dan bergaul dengan umat katolik, melainkan juga terbuka dengan umat yang beragama lain (misalnya, Protestan dan Islam).



3. Sebagai Misi
Bagi saya, Yesus adalah seorang misionaris sejati, yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain tanpa mengenal lelah. Semangat misioner seperti ini sungguh menggugah semangatku untuk pergi mengunjungi dan melayani umat di setiap stasi atau kampung yang ada di dalam Paroki Martinus. Salah satu aspek atau nilai yang dapat saya peroleh dari semangat bermisi seperti ini adalah kesediaan untuk membuka diri dengan orang lain dengan segala macam budaya atau adat-istiadatnya. Hanya dengan cara seperti ini, saya merefleksikan bahwa sebetulnya di situ secara tidak langsung saya mau berdialog dengan aneka kelas sosial di dalam lingkungan masyarakat. Semangat bermisi seperti ini, pada dasarnya menuntut jiwa seorang yang mau lepas-bebas, tanpa ada ikatan apapun. Hanya dengan lepas-bebas, siap-sedia untuk diutus ke mana saja, seperti awan yang ditiupkan ke mana saja menurut arah tiupan angin, sebetulnya di situ saya mau membuka diri dengan dunia luar, bertemu dan berdialog dengan aneka macam budaya, suku, bahasa dan kelas sosial, tanpa sedikit membuat diferensiasi atau mengkotak-kotakkannya.

4. Sebagai Kepala
Berdasarkan thabisan, seorang imam memiliki keserupaan ontologis dengan Yesus sebagai kepala. Sebagaimana Yesus, sebagai Kepala Gereja, Ia menjadi teladan kekudusan, demikian juga seorang imam dalam keserupaan yang sama pun mesti menjadi teladan kekudusan bagi umat yang dilayaninya. Dan ia juga memiliki tugas untuk mempersatukan umat dengan Sang Kepala, yakni Kristus sendiri. Dalam hal ini, bagaimana umat memiliki hubungan yang intim atau dekat dengan Kristus, itu pun menjadi tugas pelayanan yang mesti saya perhatikan juga dalam kehidupan menggereja. Selama berada di tempat pastoral, saya berusaha menghayati teladan hidup Kristus sebagai Kepala dengan memperlihatkan kesalehanku di hadapan umat, misalnya: mengajak mereka untuk selalu mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan dengan berdoa bersama (misalnya: saat latihan koor, saat hendak makan, saat hendak bepergian, dsb). Selain itu, saya juga berusaha membangkitkan semangat umat untuk aktif dalam kehidupan menggereja. Hal sederhana yang bisa saya lakukan di sini yakni, dengan mengajak dan mendorong umat setempat untuk ikut latihan koor di gereja, melatih umat dalam menyanyikan lagu-lagu misa (melatih koor). Semuanya ini saya lakukan hanya supaya umat memiliki hubungan yang lebih baik dengan Sang Kepala Gereja. Mengapa demikian, karena bagaimana pun juga kelak, sebagai seorang imam, saya memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar untuk mempersatukan umat dengan Kepalanya yakni Kristus sendiri.

5. Sebagai Gembala
Yesus adalah Sang Gembala yang baik. Sebagai Gembala yang baik, Dia tahu apa yang harus dilakukan demi kesejahteraan dan keselamatan kawanan domba-Nya. Dalam hal ini, Ia menjadi pemimpin umat, dan Ia memimpin persekutuan umat, memberikan hidup-Nya demi kawanan domba-Nya. Cara hidup seperti ini, sungguh menantangku, oleh karena bagaimanapun juga mengurbankan diri untuk memperhatikan dan menjaga kawanan domba (umat) itu bukan merupakan sebuah pelayanan yang mudah dilakukan. Di sini perlu kerelaan dan kerendahan hati untuk mau menjadi hamba bagi orang lain. Walaupun berat, saya merasa termotivasi untuk tetap menghayatinya. Selama berada di Paroki St. Martinus, saya berusaha sejauh kemampuanku untuk menghayati nilai-nilai dalam diri Yesus sebagai Gembala. Nilai-nilai tersebut yang sudah dan sedang saya hayati antara lain:
 Meluangkan waktu pribadi dalam 2 x seminggu untuk pergi mengunjungi umat yang tinggal di kampung-kampung / stasi-stasi. Dalam kunjungan itu, saya bisa melakukan banyak hal, selain ibadat bersama mereka, saya juga bisa menggunakan waktu yang ada pada saat torne itu untuk mendengarkan sharing kehidupan mereka, atau bertukar-pikiran dengan mereka.
 Melayani sakramen bagi orang-orang yang sakit (membawa komuni kepada mereka).
 Mendoakan orang sakit (entah dari jauh, maupun dengan cara mendatangi rumah mereka).

6. Sebagai Mempelai
Kristus adalah “Mempelai Gereja”. Sebagai Sang Mempelai, tentu Ia sendiri tahu apa yang harus dilakukan untuk Gereja. Dalam hal ini, Ia tidak bisa tidak melakukan tugas kemempelaian-Nya. Sebagai Mempelai Gereja, Kristus pertama-tama menunjukkan cinta-Nya yang total kepada umat-Nya. Kesediaan Kristus untuk selalu mencintai umat-Nya dengan salah satu cara rela mengorbankan diri demi menebus dosa-dosa manusia, sebetulnya merupakan ungkapan pemberian diri yang total dan sehabis-habisnya kepada Gereja atau umat-Nya. Dalam arti ini, tidak perlu saya ragukan lagi bahwa Kristus memang benar-benar telah menunjukkan kepada saya bahwa Dia sungguh memberikan diri secara total bagi umat-Nya. Kalau saja Kristus bertindak demikian, lantas apakah saya tidak juga meneladani semangat hidup seperti itu. Ia mencintai gereja atau umat-Nya bagaikan seorang suami yang mencintai istrinya dengan penuh ketulusan. Istri siapakah yang tidak merasa gembira dan senang memiliki suami yang selalu memperhatikannya? Demikian pula, umat manakah yang tidak merasa gembira dan bersyukur memiliki Allah yang mau mencintainya sehabis-habisnya bahkan dengan cara yang paling ngeri, yakni mati di kayu salib. Sama seperti Kristus yang dalam segala hal mau memperhatikan umat-Nya, kawanan-Nya, begitu pula saya yang dipanggil secara khusus untuk mengikuti-Nya termotivasi untuk juga mau memberi diri secara total kepada umat yang saya layani. Dalam arti ini, saya dituntut untuk rela berkorban, setia dan mau melayani umat dengan sepenuh hati, tanpa paksaan dan mencari popularitas diri. Kenyataan ini, memang masih dalam taraf belajar, namun yang pasti bahwa saya memiliki semangat seperti itu sekarang ini untuk juga terus menghayati panggilan saya demi pelayanan kepada Gereja dan Kristus sendiri.

2.2. Kesadaran-kesadaran baru yang saya temukan di dalam menghayati nilai-nilai tersebut berdasarakan pengalaman-pengalaman pastoralku:
2.3.1 Saya dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus
Dengan menghayati aspek-aspek yang dimiliki Kristus tersebut, secara tidak langsung membuka mata dan hati serta pikiran saya untuk semakin serupa dengan Kristus. Apa maksudnya, artinya saya dipanggil untuk meneladani Kristus, belajar pada-Nya dan mewartakan-Nya kepada umat atau sesama manusia. Menjadi serupa dengan Kristus bisa menuntut banyak hal dari saya. Namun yang pasti bahwa saya ingin menjadi serupa dengan Dia dalam hal pikiran, perkataan dan perbuatan-Nya.
2.3.2. Menjadi hamba bagi orang lain
Panggilan menjadi murid Kristus pertama-tama menyangkut kesiapsediaan dan kerelaan hati untuk melayani Dia yang hadir dalam diri orang lain, umat yang dipercayakan Tuhan kepada saya. Bagi saya, pengalaman bagaimana harus melayani orang lain (misalnya dalam memimpin doa atau ibadat untuk umat atau kelompok-kelompok tertentu di paroki, melayani komuni bagi orang sakit, mengunjungi umat di kampung-kampung pada waktu torne, dsb) sungguh bukan perkara yang mudah, oleh karena saya mengakui semua bentuk pelayanan ini hanya dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya jikalau saya memang memiliki semangat untuk melayani mereka, menjadi hamba bagi mereka. Tanpa semangat yang satu ini (hamba) tidak mungkin pelayananku itu benar-benar menyentuh di hati mereka dan tidak mungkin juga saya merasa at home kerasan dalam melayani mereka. Prinsip pelayanan semacam ini justru senantiasa menguatkan saya untuk tetap menjadi hamba Kristus, menjadi pelayan Dia, yang hadir pula dalam diri orang-orang yang saya layani.

2.3.3. Menjadi seorang pendoa
Di tengah kesibukan menjalani masa pastoralku; entah dalam pelayanan apa saja, saya menyadari bahwa saya mesti mengisi diri saya dengan kekuatan rohani. Dalam arti ini, kehidupan doa mesti menjadi barometer kehidupan saya. Hanya dengan mengimbangi karya pelayanan saya dengan meluangkan waktu untuk terus berdoa (secara pribadi) sebetulnya di situ saya menyadari bahwa saya pun tidak terjebak dalam aktivisme belaka. Kenyataan ini hendak mengatakan bahwa, hidup doa itu sangatlah perlu. Dari pengalaman selama beberapa bulan di sini, saya mengalami bahwa ketika saya sibuk dalam karya pastoral dan lupa mengisi diri dengan doa, ternyata karya pelayananku itu terasa “hambar” dan sama sekali tidak membekas di hati orang. Kesadaran semacam ini, semakin menguatkan saya untuk senantiasa bertahan dalam semangat seperti ini. Hal ini saya rasakan betapa penting dan bermakna bagi diri saya sendiri dan juga bagi umat yang saya layani. Apakah artinya pelayanan saya kepada umat, jikalau diri saya sendiri tidak pernah bersentuhan dan tidak memiliki hubungan yang intim dengan Sang Kepala Gereja, Yesus Kristus? Apakah artinya, saya berkobar-kobar mewartakan Kristus, jikalau saya sendiri tidak pernah atau jarang berdiam diri dan berkontemplasi tentang Dia dalam hidup harianku?

2.3. Unsur-unsur yang ingin saya kembangkan dan perdalam untuk hidup pribadiku:
1. Hidup Doa dan kontemplasi
2. Semangat Bermisi (menjadi seorang misionaris yang handal)
3. Menjadi seorang pribadi yang rendah hati dan melayani orang lain dengan tulus hati
4. Semangat lepas-bebas, tak lekat hati dan tidak mau menetap (instabilles sumus) atau mencari kemapanan dalam hidup.

Unsur-unsur yang saya rasakan menghambat di dalam penghayatanku akan nilai-nilai tersebut dan ingin saya tinggalkan:
1. Kenginan untuk mencari hidup yang lebih mapan dan nyaman.
2. Keinginan untuk terus bergantung pada hal-hal materi.
3. Keinginan untuk dipertuan-agungkan, mau dijadikan sebagai pembesar, yang mesti dilayani, dihormati dan disegani, mencari popularitas diri sendiri.
4. Keinginan untuk tenggelam dalam aktivisme belaka (bermisi terus, berpastoral terus, tetapi tidak pernah mengisi diri dengan kekuatan rohani; doa dan kontemplasi).

III. Penutup
Demikianlah laporan II ini yang dapat saya sampaikan. Atas kekurangan dan keterbatasan refleksi saya, dari hati yang paling dalam, saya mohon maaf dan kiranya laporan ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi hidup dan karya panggilan saya. Akhirnya, saya ucapkan limpah terima kasih atas perhatian dan kerja sama yang Romo berikan.

Tidak ada komentar: