Kamis, 10 Juni 2010

MEMBANGUN BUDAYA HIDUP BERIMAN DALAM ERA DIGITAL

I. Pengantar
Dalam kehidupan menggereja, setiap orang Kristen dipanggil untuk mewujudkan imannya secara konkret, menghayatinya dalam kesetiaan kreatif akan Allah lewat perjumpaannya dengan orang lain di dalam hidupnya.
Tulisan ini mau menampilkan penghayatan iman (Ibu-ibu) di sebuah lingkungan atau komunitas basis. Tulisan ini berangkat dari sebuah pertanyaan besar yang penulis temukan ketika mendampingi kelompok Ibu-ibu di lingkungan St. Monika. Pertanyaan awal ini sekaligus juga menjadi persoalan penulis yang ingin digali lebih dalam. Pertanyaannya adalah mengapa Ibu-ibu di lingkungan St. Monika begitu aktif dalam mengikuti kegiatan di lingkungan: doa rosario, pendalaman iman, latihan koor, dsb? Mengapa bukan kelompok yang lain (misalnya, Bapak-bapak atau kaum muda). Ada sesuatu yang mengherankan saya bahwa bukankah yang hidup di lingkungan itu tidak hanya Ibu-ibu, tetapi juga Bapak-bapak, kaum muda? Oleh karena itu, mengapa hanya Ibu-ibu yang aktif? Pertanyaan selanjutnya, apa alasan dasar Ibu-ibu tersebut aktif di lingkungan? Apakah karena wanita itu dipandang sebagai orang yang suka berdoa, berkumpul dan senang melakukan kegiatan rohani? Ataukah ada sesuatu yang lain?

II. Pendasaran Teoretis
2.1. Gereja sebagai Communio dan Missio
Gereja hadir pada dasarnya bukan untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini dalam bentuk yang paling sederhana tampak dalam kehidupan kelompok-kelompok umat basis. Dalam persekutuan yang mereka adakan, selain karena keinginan untuk berkumpul atau mengadakan paguyuban bersama, tetapi juga karena ingin saling melengkapi dan termasuk dalam penghayatan imannya.
Dewasa ini, tak dapat disangkal lagi bahwa di mana-mana muncul fenomena dalam hidup menggereja, yakni, kelompok-kelompok umat hadir baik sebagai suatu keluarga maupun sebagai persaudaraan berkumpul secara rutin untuk merayakan dan mengamalkan iman kristianinya. Raymundus Sudhiarsa , melihat fenomena ini sebagai suatu hal yang tidak bisa disangkal lagi. Dalam poin ini, ia mengutip pendapat Avery Dulles yang melukiskan peran besar yang diperlihatkan oleh komunitas-komunitas tersebut bagi hidup Gereja seluruhnya. Ia mengutip pendapat Avery Dulles yang berkata:

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja di beberapa benua, termasuk Amerika Latin, telah dihidupkan kembali oleh berkembangnya ribuan kelompok umat basis, yang memajukan secara sangat baik hakikat hidup sebagai seorang murid dalam arti yang sebenarnya.

Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya, Gereja ada bukan untuk dirinya sendiri. Menurut pemahaman Raymundus bahwa komunitas-komunitas basis yang telah ada, pada dasarnya ada bukan untuk diri mereka sendiri, bukan pula hanya untuk Gereja, melainkan untuk masyarakat sekitarnya. Dari poin ini, ia melihat bahwa apa yang disebut dengan dimensi hidup Gereja, yakni communio dan missio, merupakan dua hal yang saling melengkapi. Di satu pihak, setiap anggota dalam relasi personal satu sama lain memiliki komitmen untuk menghayati seperangkat nilai ideal yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Pertanyaan kita, apa sumbangsih dari kehadiran komunitas-komunitas ini dalam kehidupan menggereja? Dalam kacamata Raymundus, komunitas-komunitas tersebut sering kali menjadi motivator pembaruan dan revitalisasi hidup Gereja. Di lain pihak, dalam relasinya dengan masyarakat sekitar, komunitas-komunitas tersebut turut memberi andil bagi pembangunan dunia. Mereka memiliki tanggungjawab untuk membangun dunia baru.
Komunitas-komunitas tersebut memiliki spritualitasnya tersendiri. Menurut Raymundus, spiritualitas yang mereka hayati adalah ”pengisian” dan ”pengosongan”, ibadat/liturgi dan pastoral praktis. Lebih lanjut, ia menandaskan bahwa melalui perayaan iman dan belajar bersama dalam komunitasnya -Gereja sebagai persekutuan mistik (koinonia)- murid-murid Kristus diberdayakan dengan sarana-sarana yang memadai. Maksudnya adalah agar setiap anggota dapat menghayati hidup Kristiani sebagai ”umat Allah yang baru”.
Menyimak kenyataan yang ada sekarang, panggilan bagi kaum beriman untuk membentuk sebuah komunitas yang benar-benar kristiani tidak selalu mudah dan juga tidak selalu berjalan lancar. Dalam hal ini, selalu saja ada dinamika jatuh-bangunnya sebagaimana yang ditandaskan Raymundus. Ia melihat bahwa sebuah komunitas baru dikatakan benar-benar kristiani atau disebut komunitas kristiani bila komunitas tersebut memiliki kualitas religius dan moral yang kokoh. Pertanyaan besar yang diajukannya adalah bagaimana keadaan komunitas-komunitas Kristen dewasa ini? Dalam arti ini, dapat ditambahkan bahwa apakah mereka juga sudah menunjukkan kualitas tersebut?
Gereja ada bukan untuk dirinya sendiri, oleh karena pada dasarnya Gereja itu misioner, untuk yang lain (Vatikan II, Rahner, Yohanes Paulus II). Gereja dipanggil untuk menjadi berkat bagi sesama.

2.2. Gereja: Aktualisasi Tindakan Komunikatif
Cara hidup jemaat perdana merupakan contoh yang paling ideal bagi kehidupan semua umat kristiani di segala zaman, termasuk di zaman ini yang begitu menekankan dimensi individual, personal. Menurut Budi Susanto, pengalaman kebersamaan umat perdana pada dasarnya berpangkal pada Yesus yang wafat dan dibangkitkan. Hubungan mereka dengan Yesus diartikan dalam terang Roh Kudus. Dalam pemahamannya, kalau orang sudah mengalami Roh, maka ia tidak lagi mengalami persekutuan Sang Tersalib dengan Allah dan mengalami bahwa kebersamaan para murid dan pengikut Yesus diterima dalam persekutuan tersebut. Dalam hal ini, dasar teologis Gereja menjadi tampak, yakni persekutuan orang beriman adalah Roh Kudus. Roh merupakan sekaligus kesatuan hubungan antara Bapa dan Putera serta kesatuan hubungan antar jemaat yang diterima dalam persekutuan Allah. Oleh karena itu, menurut hematnya, Gereja adalah peristiwa Roh. Dalam konteks makna dan tindakannya terjadi persekutuan Allah dengan manusia.
Menurutnya, sebagai persekutuan manusia Gereja juga mengenal proses interaksi yang terjadi antara anggota-anggotanya. Namun persekutuan di sini, ia maksudkan bukan dilihat dari segi kuantitasanya, melainkan soal kualitasnya yang tampak dalam kesadaran akan arti menjadi orang Kristen bagi setiap orang dan bagi seluruh umat beriman. Dari sebab itu, sangatlah jelas bahwa persekutuan Gereja tidak hanya ditentukan oleh jumlah anggota. Dalam pemikiran ini, menjadi jelas bagi kita, sebagaimana yang diparafrasekan Budi Susanto, bahwa kesadaran menggereja itulah yang mempersatukan maksud dan tindakan para anggotanya dan dari situlah struktur Gereja dikaji.

III. Mengenal Konteks Kehidupan Lingkungan St. Monika
3.1. Profil Lingkungan St. Monika
Pertama-tama sebelum kita melihat lebih jauh konteks kehidupan sehari-hari, baiklah kita melihat sepintas profil lingkungan St. Monika. Lingkungan ini sebetulnya merupakan pemekaran dari lingkungan St. Agustinus. Lingkungan ini secara resmi berdiri pada bulan November 2002. Lingkungan ini masuk dalam wilayah VII dari Paroki Kathedral, Ijen, Malang. Secara geografis, lingkungan ini meliputi sebagian Kelurahan Tlogomas dan Kelurahan Dinoyo. Lingkungan ini belum membentuk blok, karena merupakan lingkungan baru yang masih memerlukan pendataan umat. Di lingkungan ini, tidak terdapat lembaga gereja, yang ada hanyalah lembaga pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
Dari hasil pendataan paroki, diketahui bahwa jumlah umat yang berdomisili tetap terdiri dari: 48 KK, di antaranya 4 KK kawin campur, 150 orang terdiri dari 77 laki-laki dan 73 wanita. Selanjutnya, jumlah umat yang tinggal sementara atau pendatang (kost) terdiri dari 53 orang mahasiswa yang berasal dari mutasi para mahasiswa yang silih berganti dengan cepat, sehingga akurasi pendataan selalu berubah. Para mahasiswa ini kuliah di Unibraw, Universitas Malang, Universitas Tribuana Tunggadewi dan STIA. Secara global, lingkungan ini dihuni oleh orang-orang yang memiliki latar-belakang pekerjaan, pendidikan yang berbeda-beda. Pekerjaan atau profesi mereka antara lain: pensiunan, guru, dosen, dokter, pengusaha, mahasiswa, pelajar dan karyawan swasta. Sebagain besar latar-belakang pendidikan mereka adalah lulusan: SMP (5 orang), SMA (97 orang), D 3 ( 12 orang), S 1 (33 orang), S 2 (1 orang), S 3 (2 orang). Ditinjau dari segi ekonomi, ada 96 % rata-rata ekonominya adalah menengah ke atas, dan 4 % tergolong keluarga miskin.
Lingkungan ini aktif dalam beberapa kegiatan (kegiatan yang berwawasan lingkungan, teritorial), antara lain, doa: pendalaman iman kelompok, doa syukur, doa arwah, doa rosario, doa koronka. Selain itu ada kegiatan mudika (sebagai petugas liturgi gereja), kegiatan remaja sebagai misdinar, bina iman usia dini. Selain itu, ada pula kegiatan dalam wawasan kategorial yakni: Legio Maria, Persekutuan Doa Karismatik Santa Theresia Avila, Marriage Enouncter, Klub Simeon, Kel. Doa Meditatif Taize.

3.2. Situasi Kehidupan Sehari-hari Ibu-ibu Lingkungan St. Monika
3.2.1. Realitas Konkret Ibu-ibu di Lingkungan: Pengalaman Keseharian Mereka
Pada umumnya Ibu-ibu yang ada di lingkungan St. Monika memiliki tugas dan pekerjaannya, terutama sebagai Ibu rumah tangga. Meskipun demikian, di samping bekerja sebagai Ibu rumah tangga, Ibu-ibu yang diwawancari memiliki sejumlah tugas dan pekerjaan di luar pekerjaannya di dapur, misalnya sebagai guru, sebagai pensiunan, sebagai ahli fisioterapi, sebagai konsultan, sebagai anggota seksi liturgi di keuskupan Malang, sebagai dosen, dan beberapa pekerjaan lainnya. Tentu kalau melihat pekerjaan mereka sehari-hari dapat dibayangkan betapa sibuknya mereka menunaikan tugas atau pengabdian mereka di tempat tugasnya. Dalam arti ini, hal yang pasti adalah bahwa mereka sibuk dan dengan demikian konsentrasi mereka pun terbagi-bagi. Di satu sisi mereka harus meluangkan waktu menjadi Ibu rumah tangga, yang memperhatikan kebutuhan anggota keluarganya juga di sisi lain, mereka terfokus pada pekerjaan mereka di kantor atau di tempat di mana mereka bekerja. Dari sebab itu, dapat dibayangkan pula cukup sulit untuk membagi waktu pribadi dengan waktu bersama orang lain, misalnya, dalam mengikuti kegiatan di lingkungan St. Monika. Meskipun demikian, ternyata fakta di lapangan, diketahui bahwa mereka sendiri memiliki pengalaman yang sebaliknya. Dalam hal ini mereka justru aktif dalam mengikuti kegiatan yang diadakan oleh lingkungan mereka. Dari beberapa responden yang diwawancarai, saya menemukan kesan bahwa Ibu-ibu mau meluangkan waktu pribadi mereka (waktu bersama anggota keluarga) demi menghidupkan lingkungan St. Monika (terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di lingkungan mereka). Kenyataan ini sebetulnya dapat dilihat sebagai sebuah perkembangan, atau kemajuan dalam kehidupan menggereja. Dan dari sendirinya, hidup beriman umat pun tak dapat diragukan lagi. Namun pertanyaan kita selanjutnya adalah apakah Ibu-ibu ini sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan tersebut (aktif di lingkungan) sebagai upaya untuk mengembangkan iman mereka? Ataukah memupuk solidaritas mereka sebagai warga lingkungan St. Monika? Ataukah bahkan dalam konteks yang lebih luas mereka mau mewujudkan cita-cita Gereja yakni membentuk persekutuan hidup menggereja dalam tingkat komunitas basis? Berkenaan dengan beberapa pertanyaan ini, baiklah kita bisa menyimaknya dalam paparan selanjutnya. Di dalamnya kita akan melihat sejauh mana keaktifan mereka di lingkungan St. Monika menunjukkan harapan-harapan di atas.

3.2.2. Mengapa Ibu-ibu Aktif di Lingkungan?
Pada umumnya ibu-ibu, jika dibandingkan dengan kelompok Bapak-bapak atau anak-anak muda terutama yang asli, kurang aktif dalam lingkungan ini. Dari wawancara langsung dengan beberapa Ibu-ibu yang ada, ternyata ada berbagai macam jawaban yang menjadi alasan fundamen, mengapa mereka begitu aktif dalam mengikuti kegiatan lingkungan. Alasan-alasan dasarnya dapat dilihat sebagai berikut: pertama, supaya iman dan pengetahuannya akan kitab suci bisa bertambah dan diperdalam. Kedua, karena ia merasa bahwa tidak bisa hidup tanpa Tuhan. Ketiga, agar imannya akan Yesus semkain dipertajam (‘berasah’) terus. Keempat, Ibu-ibu aktif karena dengan cara demikian pengetahuan mereka diperdalam dan iman mereka kepada Kristus diperkuat atau diperteguh. Kelima, aktif oleh karena pada dasarnya, ada yang mau menghidupkan imannya. Selain itu, ingin mencari kepuasan rohani, ingin mencari kawan. Dengan cara demikian, sebetulnya ada banyak hal mereka peroleh di sana, misalnya, hidup beriman bersama orang lain semakin diperkokoh dan diperteguh. Keenam, ada yang aktif karena ia merasakan bahwa dirinya sendiri tidak bisa hidup tanpa kehadiran Tuhan. Ketujuh, mereka mau ‘guyub’ (berkumpul bersama), selain itu ada kesadaran akan kebutuhan hidup rohani.
Menyimak alasan-alasan di atas, dapat dikatakan bahwa ternyata ada berbagai alasan yang mendorong mereka begitu aktif di lingkungan St. Monika. Keaktifan mereka ini dapat dilihat sebagai peluang yang paling berharga untuk mengembangkan iman mereka dalam konteks gereja lokal, terutama di lingkungan mereka sendiri. Kenyataan ini pun di satu sisi, bisa menjadi daya pendorong untuk meningkatakan kehidupan beriman mereka sendiri secara pribadi, tetapi juga di sisi lain, menurut hemat penulis, bisa menjadi daya tarik bagi orang lain, terutama Bapak-bapak yang kurang aktif di dalam lingkungan.

3.2.3. Makna Menjadi Umat yang Aktif di Lingkungan
Menjadi anggota lingkungan St. Monika merupakan sebuah panggilan sekaligus kebutuhan setiap orang yang ingin mengembangkan imannya. Pengalaman keaktifan Ibu-ibu St. Monika di lingkungan menunjukkan kepada kita bahwa keberimanan itu pada dasarnya tidak mungkin hidup atau bertumbuh secara individual atau personal, melainkan selalu dibentuk dan didewasakan secara komunal. Dalam arti ini, Ibu-ibu lingkungan St. Monika menyadari bahwa dengan hadir mengikuti kegiatan lingkungan, sebetulnya di situ mereka menemukan begitu banyak nilai, makna menjadi seorang Katolik. Dari hasil wawancara saya menemukan dan menyimpulkan beberapa hal tentang makna yang mereka peroleh. Ada beberapa makna yang dimaksud antara lain: pertama, bisa menghidupkan paroki. Maksudnya bahwa dengan melibatkan diri secara aktif di lingkungan, sebetulnya secara tidak langsung menghidupkan paroki, oleh karena lingkungan itu sendiri merupakan bagian dari paroki. Kedua, dengan terlibat aktif di lingkungan dapat menjadi momen untuk memuji Tuhan, misalnya: lewat doa rosario bersama, sharing bersama, pendalaman iman, kunjungan orang sakit atau pun kunjungan terhadap para lansia, dll. Ketiga, selain beberapa hal di atas, makna lain yang bisa diperoleh di sini misalnya, suasana kekeluargaan semakin dipererat dan diperdalam. Keempat, bisa mengalami kepuasan rohani. Kelima, supaya bisa menambah persatuan (persekutuan) dengan umat di lingkungan, supaya menambah wawasan dan pengetahuan tentang Kitab Suci, lagu-lagu rohani. Dalam hal mengunjungi orang sakit, makna yang diperoleh, misalnya: dapat menghibur orang sakit agar tetap tabah.

IV. Analisis Kultural (Konteks)
4.1. Hidup dalam Era Modern: Hedonis dan Individualistik
Komunitas kristiani bagaimana pun juga hidup di dalam sebuah konteks tertentu dan dalam banyak hal turut dipengaruhi oleh konteks tersebut. Demikian juga kehidupan umat di lingkungan St. Monika saat ini, secara khusus kelompok Ibu-ibu. Hal yang pasti bahwa sekarang mereka hidup di tengah era modern, zaman ”digital.”
Hidup di zaman modern berarti hidup dalam era kemajuan, di mana teknologi setiap saat terus berkembang. Selain itu, hidup di zaman modern berarti pula hidup dalam mentalitas yang dipengaruhi oleh zaman tersebut pula. Dewasa ini, kita tidak dapat menutup mata lagi bahwa manusia begitu mudah dikuasai oleh mentalitas zaman ini, yakni mengejar kenikmatan, menjadi manusia yang hedonis, dan menjadi manusia yang sangat individualistik. Tanpa disadari mentalitas yang demikian pun turut memengaruhi orang dalam bertindak, berpikir dan merasakan segala sesuatu. Hidup manusia, dari sendirinya pun dibentuk dan ditentukan oleh mentalitas zaman ini. Pertanyaan kita, apakah mentalitas zaman ini memengaruhi pula umat Kristiani, secara khusus lingkungan St. Monika secara keseluruhan dan ibu-ibu khususnya? Bagaimana mereka menyikapi atau menghadapinya? Apakah mereka pun hanyut di dalamnya atau justru sebaliknya semakin mengokohkan identitas atau jati diri mereka bersama segenab warga lingkungannya?
Sebagai bagian dari komunitas dunia yang terus berkembang ini, ibu-ibu St. Monika, tentunya tidak luput pula dari perkembangan itu, sekurang-kurangnya menikmati hasil perkembangan zaman ini. Arus perkembangan zaman ini yang terus meningkat, di satu sisi memang dapat membawa kemajuan dan kemudahan bagi hidup manusia, namun di sisi lain bisa melumpuhkan manusia untuk semakin mematangkan hidup berimannya. Keaktifan yang ditunjukkan oleh para ibu lingkungan St. Monika di atas, sebetulnya dalam arti yang paling dalam, tanpa mereka sadari, telah mematahkan atau melumpuhkan mentalitas zaman ini yang lebih menekankan mencari kenikmatan dan kepuasan hidup dalam hal-hal duniawi atau materil. Mereka justru sebaliknya, mencari kepuasan dan kenikmatan hidup dengan memperdalam iman dan panggilan hidup mereka sebagai umat Kristen yang aktif dalam hidup menggereja di lingkungan mereka sendiri.

4.2. Wanita (Ibu-ibu) dan Budaya Patriarkat
Dalam beberapa dasawarsa, dominasi kaum pria atas kaum wanita begitu merebak di mana-mana. Salah satu anggapan dasarnya adalah bahwa wanita itu hanyalah kelas dua, peran dan fungsinya hanyalah melahirkan anak-anak, merawat dan tinggal di rumah. Sementara laki-laki bertindak sebagai kepala rumah, pencari nafkah dan punya akses dalam segala hal di dalam masyarakat. Peran kaum wanita tampaknya belum begitu diperhatikan . Namun dengan bangkitnya gerakan feminis, adanya upaya penyetaraan gender, peran dan kedudukan wanita dalam masyarakat mulai diakui. Bahkan dalam banyak hal, wanita kini mulai menunjukkan statusnya, yang tidak kalah pula dengan status pria. Misalnya seorang wanita bisa menjadi presiden, perdana menteri, menjadi pendeta, seperti laki-laki, dll. Atau sekarang tidak seperti dahulu lagi, wanita punya akses untuk menempuh pendidikan tinggi.
Menyimak apa yang ditunjukkan Ibu-ibu di lingkungan St. Monika, yang aktif dalam mengikuti berbagai macam kegiatan di lingkungannya, dapat dikatakan bahwa kesadaran untuk mengekspresikan identitas dirinya tidak bisa ditutup lagi. Sebaliknya kaum pria (terutama Bapak-bapak) kurang menunjukkan taringnya dalam lingkungan tersebut. Keaktifan Ibu-ibu ini tidak hanya sekedar dilihat sebagai momen untuk mengekspresikan diri mereka, cita-cita dan kerinduannya sebagai umat Kristiani, tetapi juga secara tidak langsung bisa dilihat sebagai suatu bentuk terselubung ’kritikan’ terhadap dominasi budaya patriarkat di dalam hidup sehari-hari. Dalam hal ini, secara khusus bisa menjadi bahan evaluasi bagi anggota lingkungan lain (Bapak-bapak atau kaum muda setempat/asli)) yang tidak aktif. Namun yang paling penting dari semuanya ini adalah mau membangkitkan kesadaran warga lingkungan itu agar terlibat aktif dalam menghidupi lingkungan mereka.

4.3. Perlu Pendampingan Terus-menerus dari Para Imam
Berdasarkan jabatan ministerialnya, seorang imam adalah pelayan umat Allah. Dalam hal ini, ia punya tanggungjawab untuk memperhatikan kawanannya (cura animarum). Seorang imam dipanggil untuk melindungi dan memelihara umat Allah dan mengupayakan sedemikian rupa sehingga ”kawanan Kristus” tetap berkembang. Tugas penggembalaan ini mesti menjadi pusat perhatian para imam dalam reksa pelayanannya terhadap umatnya. Menurut Romo Mangunwijaya, perhatian Imam (Gembala) kepada umat mesti dilakukan dengan cara ”turba” (turun ke bawah), yakni mengunjungi secara langsung, mendengarkan langsung warga umat, terutama dari yang paling miskin, paling membutuhkan penghargaan, misalnya dengan mendengarkan berita-berita serius dari umat, berusaha mengerti dan menghayati perasaan dan jalan pikiran para warga. Yang diharapkan ialah agar imam mampu menyediakan diri bagi umatnya
Dari hasil wawancara dengan Ibu-ibu di lingkungan St. Monika, kita dapat melihat bahwa imam-imam sekarang tampaknya kurang memiliki perhatian kepada umat. Mereka lebih sibuk dengan urusan atau kepentingannya sendiri dan jarang mengadakan kunjungan atau visitasi ke lingkungan. Ada beberapa Ibu yang membuat perbandingan antara imam dulu dan imam sekarang. Kalau imam dulu, meski sarana transportasi masih terbatas, mereka masih bisa mengunjungi umatnya, malahan ada yang pergi dengan berjalan kaki. Akan tetapi imam-imam sekarang, walaupun punya mobil dan sepeda motor, mereka kurang mengadakan kunjungan kepada umat. Kunjungan ini perlu, supaya umat bisa kenal imam lebih dekat dan mereka pun dapat menceritakan suka-duka hidup mereka, pengalaman keberimanan mereka, dan menyapa mereka dari dekat.

V. Refleksi Teologis
5.1. Beriman sebagai Tanggungjawab Bersama
Iman itu tidak berkembang kalau tidak dipupuk secara bersama-sama. Individualisme dalam keberimanan bukan merupakan harapan dari suatu komunitas kristiani. Dari sini timbul pertanyaan mendasar, apakah umat kristiani sudah dan setia menghayati keberimanannya secara komunal atau justru sebaliknya mau bertumbuh dan berkembang secara pribadi, secara individu?
Gereja pada dasarnya bersifat communio, artinya Gereja itu hidup dan berkembang dalam semangat kebersamaan. Gereja hadir pada dasarnya bukan untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini dalam bentuk yang paling sederhana tampak dalam kehidupan kelompok-kelompok umat basis. Dalam persekutuan yang mereka adakan, selain karena keinginan untuk berkumpul atau mengadakan paguyuban bersama, tetapi juga karena ingin saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, termasuk dalam penghayatan imannya. Harapan seperti ini tampak dalam dinamika kehidupan beriman di lingkungan St. Monika. Hal ini dapat ditunjukkan lewat keikutsertaan mereka dalam mengikuti kegiatan-kegiatan di lingkungan mereka, misalnya melaui doa bersama, pendalaman iman bersama, berkumpul bersama dalam latihan koor, dalam kunjungan kepada orang-orang sakit, dsb. Meskipun demikian, tampaknya masih ada yang kurang di sini yakni bahwa yang lebih banyak menunjukkan keaktifan adalah para Ibu sementara kelompok lain kurang menampakkan hal ini. Padahal salah satu aspek yang ditekankan dalam Gereja adalah communio, yang adalah inti pokok Gereja. Dalam arti ini, tak ada communio tanpa partisipasi dan transformasi dari dalam tubuh Gereja itu sendiri.

5.2. Paguyuban sebagai Wadah Membangun Iman Jemaat
Keaktifan yang ditunjukkan oleh para ibu lingkungan St. Monika merupakan suatu bentuk kesadaran eklesial. Kesadaran eklesial ini tampak oleh karena semua sikap dan tindakan individual mereka diatasi dalam sebuah relasi intersubjektif yang membuat kebersamaan menjadi mungkin. Kesadaran inilah dari sendirinya merupakan modal yang kuat dalam membangun sebuah paguyuban iman secara komunal.
Menyimak kehidupan para murid Yesus, kita bisa melihat dan menemukan bahwa mereka mengawali hidup sebagai Gereja, dalam hal ini mereka sendiri menyadari bahwa mereka diutus menjadi saksi Yesus Kristus yang mewartakan kedatangan Kerajaan Allah sampai ke ujung bumi. Mereka hidup bersama sebagai persekutuan orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus. Bersekutu sebagai umat, pada dasarnya merupakan ungkapan iman mereka yang paling dalam. Dalam Kisah Para Rasul (bdk. Kis 2:41-47), di sana diungkapkan bahwa mereka disukai semua orang karena kebersamaan mereka. Dalam kebersamaan itu, mereka justru menemukan nilai koinonia mereka dalam diakonia; namun juga dengan gaya persatuan mereka.
Dalam membangun dan menghidupi sebuah persekutuan, sebetulnya umat tidak hanya sekedar ingin mengadakan suatu paguyuban oleh karena sekedar ingin mencari teman, atau sahabat, tetapi orientasi dasarnya, sebetulnya kalau digali lebih dalam, tampak dalam kerinduan bersama untuk bersatu dengan Yesus sendiri yang adalah Kepala mereka. Mengapa demikian, sebab dalam aneka usaha bersekutu itulah umat menghadirkan penebusan Yesus Kristus, yaitu bersatunya Allah dengan manusia dan manusia satu sama lain. Persekutuan para murid atau pun para rasul (jemaat perdana) di atas dapat dikatakan menjadi model atau par-excellennya persekutuan jemaat Kristiani pada umumnya. Dengan berkumpul bersama, berdoa dan saling berbagi, di situ tampak kerinduan umat untuk mewartakan kabar baik, membagikan Kasih Kristus kepada orang lain, menjadi tanda saling melayani, dan akhirnya menjadi tanda kehadiran Kristus bagi satu sama lain.
Membangun iman atau menghidupkan iman pada dasarnya tidak bisa tanpa kehadiran orang lain, meskipun secara pribadi iman itu bisa bertumbuh dan berkembang. Dalam arti ini, iman pada dasarnya menghendaki kebersamaan dan menuntut penghayatan dalam persekutuan, bukan individualis, juga tidak hanya mencari keselamatan diri sendiri. Dalam arti ini, seruan para Wali Gereja Indonesia menyerukan agar Gereja kita mesti bersifat partisipatif. Segenap anggota Gereja didesak untuk memelihara dan mengembangkan cita-rasa Katolik (sensus catholicus), merasa at home sebagai anggota Gereja.

VI. Sumbangan Penelitian bagi Lingkungan St. Monika: Usulan Sebuah Teologi Baru
6.1. Berteologi dari Bawah: Teologi Partisipatif
Menyimak dinamika hidup beriman para Ibu di lingkungan St. Monika, penulis menyadari bahwa tanpa partisipasi aktif kehidupan beriman di lingkungan ini tidak akan bertumbuh subur. Meskipun kebanyakan Ibu-ibu kurang menyadari hal ini, ternyata keaktifan dan keterlibatan mereka merupakan ’bekal’ yang berharga, baik bagi perkembangan iman mereka sendiri, maupun menjadi sebuah kesaksian bagi umat lain bagaimana mestinya menjadi umat Kristen yang sejati. Dari sebab itu, partisipasi aktif di lingkungan ini mesti ditingkatkan. Dengan partisipasi dimaksudkan di sini bahwa tak ada satu pun yang tidak melibatkan diri dalam membangun sebuah persekutuan iman, oleh karena iman itu selain ditanggapi secara pribadi tetapi perlu diungkapkan secara bersama. Keterlibatan atau partisipasi nyata dari semua pihak ini sebetulnya memiliki model sempurna dalam diri para Rasul yang sehati-sejiwa dalam membangun iman mereka (Bdk. Kis 2:41-47). Dengan ini dasar teologisnya menjadi jelas. Melalui keterlibatan bersama dalam mengikuti semua kegiatan lingkungan, di situ iman seseorang dipupuk dan dikembangkan. Dengan demikian, semua orang pada akhirnya tanpa kecuali mengambil bagian yang sama dalam perutusan Gereja. Jadi dalam poin ini, penulis melihat bahwa umat secara keseluruhan perlu menyadari peranan mereka sebagai anggota Gereja, di mana seluruh umat dipanggil untuk berpartisipasi dalam pengutusan Gereja untuk membangun tubuh Gereja, menjadi saksi Kristus dalam masyarakat.

6.2. Membangun “Budaya Tandingan”: Komunitas Kristiani Perlu Menjadi Tanda Kehadiran Kristus di Tengah Dunia
Kalau kita menyimak konteks hidup beriman zaman ini, tak dapat disangkal lagi bahwa penghayatan iman umat kristiani sekarang berangsur-angsur menurun, jikalau dibandingakan dengan pola hidup beriman umat yang belum tersentuh oleh kemajuan teknologi atau perkembangan zaman. Menurut Theo C. Vergeer, dalam banyak situasi, komunitas Kristen terancam eksistensinya karena gejala individualisme dan depersonalisme yang merajalela. Baginya, pengaruh “dunia modern” antara lain lewat high technology (yang membawa pergeseran nilai-nilai), sistem pendidikan (terarah pada prestasi pribadi), pasar bebas (yang mengalahkan yang lemah) dan digitalisasi (segala-galanya diatur dari belakang komputer, tanpa melihat wajah orang) telah masuk ke dalam kehidupan banyak orang. Kenyataan ini, tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi umat Kristiani, yang juga adalah komunitas zaman ini. Tantangannya yang mungkin cukup berat dihadapi adalah apakah jemaat Kristen sekarang mampu menghadirkan diri, menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia saat ini. Tanda-tanda itu adalah hidup dalam persekutuan seperti para rasul atau jemaat perdana, berkumpul bersama, berdoa bersama dan saling mengasihi satu sama lain, (bdk. Kis 2: 41-47).
Penghayatan hidup seperti di atas dalam arti tertentu mesti menjiwai umat Kristen sekarang. Dan hanya dengan cara penghayatan demikian, umat Kristen telah memulai apa yang disebut dengan membangun budaya tandingan yakni mengokohkan iman akan Kristus di tengah kemajuan zaman yang lebih menekankan dimensi hedonis dan individualistik, dengan berkumpul dan berdoa bersama, dsb. Dalam arti ini, keaktifan para ibu lingkungan St. Monika dapat menjadi teladan bagi umat di dalam lingkungan St. Monika atau umat yang lain. Keaktifan mereka kiranya perlu dipupuk dan ditingkatkan sehingga akhirnya menjadi sebuah way of life, bahkan menjadi budaya baru dalam mengokohkan iman Kristen di tengah-tengah arus perubahan dunia yang selalu menawarkan nilai-nilai baru, yang kadang-kadang berseberangan dengan nilai-nilai Kristiani.

VII. Penutup
Setiap anggota Gereja dipanggil untuk menjadi saksi kebaikan dan Cinta Kasih Allah di tengah dunia. Inilah letak tugas panggilan komunitas beriman, yakni pertama, dipanggil untuk membangun persatuan dalam cinta kasih. Umat Kristen mesti mengalami diri sebagai komunitas kasih, bergembira dalam kebersamaan, merasa bersatu dan bersekutu dalam iman yang sama. Bersama dengan Allah, iman itu akan semakin dikokohkan, penuh harapan, gembira karena mengalami dicintai oleh satu sama lain. Kedua, umat Kristen diutus untuk mewartakan dan menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidup bersama. Hanya dengan demikian, aspek misioner dari Gereja semakin tampak dan melekat dalam diri masing-masing umat Kristen. Menjadi Katolik berarti menjadi saksi Kristus yang aktif, berani dan penuh iman di tengah-tengah dunia.

DAFTAR PUSTAKA

B. Bevans, Stephen. Model-model Teologi Kontekstual, Maumere: Ledalero, 2002.
Inocencio Piadade, Joao. Proses Berteologi dalam Interaksi, (m Interaksi, (ed.) dalam Teologi & Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Kongregasi Klerus, Imam, Gembala dan Pemimpin Paroki, terj. Piet Go, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2008.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Pedoman Gereja Katolik, Bogor: SMK Grafika Mardi Yuana Bogor, 1995.
M. Clifford, Anne. Memperkenalkan Teologi Feminis, Maumere: Ledalero, 2002.
Mardiatmadja, B. S. Beriman dengan Tanggap, Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Mangunwijaya, Y.B. Menghidupkan Komunitas Basis Kristiani Berdasarkan Pancapramana, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Paroki St. Perawan Maria dari Gunung Karmel, Profil Lingkungan St. Monika, Membangun Paroki yang Berwajah Lingkungan, T.t.: t.p., 2009.
Sudhiarsa, Raymundus. Evangelisasi Berlanjut Meneruskan Wasiat Sang Guru, Yogyakarta: Kanisius 2009.
Seran, Yanuaris. Pengembangan Komunitas Basis, Cara Baru Menjadi Gereja dalam Rangka Evangelisasi, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007.
Vergeer, Theo C. Mencari Model Misi: Penabur Menjdi Benih, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Tidak ada komentar: