Kamis, 10 Juni 2010

KETUHANAN DALAM FILSAFAT BARAT DAN TIMUR

1. Pengantar
Pada dasarnya manusia berkeyakinan bahwa di belakang segala sesuatu yang ada di dunia ada memiliki penyebabnya. Ada yang menjadi penyebab adanya. Keyakinan ini misalnya tampak dalam pemikiran para filsuf Yunani. Begitu juga Hinduisme, Buddhisme, Confucianisme pun memiliki keyakinan serupa. Dan menarik bahwa masing-masing budaya atau tradisi keagamaan tersebut mencoba menghayatinya dalam konteks hidup mereka sehari-hari, apapun nama “Realitas” yang ada di balik segala sesuatu, bukan merupakan persoalan bagi mereka. Yang penting, mereka percaya bahwa ada ‘kekuatan’ luar biasa yang menaungi hidup mereka. Dari sebab itu, tulisan berikut ini berupaya menggali atau mengadakan sebuah studi komparatif untuk menemukan bagaimana pemikiran Timur dan Barat melihat dan menghayati ketuhanan dalam tradisi atau hidup mereka. Mengapa disebut ketuhanan dan bukan yang lain, karena kata ini menurut hemat penulis, sebagaimana juga yang dikatakan Magnis Suseno, lebih merangkum kenyataan bahwa semua umat manusia menunjukkan banyak bentuk penghayatan terhadap yang adi-duniawi.
Tulisan ini akan diawali dengan pemetaan konsep ketuhanan dalam Filsafat Timur (Hinduisme, Buddhisme dan Confucianisme), kemudian melangkah ke dalam kajian ketuhanan dalam Filsafat Barat (yang lebih banyak diambil dari Filsafat Yunani dan Filsafat Kristen). Selanjutnya penulis akan membuat perbandingan atas paham keduanya tentang ketuhanan. Tulisan ini kemudian diakhiri dengan sebuah kesimpulan sebagai penutupnya.

II. Ketuhanan dalam Pemikiran Timur
2.1. Ketuhanan dalam Pemikiran Hinduisme
Dalam struktur pengalaman primitif terhadap realitas mutlak atau yang sering disebut “Yang Kudus” terdapat berbagai unsur yang menunjukkan arti dari Yang Kudus. Ada beberapa sebutan atau terma yang menunjukkan kualitas dari realitas mutlak tersebut, yakni, tak bisa disentuh, menuntut kewaspadaan dan kehati-hatian berlebihan, lebih dari yang diperlukan sebagaimana dalam pengalaman akan yang profan, keterpisahan dari yang biasa atau profan, tuntutan akan rasa takut dan hormat, hening dan menggetarkan jiwa, penggunaan kata-kata suci, semua ini dalam perspektif dari Yang Kudus, Luar Biasa, Adikodrati.



a. Brahman sebagai Sumber Dunia
Bagi orang Hindu, Yang Mutlak adalah Yang Kudus atau Ilahi, yang sungguh-sungguh nyata, Terang, Imortal, Abadi, yang tetap tinggal di dunia dan pada manusia. Dalam teks-teks kuno, Brahman diartikan sebagai ‘Yang Kudus’; dan oleh karena itu menurut Mariasusai, apa saja yang suci, entah sebuah formula atau sebuah nyanyian atau tindakan pengurbanan, disebut Brahman. Oleh karena yang kudus, sebagaimana tampak dalam upacara pengurbanan, dianggap menjadi ikatan yang menghubungkan manusia yang sementara ini dengan yang abadi, maka Brahman dipakai untuk menunjukkan kualitas yang abadi, mengapa? Karena dia mengatasi ruang dan waktu, namun menampakkan diri dalam dunia yang fenomenal (profan). Akibatnya menurut Mariasusai, istilah Brahman juga diterapkan untuk keadaan jiwa yang terbebas (moksha); sumber darimana semua keberadaan fenomenal (profan) memperoleh adanya; untuk hubungan antara dunia tempat kelahiran-kelahiran kembali, yang dikondisikan ruang dan waktu, sebab dan akibat, dengan moksha yang mengatasi semua itu, sumber yang mengatasi semua perubahan dan akhirnya untuk dharma abadi, hukum yang didasarkan yang abadi dan mengatur dunia perputaran kelahiran dan kelahiran kembali.
Brahman, dengan demikian merupakan realitas Tertinggi, atau Yang Mutlak dari segala hal yang bersifat kontingen ini. Sebagai Realitas Mutlak atau yang Tertinggi, lantas muncul pertanyaan, apakah dalam pemikiran Hindu Brahman ini diyakini juga sebagai pencipta dari segala yang kontingen? Berkenaan dengan hal ini, hal yang perlu disimak di sini adalah soal relasi antara Dia (Brahman) dengan dunia. Menurut Richard Viladesau dan Mark Massa, pertanyaan tentang hal tersebut merupakan unsur penting bagi Hinduisme. Dalam kaitannya dengan penciptaan dunia, Hinduisme meyakini bahwa Brahman adalah penciptanya. Dikatakan bahwa Brahman tidak menciptakan segala yang ada di dunia sebagai realitas Absolut yang “berada di luar”, tetapi yang “berada di dalam”, maksudnya Ia tidak berdiri sendiri, terpisah dari dunia melainkan berada di dalam dunia, dalam realitas kontingen. Di dalam Kitab Upanishad, Brahman diparafrasekan sebagai “yang tidak dapat dilihat, diukur, tidak punya keluarga, tidak berkasta, tidak punya mata, telinga, tidak punya tangan maupun kaki. Dia adalah Realitas Yang Abadi, yang mengatasi segala sesuatu, Yang Tak Terbatas dan yang menjadi Sumber dari segala yang hidup atau ada. Dari dalam dirinya muncul segala sesuatu, dari dalam dirinya pula lahirlah apa yang disebut sebagai “nafas”, pikiran, dan segala organ pengelihatan, terang, air dan dunia. Jean dan Christophe D. menyebutnya sebagai “Engkau adalah itu”. Dia adalah transenden dan sekaligus juga imanen, Yang Tertinggi, tanpa atribut apapun (saguna Brahman), yang dihubungkan dengan Tuhan yang Tertinggi, Ada yang Tertinggi, Penguasa Tertinggi, dsb . Ringkasnya, Dia menyokong dan melampaui segala hal.

b. Brahman sebagai Realitas Absolut
Menurut Richard Viladesau, Brahman merupakan Ada yang Absolut, yang melingkupi segala sesuatu, dewa-dewi, alam semesta dan manusia serta yang seidentik dengan Diri yang terdalam (Atman). Brahman kadangkala disimak sebagai Ada Absolut yang impersonal, dan kadang-kadang diyakini sebagai Tuhan yang personal. Oleh karena itu berubah genus dalam beberapa kutipan berikut ini :
Dia yang melampaui dunia ini tanpa wujud dan tanpa penderitaan. Mereka yang mengetahuinya akan mati, namun yang lain menderita dengan sungguh-sungguh. Dialah yang memberkati apa saja yang muncul di permukaan… Dia tinggal di dalam semua yang ada, Dia adalah yang melingkupi semuanya, oleh karena itu, Dia adalah Shiva yang hadir dalam segala sesuatu atau yang mengatasi segala sesuatu…

Dalam Atharva veda dikatakan bahwa Brahman adalah Tuhan yang tertinggi, Dia yang tinggal baik di sisi para dewa maupun di sisi manusia biasa. Demikian pula dalam Brihadaranyaka Upanishad (art. 10) dikatakan bahwa pada permulaan dunia ini, yang ada hanyalah Brahman sendiri dan Ia sendiri benar-benar mengenal dirinya sendiri (atman), seraya berkata: Aku adalah Brahman, Dan dengan itu, Ia menjadi segala-galanya. Lebih lanjut dikatakan bahwa barangsiapa yang mengenal bahwa Dia adalah Brahman, maka ia tahu dunia ini dijadikan olehnya. Malahan para dewapun tidak punya kekuatan untuk meniadakannya. Dialah yang menciptakan mereka.
Dari paparan di atas, kita dapat mengatakan bahwa Brahman adalah Realitas yang Tertinggi, yang mendasari segala sesuatu, sumber dari segala apa yang ada di permukaan bumi, dasar yang melingkupi segala sesuatu. Ini berarti Dia melebihi dari segala apa yang ada, Dia adalah yang transenden karena mengatasi segala sesuatu, tetapi sekaligus juga imanen, yang ada di dalam segala sesuatu, oleh karena Brahman meresap di dalam segala sesuatu. Ini berarti Brahman tidak hanya berjarak tetapi terlibat di dalam segala realitas yang ada.

2.2. Ketuhanan dalam Pemikiran Buddhisme
Kita tahu bahwa Buddha tidak berbicara tentang Tuhan seperti yang nyata dalam keempat kebenaran utamanya. Ringkasnya Buddhisme tidak memiliki pandangan tentang Tuhan atau Tuhan yang personal sebagaimana yang diakui di Barat (pemikiran Filsafat Kristiani atau Tuhan dalam agama Yahudi, Kristen) atau yang diyakini dalam Hinduisme. Dengan kata lain, konsep tentang Tuhan atau Realitas Mutlak, Tertinggi dalam struktur Buddhisme tidak dihubungkan dengan yang ilahi, dalam arti Tuhan yang lain atau Yang Mutlak, akan tetapi dengan keadaan bebas dari kematian dan penderitaan, dengan kedamaian, dan keadaan kesadaran yang lebih (yang disebut Nirwana). Menurut Mariasusai Dhavamony, Tuhan atau Yang Kudus dalam Buddhisme samasekali tidak dilahirkan, tidak dibuat, tidak dijadikan atau tidak disusun, bisa dicapai melalui meditasi pada tingkat paling akhir. Jadi, Yang Kudus tidak dialami lewat gerakan-gerakan yang batiniah sekalipun, tetapi lewat ketenangan batin dan ‘ketidakacuhan’ tubuh. Dalam keadaan meditatif yang khusyuk, ‘segala sesuatu berada dalam ketenangan’. Dalam paham Buddha Mahayana, kekudusan yang paling ideal diungkapkan dalam Bodhisattva, di mana hakikat sejati diri seseorang digerakkan oleh hasrat untuk memperoleh penerangan penuh, yaitu menjadi seorang Buddha. Setiap orang mempunyai sifat Buddha yang tersembunyi dalam dirinya, yang dapat dibangkitkan dengan latihan. Berikut kutipan yang menunjukkan hal itu: “Bodhisattva memancarkan persahabatan dan belaskasih yang amat besar atas semua makhluk dan ia memutuskan, Aku akan menjadi penyelamat mereka Aku akan membebaskan mereka dari semua penderitaan mereka.”
Menyimak beberapa hal di atas, sebetulnya menarik kalau kita menggali konsep ketuhanan dalam Buddhisme. Sang Buddha sendiri tidak bicara tentang Tuhan dan dalam ajarannya, dewa-dewa tidak memainkan peran. Kadang-kadang orang beranggapan bahwa kalau Sang Buddha diam tentang ide mengenai Tuhan, lantas yang mencuat dari benak orang yakni agama Buddha adalah agama ateis. Menurut pemikiran Magnis Suseno, anggapan semacam itu tidaklah beralasan. Kalau disimak lebih jauh, sebetulnya Buddhisme tidak ateis. Buddhisme justru menawarkan pembebasan dari segala keterikatan duniawi. Dari sebab itu, menurut hemat Magnis Suseno, apabila Sang Buddha diam tentang ketuhanan dan mengajarkan kepada para muridnya untuk memusatkan segala perhatian pada ‘perbuatan’, yakni pelepasan dari hal-hal duniawi, maka ‘diam’ itu janganlah diartikan sebagai ateisme, akan tetapi sebagai penghayatan Tuhan menurut via negativa. Dari sebab itu, apa yang disebut dengan konsep mengenai Tuhan (Yang Ilahi / Mutlak) dalam Buddhisme dihayati sebagai “rahasia yang dibiarkan saja” dengan bersikap diam berhormat. Dari paparan singkat di atas, kita dapat memformulasikan bahwa konsep ketuhanan lebih pas kalau dipahami sebagai rahasia yang dibiarkan begitu saja, yang kalau dipahami justru dengan cara menegasinya.

2.3. Ketuhanan dalam Pandangan Cina (keagamaan Tionghoa)
Menurut ajaran Lao Tzu, sebagaimana yang terdapat dalam buku “Tao te Ching,” Tao adalah dasar segala kejadian. Dalam bahasa S. Reksosusilo, Tao mengadakan segalanya. Segala sesuatu berasal daripada-Nya. Dia melebihi pencipta, Dia mencakup Sang Pencipta, melebihi Tuhan yang personal. Dia proto personal. Yang Ada dalam Dia, namun Dia tidak termasuk yang ada, karena sang SATU ini semua yang ada keluar dan kembali. Berikut kutipan tentang Tao sebagaimana yang diperlihatkan S. Reksosusilo: Tao laksana jurang dalam ruang kosong. Selalu diisi tak pernah penuh terisi. Tao adalah asal-usul, darimana semua ada. Tao membuat yang tajam tumpul. Yang ruwet teruraikan. Yang menyilaukan menjadi redup. Yang bergejolak menjadi tenang. Tao laksana sumber dalam yang tak pernah kering.Aku tak tahu dia memancar darimana. Tao laksana TUHAN sebelum Tuhan (The Preface God).
Taoisme, sebagaimana yang dimengerti S. Reksosusilo, mengajarkan adanya unsur terdalam yang mencakup segala unsur yang transenden, tak dapat diungkapkan dengan pengertian biasa. Tao hanya bisa dijangkau dalam permenungan pengetahuan mendalam yang keluar dari pengetahuan yang pasrah. Dengan demikian, Tao itu tidak tertangkap oleh nalar, melainkan hanya dalam semadi. Menurut elaborasi Magnis Suseno, setiap orang memiliki tao-nya. Apabila Tao itu ditemukannya, maka manusia mencapai identitas dengan dirinya sendiri dan sekaligus berada dalam konstelasi tepat terhadap kekuatan-kekuatan alam raya. Dari sebab itu, ketuhanan dihayati dalam keyakinan bahwa hidup setiap orang dapat menemukan tempatnya di alam raya yang betul, yakni dengan menemukan Tao. Tao itu menentukan apakah orang itu berhasil menjadi dirinya sendiri. Apabila Tao itu ditemukan ada juga yang mengatakan bahwa Tao tidak dapat dicapai, tetapi selalu harus dicari, -ia sungguh-sungguh mantap dalam semua dimensi.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ketuhanan dalam aliran Confucianisme dihayati sebagai Tao. Dia adalah Tao, yang mencakup Tuhan personal sekaligus melebihi Pencipta itu sendiri. Dia adalah proto-Personal.

III. Ketuhanan dalam Pemikiran Barat
3.1. Ketuhanan dalam Filsafat Yunani
Para filsuf Yunani, pada hakekatnya tidak langsung berbicara tentang adanya Tuhan sebagaimana yang diyakini dalam filsafat Kristiani. Walaupun demikian, kalau ditelisik lebih jauh, sebetulnya ketika mereka sibuk menggagas apa yang menjadi dasar (arche) dari alam semesta, di situ mereka sedang mencari dasar lain yang menjadi penyebab tunggal akan realitas alam semesta ini. Refleksi para filsuf Yunani ini kelak memiliki sumbangan tersendiri bagi perkembangan filsafat Kristiani, misalnya dalam pandangan tentang hakekat Tuhan. Aristoteles adalah filsuf yang berhasil menjembatani perdebatan antara dua filsuf terdahulu, yakni Herakleitos dan Parmenides yang berbicara tentang gerak atau perubahan. Bagaimana Aristoteles memahami konsep Tuhan di sini? Aristoteles melihat bahwa dari segala apa yang bergerak atau berubah di alam ini pada dasarnya digerakkan oleh suatu penggerak yang tidak digerakkan lagi oleh yang lain. Menurut Aristoteles, dialah penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain, tidak mungkin dibagi-bagi, tidak mungkin memiliki keluasan serta bersifat fisik. Kuasanya kekal. Dengan demikian, penggerak pertama ini tidak berasal dari dalam dunia, sebab di dalam jagat raya ini, tiap gerak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Penggerak pertama ini adalah Tuhan. Dialah yang menyebabkan gerak abadi. Dirinya sendiri tidak digerakkan, karena bebas dari materi. Tuhan disebutnya sebagai Actus Purus, Aktus murni.
Berbeda dengan pandangan di atas, kaum Stoa memiliki pandangannya tersendiri tentang Tuhan. Kaum Stoa dikenal memiliki pandangan atas dunia yang bersifat materialistis. Meskipun demikian, ada juga yang percaya akan adanya Tuhan, maka bagi mereka, Tuhan juga bersifat jasmaniah, badani. Dalam hal ini, Tuhan lantas dipandang sebagai identik dengan alam. Segala sesuatu dijadikan oleh kekuatan ilahi. Menurut elaborasi Harun, kekuatan ilahi, menjiwai segala sesuatu, seperti api atau nafsu yang meresapi seluruh Jagat raya. Dari kekuatan ilahi inilah yang kemudian menimbulkan 4 anasir (stoikheia), yakni: api, hawa, air dan tanah. Dari keempat anasir ini, maka muncullah dunia yang kita diami ini.
Selain beberapa gagasan di atas, kita juga dapat menyimak sekilas gagasan tentang Tuhan dalam pemikiran aliran yang menyebut diri Neopyhtagoras. Aliran ini mewujudkan suatu campuran dari gagasan Aristoteles dan Stoa dan terutama Plato. Aliran ini menarik secara konsekuen dualisme Plato yang membedakan antara dunia rohani dan dunia bendawi. Menurut aliran ini, Yang Ilahi, adalah yang ada, yang tak tergerak, realitas sempurna, substansi yang tak berjasad, sedangkan benda pada dirinya adalah gerak yang tak teratur. Di dalam Yang Ilahi itu, hadirlah idea-idea sebagai gagasan-gagasan Yang Ilahi, sebagai pola-asal segala kenyataan, sehingga segala yang ada dibentuk sesuai dengannya. Yang Ilahi sendiri tidak terhampiri, sebab Yang Ilahi terlalu terlalu jauh dari manusia.

3.2. Tuhan dalam Filsafat Kristiani
Ada banyak tokoh yang bisa dijadikan sebagai rujukannya, namun penulis hanya mengambil dua tokoh penting, yang mewakili dua masa yang berbeda (Patristik dan Abad Pertengahan), yakni Agustinus dan Thomas Aquinas. Pemikiran-pemikiran mereka kemudian banyak dipakai dalam penghayatan iman kristen tentang adanya Tuhan.



3.2.1. Tuhan dalam Pemikiran Agustinus
Pemikiran Agustinus boleh dikatakan mewakili pemikiran atau merangkum pemikiran para ahli pikir Kristen sebelum dan sesudahnya. Oleh karena itu, ia mewujudkan suatu penutupan satu zaman dan suatu permulaan zaman baru. Pertanyaan kita bagaimana Ia melihat dan menggagas paham tentang Tuhan? Baginya, Tuhan begitu mengatasi segala gagasan dan pengertian, sehingga segala pengetahuan manusia tentang-Nya lebih menampakkan hal ketidaktahuan, artinya ”Tuhan itu bukan apa” daripada ”Tuhan itu apa”. Tuhan adalah roh yang esa, yang tidak berubah, akan tetapi berada di mana-mana serta meliputi segala sesuatu, sehingga tiada sesuatu pun yang di atas-Nya. Manusia tidak dapat mengenal Tuhan secara sempurna. Tuhan yang sama dipahami pula sebagai Tuhan yang esa dalam zat-Nya, yakni berada dengan tiga cara, yaitu sebagai Bapa, sebagai Anak dan sebagai Roh Kudus. Bagi Agustinus, segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan dari ”yang tidak ada” menjadi ”berada’. Penciptaan dalam hal ini, adalah suatu creatio ex nihilo, penciptaan keluar daripada ”yang tidak ada”. Jagat raya adalah hasil kehendak Tuhan semata-mata. Oleh karena itu, dunia sifatnya berubah, sebab ia berada di luar Tuhan, Ia bukan keluar dari zat Tuhan.

3.2.2. Tuhan dalam Pemikiran Thomas Aquinas
Gagasan Thomas Aquinas tentang Tuhan dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang menggagas Tuhan sebagai Actus Purus. Menurut Thomas, Tuhan adalah aktus yang paling umum. Di dalam Tuhan segala sesuatu telah sampai kepada perealisasiannya yang sempurna. Tiada sesuatu pun pada-Nya yang masih dapat berkembang. Tuhan dalam arti ini, adalah aktualitas semata-mata. Dari sebab itu, pada Tuhan hakekat (essentia) dan eksistensi (existensia) adalah identik. Gagasan ini lantas memperlihatkan kepada kita bahwa pada hakekatnya Tuhan itu berbeda samasekali dengan para makhluk ciptaan-Nya. Apa yang menjadi eksistensi bagi makhluk adalah sesuatu yang ditambahkan kepada hakekat-Nya.
Dalam gagasannya tentang theologia naturalis, dikatakan bahwa manusia dengan pertolongan akalnya dapat mengenal Tuhan, sekalipun pengetahuan tentag Tuhan diperolehnya dengan akal itu tidak jelas. Dengan akalnya manusia dapat tahu bahwa Tuhan ada, dan juga tahu beberapa sifat Tuhan. Dengan akal, orang dapat mengenal Tuhan, setelah ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang dunia dan manusia sendiri. Dengan demikian untuk memahami keberadaan Tuhan ini, maka jalan yang dipakai adalah dengan cara a posteriori. Dari sebab itu, tidak heran jikalau Thomas tidak bisa menerima pembuktian tentang adanya Tuhan secara ontologis, seperti yang dilakukan oleh Anselmus. Jalan pembuktian tentang adanya Tuhan sering dikenal dengan nama lima jalan pembuktian. Kelima bukti itu memang dapat menunjukkan bahwa ada suatu tokoh yang menyebabkan adanya segala sesuatu. Akan tetapi yang pasti bahwa, semuanya itu tidak dapat membuktikan kepada kita akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Dari pemikiran Thomas Aquinas, kita dapat dibantu mengenal Tuhan melalui tiga cara, yakni via positiva (segala makhluk sekedar mendapat bagian dari keadaan Tuhan), via negativa (segala yang ada pada makhluk tentu tidak ada pada Tuhan dengan cara yang ama), via iminentiae (apa yang baik pada makhluk tentu berada pada Tuhan dengan cara yang jauh melebihi keadaan pada para makhluk itu.

IV. Refleksi Filosofis Ketuhanan dalam Pemikiran Timur dan Barat: sebuah studi komparatif
Setelah kita menyimak pemahaman dan penghayatan Tuhan dalam dua peradaban besar, Timur dan Barat, kita dapat menarik beberapa poin refleksi filosofisnya. Poin-poin itu akan diparafrasekan berikut ini.

4.1. Tuhan adalah Transenden dan Imanen (bercampur): satu realitas
Sebetulnya tidak tepat kalau kita berbicara tentang Tuhan dalam pemikiran Filsafat Timur, oleh karena pada dasarnya ide tentang Tuhan misalnya dalam agama Hindu dan Buddha sukar ditentukan nilainya, oleh karena agama-agama itu tidak merupakan kesatuan seperti yang ada dalam agama-agama Abrahamistik (Yahudi, Kristen, Islam). Paling banter mereka hanya memiliki pandangan bahwa semuanya merupakan satu realitas. Meskipun demikian, dalam beberapa uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam pemikiran agama-agama ”Timur”, ada suatu Realitas Ilahi, yang melampaui atau mengatasi alam, dunia. Hanya saja, Ia tidak berjarak, tapi menyatu dengan alam. Yang Ilahi adalah imanen. Apa maksudnya? Ketuhanan di sini dipahami sebagai sebuah Realitas Ilahi yang tak terpisah dari alam, melainkan meresapi alam. Mengapa demikian? Karena Yang Ilahi imanen dalam alam, alam dan seluruh alam raya bersifat numinus. Gagasan ini agak berbeda dengan yang ada di Barat.



4.2. Tuhan adalah Transenden dan Imanen (Ia mengatasi alam, dunia, tetapi tidak tercampur)
Berbeda dengan pandangan Timur di atas, pemikiran Barat terutama yang diwakili oleh Filsafat Kristiani (dan juga dalam tradisi Abrahamistik) melihat Tuhan itu transenden, Dia yang ”mengatasi” alam raya. Dalam arti ini, Tuhan samasekali tidak tercampur dengannya. Alam dan alam raya tidak numinus, melainkan murni duniawi, biasa saja. Dengan kata lain, dalam pemikiran barat (pemikiran Kristiani) tidak ada sesuatu yang bersifat mistik padanya. Dalam pemahaman ini, menjadi jelas bagi kita bahwa apa yang bersifat alami, yang kontingen, realitas yang ada di alam, tetap dianggap alami, tetap terbatas. Hanya Tuhan sendiri yang tidak tercampur dengan realitas dunia. Pandangan inilah yang membedakannya dengan penghayatan ketuhanan dalam pemikiran Timur. Walaupun demikian, Tuhan yang dipahami dan diimani dalam pemikiran Barat, misalnya dari filsafat Kristiani atau Tuhannya orang Kristen, sekalipun Dia Maha kuasa, yang samasekali berbeda dengan dunia, alam, manusia, tetapi Ia tetap imanen dan bahkan menjadi bagian dari realitas manusia. Gambaran ini tampak dalam pribadi Yesus Kristus yang menjelma menjadi manusia. Dalam arti ini, Ia imanen. Imanen di sini bukan disimak sebagai satu realitas dengan alam atau meresapi alam seperti di Timur, melainkan dalam arti terlibat dan mengalami langsung kehidupan manusia.

4.3. Tuhan (Yang Ilahi) sebagai Dhat asali
Dalam pandangan Timur, apa yang disebut dengan Tuhan atau Yang Ilahi lebih dilihat sebagai sebuah kekuatan, meminjam istilah Magnis Suseno, mengeksteriorisasi diri, mengalir ke luar dari dirinya sendiri. Dalam arti ini, sebagaimana yang digagas Magnis, Ia terurai ke dalam realitas yang sekaligus memuatnya.

4.4. Tuhan sebagai Pencipta (Mencipta dari ketiadaan, creatio ex nihilo)
Berbeda dengan pandangan Timur yang melihat Tuhan sebagai Dhat asali, pandangan Barat, Tuhan atau Tuhan dihayati sebaliknya. Tuhan di sini justru dihayati sebagai Pencipta alam semesta, dunia. Dari sebab itu, ketuhanan atau ketuhanan di sini dipahami sebagai yang transenden, sehingga jelas bahwa Ia tidak juga dipahami sebagai penguraian diri atau emanasi Yang Ilahi. Menurut pemikiran Magnis, Tuhan itu sudah ada ”sebelum langit dan bumi”, Ia tidak kekurangan sesuatu apa pun tanpa langit dan bumi. St. Agustinus mengatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan menjadi ada. Apa yang disebut sebagai ciptaan, semuanya bergantung pada kehendak Sang Pencipta. Gagasan ini jelas berbeda dengan imanentisme di Timur.



4.5. Tuhan (Yang Ilahi) sebagai kekuatan impersonal dan personal
Menurut Magnis, semua penghayatan yang tidak menghayati ketuhanan secara personal, transenden, juga tidak mencapai paham personal tentangnya. Yang Ilahi dipahami sebagai kekuatan impersonal yang “bertindak” bukan berdasarkan pengetahuan dan kehendaknya sendiri melainkan “beremanasi” dan “berkembang” atau “hidup” dan “berirama”. Dalam arti ini, menjadi jelas bagi kita, ketuhanannya dipahami dan dihayati bukan sebagai “persona” melainkan sebuah “kekuatan”. Pemikiran Barat terutama dalam pemikiran filsafat Kristiani atau paham kekeristenan, dihayati sebaliknya sebagai Tuhan yang personal. Hakikatnya adalah personal. Artinya, ketuhanan dipahami sebagai Tuhan yang berpengetahuan, yang membimbing bangsa-Nya dan manusia secara pribadi.

V. Penutup
Setelah kita menyimak pemahaman dan penghayatan atas ketuhanan dalam dua peradaban besar di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal, Pertama, harus diakui bahwa adanya variasi penghayatan manusia terhadap ketuhanan itu. Kita tidak bisa melihat dan menjudge bahwa penghayatan ketuhanan di sebuah peradaban atau budaya (agama) adalah yang tertinggi yang paling benar dan mengeksklusi penghayatan ketuhanan dalam peradaban lain. Apa yang diyakini dan dihayati itu, pada dasarnya merupakan sebuah kekayaan bagi komunitas dunia yang bisa saling memperkaya. Dalam arti ini, perbedaan bukanlah dilihat sebagai peluang untuk saling memisahkan diri, melainkan sebagai saat untuk saling memperkaya. Kedua, kalau disimak dengan baik, tampak bahwa pemikiran Timur tidak terlalu memikirkan apakah betul ada ide tentang Tuhan, misalnya dalam Budhisme, sebetulnya konsep tentang Tuhan samasekali tidak menjadi pokok persoalan penghayatan ketuhanan mereka, bagi kaum Budhis tentang Tuhan mesti dipikirkan atau dihayati sebagai suatu rahasia yang tidak perlu diutak-atik, dibiarkan, didiamkan begitu saja. Dengan kata lain, ide Tuhan dalam agama Hindu dan Budha tidak begitu dihiraukan. Hinduisme dan Budhisme sebagai filsafat tidak begitu menghiraukan Pribadi Tuhan; oleh karena itu, biasanya kaum terdidik mengaku suatu monisme atau panteisme, sedangkan kaum yang tidak terpelajar, misalnya rakyat jelata, lebih cenderung untuk menganut suatu teisme, entah itu politeisme maupun monoteisme. Ketiga, masing-masing peradaban memiliki paham dan penghayatan yang khas terhadap ketuhanannya. Meskipun demikian, kita masih bisa melihat adanya suatu titik temu di antara keduanya, yaitu bahwa keduanya memiliki keyakinan bahwa pada dasarnya alam atau realitas dunia (manusia, dll) tidak muncul begitu saja, akan tetapi datang dan diciptakan (keluar) dari suatu Realitas Tertinggi, (Tuhan) yang dalam pemikiran Timur disebut sebagai Brahman, Rahasia yang dibiarkan saja, Tao dan dalam pemikiran Barat diyakini sebagai Tuhan Pencipta, yang menciptakan dunia dari ketiadaan (creatio ex nihilo).


DAFTAR PUSTAKA


Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.

C. Zaehner, R. Hindu Scriptures, London: Guernsey pres Co. Ltd, 1966.

Christope, Demariaux & Jean. How to Understand Hinduisme, terj. John Bowden, London: SCM Press Ltd., 1995.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Reksosusilo, S. Sejarah Awal Filsafat Timur, Hinduisme, Budhisme, Filsafat Cina Awal, Malang : Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008.

Suseno, Magnis. Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Theo Huijbers, Mencari Allah, Pengantar ke dalam Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Viladesau, Richard. World Religius, A Sourcebook for Student of Christian Thelogy, New Jersey: Paulist Press, 1994.

Tidak ada komentar: