Kamis, 10 Juni 2010

MY LEADERSHIP

Fidels I. Pengantar Salah satu ciri khas yang ditekankan Konsili Vatikan II dalam hal kepemimpinan adalah kepemimpinan sebagai pelayanan. Dalam arti ini, kepemimpinan yang dipahami dan dihayati adalah bukannya sebagai status, jabatan, kehormatan, gengsi, karier yang mengangkat pamor seseorang, melainkan sebagai penugasan penuh tanggungjawab. Karakter kepemimpinan seperti ini menurut hemat saya merupakan sebuah cita-cita, idealisme bagi orang yang ingin mengabdikan dirinya bagi orang lain. Idealisme ini tampak mengagumkan, namun menjadi seorang pemimpin yang berjiwa melayani pada dasarnya tidak mudah, apalagi itu harus mengurbankan banyak hal. Berikut ini, saya akan menyajikan gaya kepemimpinanku yang saya hayati dalam seluruh kehidupanku. Harapannya agar apa yang disajikan dalam tulisan ini bisa memberikan gambaran tentang model kepemimpinanku, walaupun masih dalam taraf yang amat sederhana. II. Arti Kepemimpinan diri dan Penghayatan Kepemimpinanku Menurut Mohammad Rosiman, kepemimpinan tidaklah dikhususkan bagi segelintir orang yang duduk di puncak perusahaan-perusahaan, dunia pemerintahan atau lembaga institusi formal. Dan kesempatan-kesempatan untuk memimpin pun tidak pula hanya muncul di panggung-pangung tempat orang bekerja. Setiap orang dapat menjadi pemimpin dalam setiap hal yang ia lakukan, dalam kerjanya, dalam hidupnya sehari-hari, ketika mengajar orang lain atau belajar dari mereka. Menjadi seorang pemimpin di sini pertama-tama bukan sekedar memimpin orang lain, akan tetapi terlebih dahulu orang perlu memimpin dirinya sendiri. Jadi dalam arti ini, menurut Rosiman, penting bagi seseorang pemimpin mendedikasikan waktunya tidak hanya untuk memahami orang lain, tetapi terlebih dahulu memahami diri sendiri: apa nilai-nilai yang dianutnya (misalnya: kejujuran, kerja sama, tanggung jawab), apa kelemahan dan kelebihannya, apa minatnya, apa tujuannya dalam hidup, apa yang diperjuangkannya. Hanya dengan demikian, kepemimpinan seseorang akan semakin efektif dan berbobot. 2.1. Kepemimpinanku dalam Fase-Fase Kehidupanku Pada dasarnya saya adalah orang yang pemalu, inferior dan enggan menampilkan diri, mudah gugup dan kurang percaya diri. Meskipun demikian, saya justru diberi kepercayaan oleh sekian banyak orang untuk memimpin orang lain (pemimpin). Berkenaan dengan hal itu, dalam paparan berikut ini, saya akan menyajikan pengalaman menjadi pemimpin orang lain. Alur penyajiannya berangkat dari fase awal kehidupanku, sejak kecil hingga saat sekarang. 2.2.1. Kepemimpinanku pada Waktu Taman Kanak-kanak (TK, 1985-1986) Pada masa ini, saya dipilih oleh guru-guru untuk menjadi ketua kelas. Saya diberi kepercayaan untuk memimpin 15 (lima belas) teman. Tugas saya sehari-hari waktu itu adalah menjadi orang yang mengatur ketertiban di kelas, misalnya tatkala guru tidak masuk. Selain itu, saya juga ditugaskan oleh guru untuk membagi kelompok-kelompok permainan. Setelah melihat kembali pengalaman masa kecilku ini, saya sendiri mengamati bahwa kepemimpinanku ini belum berarti apa-apa, oleh karena saya belum memahami arti ”menjadi pemimpin”. Meskipun demikian, pengalaman awal ini memperlihatkan bahwa saya pernah diberi tugas dan tanggungjawab seperti itu. Hal ini sungguh merupakan sebuah pengalaman yang bermakna bagi perjalanan hidupku selanjutnya. 2.2.2. Kepemimpinanku pada Waktu SD (1987-1993) Selama 6 (enam) tahun di SD (SDK Waikrowe, Solor-Flores Timur), beberapa kali saya diberi kepercayaan untuk menjadi ”ketua kelas” (saat kelas 3-6 SD). Selama kurun waktu tiga tahun berturut-turut, saya diberi tugas untuk memimpin teman-temanku. Ketika diberi tugas seperti ini, secara spontan muncul pertanyaan kecil, apakah saya mampu menjalankannya, padahal kalau dilihat dari kemampuan intelektualku, saya tidak terlalu pandai, apalagi saya adalah anak yang pemalu, yang lebih suka disuruh daripada menyuruh orang melakukan ini atau itu. Meskipun demikian, tugas itu tetap dilimpahkan kepada saya. Ada beberapa tugas dan tanggungjawab yang diberikan guru kepada saya. Tugas itu antara lain: memastikan kelas dalam keadaan tertib atau teratur tatkala guru tidak masuk (menjaga ketenangan), memanggil guru ke kantor atau ruangan kerjanya kalau beliau terlambat masuk, mengambil presensi kelas, membagi kelompok olah raga, membuat jadwal penyiraman bunga di kelas, dsb. Kalau melihat lagi tugas-tugasku itu, ternyata ada banyak hal yang harus saya kerjakan. Saya menyadari bahwa memang tidak semua tugas itu dijalankan dengan baik (mungkin karena kemalasan atau kelalaianku), namun satu hal yang patut dicatat, yaitu bahwa saya berusaha mengoptimalkan sungguh-sungguh kepercayaan itu. Menjadi ketua kelas, bukan karena supaya dipuji orang atau mendapat nilai yang baik dari guru, melainkan demi kepentingan bersama serta kelancaran proses belajar-mengajar di kelas. Kepemimpinanku tersebut, sebetulnya mau menunjukkan bahwa peran menjadi ketua kelas tidak lebih dari sekedar memperlancar tugas-tugas yang diberikan, dan dalam arti ini kepemimpinanku ini lebih bersifat; mengatur (regulating): tindakan untuk mengatur arah dan langkah kegiatan warga kelas, memperlancar (gatekeeping), seperti yang dikatakan oleh Charles J. Keating. 2.2.3. Kepemimpinanku pada Waktu SMP (1994-1997) Selama menjalani pendidikan di bangku SMP, saya tidak memiliki banyak pengalaman menjadi pemimpin bagi yang lain. Pada masa ini saya hanya diberi tanggungjawab sebagai ”ketua mading” (Majalah Dinding) selama satu tahun (saat kelas 3 SMP). Tugas yang harus saya kerjakan di sini yakni, mengumumkan tema karangan yang akan diterbitkan per-edisi di papan publik sekolah, mengetik karangan yang masuk, mengoreksi dan mengedit tulisan yang masuk ke redaksi, serta mempublikasikannya. Saya tidak menjalankan tugas ini sendirian, melainkan dibantu oleh beberapa anggota seksi. Sebagai ketua, saya menyadari bahwa kadang-kadang saya tidak menjalankannya dengan baik, oleh karena saya mengerjakannya sendirian, akibatnya saya pernah dicap sebagai orang yang mau atur sendiri. Menyadari hal ini saya diajak untuk mengevaluasi kembali kinerja kerjaku. Terlepas dari keberhasilan atau kegagalan yang ada, tugas ini dapat saya simak sebagai sebuah peluang emas untuk mengasah kemampuanku dalam memimpin; mau bekerja sama dan bukan sebagai single fighter. Dalam arti ini, kepemimpinanku yang tampak di sini lebih menyangkut bagaimana memperlancar tugas dari sekolah. Oleh karena itu, harus saya akui bahwa kepemimpinan partisipatif, yaitu adanya ”kerekanan” staf pimpinan yang diungkapkan dengan tidak bekerja secara individual, melainkan sebagai tim (teamwork) belum sungguh-sungguh tampak dalam diriku. 2.2.4. Kepemimpinanku pada Waktu Seminari Menengah (1998-2001) Kepercayaan yang diberikan oleh orang lain pada dasarnya merupakan sebuah pelimpahan wewenang yang amat berharga. Tanpa kepercayaan yang diberikan, tugas yang mau diberikan tidak memiliki nilai apa-apa. Dan kepercayaan itu akan semakin efektif ketika diaktualisasikan secara nyata dalam praktek atau pelaksanaannya. Selama menempuh pendidikan di Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, Larantuka 1998-2001 saya hanya diberi kepercayaan oleh para formator sebagai ketua seksi olah raga selama satu tahun (2000). Sebagai anak formandi yang baik, saya berusaha mewujudkan kepercayaan ini dengan sebaik-baiknya. Menarik bahwa setiap triwulan, masing-masing seksi diminta pertanggungjawaban berupa laporan tertulis atau evaluasi atas kinerja kerjanya. Sebagai salah satu komponen di dalamnya, seksi olah raga pun melakukan hal yang sama. Selama menjadi ketua olah raga, sebetulnya tidak ada kesulitan yang menantang saya, namun mungkin hal yang merepotkan saya yakni, menyediakan peralatan olah raga sebelum jam olah raga dan mengembalikannya ke gudangnya sesudah olah raga, serta selalu memperhatikan kondisi peralatan dan fasilitas olah raga secara berkala. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana kepemimpinanku sebagai ketua olah raga saya hayati? Untuk menjamin efektivitas kepemimpinanku, maka hal sederhana yang saya tanamkan dalam diri saya adalah bekerjasama dengan anggota seksi, baik terutama dalam menyukseskan program kerja seksi, maupun dalam hal memperlancar jalannya kegiatan olah raga bersama. Dari sebab itu, kepemimpinanku yang tampak di sini adalah selain memperlancar, gatekeeping jalannya kegiatan olah raga, juga bersifat partisipatif, adanya ”kerekanan” staf pimpinan yang diungkapkan dengan bekerja secara bersama-sama (teamwork) dengan anggota seksi. Hanya dengan bekerjasama, segala tugas dan tanggungjawab yang diberikan dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya pun pasti baik. 2.2.5. Kepemimpinanku pada Waktu Novisiat (2001-2002) Pada periode ini, saya boleh berbangga oleh karena saya dipilih teman-teman untuk menjadi pemimpin (ketua rumah atau primus interparis). Bagi saya tugas dan pelimpahan kepercayaan seperti ini bukan hal yang baru, oleh karena sejak kecil saya sudah mengalaminya, hanya saja mungkin tingkatan pemahaman akan arti kepemimpinannya berbeda-beda. Kepemimpinan yang saya jalani selama masa novisiat ini (novis tahun ke-2, 2002) saya hayati sebagai pemimpin yang melayani, menjadi orang yang siap mendahulukan kepentingan banyak orang dan bukan untuk dilayani sebagai big bos. Tipe kepemimpinan seperti ini dengan sangat baik dijelaskan oleh Greenleaf. Greenleaf berkata: who is the Servant Leader? The servant-leader is servant first... It begins with the natural feeling that one wants to serve. Then conscious choice brings one to apire to lead. Hal yang mau dikatakan di sini yaitu bahwa seorang pemimpin adalah seorang pelayan. Hal ini dimulai dari keinginan untuk melayani, selanjutnya dari situ ia merasa kebutuhan untuk menjadi pemimpin. Dalam arti ini, saya sendiri memiliki kerinduan untuk melayani orang lain (para konfrater). Adapun fungsi dan beberapa tugas rutin yang saya kerjakan sebagai primus (ketua), yakni sebagai “penyambung lidah” para formator. Dalam hal ini, apa yang menjadi kebijakan para pembina atau bahkan perintah dari para pembina sebelum disalurkan kepada para para frater -kalau dirasakan perlu- disampaikan kepada saya. Selain itu, saya juga menjadi semacam ’wadah’ atau yang menampung segala aspirasi atau keluhan para frater terhadap Pembina, kalau itu dirasakan perlu disampaikan. Adapun beberapa tugas lain yang harus saya kerjakan di sini, antara lain: pertama, menulis buku kronik novisiat setiap hari, kedua memandu para frater dalam mengadakan rapat atau evaluasi komunitas triwulan. Semua tugas dan tanggungjawab itu saya laksanakan dengan sungguh-sungguh. 2.2.6. Kepemimpinanku pada Waktu Skolastikat (Seminari Tinggi Montfort, 2003-2008) 2.2.6.1. Pada Masa sebagai Mahasiswa S 1 (sebelum Tahun Pastoral) Seorang pemimpin pada dasarnya adalah orang yang melayani, yang mendahului kepentingan orang lain. Menjadi seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan atau ditegaskan oleh Greenleaf di atas sungguh menjadi sebuah idealisme yang dapat mengembangkan diri saya. Lebih dari itu, sebetulnya tipe kepemimpinan ini dengan sangat baik telah diteladankan oleh Yesus sendiri. Dalam arti ini, Ia menjadi model, menjadi par excellence-nya. Yesus sendiri bersabda: ”...Anak manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani...” (Mat 19:28). Menyimak apa yang dikatakan Yesus ini, dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin pada dasarnya adalah seorang pelayan bagi yang lain, sebagaimana Yesus sendiri menjadi pelayan bagi kawanan domba-Nya. Melayani di sini oleh E. Martasudjita, secara mendalam diartikan sebagai pelayanan dengan model mau memberi teladan dan bukan menguasai. Nasihat untuk menjadi pemimpin yang memberi teladan tampak juga misalnya dalam nasihat St. Paulus: "Jadilah teladan bagi orang-orang yang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Tim 4:12). Dalam arti ini, pemimpin adalah yang mampu memberi teladan bagi yang dipimpin atau dilayani. Tanpa kemampuan itu, kepemimpinannya tidak berarti apa-apa. Menurut Martasudjita bahwa sehebat apa pun seseorang, sepandai apa pun ia, seluas apapun pengetahuan dan wawasannya, setinggi apapun jabatan dan gelarnya, apabila hidupnya jelek, keteladanannya kurang, maka mungkin orang itu disegani tetapi tidak dicintai dan tidak disukai orang. Pelayanan yang memberi keteladanan persis bertentangan dengan gaya kepemimpinan yang mau menguasai. Gaya ”melayani” yang menguasai tampak dalam sikap otoriter, mendikte, menganggap bodoh kepada orang lain (bdk. Mrk. 10:42). Karakter kepemimpinan seperti ini telah saya laksanakan sejak menjadi primus interparis di novisiat dan kini saya tingkatkan ketika menjadi Ketua Rumah Seminari Montfort ”Pondok Kebijaksanaan”, Malang periode 2006-2007. Selain itu, model kepemimpinan yang saya terapkan di sini adalah kepemimpinan partisipatif sebagaimana yang sudah dimulai sejak Seminari Menengah. Dengan ”partisipatif” dimaksudkan bahwa apa yang disebut visi, konsep, pola, gaya dan kinerja kepemimpinan, yakni proses pendampingan dan pengarahan tersebut yang dijiwai keyakinan dan kesadaran akan martabat sebagai anggota komunitas. Dalam arti ini, ”kepemimpinan partisipatif” pada intinya melibatkan sebanyak mungkin orang dalam sebanyak mungkin proses kepemimpinan, sekurang-kurangnya sebelum pengambilan keputusan definitif yang termasuk tanggungjawab dan wewenang sebagai pemimpin. Hal yang ditekankan di sini adalah ”kerekanan” staf pimpinan yang diungkapkan dengan tidak bekerja secara individual, melainkan sebagai tim (teamwork), tak hanya untuk saling melengkapi dan memperkaya, melainkan sebagai kesaksian yang berwibawa bagi anggota komunitas. Untuk mengenal gaya kepemimpinanku, baiklah saya akan menyajikannya tatkala menjadi Ketua Rumah (Koordinator Umum), Seminari Montfort ”Pondok Kebijaksanaan”. Sebagai Ketua Rumah (Koordinator Umum) Pada periode ini (2006-2007), saya diberi kepercayaan yang besar oleh warga komunitas untuk menjadi “Koordinator Umum”. Sebutan ini, “Koordinator Umum”, dimaksudkan bahwa saya dipilih bukan untuk menjadi orang nomor satu yang memimpin sendirian, yang seakan-akan memiliki kekuasaan mutlak tak tergantikan, menjadi penguasa tunggal, melainkan hanyalah berfungsi sebagai mediator antara formator dan formandi. Jadi dalam arti tertentu bukan hanya sekedar perpanjangan tangan para formator melainkan juga sebagai penyambung lidah, segala aspirasi para frater. Menyimak fungsi atau peran saya sebagai “Koordinator Umum”, maka saya menyadari bahwa kepemimpinanku di sini tidak lain hanyalah sebagai pelayan bagi orang lain, yang mendahulukan kepentingan komunitas daripada diri sendiri. Kepemimpinanku di sini sebetulnya juga merupakan konkritisasi dari visi-misi komunitas pada periode ini. Visinya yakni; Menjadi Saudara bagi Sesama (Devenir Frère Aux Autres). Misinya, yakni, pertama, mencintai dan menghayati hidup doa dan kontemplasi, kedua, mendalami dan menghayati spiritualitas Montfortan dalam kesetiaan yang kreatif. Ketiga, mengembangkan kepribadian yang peka, jujur, bertanggungjawab dan partisipatif. Keempat, menciptakan komunitas yang mendukung studi dan menjadi wadah ekspresi diri setiap pribadi. Kelima, mengembangkan persaudaraan yang komunikatif dengan membuka ruang keterlibatan dalam aktivitas pastoral dan sosial kemasyarakatan. Keenam, menghayati kemiskinan rasuli dan mengungkapkannya dalam keberpihakan kepada orang miskin dan yang menderita. Visi-misi ini diharapkan sungguh-sungguh menjadi barometer kehidupan semua anggota komunitas, tanpa kecuali. Dan masing-masing anggota diharapkan agar menginternalisasikannya dengan sungguh-sungguh pula. Untuk mengukur sejauh mana visi-misi itu sudah dihayati, maka selama kepemimpinanku, setiap tiga bulan diadakan evaluasi komunitas. Evaluasi ini melibatkan tidak hanya para formandi tetapi juga para formator. Sebagai “Koordinator Umum”, bersama staf inti lainnya (wakil, sekretaris I dan II), saya memandu jalannya evaluasi ini. Evaluasi ini, menurut hemat saya dilihat baik, oleh karena dapat membantu setiap anggota komunitas untuk melihat kembali penghayatan visi-misi secara pribadi. Evaluasi ini membicarakan pula sejauh mana setiap seksi sudah menjalankan program kerjanya, apakah ada hambatan atau ada kemajuan. Kalau ada hambatan, faktor apa saja yang menghambatnya dan bagaimana cara untuk mengatasinya. Dan kalau ada kemajuan, apakah itu dirasakan sudah cukup atau justru ditingkatkan lagi di masa mendatang. Menarik bahwa selama masa kepemimpinanku ini, ada banyak hal yang bisa saya pelajari. Sebagai seorang pemimpin (Koordinator) saya belajar menjadi orang yang setia dengan tugas dan tanggungjawabku. Selain itu, saya juga belajar menjadi pendengar yang baik, juga bukan untuk menjadi single fighter melainkan terutama untuk belajar bekerja dalam teamwork, bekerjasama dengan staf atau pengurus rumah dan para ketua seksi lainnya. Dengan bekerjasama, maka segala tugas dan urusan rumah dapat dilaksanakan, segala-galanya menjadi ringan. Saya akui bahwa memang tidak mudah menjadi “Koordinator Umum”, oleh karena di satu sisi saya harus memperhatikan kepentingan pribadi (misalnya kuliah di kampus), tetapi juga di sisi lain, saya diminta supaya mengabdi secara total bagi kepentingan komunitas. Meskipun hal ini tampak berat dan menyita banyak perhatian, saya senantiasa berusaha menjalankannya dengan baik. Kesetiaan ini tampak dalam komitmen pribadi untuk sungguh-sungguh menjadikan komunitas ini hidup. Secara umum kepemimpinanku ini berjalan dengan baik, walaupun demikian kadang-kadang saya sendiri merasa kesulitan ketika tidak ada kerjasama di antara anggota komunitas, secara khusus di antara seksi yang satu dengan seksi yang lain. Selain itu, saya pun mengalami kesulitan dalam mendampingi seksi-seksi yang gagal menjalankan program kerjanya. Meskipun demikian, secara keseluruhan saya sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan diri bagi orang lain, menjadi teladan bagi mereka, secara khusus bagi para konfraterku, misalnya yang saya lakukan adalah terus mendorong dan menyemangati para ketua seksi dan pengurusnya dalam menjalankan tugas mereka, setia mendengarkan segala keluhan dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. 2.2.6.2. Kepemimpinanku pada Waktu Menjalani Tahun Pastoral (September 2008- Juni 2009) Seorang pemimpin adalah seorang yang tidak hanya mampu memberi teladan, menjadi pembimbing bagi yang dipimpinnya tetapi juga sekaligus mampu memengaruhi atau menginspirasi orang lain. Demikianlah yang ditegaskan oleh Lin Bothwell, yang berkata bahwa pemimpin sejati adalah orang yang mampu memengaruhi orang lain. Selain itu, seorang pemimpin adalah sang penggembala. Hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin dalam Alkitab sering digambarkan melalui perumpamaan-perumpamaan, misalnya hubungan antara seorang bapak dengan anak, seorang majikan dengan hamba, raja dengan rakyat. Tipe kepemimpinan ini dengan sangat sempurna telah diteladankan oleh Yesus sendiri. Dia adalah Gembala yang baik dan sebagai Gembala yang baik, Ia mengenal domba-domba-Nya bahkan dalam tingkatan yang paling ekstrem sebagai Gembala yang baik, Yesus memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya.(bdk. Yoh 10: 11-18). Menurut Herman Musakabe bahwa orang yang diberi talenta oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin seharusnya menjadi ”gembala yang baik” bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang demikian, mulai tampak ketika saya menjalani masa TOP di Kalimantan Barat, walaupun tidak secara sempurna seperti Yesus sendiri, sekurang-kurangnya, saya berusaha menghayatinya dalam konteks pelayanan saya. Tahun pastoral pertama-tama bagi saya merupakan tahun di mana saya diberi kesempatan untuk belajar (dalam hal apa saja) termasuk belajar memimpin orang. Selama menjalankan Tahun Pastoral di Paroki St. Martinus, saya diberi tugas oleh Pastor Paroki untuk mendampingi atau membina kedua kelompok kategorial, yaitu: Anak-anak misdinar dan anak-anak asrama (SMU). Adapun beberapa tugas dan tanggungjawab yang saya kerjakan di sini, antara lain: Kelompok Misdinar: pertama, mengumpulkan mereka pada setiap haru Rabu untuk mengadakan doa rosario dan hari Sabtu sore untuk latihan misdinar bersama persiapan misa hari minggu. Kedua, mengadakan kegiatan rekreasi bersama akhir semester, sebagai saat relaksasi bersama, dan mengungkapan kegembiraan satu sama lain. Model ini saya rasa penting oleh karena tidak hanya menjadi kesempatan berkumpul bersama, tetapi juga sebagai momen untuk lebih mendekatkan diri dengan mereka, mengenal mereka. Hanya dengan demikian, komunikasi dan interaksi secara timbal-balik yang memungkinkan kepemimpinan itu menjadi efektif karena saling mengenal. Kelompok Anak Asrama: pertama, mengadakan pendalaman iman, memberikan pelajaran (bahasa Inggris, ini khusus anak SMU). Kedua, mengadakan kegiatan lectio divina bersama. Model pendampingan ini, menurut hemat saya, disimak tidak hanya sebagai kesempatan berharga bagi saya untuk menjadi seorang yang berdiri di depan memberi jalan atau teladan (sebagai guru) tetapi juga moment untuk memengaruhi mereka (dalam hal yang baik) dan untuk menggembalakan mereka. Meskipun demikian, saya tetap mengakui keterbatasanku dan oleh karenanya perlu diisi dan dilengkapi terus-menerus. III. Evaluasi atas Tipe-tipe Kepemimpinanku Setelah menyimak beberapa tipe atau karakter kepemimpinanku di atas, saya mengevaluasi atau memberi beberapa catatan atasnya. 3.1. Kepemimpinan pada waktu TK-SMP: belum memahami betul arti kepemimpinan Menyimak apa yang saya refleksikan atau paparkan tentang pengalaman kepemimpinanku pada waktu TK-SMP, dapat dikatakan bahwa kepemimpinanku dalam kurun waktu ini belum banyak memperlihatkan arti yang mendalam, oleh karena selain saya masih kecil dan belum tahu apa-apa tentang apa artinya menjadi pemimpin, tetapi juga saya belum memiliki banyak pengalaman menjadi seorang pemimpin. Meskipun demikian, saya berusaha melaksanakannya, walaupun tetap ada banyak keterbatasan atau kekurangannya. Kepemimpinanku masih berada dalam taraf demi memenuhi tugas-tugas yang diberikan kepada saya. 3.2. Kepemimpinan pada waktu Seminari Menengah: sudah mulai mengerti arti kepemimpinan Secara umum, saya melihat bahwa kepemimpinanku pada masa ini, tidak akan berjalan dengan baik dan lancar jikalau saya tidak pernah bekerjasama dengan para pengurus seksi. Memang harus diakui bahwa dalam banyak hal, saya perlu belajar lagi bagaimana menjadi pribadi yang sabar dan setia dengan tugas yang dipercayakan. Hanya dengan demikian saya pun dapat bertumbuh dan berkembang menjadi seorang yang bisa memberi diri dengan tulus hati. Kekuatan dari kepemimpinanku pada masa ini letaknya pada kerjasama antar pengurus, terutama dalam menyukseskan kegiatan olah raga, hanya saja kelemahannya, yakni walaupun sudah mulai mengerti bagaimana semestinya menjadi pemimpin, namun saya melihat sendiri bahwa kepemimpinanku ini masih dalam taraf memimpin demi pemenuhan tugas, belum sampai pada taraf internalisasi secara mendalam bagaimana menjadi pemimpin yang ideal. 3.3. Kepemimpinan pada waktu Novisiat, Seminari Tinggi dan Tahun Pastoral: sudah mulai menghayati bagaimana menjadi seorang pemimpin yang ideal. Hal yang membanggakan saya di sini adalah bahwa saya berusaha menghayati arti kepemimpinan sebagai pelayanan. Menjadi pemimpin berarti menjadi pelayan, yang setia melayani kebutuhan komunitas, menjadi orang yang memiliki jiwa untuk mendorong, menyokong orang lain: bersikap hangat, bersahabat¸ dan menerima orang lain. Baik sebagai primus interparis, maupun sebagai ”Koordinator Umum”, saya ”didesak” untuk sungguh-sungguh memiliki integritas seperti itu. Selain dituntut untuk sungguh-sungguh menjadi mediator antara para frater dengan para formator, saya juga dituntut terus mendorong warga komunitas (secara khusus para frater) supaya menjalani visi-misi yang ada. Kegagalan dalam pelaksanaan program kerja dari seksi-seksi, atau ketidakharmonisan dalam hidup berkomunitas, kesenjangan dalam hal berelasi antara para konfrater itu juga merupakan kegagalan saya, demikian juga keberhasilan yang diraih bersama itu juga menjadi kesuksesan saya. Dari sebab itu, kekuatan dari kepemimpinanku di sini tampak dalam ”kerjasama tim” dalam kepengurusan, juga dalam hal membangun relasi yang harmonis antara saya dengan yang dipimpin, kerjasama dalam menyukseskan setiap program kerja seksi, meskipun dalam batas-batas tertentu. Walaupun demikian tetap ada kelemahannya, yakni dalam banyak aspek, pelayananku belum begitu maksimal. Mengapa demikian, oleh karena perhatian saya masih terbagi-bagi terutama untuk kepentingan kuliah di kampus dan juga kadang saya belum mampu menciptakan iklim kepemimpinan yang bisa membantu sesama konfrater menghayati hidup bersama dengan baik dan juga membantu mereka dalam menyukseskan pelaksanaan program kerja seksi mereka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pendekatan secara personal dalam memimpin mereka. Menyimak kepemimpinanku pada waktu Tahun Pastoral di atas, saya melihat bahwa menjadi seorang pemimpin pertama-tama bukan merupakan sebuah status, melainkan menjadi pribadi yang berdiri di depan memberi teladan hidup yang baik bagi mereka dan Yesus adalah contohnya. Dalam arti tertentu menjadi teladan yang baik juga berarti memengaruhi mereka (tentu hal-hal yang baik). Dan letak kekuatan dari kepemimpinanku di sini sebetulnya tampak dalam komunikasi terbuka, sikap mendengarkan dan menjadi teladan bagi mereka, hanya saja mungkin ini belum begitu maksimal oleh karena frekuensi untuk membina mereka kurang memadai. IV. Penutup Dari beberapa uraian di atas, dapat diringkas bahwa kepemimpinan yang saya praktekkan di setiap fase kehidupan ternyata mengalami perkembangan dan setiap fasenya memiliki model tersendiri, meskipun ada beberapa yang sama. Mencermati tipe-tipe kepemimpinan di atas, saya merefleksikan bahwa sebetulnya kepemimpinan saya pada dasarnya bukan karena saya memiliki bakat alamiah (faktor genesis), juga bukan karena saya mengikuti pelatihan kepemimpinan (ada bekal pengetahuan), melainkan lebih menyangkut kepercayaan yang diberikan orang lain kepada saya. Dan kepercayaan inilah menjadi modal saya untuk bisa memimpin orang lain meskipun dalam banyak hal, saya perlu belajar lebih banyak. Dari semua tipe kepemimpinanku itu, salah satu tipe kepemimpinan yang paling menonjol adalah ”pemimpin pelayan”. Karakter ini hampir tampak di setiap fase kehidupanku dan yang paling kental adalah ketika di Seminari Tinggi dan waktu menjalankan praktek pastoral. Kalau melihat arti pelayanan di sana, dapat dikatakan juga bahwa ketika saya menerapkan model kepemimpinan tertentu (pemimpin yang memperlancar kegiatan, atau kepemimpinan yang berorientasi pada tugas-tugas) atau pun kepemimpinan partisipatif, sebetulnya di situ secara implisit terungkap model pelayanan tertentu sesuai tipe kepemimpinan yang ada. Dari sebab itu, saya merefleksikan bahwa kepemimpinanku adalah pelayanan, menjadi pemimpin pelayan dan tokoh par excellence¬¬-nya adalah Yesus sendiri. Mengapa Yesus menjadi modelnya, oleh karena Ia sendiri melayani orang lain tanpa pamrih, dan gambaran sempurna kepemimpinan Yesuslah yang bisa membantu saya mengabdikan diri secara utuh bagi orang lain. Dan hal ini merupakan tujuan dari segala pencarian jatidiri dari seorang pemimpin. Aktualisasi diri seperti ini hanya menjadi mungkin kalau ada kerendahan hati serta kesiapsediaan untuk mengabdi atau melayani orang lain lewat tugas yang dipercayakan kepadanya. Tanpa sikap ini, kepemimpinan itu tidak akan menjadi efektif dan bermakna, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dengan menjadi pemimpin pelayan, sebetulnya pada saat yang sama pula, saya tidak hanya memimpin orang lain, tetapi juga memimpin diri saya sendiri. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku: Bothwell, Lin. The Art of Leadership: Skill-Building Techniques That Produce Results, New York: Prentice Hall Press, 1988. Greenleaf, Robert K. Servant Leadership, A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness, New York: Paulist Press, 1997. Hartono, Gunawan. The Servant King, Paradigma Baru Kepemimpinan Ala Yesus, Waru-Sidoarjo: Elijah, 2009. J. Keating, Charles. Kepemimpinan, Teori dan Pengembangannya, terj. A. M., Mangunhardjana, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Martasudjita, E. Pelayanan yang Murah Hati, Yogyakarta: Kanisius, 2003. ____________. Kepemimpinan Transformatif, Makna dan Spiritualitasnya secara Kristiani, Yogyakarta: Kanisius, 2001. Musakabe, Herman. Roh Kepemimpinan Sejati, sebuah Pencarian Jati Diri Pemimpin, Jakarta: Citra Insan Pembaru, 2004. Pedoman Kepemimpinan Partisipatif dalam Gereja, Malang: Keuskupan Malang, 1999. Seminari Montfort, Notre Vie Communautaire, Hidup Komunitas Kita, 2005-2006, Cor Unum et Anima Una Un Coer et Une Ame, Sehati Sejiwa, Malang, 2005. Internet: Rosiman, Mohammad. Kepemimpinan diri, "http://trustco.or.id/kepemimpinandiri.htm" . (diakses tanggal 30 November 2009).

Tidak ada komentar: