Jumat, 08 April 2011

PANORAMA KEHIDUPAN RELIGIOSITAS ORANG TAMAN

PANORAMA KEHIDUPAN RELIGIOSITAS ORANG TAMAN

2. 1. Pengantar
Pokok-pokok gagasan yang akan diuraikan dalam Bab II ialah mengenai Panorama Kehidupan Religius Orang Daya Taman. Hal ini dibahas karena menampilkan latar belakang dan corak yang mewarnai kehidupan religiositas orang Daya Taman dalam konteks kebudayaan lokal. Adapun sub-sub bagian yang akan diuraikan dalam Bab II ini dibagi sebagi berikut: Pengertian religi, gambaran singkat lingkungan alam-fisik sebagai ruang yang memengaruhi sistem religiositas, Selayang Pandang Suku Daya Taman; Asal Mula Manusia dan Alam Semesta, Adat Istiadat Orang Taman; Sistem Religi yang memberi ciri khas bagi kehidupan Daya Taman.

2. 2. Pengertian Religi
Religi muncul dari adanya bermacam-macam perasaan orang dalam menghadapi, mengalami peristiwa tertentu: perasaan kagum, hormat, segan, takut, tegang, terkejut, mual, tak berdaya, heran, cinta, benci, asmara. Orang mendapat kesan seakan-akan perasaan itu tidak timbul dari dalam diri manusia yang bersangkutan, melainkan diaktifkan oleh peristiwa dari luar, seperti misalnya kelahiran, kematian, anak menjadi dewasa, bencana alam, halilintar, bentuk ganjil sebuah batu. Kekuatan, kekuasaan, atau ‘Gaya Misterius’ dari luar memengaruhi manusia sehingga aneka perasaan timbul dalam dirinya. Kemudian perasaan dipikirkan sampai menghasilkan pelbagai khayalan. Iman yang demikian diberi bentuk cerita yang disebut mitos. Mitos didramatisasi dalam upacara dan dihayati dalam tata susila.
Dari perspektif ahli ilmu perbandingan agama, tidak ada kesepakatan definisi istilah religi. Van Schie menarik kesimpulan istilah religi berdasarkan hipotesa riwayat munculnya religi pada awalmulanya dan tanpa memutuskan definisi yang paling tepat. Ia mengatakan bahwa religi adalah keseluruhan mitos, ritus, dan tata hidup yang merupakan pernyataan serta pengungkapan kepercayaan manusia, dan bahwa ‘Gaya Misterius’ mempengaruhi semua aspek kehidupannya.
Disamping gejala yang spesifik yang memotivasi perasaan itu, juga muncul gejala yang secara keseluruhan memotivasi perasaan, sekaligus tindakan. Gejala itu lahir dari alam semesta, dari lingkungan alam di mana suatu masyarakat berdiam dan menjalani kehidupannya. Untuk menggagas religiositas orang Taman, penulis mengikuti pengertian religi sebagaimana diungkapkan Van Schie tersebut.

2. 2. Gambaran Singkat Mengenai Lingkungan Yang Memengaruhi Religiositas Orang Taman
Hakikat yang terkandung di dalam sistem religi menuntun masyarakat Daya untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta, sehingga terwujud keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam. Lingkungan alam dalam kehidupan religi orang Taman merupakan ruang kehidupan religiositasnya. Alam berada pada urutan yang pertama dalam perannya sebagai yang memengaruhi keseluruhan sistem religi yang dianut oleh orang Taman. Gambaran mengenai pengaruh lingkungan terhadap kehidupan religiositas ini akan diuraikan sebagai berikut: pertama, hubungan lingkungan fisik kekuatan supranatural; kedua, relasi alam dan kehidupan orang Taman serta letak wilayah dan pola pemukiman.

2. 2. 1. Lingkungan Fisik
Kepercayaan tradisional yang dianut oleh orang Daya Taman umumnya dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Kekuatan supranatural yang ada di sekitar mereka yang keberadaannya di luar jangkauan akal budi manusia menimbulkan pertanyaan. Hal inilah yang mendorong manusia Daya Taman melakukan berbagai upacara yang beraneka ragam untuk mencari hubungan dengan kekuatan supranatural itu. Upaya mencari hubungan dengan sesuatu yang supranatural itu melahirkan aktivitas religius manusia Daya Taman sebagaimana juga dalam suku-suku lain dengan kekhasan regiositasnya. Inilah aktivitas manusia yang berkaitan dengan kepercayaan atau religi yang didasarkan pada suatu getaran jiwa yang disebut emosi keagamaan atau religi.
Dari getaran jiwa itu manusia mengalami adanya gejala-gejala yang muncul di luar kemampuan akal budi manusia sehingga manusia meyakini adanya sesuatu yang lebih tinggi. Manusia yang pada awalnya kagum akan adanya gejala-gejala dan kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidup dan alam sekitarnya, menjadi tergugah untuk memiliki sistem kepercayaan kepada kekuatan supranatural yang melampaui dirinya itu.
2. 2. 1. 1. Keadaan Alam
Alam adalah tempat manusia bersama ciptaan lain berdiam dan hidup. Dari lingkungan alam itu pula manusia dapat menemukan kekuatan-kekuatan yang berada di luar dirinya. Lingkungan alam turut menentukan pola kehidupan. Bukan hanya secara mental tetapi juga secara spiritual. Pola kehidupan yang demikian dilatarbelakangi oleh alam lingkungan tempat tinggal.
Secara geografis, alam tempat orang Daya Taman tinggal adalah sebagian besar terdiri dari dataran rendah dengan permukaan tanah rata dan di sana-sini terdapat rawa-rawa. Lingkungan alam di tepi sungai Kapuas, sungai Mendalam, dan sungai Sibau yang merupakan daerah pemukiman orang Taman. Di sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Kapuas, Mandalam, Sibau, terdapat hutan lebat beriklim sub-tropis. Selain tiga sungai tersebut, terdapat pula banyak anak sungai yang melintas di hutan rimba yang termasuk dalam wilayah teritorial tanah adat orang Taman. Tidak jauh dari perkampungan, terdapat perkebunan atau yang disebut dengan kobon bua’ , dan hutan belantara yang disebut dengan timpungan.

2. 2. 1. 2. Letak Wilayah
Orang Taman, sejak dahulu selalu membuat rumah tempat bermukim di pinggir sungai. Sungai sangat vital dalam kehidupan orang Daya Taman. Sungai bukan hanya sebagai sarana perhubungan lalu lintas air, tetapi juga sebagai tempat mencari kebutuhan hidup, yakni lauk pauk untuk dimakan sehari-hari. Selain itu sungai juga digunakan untuk mandi, cuci, kakus (MCK).
Orang Taman bermukim di penghuluan sungai Kapuas, sungai Mandalam dan sungai Sibau. Tiga nama sungai ini oleh orang Taman digunakan untuk menyebut komunitas orang Taman yang tinggal berdasarkan sungai yang berbeda itu. Orang Taman yang bermukim di sungai Kapuas disebut orang Kapuas, demikian juga dengan orang Taman yang bermukim di sungai Mandalam disebut orang Mandalam dan orang Taman yang bermukim di sungai Sibau disebut orang Sibau.
Orang Taman yang berdiam di wilayah penghuluan tepi sungai Kapuas terbagi lagi dalam beberapa kampung dan menyebut diri berdasarkan nama kampungnya. Kampung tersebut adalah kampung Lunsa (orang Usa) memiliki dua Rumah Betang terletak paling hulu. Di hilir kampung Lunsa terdapat kampung Sayut (orang Sayut). Orang Sayut memiliki enam Rumah Betang. Di hilir kampung Sayut terdapat kampung bernama Ingko Tambe (orang Ingko Tambe). Ingko Tambe yang dalam bahasa Taman berarti ‘ekor panji’, memiliki tiga Rumah Betang. Di hilirnya ada kampung bernama Malapi (orang Malapi). Orang Malapi memiliki lima Rumah Betang. Satu diantaranya, yakni rumah betang Malapi 1 merupakan Rumah Betang antik tempat para peneliti atau turis lokal maupun mancanegara mengadakan penelitian tentang adat istiadat orang Taman. Kemudian kampung yang berada paling hilir dari perkampungan orang Taman Kapuas ialah Sauwe (orang Sauwe). Orang Sauwe hanya memiliki satu Rumah Betang yang biasanya disebut ‘So tunggan’ yang artinya rumah tunggal. Demikiam halnya juga orang Taman yang bermukim di tepi sungai Mandalam disebut orang Mandalam atau orang Ariyung Mandalam. Orang Mandalam memiliki tiga Rumah Betang. Dan orang Taman yang berdiam di sungai Sibau sering disebut orang Banua Sio, memiliki enam Rumah Betang.


Gambar 2. Peta Pemukiman Orang Taman dan Sekitar.

2. 2. 1. 3. Pola Pemukiman Orang Taman
Rumah tempat bermukim orang Daya Taman ialah Rumah Betang atau dalam bahasa Taman disebut So Langke yang artinya Rumah Panjang. Inilah yang menjadi kekhasan orang Daya pada umumnya dan orang Daya Taman khususnya. Tidak ada perkampungan orang Daya Taman yang tanpa Rumah Betang. Rumah Betang menjadi tempat bersatunya orang Daya Taman. Mentalitas kolektif dan komunal lahir dari adanya Rumah Betang ini. Rumah Betang disebut oleh orang Taman sendiri maupun oleh kalangan di luar orang Taman ialah rumah adat. Sebab tidak ada acara adat tanpa diselenggarakan di Rumah Betang.
Kerterkaitan yang erat antara adat dan Rumah Betang sangat menonjol, sehingga pendirian Rumah Panjangpun mematuhi aturan adat yang berlaku secara turun temurun. Pendirian Rumah Betang juga mengindahkan unsur kepercayaan asli. Misalnya sebelum orang mulai membangun Rumah Panjang, orang harus mengamati tanda-tanda atau bunyi-bunyi dari burung-burung. Pada saat tanda baik didengarkan, hari berikutnya lokasi rumah tempat didirikannya Rumah Panjang yang baru dapat dibersihkan. Itupun bila pada malam hari itu tanda-tanda tersebut tidak dirintangi oleh mimpi yang buruk. Adapun rumah sebagai tempat tinggal lain selain rumah betang adalah rumah kebun yang disebut So Pambutan. So Pambutan berfungsi sebagai tempat kediaman sementara. Biasanya So Pambutan tersebut dibuat untuk tujuan keleluasaan beternak (mamiara katiyo’an) atau berkebun (bakobon).

2. 3. Selayang Pandang Suku Daya Taman
2. 3. 1. Asal Mula Manusia dan Alam Semesta dalam Pandangan Orang Taman
Orang Daya Taman sebagaimana juga orang Daya sebagai keseluruhan, tidak memilki tradisi tertulis dalam sejarah peradabannya. Mereka hanya memiliki tradisi lisan, dan tradisi lisan itupun sekarang hampir terlupakan karena orang Daya telah mengenal tulisan. Pengenalan akan tulisan ini lahir dari pengaruh masuknya misi agama Katolik dan pendidikan formal pemerintah. Dalam sejarahnya, tradisi lisan sangat vital bagi masyarakat Daya. Inilah satu-satunya cara untuk menyampaikan detil-detil tradisi atau aturan-aturan hidup kepada anak cucu secara turun temurun. Dalam cerita yang disampaikan secara turun temurun itu diketahui bahwa manusia dan alam semesta memiliki awal kejadian yang tak lepas dari adanya wujud tertinggi.
Asal mula alam semesta dan manusia dalam pandangan orang Daya Taman dapat diketahui dalam kisah penciptaan yang dituturkan tiga malam berturut-turut dalam acara bumbulan yang disebut cerita kalimongonan. Kalimongonan adalah acara penuturan kembali peristiwa kejadian asal mula alam semesta dan manusia. Menceritakan kembali persitiwa penciptaan merupakan bagian inti dari acara bumbulan. Upacara bumbulan merupakan upacara penting menjelang pesta Gawai raa. Dalam cerita tersebut dikatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Alaatala.
Alaatala menciptakan alam semesta yakni langit dan bumi beserta isinya dengan kuasa mujizat atau disebut dengan panyunyua. Panyunyua adalah cara Alaatala menggunakan kehendaknya untuk mengadakan segala sesuatu menjadi ada seketika tanpa bahan dan alat. Setelah Alaatala menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Alaatala memberi tugas kepada Piang Sampulo untuk membuat manusia sesuai dengan rupa Piang Sampulo sendiri. Piang Sampulo inilah yang kemudian mengajarkan cara hidup kepada manusia pertama yang ia ciptakan. Manusia pertama yang diciptakan oleh Piang Sampulo dan Bai’ Kunyanyik bernama Bai’ Idi’langilangsuan dan Piang Tina.

Gambar 4. Penciptaan Manusia.

2. 3. 2. Adat Istiadat
2. 3. 2. 1. Kerajinan
Kerajinan tangan menunjukkan kekhasan budaya dan kreativitas adat suatu suku bangsa yang berbudaya. Masyarakat Daya Taman pun mengenal teknik menenun untuk membuat busana. Bahkan hingga kini masyarakat Dayak Taman dikenal sebagai penenun yang terampil. Kerajinan tangan atau kreativitas adat orang Taman adalah menenun atau dalam bahasa Taman dinamakan manyee. Kegiatan manyee lain sama sekali dengan kegiatan menenun kain, sebab menenun kain murni benang yang ditenun sehingga menjadi kain. Manyee adalah aktivitas menusukkan benang ke dalam lubang manik dan merangkaikannya menjadi satu kesatuan sehingga dari aktivitas ini terbentuk pakaian adat seperti baju atau topi atau selendang dan aneka busana adat dari manik-manik. Sehingga aktivitas ini terkenal dengan sebutan manyee bulang manik atau manyee indulu manik. Kegiatan manyee ini lazimnya dilakukan oleh kaum perempuan. Pakaian adat Daya Taman sangat unik dan indah, karena terbuat dari manik-manik yang bermotif dan memiliki kombinasi warna yang khas serta memiliki nilai dan makna religius tersendiri.

2. 3. 2. 2. Kesenian
Dalam masyarakat Daya, tari-tarian dilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan seremonial. Namun ada juga tarian yang sifatnya untuk kepentingan umum. Pada hakekatnya tari-tarian ini merupakan selebrasi kehidupan. Ragam tarian itu menunjukkan pula identitas khas suku. Misalnya tarian Burung Enggang simbol kedekatan suku Daya dengan ciptaan. Tarian tersebut sebagai ciri bahwa suku Daya identik dengan orang yang mencintai ciptaan. Demikian halnya dengan suku Daya Taman. Mereka memiliki ragam tarian selain sebagai simbol identitas kesukuan, juga sebagai ungkapan setiap dimensi kehidupan sesuai dengan konteks ritual yang dirayakan. Misalnya daria’ so’soak. Daria’ so’soak artinya tarian gembira. Tarian gembira atau daria’ so’soak ini seringkali ditampilkan dalam upacara perkawinan.
Selain tarian dan seni merangkai manik-manik menjadi pakaian adat, juga terdapat seni menabuh aneka alat musik tradisional. Alat musik orang Taman adalah Kulintang atau Galentang ialah gong kecil atau Babandi ataupun gong yang berukuran besar yang disebut Tawak. Selain itu ada juga alat musik yang terbuat dari kayu keras yakni kayu Tuleen atau kayu Panyoo, disebut Kangkoang. Ada pula alat musik gendang atau yang disebut Tung.
Masing-masing alat musik ini memiliki jenis tabuhannya dan setiap tabuhan memiliki makna religius tersendiri. Misalnya Taba Palong ialah gong besar atau Tawak yang dibunyikan dengan birama 3 x 3 artinya ada seseorang yang akan meninggal dunia. Pembunyian gong dengan birama 3 x 3 itu maksudnya mengiringi proses penghembusan napas terakhir dari orang yang hendak meninggal dunia tersebut. Demikian halnya juga dengan alat musik seperti Kangkoang, Tung dan lain-lain, memiliki makna dan dari cara membunyikannya.

2. 4. Sistem Religi
Masyarakat Daya Taman memiliki sistem religi asli yang sangat kompleks. Mulai dari sistem religi tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Pengertian religi atau kepercayaan dalam masyarakat Daya Taman adalah kepercayaan kepada setiap ciptaan yang di dalamnya diyakini memiliki roh (anima), yang dapat memberikan kekuatan dan kehidupan. Pengertian ini berbeda dengan religius dalam konteks teologi yang artinya sama dengan keagamaan atau kesalehan. Dalam Gereja seringkali artinya menjadi sempit yaitu segala apa yang berhubungan dengan anggota-anggota dan kongregasi.
Dari perspektif antropologi sistem kepercayaan atau religi timbul dari kesadaran umat manusia akan adanya jiwa. Sistem religi ini berevolusi dari tingkat yang paling rendah, seperti kepercayaan kepada adanya makhluk-makhluk halus, roh-roh atau hantu-hantu, ke tingkat yang paling tinggi, seperti kepercayaan kepada dewa-dewa yang menggerakkan alam, akhirnya ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan ini menggerakkan jiwa manusia untuk melakukan tindakan yang mencerminkan kepercayaannya itu.

2. 4. 1. Kepercayaan Kepada Wujud Tertinggi ( Alaatala)
Alaatala adalah sebutan orang Taman untuk Tuhan. Apakah sebutan Alaatala dari orang Daya Taman untuk Tuhan ini aslinya berasal dari orang Taman sendiri ataukah berasal dari luar?. Menurut Rahmat Subagyo, bahwa diantara suku-suku Daya, disamping nama-nama Tuhan yang jelas berasal dari luar seperti Sangiang, Bathara, Pohatara, Iswara, Mahatala dan Alatala, terdapat nama asli juga. Misalnya Maharaja Kulung Rahun, Datu kumahing langit, Ile Tungka Kahiangan, Tuhan Nguasa, Alaktala Ngaburiat, Raja Tontong Matanandan, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan, Ting, Datu Tantaya, Tame Tinge, Lahtala Ju’us Tuha, Lalun-nganing Singkar Olo, Tata Manah Tuah Wuka dan lain-lain. Menurut H. M. Baroamas Jabang Balunus, orang Taman menyebut Tuhan atau wujud tertinggi itu dengan sebutan Alaatala atau dalam bahasa budaya narasi orang Taman disebut Iyang suka. Alaatala merupakan sebutan asli untuk Tuhan yang berasal dari orang Taman sendiri, dan bukan sebutan yang diambil dari bahasa Arab.
Menurut Rahmat Subagyo, orang Daya termasuk suku yang menganut paham teistis (Theos-Yunani=Tuhan) yaitu mengakui Tuhan sebagai asal mula dan pemilik dunia. Tuhan dilihat sebagai wujud tertinggi yang aktif mengurus dan membimbing alam dunia dan manusia. Sejalan dengan paham itu, orang Taman mengakui Tuhan sebagai asal mula dan pemilik dunia. Tuhan atau Alaatala adalah penguasa tertinggi yang menciptakan alam semesta dan manusia.
Menurut Y. C. Thambun Anyang, kepercayaan terhadap Alaatala sudah ada jauh sebelum kedatangan agama Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Protestan. Orang Taman percaya bahwa tujuan hidup manusia ialah Alaatala. Alaatala itu berupa roh kekal dan dianggap sebagai sumber keselamatan bagi manusia. Meskipun dianggap sebagai sumber keselamatan, orang Taman tidak memiliki upacara yang dipersembahkan secara istimewa kepada Alaatala, kecuali doa untuk meminta agar hidup selamat, terhindar dari segala penyakit dan marabahaya. Upacara untuk penghormatan dengan kurban atau sesajen diadakan untuk para arwah leluhur atau roh-roh nenek moyang. Upacara adat sebagai ungkapan religiositas asli selalu melibatkan leluhur. Upacara adat Gawai raa permohonan keselamatan bagi kehidupan manusia dialamatkan kepada Alaatala, melalui leluhur.

2. 4. 2. Kepercayaan Kepada Arwah Leluhur
Menurut H. M. Janting Baroamas Jabang Balunus, bahwa alasan penghormatan dan penghargaan yang diberikan kepada para arwah leluhur pertama-tama agar relasi dengan para leluhur dan dengan para anggota keluarga tetap hidup dan terpelihara. Kedua penghormatan dan penghargaan terhadap arwah leluhur mengandung pengertian bahwa di satu pihak para leluhur menjadi pembicara dan pengantara di rumah dan di hadapan Sang Pencipta dan Penguasa Yang Maha Tinggi demi kebaikan dan kesejahteraan para anggota keluarga yang masih hidup.
Lebih lanjut H. M. Janting Baroamas Jabang Balunus mengatakan bahwa leluhur itu diyakini sebagai yang telah bersatu dengan Alaatala maka para leluhur berperan sebagai pembicara dan perantara dari pencipta dan penguasa tertinggi yang ditugaskan untuk menjaga dan menyampaikan segala perintahnya kepada anak cucu yang masih hidup.
Hubungan spiritual antara nenek moyang dan anggota keluarga yang masih hidup bukan hanya ada dalam religiositas orang Daya Taman tetapi dapat dijumpai dalam religiositas suku bangsa lain seperti misalnya suku bangsa di pulau Timor. Nenek moyang, selain menjadi sumber motivasi, nenek moyang juga menjadi sumber kualitas religiositas yang tinggi bagi pemeliharaan dan kelanjutan serta pembaruan semangat religius anggota keluarga.
Menurut A. Daling Asdi peranan leluhur dalam kepercayaan orang Taman sangat kuat. Maka tidak mengherankan bahwa ada upacara adat yang sangat besar dan meriah dalam orang Taman yang disebut Gawai raa untuk menghormati leluhur. Kepercayaan ini dipegang teguh oleh orang Taman sampai sekarang. Dalam setiap kegiatan, para leluhur tidak pernah dapat dilupakan. Para leluhur selalu dilibatkan oleh anak cucu yang masih hidup. Selain dalam kegiatan pertanian, merantau, dan upacara inisiasi lainnya, leluhur juga dilibatkan dalam kehidupan sosial budaya dan kemasyarakatan, misalnya gotong royong membangun atau memugar Rumah Betang sebagai tempat tinggal bersama.

2. 4. 3 Kepercayaan Akan Adanya Roh
Orang Daya Taman meyakini adanya eksistensi roh. Roh dalam kepercayaan tradisional sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan. Roh dalam bahasa Taman ialah Sumangat. Keberadaan Sumangat ini tidak hanya pada manusia tetapi juga ada pada makhluk-makhluk lain, seperti binatang dan juga pada benda-benda hidup maupun benda mati yang ada dalam alam semesta ini. Roh-roh yang ada pada setiap makhluk dan benda itu berasal dari Sang Pencipta atau Alaatala, sebab roh yang ada tersebut merupakan ciptaan Alaatala. Alaatala dengan kuasanya menciptakan langit dan bumi serta manusia bersama ciptaan lain untuk hidup dan tinggal di dalamnya.
Kepercayaan tertinggi orang Taman adalah kepercayaan kepada Alaatala. Mula-mula Alaatala dengan kuasaNya, menciptakan Sampulo, kemudian Sampulo diberi kuasa oleh Alaatala untuk menciptakan manusia. Maka, atas dasar kuasa Alaatala itu pula Sampulo diberi tugas untuk membuat manusia sesuai dengan citra Sampulo yang diciptakan oleh Alaatala sendiri. Manusia yang diciptakan Sampulo atas kuasa Alaatala itu memiliki roh yang berasal dari Alaatala sendiri. Roh yang ada pada manusia dimasukkan oleh Sampulo lewat kepala pada saat Sampulo menciptakan manusia pertama. Kepala merupakan tempat Sampulo meniupkan nafas kehidupan sehingga manusia dapat hidup, bergerak, berbicara dan berjalan. Maka ubun-ubun di kepala manusia merupakan pintu keluar masuknya roh itu.
Orang Taman meyakini keberadaan roh yang disebut Sumangat itu. Selain roh yang berasal dari Alaatala, diyakini pula keberadaan roh-roh lain sebagai lawan dari roh yang hidup dalam ciptaan Alaatala itu, yakni roh halus yang suka menangkap jiwa manusia. Dalam bahasa Taman roh halus itu disebut Sai. Dalam kepercayaan orang Taman, munculnya penyakit yang diderita oleh manusia merupakan perbuatan dari Sai yang suka menangkap jiwa manusia tersebut. Maka untuk menyembuhkan orang dari penyakitnya ialah dengan mengambil kembali roh (Sumangat) orang tersebut dari cengkraman roh halus (Sai). Untuk itu diadakanlah upacara penyembuhan pengambilan kembali Sumangat yang telah ditangkap oleh Sai itu. Upacara ini disebut dengan upacara bermanang atau Balian (bahasa Melayu) atau upacara arabalien (bahasa Taman). Upacara bermanang atau arabalien itu dikerjakan oleh Manang (Melayu), Balien (Taman). Manang atau Balien adalah orang yang memiliki kharisma tertentu dan bisa berkomunikasi dengan Sai, maka hanya merekalah yang dapat melakukan upacara penyembuhan.

2. 4. 4. Kepercayaan Terhadap Kekuatan Gaib
Orang Taman sudah sejak zaman dahulu menganut kepercayaan asli, baik animisme maupun dinamisme. Mereka percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang hidup di sekeliling mereka dan roh-roh yang dianggap dapat memberikan perlindungan.
Suku Daya Taman sebagaimana juga suku Daya yang lain, meyakini bahwa alam semesta didiami oleh berbagai macam makhluk. Selain manusia dan makhluk-makhluk lain yang dapat dilihat, alam semesta didiami juga oleh makhluk-makhluk yang tidak kelihatan. Makhluk-makhluk itu disebut roh-roh halus yang memiliki kekuatan gaib. Roh-roh halus ini dianggap memiliki kekuatan yang dapat membahayakan manusia. Kekuatan yang terdapat dalam benda-benda juga diyakini sebagai yang melebihi kekuatan manusia.

2. 4. 5. Kepercayaan Terhadap Tanda-tanda dan Fenomena Alam
Orang Taman juga menaruh kepercayaan terhadap tanda-tanda dan pratanda dari alam. Kepercayaan terhadap tanda-tanda dan pratanda dari alam dalam kehidupan mereka merupakan hal yang wajar. Meskipun demikian, tidak semua orang Taman memiliki kepandaian untuk mengartikan tanda-tanda itu. Biasanya hanya generasi tua yang bisa mengartikannya.
Pesan yang disampaikan oleh alam merupakan pernyataan dari Sang Penguasa terhadap manusia. Dari pesan itu manusia religius Taman dapat menentukan apakah suatu pekerjaan dapat dilakukan atau tidak, bahkan dihentikan, atau ditunda ke waktu berikutnya yang lebih tepat. Tanda-tanda tersebut dapat diketahui dari perilaku atau suara burung, pohon tumbang, atau dahan kayu patah. Tanda-tanda ini menghadirkan dualisme makna. Di sisi lain pertanda baik, di sisi lain pertanda buruk.

2. 4. 5. 1. Burung Bengkok
Jika orang sedang berpergian atau hendak memulai suatu pekerjaan tiba-tiba terdengar suara burung bengkok di sebelah kiri jalan dengan suara nyaring, itu berarti suatu pertanda buruk bagi perjalananya atau pekerjaannya. Selalu ada pilihan, apakah orang tersebut membatalkan perjalanan atau menghentikan pekerjaan kalau tidak mau menerima resiko yang fatal. Ataukah orang tersebut tetap melanjutkan perjalanan dan pekerjaannya tanpa mengindahkan tanda tersebut. Jika suara itu terdengar di sebelah kanan, itu berarti pertanda baik bagi pekerjaannya, maka orang ia dapat melanjutkan perjalanan atau pekerjaannya.

2. 4. 5. 2. Burung Antis
Jika orang mendengarkan suara burung antis secara tiba-tiba dengan suara yang nyaring dan terdengar di sebelah kiri, itu berarti pertanda bahaya atau berita buruk. Hal tersebut diyakini bahwa akan ada bahaya yang menghadang atau akan ada sanak keluarga yang meninggal dunia dan sebagainya. Maka lebih baik orang tersebut membatalkan seluruh kegiatannya hari itu dan segera pulang ke rumah. Jika suara burung antis itu terdengar di sebelah kanan, itu berarti pertanda baik, mujur, dan akan datang berkat berlimpah atas rencana dan pekerjaannya.

2. 4. 5. 3. Burung Elang
Pada saat perjalanan membawa orang yang sakit ke rumah sakit, ternyata ada burung elang (burung bau) yang terbang melintas di udara dan terbang melawan arah tujuan dari mereka yang berpergian, itu pertanda bahwa orang sakit tersebut tak akan terselamatkan atau pertanda bahwa ia akan meninggal dunia. Jika arah terbangnya searah perjalanan mereka, pertanda bahwa orang yang sakit tersebut dapat sembuh.

2. 5. Situasi Hidup Yang Melatarbelakangi Diadakannya Upacara Religi
Setiap upacara pasti memiliki faktor yang melatarbelakangi diadakannya upacara tersebut. Situasi hidup yang dialami oleh manusia menjadi sumber motivasi pengakuan adanya eksistensi dan karya yang berasal dari Sang Penguasa kehidupan. Pengalaman akan realitas dan kehidupan religius menjadi satu kesatuan dan tak terpisahkan, maka lahirlah aktivitas religius sebagai ungkapan pengalaman akan realitas itu seperti bersyukur dan memohon.

2. 5. 1. Bersyukur
Upacara syukur atau bersyukur dilakukan karena manusia mengalami perlindungan, pertolongan (keselamatan) dari kekuatan yang lebih tinggi daripadanya. Rasa bersyukur ini dapat diungkapkan dan diekspresikan dengan upacara-upacara besar dan istimewa ataupun secara sederhana dengan mengucapkan kata-kata atau doa, tanpa ada ungkapan yang secara lahiriah dan meriah. Misalnya orang mengucapkan syukur kepada Alaatala atas perlindunganNya selama dalam perjalanan menuju ke satu tempat dengan keadaan selamat.
Orang Taman meyakini bahwa kelayakan hidup dan kekayaan harta benda merupakan usaha manusia atas berkat atau restu Alaatala. Oleh karena itu setiap kekayaan atau harta benda yang banyak serta kedudukan yang tinggi yang telah diperoleh merupakan sesuatu yang berasal dari Alaatala. Maka wajar untuk disyukuri dengan tindakan atau upacara keselamatan.

2. 5. 2. Memohon
Orang Taman selalu memohon agar hal-hal yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari manusia itu memberikan pertolongannya dan perlindungannya serta memberikan rezeki yang berlimpah kepada manusia yang sedang menjalani kehidupan. Hal lain yang melatarbelekangi diadakannya upacara religi ialah untuk memohon agar keseimbangan dan keharmonisan manusia dengan alam semesta tetap terjaga.
Manusia senantiasa merindukan keharmonisan. Oleh karena itu ia merasa perlu menjaga relasi dengan Penguasa Tertinggi agar kehidupan di dunia ini berjalan secara harmonis. Maka intensi dibalik diakannya upacara itu ialah agar tidak terjadi malapetaka bagi manusia melainkan keselamatan. Keselamatan yang diharapkan itu dapat hadir dan dialami oleh manusia jika manusia membangun relasi yang harmonis atau mendamaikan diri dengan makhluk dan kekuatan ‘Gaya Misterius’ alam semesta ini. Setiap upacara selalu dalam maksud untuk memohonkan keselamatan.

2. 6. Ruang dan Waktu Upacara Religi
Pada umumnya upacara religi memiliki ruang dan waktu yang sakral. Upacara religi orang Taman dapat dilakukan kapan saja menurut kepentingannya. Upacara religi orang Taman tidak memiliki ruang sakral yang pasti sebagaimana layaknya dalam agama-agama resmi, melainkan di alam sekitar yang berwujud benda-benda. Alam sekitar dalam wujud benda-benda adalah tempat yang sakral untuk mengadakan upacara religius. Misalnya pohon-pohon besar, sungai sebagai tempat menyucikan diri. Alam dipandang sebagai ruang yang sakral. Maka alam dapat menjadi tempat sakral untuk pemujaan atau penghormatan kepada Penguasa Tertinggi atau kepada arwah leluhur.
Demikian halnya juga dengan waktu atau sakralitas waktu. Tidak ada waktu khusus yang secara formal ditetapkan sebagai hari besar atau hari suci dalam religiositas orang Taman. Hal ini dapat difahami sebagai acara pengungkapan religius orang Taman yang dilakukan berdasarkan kepentingan upacara tersebut. Adapun bentuk-bentuk religi itu ialah ritual pemujaan dan ritual penghormatan.

2. 6. 1. Ritual Pemujaan
Pemujaan terhadap Alaatala dilakukan dengan kata-kata. Pemujaan semacam ini lebih menekankan unsur batin, yakni kepercayaan kepada Wujud Tertinggi. Pemujaan kepada Alaatala dalam tradisi kepercayaan asli orang Taman tidak didasarkan pada pewahyuan diri Tuhan dalam sejarah lewat orang-orang pilihanNya , melainkan bertumbuh dari pengalaman hidup, yakni hari-hari gembira dan hari-hari sedih. Dalam kegembiraan dan kesedihannya, orang Taman selalu menyapa Alaatala. Karena dalam hati mereka merasakan adanya kekuatan yang menaungi hal ihkwal insaninya.
Kata-kata untuk memuja dan menjunjung kebesaran dan keagungan Alaatala diucapkan ketika bernasib mujur, mendapat rezeki, atau selamat dari bahaya atau peristiwa kelahiran. Kata-kata mengeluh dan meminta pertolongan diucapkan ketika bernasib sial mendapat penyakit dan tertimpa musibah, bencana alam dan kematian salah seorang anggota keluarga dan lain-lain.
Alaatala diyakini sebagai pencipta dan sumber keselamatan bagi kehidupan manusia. Meskipun demikian, tidak ada bentuk ritual yang secara khusus dilakukan untuk memuja Alaatala sebagai pencipta dan sumber keselamatan bagi manusia tersebut. Pemujaan yang dilakukan hanya berbentuk doa yang diucapkan atau diserukan, namun tidak memiliki rumusan yang pasti. Seruan diucapkan secara spontan, misalnya ketika ada yang mengalami kesulitan hidup, ia mengucapkan kata; O, Alaatala, mondokngo, kamanse’i jajinam. (O, Tuhan Allah, datanglah segera, kasihanilah kami ini).

2. 6. 2. Ritual Penghormatan
Rahasia kehidupan dalam dunia ini dalam pandangan kepercayaan asli tidak dipikirkan secara teoritis ilmiah untuk menyusun suatu tata kosmik. Manusia yang hidupnya masih menjiwai unsur kepercayaan asli, menemukan bahwa hidupnya bergantung dari alam, dan bila ia selaras dengannya hidupnya akan beres. Maka dalam hal ini keselarasan itu ditentukan oleh ritual sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa alam.
Dalam tradisi religius orang Taman, Alaatala-lah yang menjadi penguasa atas alam ini, namun yang berperan sebagai perantara antara manusia dengan Alaatala adalah leluhur. Oleh karena itu pemujaan dan penghormatanpun secara istimewa lebih tertuju kepada para leluhur untuk memohonkan keselamatan hidup bagi anak cucu. Penghormatan kepada leluhur dilakukan pula sebagai ungkapan syukur karena mereka telah berhasil menjadi pengantara antara Alaatala dengan manusia yang masih hidup.
Manusia yang hidup, telah mengalami apa yang diharapkan dari Alaatala berkat peran yang dijalankan secara baik oleh para leluhur bagi kehidupan manusia. Upacara Gawa raa merupakan satu dari sekian banyak upacara penghormatan, khususnya untuk menghormati leluhur terkait dengan perannya menyampaikan permohonan keselamatan kepada Alaatala.

2. 7. Kesimpulan
Uraian diatas menegaskan bahwa kepercayaan dan keyakinan tradisional orang Taman bukan pembawaan atau jiplakan dari ajaran-ajaran Hindu, Budha, dll. Kehidupan religiositas orang Taman murni lahir dari konteks kehidupan orang Taman. Kehidupan religius yang bersumber dari kepercayaan asli menjadi dogma dari para leluhur yang dianut turun-temurun. Beragam corak yang melatarbelakangi kepercayaan asli itu oleh orang Taman dijadikan dasar kehidupan religiositasnya. Selanjutnya dibahas mengenai upacara adat Gawai raa yang merupakan identitas kultural dan upacara keselamatan dalam kehidupan religiositas orang Taman.

Kamis, 10 Juni 2010

MARIA RATU PARA RASUL, RATU UMAT BERIMAN

By Fidel Wotan

Kita meyakini bahwa Maria adalah sosok yang penuh keibuan, lemah-lembut dan begitu dekat kita. Kehadiran seorang ibu dalam keluarga tentu kita rasakan bersama dan mungkin saja setiap kita mengalami pengalaman yang berbeda-beda. Seorang ibu yang baik bagi anak-anak tentu ibu yang tahu apa yang menjadi kebutuhan anak-anaknya, dan juga kebutuhan dalam rumah tangganya. Ibu yang baik adalah ibu yang selalu memberi diri bagi anak-anak, apapun kebutuhan anaknya pasti dia akan segera melayani atau memenuhinya. Pengalaman kita sendirilah yang bisa membuktikan semuanya ini, bapa-ibu saudara-saudarai, para konfrater pun pasti mengalami kebaikan hati dari ibunda tercinta.

Bacaan Kis 1:12-14, mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kedekatan hati antara Maria dan para murid Yesus samaseperti kedekatan ibu dan anak. Sebetulnya kedekatan Maria dan para rasul ini bukan baru terjadi setelah kebangkitan tetapi sesungguhnya sudah sejak Yesus berada bersama-sama dengan mereka sebelum kebangkitan. Peristiwa kebangkitan Yesus itu sebetulnya menjadi momen yang tepat bagi Maria dan para murid Yesus untuk semakin meneguhkan dan menguatkan iman mereka, terutama iman akan kebangkitan Yesus, Guru dan sahabat mereka dan momen pengharapan akan kedatangan Roh Kudus, Roh yang dijanjikan Yesus.
Menarik bahwa para murid yang dalam beberapa hari setelah kebangkitan Guru mereka mau menyatukan hati mereka bersama untuk bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus. Keinginan mereka untuk berkumpul bersama di dalam sebuah ruangan, yang disebut dalam teks Kis sebagai ’ruang atas’ tidak hanya sekedar berkumpul untuk bersenang-senang, untuk sekedar ramai-ramai, melainkan sebuah perkumpulan dalam rangka menantikan janji Yesus, yakni Roh Kudus dan Yesus sendiri telah menegaskan hal ini bahwa setelah kenaikanNya ke Surga, ia akan mengutus Roh Penghibur, yakni Roh Kudus.

Perkumpulan Maria dan para rasul ini pada dasarnya merupakan cerminan atau model bagi kita sebagai umat Allah yang dipanggil untuk juga bertekun sehati, sejiwa dalam doa-doa di dalam keluarga kita, di lingkungan, dan juga di dalam paroki kita sendiri. Namun pertanyaan mendasar untuk kita renungkan sekarang adalah, apakah kita juga, sebagai umat Allah dewasa ini selalu mau menyatukan hati kita untuk berdoa bersama, apakah kita sungguh-sungguh meluangkan waktu, menyempatkan diri di tengah-tengah kesibukan kita, di tengah-tengah rutinitas kita, entah sebagai pegawai, ibu rumah tangga, mahasiswa, mahasiswi untuk berkumpul bersama di lingkungan ini pada hari atau waktu yang telah disepakti bersama, untuk datang dan berdoa bersama atau pun melakukan kegiatan-kegiatan rohani lainnya secara bersama?
Kita boleh-boleh saja berkumpul bersama untuk berdoa, atau pun untuk melakukan kegiatan rohani lainnya dalam keluarga dan lingkungan kita, namun rasanya belum lengkap kalau MARIA tidak kita ikutsertakan di dalamnya. Kalau kita berkumpul bersama sebagai umat Allah, maka kita tidak bisa melepaskan Maria sebagai bagian yang penting dari persekutuan kita. Maria bukan hadir secara kebetulan dalam ruang atas bersama-sama dengan murid-murid Yesus. Ia menjadi jantung dari pengharapan dan doa-doa mereka yang menantikan kedatangan Roh Kudus. Para rasul pada dasarnya sudah menyadari sungguh bahwa kehadiran MARIA begitu penting bagi mereka pertama-tama karena Maria sudah sejak awal dipilih Allah menjadi Ibu yang melahirkan Yesus, Guru mereka, Ibu yang sudah menjalankan peran kebundaannya ketika tuan pesta kekurangan anggur, Ibu yang dengan setia sampai akhir mengikuti jalan Salib Putranya dan yang dipercayakan Putranya untuk menjadi ibu mereka yang pada gilirannya menjadi Ibunda Gereja Ibunda kita semua umat beriman (bdk. Yoh 19:25-27).
Saudara-saudara, beberapa minggu lagi, kita akan merayakan Pentekosta, saat di mana Roh Kudus yang dijanjikan Yesus kepada para muridNya itu turun. Kalau kita merenungkan bacaan pada malam hari ini, maka sebetulnya saat ini pula bersama dengan MARIA dan para rasul kita sudah sedang menantikan datangnya Roh Kudus. Namun pertanyaan kita, apakah kita sungguh menyadari bahwa sekarang kita sedang berkumpul dan berdoa bersama Maria atau tidak?


PENTEKOSTA itu tidak pernah selesai, karena Pentekosta itu selalu terjadi setiap saat, setiap hari dalam hidup kita. Pentekosta bagi kita umat kristiani merupakan saat di mana turunnya ROH KUDUS untuk membaharui lagi semangat komunitas gerejawi yag sedang berkumpul. Pentekosta dalam arti ini, saudara-2 harus kita imani, kita yakini dan kita refleksikan sebagai sebuah pengalaman perubahan radikal dalam hidup pribadi para rasul yang mengarah ke semangat yang berkobar-kobar untuk memberi kesaksian. Namun kita pun harus ingat itu tidak berhenti pada masa para rasul di Yerusalem, tetapi terus berlangsung sampai sekarang dan di sini, hari ini. Pentekosta dengan demikian baru dimulai dan memang belum pernah selesai sampai kedatangan Kristus yang kedua kalinya dalam kemuliaan untuk menyatukan segala sesuatu di Surga dan di bumi sehingga menjadi segala bagi semua (1 Kor 15:28).
Menarik bahwa dalam menantikan kedatangan RK, para rasul tidak sendirian, tetapi selalu ditemani MARIA. Dari sebab itu, pengalaman kehadiran bersama MARIA dalam hal apapun mestinya tidak boleh kita abaikan, MARIA harus selalu kita libatkan dalam hidup kita karena Dialah yang memungkinkan Roh Kudus itu hadir dan berkarya. MARIA bukan hadir secara kebetulan dalam Gereja. Ia sudah berperan penting dalam rencana keselamatan Allah.
Kita tidak bisa menantikan kedatangan Roh Kudus tanpa menyiapkan hati kita untuk berdoa bersama dalam lingkungan ini. Bagaimana kita mau menantikan kedatangan Roh itu, kalau kita sendiri tidak mau diajak untuk berkumpul bersama guna berdoa bersama, bagaimana kita mau mengharapkan kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita kalau kita sendiri tidak mau mengikutsertakan MARIA dalam hidup kita, tidak mau membuka diri bagi MARIA dan meneladani cara dia berdoa. Oleh karena itu, kalau kita mau menantikan Roh itu, maka kita perlu juga meneladani bagaimana MARIA berdoa, yakni ia berdoa dengan tekun dan penuh pengharapan samaseperti yang telah kita lihat dalam bacaan tadi. Pertanyaan kita, apakah sampai saat ini kita semua mau membiarkan MARIA sebagai Ibu hadir dalam hidup kita, membiarkan dia menemani kita dalam suka-duka hidup kita dan menyertakan Dia dalam seluruh perjalanan hidup kita untuk menjadi anak-anak Allah yang selalu setia, taat dan percaya kepada Kristus dan Roh yang dijanjikanNya untuk menghibur dan membakar semangat kita dalam memberi kesaksian di tengah-tengah kehidupan kita. Semoga pengalaman para rasul dan MARIA ini menjadi jiwa dan semangat hidup kita sehari-hari.



Malang 24 April 2010
Fidel, smm

KONTEMPLASI BERSAMA DIA DI TENGAH RUTINITAS PASTORALKU

By Fidel Wotan I. Pengantar Hidup adalah sebuah pergumulan bahkan merupakan sebuah kontemplasi di hadapan Allah sendiri. Kontemplasi ini mesti menyadarkan diri kita bahwa apakah kita di hadapaNya, mengapa kita harus berhenti sejenak di tengah segala kesibukan kita sehari-hari. Dengan berhenti sejenak, di situ kita bisa melihat dan menghadirkan Dia yang tersembunyi dalam hidup kita sehari-hari. Berikut ini adalah refleksi singkat tentang pengalamanku bersama Dia di sela-sela rutinitas harianku.

II. Bagaimana Aku Mengalami Allah dalam Hidupku
2.1. Pengalaman-pengalaman yang menyadarkan saya sebagai manusia Allah:
Selama saya berada di tempat pastoral, khususnya di Paroki St. Martinus, Embaloh Hulu, saya mengalami banyak hal yang berkenaan dengan kedekatan atau intimitasku dengan Allah. Dan pengalaman-pengalaman tersebut sungguh saya alami sebagai suatu pengalaman yang menyadarkan saya sebagai manusia Allah. Pengalaman-pengalaman tersebut antara lain:

1. Membaca dan Merenungkan Sabda Tuhan
St. Hieronimus pernah berkata bahwa orang yang tidak pernah mengenal atau membaca Kitab Suci, itu sama dengan orang yang tidak mengenal Kristus. Secara pribadi, kata-kata orang kudus ini sungguh menggugah semangatku untuk senantiasa hidup dekat dengan Sabda Tuhan (Kitab Suci). Kitab suci bagi saya sangat penting dan bahkan menjadi santapan rohani atau makananku sehari-hari. Kitab Suci yang saya baca dan renungkan dalam suasana doa menunjukkan kepada saya suatu dunia yang membantu saya menemukan janji-janji Allah dan pemenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Dalam arti ini, pengalaman mengajarkan saya bahwa ternyata dengan membaca dan merenungkan Sabda Tuhan dalam suasana doa, di situ saya semakin mengenal dan mengalami kehadiran Tuhan Yesus. Kitab suci yang saya baca dan renungkan setiap hari menjadi panduan hidupku. Sambil mendengarkan Sabda Allah, saya menemukan jalan-jalan pertobatan terus-menerus untuk semakin bersatu dengan Yesus Kristus. Hanya dengan demikian, saya sudah mau menjadikan diri sebagai anak Allah yang tidak pernah mau memisahkan atau mengabaikan kehadiran-Nya dalam hidupku.

2. Berdoa dan Berkontemplasi
Setelah sekian bulan hidup dan tinggal di paroki, saya mengalami dan merasakan bahwa ternyata di tengah-tengah kesibukan pastoral saya, saya pun perlu meluangkan waktu untuk berdoa dan berkontemplasi. Sering hal ini saya abaikan, oleh karena kesibukan saya dalam berpastoral (sibuk melayani umat, akhirnya kadang lupa mengisi (men-charge) diri dengan doa-doa pribadi, meditasi dan berkontemplasi). Oleh karena itu, sering terjadi juga bahwa saya lupa bahwa diri saya pun perlu diisi (charged), dengan kekuatan rohani.
Saya merefleksikan dan mudah-mudahan ini menjadi bekal perjalanan hidup rohaniku, yaitu bahwa bagaimanapun juga, sebagai seorang biarawan, saya merasa perlu mengarahkan diri kepada sebuah cara hidup (way of life) yang berakar pada Kristus. Dalam arti ini, saya perlu membangun selalu keakraban yang intim dengan Kristus Yesus. Mengapa saya harus berbuat demikian? Karena bagaimana pun juga, saya memahami dan juga mengalami bahwa hidup rohani yang otentik dan berdaya guna menuntut bahwa dalam kesibukan dan karya pelayanan saya, saya perlu secara bertahap, setiap hari (bahkan setiap saat) meluangkan waktu yang tepat untuk bertemu dengan Tuhan. Dalam arti ini, saya sendiri ingin membangun gaya hidup yang tidak didominasi oleh aktivisme belaka, melainkan diseimbangkan atau diselaraskan dengan kehidupan doa dan kontemplasi.

3. Memusatkan Diri pada Daya Karya Ekaristi
Bagi saya, sebagai seorang Montfortan, Ekaristi merupakan sumber yang membangkitkan tenaga dan puncak ke mana seluruh kegiatan saya tertuju. Dengan berpartisipasi dalam perayaan misteri iman ini, saya menyatukan diri dengan Yesus yang wafat dan bangkit.
Ekaristi yang saya rayakan di paroki dan di dalam komunitas saya, sungguh memberi bentuk kepada persembahan hidup saya, kepada komitmen untuk hidup berkomunitas dan kepada perutusan untuk merasul dan membaharuinya terus-menerus. Dengan merayakan Ekaristi, saya pun dapat membaharui diri saya setiap hari.
4. Menghayati Cinta Kasih Kristus
Salah satu kerinduan terdalam saya adalah berusaha selalu (dan berkat dorongan Roh Kudus) untuk menjadi tokoh Allah atau anak Allah yang mau membaktikan seluruh hidup saya kepada perintah cinta kasih yang terarah kepada Alllah dan sesama. Dalam semangat ini, pengalaman mengajarkan bahwa hanya dengan menanamkan semangat cinta kasih yang menyala-nyala kepada Tuhan dan sesama melalui karya pelayanan saya di paroki, sebetulnya di situ, saya sudah membuka pintu bagi Yesus Kristus, yang juga secara tidak langsung hadir dalam diri orang-orang sederhana (umat sederhana, yang miskin dan berkekurangan).


Nilai-nilai dalam diri Yesus (sebagai Misteri, Komunio, Misi, Kepala, Gembala, Mempelai) yang saya hayati:

1. Sebagai Misteri

Sebagai misteri, Yesus sungguh menjadi Wahyu Allah sekaligus pengantara. Dialah kepenuhan wahyu, Utusan Allah, Sabda Kekal yang menyinari hati semua orang. Sebagai Sabda yang menjadi daging, saya memahami (dan mengalami) bahwa Yesus benar-benar diutus Bapa sebagai manusia kepada manusia, “menyampaikan Sabda Allah (Yoh 3:34) dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa-Nya.
Selama 5 (lima) bulan berada di tempat pastoral (Paroki St. Martinus), saya berusaha agar menghayati dengan sungguh-sungguh kehadiran Kristus sebagai misteri dengan menyerahkan diriku seutuhanya kepada-Nya, mempersembahkan segala kehendak pribadiku kepada Allah dan dengan sukarela menerima kehadiran-Nya dalam Sabda yang kubaca dan kurenungkan sebagai suatu kebenaran wahyu yang dikaruniakan-Nya. Firman atau Sabda-Nya itu, selain menjadi santapan rohani yang mesti kurenungkan dan kuhidupi sehari-hari, mesti saya wartakan pula kepada siapa saja yang saya layani. Hal sederhana yang bisa saya lakukan di sini adalah dengan cara membawa renungan untuk diperdengarkan kepada umat (saat ibadat sabda pada waktu turne atau waktu berkhotbah di paroki, atau pada waktu memimpin doa-doa di rumah-rumah umat). Oleh karena apa yang hendak saya sampaikan dalam renungan itu adalah sabda Tuhan, maka saya berusaha agar sebelum hal itu disampaikan kepada orang lain, saya pun mesti mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya (membaca dan merenungkannya, minimal untuk refleksi pribadiku).

2. Sebagai Komunio
Sebagai komunio, Yesus hadir untuk membawa persekutuan, menciptakan kerukunan. Kehadiran Kristus yang mempersatukan semua orang ini, sungguh membantu saya untuk melihat kembali perjalanan hidup dengan orang lain, terutama dalam lingkungan paroki. Selama berada di tempat pastoral, saya sudah berusaha sejauh kemampuan saya untuk senantiasa menjaga semangat persatuan dan kerukunan, baik dengan umat secara global, maupun dengan konfrater saya di pastoran. Hal sederhana yang saya lakukan adalah, bagaimana saya harus bersikap santun, ramah, sopan dan taat kepada orang lain, terutama mereka yang dituakan dan juga terhadap Pastor Paroki sendiri. Pada dasarnya kerinduan saya adalah menciptakan suasana hidup yang harmonis, rukun dan damai dengan siapa saja. Berkenaan dengan ini, hal yang selalu saya hindari adalah membuka peluang terjadinya konflik intern maupun ekstern dengan orang lain.
Dengan menciptakan situasi hidup yang nyaman dan damai bersama orang lain, sebetulnya di situ, secara tidak langsung saya telah membangun atau menghidupi ”spiritualitas persekutuan”. Spiritualitas ini, sudah mulai saya bangun, pertama dalam hidup intern (dengan Pastor Paroki), kemudian dalam jemaat (dalam lingkungan lokal maupun dalam scope yang lebih luas lagi). Dalam mengarungi hidup bersama umat, saya menyadari betapa penting dan berharganya peran seorang pemimpin yang memiliki jiwa mempersatukan. Sebagaimana Yesus hadir untuk membawa persekutuan, menciptakan kerukunan, begitu pula saya sebagai orang yang dipanggil untuk memimpin umat (kelak) diajak untuk belajar dari sekarang bagaimana menjadi figur yang bisa menciptakan situasi hidup yang harmonis, yang rukun, hidup yang dilandasi semangat persatuan. Dalam arti ini, saya menyadari pentingnya persekutuan dan persatuan di antara umat beriman itu terpelihara. Kesadaran seperti ini, tidak hanya saya ciptakan dalam lingkungan komunitas saya (bersama Pastor Paroki) melainkan terlaksana pula dalam hubungan saya dengan umat beriman di paroki. Saya mencoba menghayati arti communio ini dengan membina relasi yang baik dengan umat paroki (baik di stasi pusat maupun di stasi-stasi lainnya). Dalam membina relasi ini, saya sendiri tidak hanya membuka diri dan bergaul dengan umat katolik, melainkan juga terbuka dengan umat yang beragama lain (misalnya, Protestan dan Islam).



3. Sebagai Misi
Bagi saya, Yesus adalah seorang misionaris sejati, yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain tanpa mengenal lelah. Semangat misioner seperti ini sungguh menggugah semangatku untuk pergi mengunjungi dan melayani umat di setiap stasi atau kampung yang ada di dalam Paroki Martinus. Salah satu aspek atau nilai yang dapat saya peroleh dari semangat bermisi seperti ini adalah kesediaan untuk membuka diri dengan orang lain dengan segala macam budaya atau adat-istiadatnya. Hanya dengan cara seperti ini, saya merefleksikan bahwa sebetulnya di situ secara tidak langsung saya mau berdialog dengan aneka kelas sosial di dalam lingkungan masyarakat. Semangat bermisi seperti ini, pada dasarnya menuntut jiwa seorang yang mau lepas-bebas, tanpa ada ikatan apapun. Hanya dengan lepas-bebas, siap-sedia untuk diutus ke mana saja, seperti awan yang ditiupkan ke mana saja menurut arah tiupan angin, sebetulnya di situ saya mau membuka diri dengan dunia luar, bertemu dan berdialog dengan aneka macam budaya, suku, bahasa dan kelas sosial, tanpa sedikit membuat diferensiasi atau mengkotak-kotakkannya.

4. Sebagai Kepala
Berdasarkan thabisan, seorang imam memiliki keserupaan ontologis dengan Yesus sebagai kepala. Sebagaimana Yesus, sebagai Kepala Gereja, Ia menjadi teladan kekudusan, demikian juga seorang imam dalam keserupaan yang sama pun mesti menjadi teladan kekudusan bagi umat yang dilayaninya. Dan ia juga memiliki tugas untuk mempersatukan umat dengan Sang Kepala, yakni Kristus sendiri. Dalam hal ini, bagaimana umat memiliki hubungan yang intim atau dekat dengan Kristus, itu pun menjadi tugas pelayanan yang mesti saya perhatikan juga dalam kehidupan menggereja. Selama berada di tempat pastoral, saya berusaha menghayati teladan hidup Kristus sebagai Kepala dengan memperlihatkan kesalehanku di hadapan umat, misalnya: mengajak mereka untuk selalu mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan dengan berdoa bersama (misalnya: saat latihan koor, saat hendak makan, saat hendak bepergian, dsb). Selain itu, saya juga berusaha membangkitkan semangat umat untuk aktif dalam kehidupan menggereja. Hal sederhana yang bisa saya lakukan di sini yakni, dengan mengajak dan mendorong umat setempat untuk ikut latihan koor di gereja, melatih umat dalam menyanyikan lagu-lagu misa (melatih koor). Semuanya ini saya lakukan hanya supaya umat memiliki hubungan yang lebih baik dengan Sang Kepala Gereja. Mengapa demikian, karena bagaimana pun juga kelak, sebagai seorang imam, saya memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar untuk mempersatukan umat dengan Kepalanya yakni Kristus sendiri.

5. Sebagai Gembala
Yesus adalah Sang Gembala yang baik. Sebagai Gembala yang baik, Dia tahu apa yang harus dilakukan demi kesejahteraan dan keselamatan kawanan domba-Nya. Dalam hal ini, Ia menjadi pemimpin umat, dan Ia memimpin persekutuan umat, memberikan hidup-Nya demi kawanan domba-Nya. Cara hidup seperti ini, sungguh menantangku, oleh karena bagaimanapun juga mengurbankan diri untuk memperhatikan dan menjaga kawanan domba (umat) itu bukan merupakan sebuah pelayanan yang mudah dilakukan. Di sini perlu kerelaan dan kerendahan hati untuk mau menjadi hamba bagi orang lain. Walaupun berat, saya merasa termotivasi untuk tetap menghayatinya. Selama berada di Paroki St. Martinus, saya berusaha sejauh kemampuanku untuk menghayati nilai-nilai dalam diri Yesus sebagai Gembala. Nilai-nilai tersebut yang sudah dan sedang saya hayati antara lain:
 Meluangkan waktu pribadi dalam 2 x seminggu untuk pergi mengunjungi umat yang tinggal di kampung-kampung / stasi-stasi. Dalam kunjungan itu, saya bisa melakukan banyak hal, selain ibadat bersama mereka, saya juga bisa menggunakan waktu yang ada pada saat torne itu untuk mendengarkan sharing kehidupan mereka, atau bertukar-pikiran dengan mereka.
 Melayani sakramen bagi orang-orang yang sakit (membawa komuni kepada mereka).
 Mendoakan orang sakit (entah dari jauh, maupun dengan cara mendatangi rumah mereka).

6. Sebagai Mempelai
Kristus adalah “Mempelai Gereja”. Sebagai Sang Mempelai, tentu Ia sendiri tahu apa yang harus dilakukan untuk Gereja. Dalam hal ini, Ia tidak bisa tidak melakukan tugas kemempelaian-Nya. Sebagai Mempelai Gereja, Kristus pertama-tama menunjukkan cinta-Nya yang total kepada umat-Nya. Kesediaan Kristus untuk selalu mencintai umat-Nya dengan salah satu cara rela mengorbankan diri demi menebus dosa-dosa manusia, sebetulnya merupakan ungkapan pemberian diri yang total dan sehabis-habisnya kepada Gereja atau umat-Nya. Dalam arti ini, tidak perlu saya ragukan lagi bahwa Kristus memang benar-benar telah menunjukkan kepada saya bahwa Dia sungguh memberikan diri secara total bagi umat-Nya. Kalau saja Kristus bertindak demikian, lantas apakah saya tidak juga meneladani semangat hidup seperti itu. Ia mencintai gereja atau umat-Nya bagaikan seorang suami yang mencintai istrinya dengan penuh ketulusan. Istri siapakah yang tidak merasa gembira dan senang memiliki suami yang selalu memperhatikannya? Demikian pula, umat manakah yang tidak merasa gembira dan bersyukur memiliki Allah yang mau mencintainya sehabis-habisnya bahkan dengan cara yang paling ngeri, yakni mati di kayu salib. Sama seperti Kristus yang dalam segala hal mau memperhatikan umat-Nya, kawanan-Nya, begitu pula saya yang dipanggil secara khusus untuk mengikuti-Nya termotivasi untuk juga mau memberi diri secara total kepada umat yang saya layani. Dalam arti ini, saya dituntut untuk rela berkorban, setia dan mau melayani umat dengan sepenuh hati, tanpa paksaan dan mencari popularitas diri. Kenyataan ini, memang masih dalam taraf belajar, namun yang pasti bahwa saya memiliki semangat seperti itu sekarang ini untuk juga terus menghayati panggilan saya demi pelayanan kepada Gereja dan Kristus sendiri.

2.2. Kesadaran-kesadaran baru yang saya temukan di dalam menghayati nilai-nilai tersebut berdasarakan pengalaman-pengalaman pastoralku:
2.3.1 Saya dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus
Dengan menghayati aspek-aspek yang dimiliki Kristus tersebut, secara tidak langsung membuka mata dan hati serta pikiran saya untuk semakin serupa dengan Kristus. Apa maksudnya, artinya saya dipanggil untuk meneladani Kristus, belajar pada-Nya dan mewartakan-Nya kepada umat atau sesama manusia. Menjadi serupa dengan Kristus bisa menuntut banyak hal dari saya. Namun yang pasti bahwa saya ingin menjadi serupa dengan Dia dalam hal pikiran, perkataan dan perbuatan-Nya.
2.3.2. Menjadi hamba bagi orang lain
Panggilan menjadi murid Kristus pertama-tama menyangkut kesiapsediaan dan kerelaan hati untuk melayani Dia yang hadir dalam diri orang lain, umat yang dipercayakan Tuhan kepada saya. Bagi saya, pengalaman bagaimana harus melayani orang lain (misalnya dalam memimpin doa atau ibadat untuk umat atau kelompok-kelompok tertentu di paroki, melayani komuni bagi orang sakit, mengunjungi umat di kampung-kampung pada waktu torne, dsb) sungguh bukan perkara yang mudah, oleh karena saya mengakui semua bentuk pelayanan ini hanya dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya jikalau saya memang memiliki semangat untuk melayani mereka, menjadi hamba bagi mereka. Tanpa semangat yang satu ini (hamba) tidak mungkin pelayananku itu benar-benar menyentuh di hati mereka dan tidak mungkin juga saya merasa at home kerasan dalam melayani mereka. Prinsip pelayanan semacam ini justru senantiasa menguatkan saya untuk tetap menjadi hamba Kristus, menjadi pelayan Dia, yang hadir pula dalam diri orang-orang yang saya layani.

2.3.3. Menjadi seorang pendoa
Di tengah kesibukan menjalani masa pastoralku; entah dalam pelayanan apa saja, saya menyadari bahwa saya mesti mengisi diri saya dengan kekuatan rohani. Dalam arti ini, kehidupan doa mesti menjadi barometer kehidupan saya. Hanya dengan mengimbangi karya pelayanan saya dengan meluangkan waktu untuk terus berdoa (secara pribadi) sebetulnya di situ saya menyadari bahwa saya pun tidak terjebak dalam aktivisme belaka. Kenyataan ini hendak mengatakan bahwa, hidup doa itu sangatlah perlu. Dari pengalaman selama beberapa bulan di sini, saya mengalami bahwa ketika saya sibuk dalam karya pastoral dan lupa mengisi diri dengan doa, ternyata karya pelayananku itu terasa “hambar” dan sama sekali tidak membekas di hati orang. Kesadaran semacam ini, semakin menguatkan saya untuk senantiasa bertahan dalam semangat seperti ini. Hal ini saya rasakan betapa penting dan bermakna bagi diri saya sendiri dan juga bagi umat yang saya layani. Apakah artinya pelayanan saya kepada umat, jikalau diri saya sendiri tidak pernah bersentuhan dan tidak memiliki hubungan yang intim dengan Sang Kepala Gereja, Yesus Kristus? Apakah artinya, saya berkobar-kobar mewartakan Kristus, jikalau saya sendiri tidak pernah atau jarang berdiam diri dan berkontemplasi tentang Dia dalam hidup harianku?

2.3. Unsur-unsur yang ingin saya kembangkan dan perdalam untuk hidup pribadiku:
1. Hidup Doa dan kontemplasi
2. Semangat Bermisi (menjadi seorang misionaris yang handal)
3. Menjadi seorang pribadi yang rendah hati dan melayani orang lain dengan tulus hati
4. Semangat lepas-bebas, tak lekat hati dan tidak mau menetap (instabilles sumus) atau mencari kemapanan dalam hidup.

Unsur-unsur yang saya rasakan menghambat di dalam penghayatanku akan nilai-nilai tersebut dan ingin saya tinggalkan:
1. Kenginan untuk mencari hidup yang lebih mapan dan nyaman.
2. Keinginan untuk terus bergantung pada hal-hal materi.
3. Keinginan untuk dipertuan-agungkan, mau dijadikan sebagai pembesar, yang mesti dilayani, dihormati dan disegani, mencari popularitas diri sendiri.
4. Keinginan untuk tenggelam dalam aktivisme belaka (bermisi terus, berpastoral terus, tetapi tidak pernah mengisi diri dengan kekuatan rohani; doa dan kontemplasi).

III. Penutup
Demikianlah laporan II ini yang dapat saya sampaikan. Atas kekurangan dan keterbatasan refleksi saya, dari hati yang paling dalam, saya mohon maaf dan kiranya laporan ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi hidup dan karya panggilan saya. Akhirnya, saya ucapkan limpah terima kasih atas perhatian dan kerja sama yang Romo berikan.

AKU ADA UNTUK DIA YANG HADIR DALAM DIRI ORANG LAIN

By Fidel Wotan Pengantar Hidup itu baru bermakna kalau dibagikan kepada orang lain. Kebermaknaan kita baru berarti kalau kita mampu memberi diri, keluar dari diri sendiri dan masuk dalam realitas hidup orang lain. Tanpa itu kita tidak dapat menjadi apa-apa. Bukankah panggilan hidup kita untuk mencintai dan merangkul orang lain, melayani dan memperhatikan mereka yang berkekurangan? Samaseperti Yesus yang rela keluar dari kemapanan diriNya sebagai Allah dan mengosongkan diri menjadi manusia hina dina, memiskinkan diri demi memperkaya orang lain. 1. Pengalaman-pengalaman yang menyadarkan saya akan tiga tugas Kristus: 1.1. Menguduskan Ada beberapa pengalaman kecil yang dapat saya refleksikan di sini berkenaan dengan kesadaran saya akan tugas Kristus yakni “menguduskan”. Namun sebelum mensharingkan beberapa pengalaman tersebut, saya merefleksikan beberapa poin kecil berikut ini. Saya menyadari bahwa saya dipanggil untuk menjadi pelayan Kristus (secara khusus) menjadi Imam nanti, dari sebab itu saya mesti membentuk diri sedari awal untuk bertumbuh dalam kekudusan. Di dalam Kristuslah, kekudusan Allah menjadi kelihatan dan dapat diakses (lih. Yoh 1:14-18). Ialah pewahyuan Allah yang definitif, sumber dan modal bagi manusia ideal. Allah adalah segala-galanya yang dapat dan harus diharapkan. Jika panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk menjadi serupa dan bersatu dengan Kristus, konsekuensinya adalah bahwa panggilan kepada kekudusan membawa kita masuk ke dalam sebuah perjalanan terus-menerus untuk mencintai dan mengenal Kristus. Berkaitan dengan hal ini, saya merefleksikan bahwa dapatkah saya membawa umat, membantu umat untuk mengenal Kristus secara lebih mendalam andaikata pengenalan saya akan Kristus ternyata samar-samar. Dan bagaimana mungkin umat yang saya layani dapat juga bertumbuh dalam kekudusan, jikalau saya sendiri tidak mengenal dan memiliki hubungan yang intim dengan Kristus? Dengan semakin mengenal Kristus secara lebih mendalam, maka cinta saya kepada-Nya justru membuat saya berani memberi diri secara total dalam hidup dan karya Kristus, sehingga hal ini memperdalam dan memperkaya pengenalan saya akan Dia dan semakin dalam pula cinta saya terhadap umat-Nya.
Saya menyadari bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan semua orang Kristen yang mengimani Kristus dan itu berarti siapa saja mesti berusaha mewujudkan hal ini. Namun apakah setiap orang Kristen menyadari akan hal ini, apakah mereka juga sungguh-sungguh memberi ruang dalam hidupnya untuk mewujudkan hal ini? Berkenaan dengan hal ini, saya yang dipanggil untuk menjadi Pelayan Kristus, didesak pula untuk membantu umat mewujudkan panggilan hidup seperti ini. Ada beberapa pengalaman yang mengungkapkan hal ini: a. Mengajak Umat untuk Rajin Berdoa atau Mendekatkan diri dengan Tuhan Selama menjalani tahun pastoral di Paroki St. Martinus, hal sederhana yang bisa saya lakukan untuk membantu umat bertumbuh dalam kekudusan adalah mengajak umat baik di paroki pusat maupun di stasi-stasi untuk rajin berdoa (mengikuti Ekaristi atau Ibadat Sabda), mengajak atau mendorong serta memotivasi umat untuk terlibat dalam kegiatan pendalaman iman dan lectio divina. Namun hal ini saya alami belum terlalu maksimal dipraktekkan di Paroki St. Martinus, hanya dua kelompok kategorial yang bisa melaksanakan hal ini (misdinar dan anak-anak asrama putri). b. Memberi kesaksian hidup yang baik dan benar sebagai sebagai orang yang dipanggil secara khusus melayani umat. Kesaksian hidup yang saya berikan adalah kesaksian yang keluar dari pengalaman kedekatan saya dengan Kristus, pengalaman hidup yang sudah diresapi oleh jiwa dan semangat Kristus. Dalam arti ini, saya memberikan kesaksian hidup saya bukan karena ketenaran dan kekayaan hidup saya, melainkan kesaksian hidup saya akan Kristus Yesus. Kesaksian saya ini, saya rasakan dan hayati pertama-tama adalah kesaksian hidup saya sebagai seorang religius Montfortan yang memiliki corak atau karakter yang khas. Berkenaan dengan ini, gaya hidup saya adalah hidup yang “dibaluti” semangat missioner seorang Montfortan dan bukan yang lain: entah dalam hidup doa, kontemplasi, maupun dalam pergaulan dengan umat, dsb.Berkenaan dengan kesaksian hidup tersebut, hal yang bisa saya praktekkan selama ini adalah misalnya siap-sedia menjalankan perutusan saya sebagai seorang petugas atau pelayan pastoral dengan rajin mengunjungi umat di kampung-kampung, mengajak umat untuk mau berdoa rosario, mengajak umat untuk aktif dan mau terlibat dalam kegiatan di gereja, mengajak umat untuk selalu mengandalkan pertolongan Tuhan, berharap dan percaya sungguh-sungguh kepada-Nya, mengajak umat untuk rajin menolong orang lain, dan juga rajin mendekatkan diri kepada Tuhan (hal ini bisa saya tunjukkan tidak hanya lewat katekese atau khotbah di gereja tetapi juga dalam seluruh perilaku hidup saya sehari-hari).c. Mengajak umat untuk menjadikan seluruh karya, hidup dari umat sebagai kurban persembahan rohani yang hidup yang berkenan kepada Allah melalui Kristus. Bagi saya salah satu hal sederhana yang bisa saya perlihatkan kepada umat bagaimana mereka bisa bertumbuh dalam kekudusan adalah dengan jalan memberi pemahaman atau pengertian kepada mereka bahwa seluruh hidup, karya atau perjuangan hidup mereka, segala pengalaman suka-duka hidup mereka, atau pun hal-hal yang mereka alami dan rasakan dalam hidup mereka sungguh merupakan sebuah persembahan hidup rohani yang bisa mereka berikan kepada Tuhan. Semuanya ini akan semakin dihayati dan dialami sebagai kurban persembahan hidup yang sungguh-sungguh rohani, jikalau mereka sendiri mau menyadarinya bahwa di dalamnya Tuhan sendiri akan berkarya dan membantu mereka bisa bertumbuh dan berkembang menjadi murid-murid Kristus yang sejati. Semunya ini dapat saya berikan baik melalui kesaksian hidup sehari-hari maupun melalui katekese dan juga pendalaman iman serta Lectio divina, serta dalam beberapa kegiatan lainnya (misalnya ketika melibatkan umat dalam kegiatan-kegiatan di gereja: latih koor, latihan mendarazkan mazmur tanggapan, latihan misdinar, dsb). 1.2. Mengajar (sebagai Nabi) Berkaitan dengan tugas kenabian, saya juga dipanggil untuk membuat terang nilai Injil bersinar dalam realitas hidup konkret. Sebagai nabi, sebetulnya saya juga dipanggil untuk mengemban dua tugas sekaligus, yakni memberi kritik kepada orang-orang atau kelompok atau institusi yang menindas dan untuk memberi kesegaran kepada mereka yang benar-benar berada dalam posisi terjepit di dalam kehidupan masyarakat, mereka yang tertindas, ditinggalkan dan kurang diperhatikan. Namun dalam kenyataannya, hal ini kurang dialami dan hayati selama saya menjalani tahun pastoral di Paroki St. Martinus. Ada beberapa pengalaman kecil yang mengingatkan saya bahwa saya melaksanakan tugas kenabian Kristus. a. Mengunjungi dan mendoakan orang sakit (juga termasuk di dalamnya menghantar komuni untuk para lansia dan orang sakit lainnya). b. Menguatkan orang yang sedang berada dalam kesulitan, memberi penghiburan kepada mereka yang berkekurangan, mendekatkan diri dengan saudara-saudari atau umat yang kurang diperhatikan di dalam masyarakat (pengalaman saat mengunjungi umat baik di paroki pusat/stasi pusat maupun di stasi-stasi yang terpencil). c. Mengajari dan memotivasi umat bagaimana harus menjalani hidup sebagai orang Kristen yang sejati, misalnya lewat katekese atau pendalaman iman, lewat lectio divina, dan juga lewat perilaku atau sikap hidup saya sebagai seorang religius Montfortan. 1.3. Menggembalakan (Raja) Berpartisipasi dalam tugas rajawai Kristus berarti saya juga dipanggil untuk menyebarkan Kerajaan Allah. Dan Kerajaan Allah ini benar-benar harus diungkapkan dalam hidup saya sebagai seorang beriman kristiani. Ada beberapa pengalaman kecil yang saya alami dan hayati, yang menyadarkan saya akan tugas Kristus sebagai Raja. Pengalaman-pengalaman yang dimaksud antara lain : a. Memberi perhatian kepada umat di stasi-stasi atau kampung-kampung. Orang-orang sederhana yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang seringkali dilupakan oleh para pemimpin dalam masyarakat, terutama mereka yang berada di kampung-kampung. Salah satu cara saya memberi perhatian kepada mereka adalah dengan pergi mengunjungi mereka. Dan saat yang tepat untuk bisa melakukan hal ini adalah ketika saya mengadakan ibadat sabda di tempat atau wilayah mereka. Bagi saya ibadat sabda belaka tidak cukup untuk bisa menggerakkan mereka, di satu pihak ibadat sabda memang penting harus selalu dihayati umat, namun itu saja tidak cukup, saya juga perlu memotivasi mereka agar aktif dan terlibat dalam kehidupan beriman mereka, juga lewat sharing pengalaman dengan mereka, tukar-pikiran, mendengarkan mereka, (mendengarkan keluh-kesah hidup mereka, segala kekurangan dan juga perjuangan hidup mereka, kesulitan-kesulitan mereka sehari-hari). Dan saya menyadari bahwa saya tidak bisa membuat perubahan total bagi mereka, saya juga tentu tidak langsung mengubah nasib mereka, akan tetapi dari sharing dan tukar pengalaman hidup tersebut, saya sendiri bisa memberi masukan berupa saran, ide dan pemikiran yang berarti bagi mereka. Berkenaan dengan hal ini: bagaimana saya bisa membantu umat yang sering diabaikan dalam pelayanan terhadap mereka terutama di bidang rohani, hal yang bisa dilakukan adalah mendekati para ketua lingkungan, wilayah atau DPL (Dewan Pengurus Lingkungan) setempat untuk mulai mengaktifkan umatnya, mendorong umatnya untuk rajin berdoa di dalam keluarga. Dan menurut hemat saya, semuanya ini akan semakin dirasakan oleh mereka, juga dalam waktu-waktu mendatang setiap DPL atau pengurus stasi/kampung sudah mandiri, dalam arti bahwa mereka tidak lagi banyak bergantung kepada Pastor Paroki atau tim pastores lainnya. Mereka sendiri bisa mengatur waktu untuk melakukan ibadat sabda atau doa bersama pada Hari Minggu atau juga pada Hari Raya (Natal-Paskah) dan hari-hari lainnya. Dengan pergi mengunjungi mereka, merayakan ibadat sabda bersama mereka, sebetulnya di situ, saya sudah mulai memberi perhatian kepada umat atau orang-orang yang selama ini kurang diperhatikan dalam pelayanan di bidang rohani. Mengapa harus demikian? Oleh karena bagaimana pun juga semua orang mesti mendapat penyegaran rohani dalam hidup mereka, mereka juga (terutama yang di kampung-kampung) perlu diberi perhatian yang cukup dan bukan hanya umat yang ada di pusat paroki saja yang mendapat pelayanan yang lebih baik. Hanya dengan demikian, tidak ada lagi umat yang dianaktirikan dalam pelayanan rohani. Mungkin saja, selama ini mereka yang jarang ke gereja untuk berdoa bersama umat lainnya, sekarang bisa merasakan atau mengalami kesempatan untuk memperkuat tali persatuan dengan Tuhan.b. Tidak membeda-membedakan atau mengkotakkan umat yang dilayani. Selama saya berada di Paroki St. Martinus, saya sudah berusaha semaksimal mungkin agar saya tidak pernah membeda-membedakan siapa saja, tidak mengkotak-kotakkan siapa saja, dan mau bergaul dengan siapa saja (dari anak-anak sampai orang tua). Hal ini sudah saya rencanakan sejak awal kedatangan saya. Namun saya juga menyadari bahwa tidak semua orang bisa saya jadikan sahabat, teman, kakak, orang tua (bapak-ibu) atau kakek dan nenek saya, karena untuk bergaul satu-persatu saya sendiri merasa tidak bisa dilaksanakan secara maksimal. Hanya saja secara umum saya mencoba menanamkan dalam diri saya semangat untuk merangkul siapa saja, tanpa membeda-membedakan mereka. Berkenaan dengan hal ini, salah satu contoh kecil yang bisa saya tunjukkan di sini yakni, saya mau bersedia diminta untuk melayani doa yang diminta umat tanpa harus memandang status, jabatan, kelompok atau golongannya.Kerja samaku dengan kaum awam Secara umum selama menjalani tahun pastoral ini, saya merasa terbantu dengan kehadiran kaum awam (umat) yang ada di Paroki St. Martinus. Saya merasa terbantu oleh karena memang selama ini saya tidak bekerja sendirian, saya tidak berjalan sendirian. Dalam arti ini, kaum awam turut membantu saya dengan caranya masing-masing, entah dengan menyediakan tenaga, hati dan pikiran serta waktu mereka untuk memberi masukkan, ide atau pikiran, juga nasehat-nasehat yang bisa menguatkan saya, mencerahkan saya, memotivasi saya dalam menjalankan praktek pastoral di tempat mereka. Selama ini, orang yang saya rasakan paling banyak membantu saya untuk bisa bertumbuh dan berkembang ke arah hidup yang lebih baik adalah orang-orang tua, mereka yang dituakan di dalam masyarakat, misalnya DPP paroki, termasuk di dalamnya katekis paroki, juga beberapa kelompok kategorial, Ketua-ketua DPL beserta pengurusnya, guru-guru TK, SD, SMP, SMA. Selain itu, pergaulan dan kerjasama dengan kaum muda di paroki, pun turut membantu saya bisa menjalankan praktek pastoral saya dengan baik. Berkenaan dengan hal ini, adapun beberapa isi pengalaman yang menunjukkan bahwa kaum awam pun bekerja sama dengan saya dalam membangun kehidupan menggereja, atau dalam menjalankan tritugas Kristus : Dalam kegiatan gereja : mengadakan kegiatan pelatihan koor paroki menjelang perayaan Hari Raya Keagamaan (Natal dan Paskah), mengadakan pelatihan misdinar, dan pelatihan pendarazan mazmur. Hal ini dilakukan dalam kerja sama dengan seksi liturgi paroki. Selain itu, mengadakan kegiatan pendalaman iman dan lectio divina. Hal ini dilakukan dalam kerja sama dengan seksi pewartaan. Mengadakan Ibadat Sabda di stasi-stasi atau kampung-kampung. Hal ini dilakukan dalam kerja sama dengan tim pastores lainnya (pastor paroki dan katekis paroki).Hal-hal yang saya alami sebagai saat saya bisa memberikan diri saya (terutama dalam tugas dan pelayanan saya di paroki ini)
 Mengadakan kunjungan atau turne ke stasi-stasi atau kampung :di sana saya memiliki kesempatan untuk mengadakan Ibadat Sabda bersama umat setempat, mengikuti ritme hidup mereka, misalnya salah satu hal yang telah saya lakukan adalah pergi ke ladang bersama mereka untuk menugal dan menanam padi serta membersihkan ladang mereka. Kesempatan mengunjungi umat seperti ini, saya sadari sebagai momen yang paling baik untuk hadir bersama mereka, melihat dari dekat dan merasakan secara langsung suka-duka hidup mereka, serta melihat dinamika hidup mereka secara keseluruhan. Di sini saya memiliki kesempatan untuk bisa memberikan diri, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta hati saya kepada mereka.  Melibatkan kaum awam dalam menyukseskan kegiatan-kegiatan di gereja (latihan koor, latihan misdinar, latihan mendarazkan mazmur tanggapan pada hari Minggu, membersihkan pekarangan atau lingkungan gereja, dll).
 Menyediakan waktu dan tenaga saya untuk melakukan salah satu kegiatan karitatif yang sudah dijalankan beberapa tahun di pastoran Paroki St. Martinus, yakni membuat pas foto umat (mencetak foto umat). 2. Kesadaran-kesadaran baru yang saya temukan di dalam penghayatan tersebut berdasarkan pengalaman praktek di lapangan

CINTA KASIH PASTORAL DALAM PERSPEKTIF SPIRITUALITAS MONTFORTAN

Pengantar
Menjadi seorang Montfortan berarti terus berproses, terus bertumbuh dan berkembang tanpa mesti harus berhenti di suatu titik, lantas saya berkata bahwa “kini saya sudah selesai menjadi seorang Montfortan”. Dalam arti ini, kemontfortananku tidak boleh berhenti pada suatu waktu, tempat dan situasi tertentu, akan tetapi terus bergerak dan terus bertumbuh dalam kedewasaan usiaku sebagai seorang Montfortan yang sejati.
Montfortan adalah sebuah gaya hidup yang tidak terlepas pula dari jiwa atau semangat kristiani. Dan semangat hidup ini pun sudah pernah dihayati secara mendalam oleh ikon Montfortan yakni St. Montfort sendiri pada zamannya. Dari sebab itu, untuk bergerak dan maju di jalan hidup kemontfortanan ini, saya pun mesti melihat dan menyelami gaya atau semangat hidup dari St. Montfort sendiri.
Seluruh hidup, karya dan ajaran St. Montfort merupakan suatu peragaan indah injili, dalam arti bahwa apa yang membuat dirinya dikenal sebagai orang kudus tentu tidak pernah terpisah dari jalinan kasih yang mendalam dengan pribadi dan ajaran Yesus sendiri. Ringkasnya, Montfort adalah seorang yang begitu memesonakan Allah dan manusia. Cintanya pada Sang Kebijaksanaan, Yesus Kristus telah menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang sedemikian rupa, sehingga ia tidak bisa menjadi seorang manusia pada zaman ini, sekurang-kurangnya tidak dalam segala-galanya. Dari sebab itu, saya tidak perlu merasa heran bila berhadapan dengan ungkapan-ungkapannya, pikiran-pikiran dan ajaran-ajarannya yang dapat dikatakan sangat kaku, namun sungguh menarik hati bila dihayati dengan sungguh-sungguh.
Setelah sekian tahun saya mempelajari, mendalami dan menghayati spiritualitas hidup Bapa pendiri (St. Montfort), saya mengalami dan merasakan betapa luar biasa tarikan dan luapan semangat hidupnya, yang terus mendorongku untuk menapaki jalan panggilan hidupku. Pada poin ini, saya mengakui bahwa Montfort telah membuat saya terkagum-kagum. Saya tertarik akan hidup, karya dan ajaran-ajarannya. Peziarahan hidupnya sungguh menggugahku untuk memikirkan dan merefleksikan kembali seluruh perjalanan panggilan hidupku dalam Serikat Maria Montfortan. Saya juga menyadari bahwa Montfort telah mengajarkan banyak hal terutama bagaimana saya harus menjalani hidup sebagai Montfortan muda. Namun apakah semua ajaran dan gaya hidupnya sungguh-sungguh telah menjadi bagian hidupku. Inilah yang mau saya renungkan dalam tulisan ini. Pada poin ini, saya diminta untuk menunjukkan: pertama, unsur-unsur spiritualitas yang saya miliki sebagai seorang Montfortan. Kedua, bagaimana aplikasi dari unsur-unsur spiritualitas yang saya hayati dalam praktek cinta kasih pastoral di lapangan secara konkrit. Ketiga, manakah pengalaman-pengalaman di lapangan yang menyadarkan saya dan memperdalam keberakaran saya pada spiritualitas saya (sebagai seorang Montfortan).

I. Unsur-unsur Spiritualitas yang Saya Miliki sebagai Seorang Montfortan
Sebagai seorang Montfortan saya dipanggil untuk menghayati identitas diriku dalam hidup harianku. Ada beberapa poin penting spiritualitas Montfortan yang saya ketahui dan hayati dalam hidupku, antara lain:

1.1. Evangelisasi
Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi saksi Kristus, demikianlah juga seorang Montfortan dipanggil untuk mewartakan Kristus kepada dunia. Semangat untuk menjadi saksi atau pewarta Kristus sungguh saya hayati sebagai sebuah tugas yang dipercayakan Kristus kepada saya dan semua Montfortan. Demikian juga St. Montfort, dia pun dipanggil untuk menjadi pewarta Kristus. Menjadi pewarta Kristus, yang diharapkannya adalah bahwa Kristuslah yang pertama-tama dan terutama menjadi pusat sasaran pewartaan seorang Montfortan. Dalam arti ini bukan sebaliknya, diri sendiri yang diwartakan.
Spiritualitas Montfortan berakar dalam misteri Yesus, Kebijaksanaan yang menjelma menjadi manusia dan yang datang di tengah-tengah dunia melalui Maria untuk mendirikan Kerajaan Allah. Dalam arti ini, ciri-ciri misioner dan ciri-ciri marial bergandengan tangan. “Inilah ciri-ciri khas serikat anda; inilah sesuatu yang khusus bagi serikat anda… Maria selalu harus ditemukan di tengah, di dalam pusat, pada jantung Gereja yang senantiasa missioner… Dengan demikian serikat anda yang misioner dan sekaligus sedalam-dalamnya berinspirasi marial, memberi ungkapan yang sungguh khas kepada spiritualitas Santo Louis-Marie Grignion de Montfort maupun spiritualitas yang mengalir dari Vatikan II …” (Yohanes Paulus II dalam tatap muka dengan para anggota Kapitel Jenderal 20 Juli 1987).
St. Montfort tidak hanya mewariskan kepada kami (para Montfortan) teladan hidupnya sebagai “Misionaris Apostolik”, tetapi juga suatu spiritualitas dan suatu jalan untuk mencari Kebijaksanaan Abadi yang menjelma menjadi manusia, serta untuk dibentuk kembali menjadi serupa dengan Dia. Upaya untuk mencari dan menikahi Sang Kebijaksanaan yang menjelma, Yesus Kristus inilah yang saya lihat sebagai jiwa yang mendorongnya untuk mewartakan Kristus di tengah-tengah dunia. Pater Jenderal mengatakan bahwa Montfort telah meninggalkan suatu warisan marial, tetapi juga ia mewariskan kepada para Montfortan suatu harta untuk dapat mencari kegiatan-kegiatan kerasulannya yang berani dan penuh resiko, serta dalam pembentukan kembali menjadi serupa dengan Kristus sendiri (bdk. Amanat Pater Jenderal, dalam L’Echo Montfortain, 490).
Cinta kepada Allah saja: mencari Kebijaksanaan untuk hidup menurut semangat Kristus; mengangkat Salib, “kebodohan” itu; penghayatan janji-janji baptis; peranan Maria terhadap umat yang dibaptis dalam proses pembentukan kembali serupa dengan Kristus; kesadaran akan pentingnya Gereja; kegiatan-kegiatan kerasulan yang berani dan penuh resiko; kecenderungan untuk memilih pihak atau orang-orang miskin… semuanya ini merupakan unsur-unsur yang mutlak untuk evangelisasi “ala” Montfort.

1.2. Marial
Menjadi Montfortan itu berarti terus bertumbuh dalam kekudusan yang mau dibentuk oleh Maria, perawan yang setia. Dalam arti ini, seorang Monfortan adalah seorang yang bercorak marial, artinya seluruh hidupnya mesti menampakan semangat atau jiwa Maria. Bagaimana persisnya wujud penghayatan itu?

1.2.1. Membiarkan Diriku Dibentuk oleh Maria, Perawan yang Setia
Pembinaan Montfortan yang saya peroleh selama ini sungguh menghantar saya masuk ke dalam dinamika kesetiaan yang sama yang dihayati oleh St. Montfort. St. Montfort tahu secara luar biasa bagaimana menyambut peranan Bunda Maria sebagai pembimbing dan pemandu di jalan menuju keserupaan dengan Yesus Kristus (bdk. DM 25). Dikatakan bahwa andaikata para Montfortan berguru pada Maria, maka rencana pembinaannya justru menjadi pedoman perjalanan khusus menuju “Pembaktian Diri” Montforttan: kita mempersatukan diri dengan iman murni Maria (BS 214) dan memperoleh kecerdasan budi yang memantulkan keterbukaan yang ramah serta ketaatan Maria terhadap kehendak Allah (bdk. Luk 1:26; Yoh 19:25). Dalam poin ini, para Montfortan diharapkan untuk semakin mengenal dengan lebih baik dan lebih dalam “kerendahan hati” dan “kebijaksanaan Maria”, juga “kebebasan untuk memetik pelajaran dari setiap orang dan setiap kebudayaan, sepanjang hidupnya, dalam setiap usia dan musim, dalam setiap lingkungan dan konteks manusia”. Sebagaimana Yesus bergantung dari Maria untuk kemanusiaan-Nya, demikian juga para Montfortan (saya) bergantung dari Maria untuk mencapai kemanusiaan yang diperbaharui.
Seorang Montfortan adalah seorang yang mau bergantung sepenuhnya kepada Maria, tidak bisa tidak. Ketergantungan inilah yang kalau dihayati dengan sungguh-sungguh, maka akan menghantarnya kepada persatuan yang mesra dengan Yesus, Putranya. Bergantung dari Maria, dalam arti tertentu, memasrahkan seluruh diri kepada penyelenggaraan kebundaannya, bagaimana persisnya? Konkritisasinya cukup sederhana yakni bahwa Montfort mengundang para pengikutnya (para Montfortan) supaya menyerahkan seluruh diri kepada Maria dan hanya dengan cara itu, mereka dibiarkan dibentuk oleh Maria sendiri. Ringkasnya, proses pembinaan seorang Montfortan mencakup di dalamnya suatu penyerahan diri seutuhnya kepada Perawan teramat suci supaya melalui dia, para Montfortan menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya. Dalam arti ini yang ingin diserahkan atau dibaktikan adalah: pertama, badan beserta semua indera dan anggotanya; kedua, jiwa dan seluruh kemampuannya; ketiga, harta lahiriahnya, maksudnya milik duniawinya, baik yang kini maupun yang akan datang; keempat, harta batiniah dan rohaninya, yaitu pahala-pahala, keutamaan-keutamaan dan karya amalnya dari masa lampau, masa kini, dan masa depan. Dengan kata lain, seorang Montfortan bila ingin bersatu dengan Maria, maka dia mesti memberikan kepada Maria segala sesuatu yang kemudian masih akan diperoleh dalam tata alam, tata rahmat dan tata kemuliaan. Ini semua, menurut St. Montfort diberikan tanpa syarat apapun, entah berupa uang, sehelai rambut atau karya amal yang paling kecil sekalipun dan ini untuk selama-lamanya. St. Montfort mengafirmasi bahwa para Montfortan harus menyerahkan itu tanpa menuntut atau mengharapkan balasan apapun untuk penyerahan dan pelayanan mereka, kecuali kehormatan menjadi milik Yesus Kristus melalui Maria dan di dalam Maria (bdk.BS 121).

1.2.2. Membiarkan Maria Membentuk Saya: memilih ketergantungan sebagai jalan kebebasan
Kontemplasi yang mendalam akan ajakan St. Montfort untuk bersatu dan memasrahkan diri kepada tangan Maria, semakin membantu saya untuk membiarkan diri dibentuk oleh Maria. Hanya dengan demikian, saya (dan para Montfortan lainnya) menjadi pribadi yang tersedia baginya dan transparan terhadapnya sambil mendekatkan diri padanya. Maria “membentuk” para Montfortan bilamana mereka menyerahkan seluruh diri kepadanya bagaikan lilin cair meterai yang siap untuk dicap.
Ketergantungan dari Maria merupakan jalan menuju kebebasan. Makin saya membiarkan diri bergantung sepenuhnya dari Maria dalam hidupku, dan makin saya melakukannya secara konkret, maka saya semakin hidup dalam persatuan dengan Putranya. Dalam arti ini, semangat ketergantungan dari Maria sungguh berperan dalam membentuk diri menjadi hamba dan pelayan Putranya, mengapa demikian? Karena melalui penyerahan diri secara total kepada Maria, seluruh diri saya menjadi milik Yesus Kristus dan menghayati janji-janji Baptis saya secara lebih sempurna.

1.2.3. Belajar untuk Melakukan Segala Tindakan Melalui Maria
Seorang Montfortan dipanggil untuk sungguh-sungguh mau belajar bertindak atau melakukan segala sesuatu melalui Maria. Apa maksudnya? St. Montfort mengatakan bahwa orang yang bertumbuh dalam kemampuannya untuk melakukan segala tindakannya melalui Maria berarti membiarkan dirinya dididik dan dibimbing oleh roh Maria (bdk. BS 258). Menyesuaikan diri pada roh Maria sebetulnya menuntut dari diri seorang Montfortan agar terus menerus “menyangkal diri” dan menolak kecenderungan untuk terpusat pada diri sendiri. Hanya dengan cara inilah seorang Montfortan dijauhkan dari dirinya pendiriannya yang tidak tetap, dari keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Maria.



1.2.4. Belajar Melakukan Segala Sesuatu Bersama Maria
Sebagai seorang Montfortan yang dipanggil secara khusus menghayati kharisma Bapa Pendiri, St. Montfort, saya dan juga para Montfortan lainnya, diminta dan bahkan didesak oleh St. Montfort untuk melakukan tindakan sehari-hari bersama dengan Maria. Apa maksudnya? Artinya saya memandang Maria sebagai model yang sempurna dari setiap keutamaan dan kesempurnaan yang dibentuk oleh Roh Kudus di dalam seorang yang murni makhluk, agar saya pun dapat meneladaninya sesuai dengan kemampuan saya yang terbatas. Dalam arti ini, St. Montfort mengajak saya untuk menyelidiki: bagaimana Maria telah melakukan ini sekarang atau bagaimana dia akan melakukannya seandainya dia berada di tempat saya? Untuk memahaminya, para Montfortan diajak supaya merenungkan keutamaannya yang luhur, yang ia hayati selama hidupnya, khususnya: pertama, “imannya yang hidup yang membuat dia percaya akan perkataan malaikat tanpa ragu. Dia telah percaya dengan setia dan tekun sampai di kaki salib di Kalvari. Kedua, kerendahan hatinya yang dalam yang membuat dia menyembunyikan diri, berdiam diri, merendahkan diri di bawah segala-galanya, dan selalu mengambil tempat yang terakhir. Ketiga, kemurnian yang sepenuhnya ilahi yang tak pernah ada dan tak pernah akan ada taranya di dunia ini; serta juga segala keutamaannya yang lain” (BS 260).

1.2.5. Belajar untuk Melakukan Segala Sesuatu dalam Maria
Seorang Montfortan dipanggil untuk belajar bertindak dalam Maria. Bertindak dalam Maria membimbingnya kepada kesadaran terus-menerus akan rahmat Allah yang berkarya. Montfort berkata: inilah tempat surga dan bumi bertemu. Tempat penjelmaan Sang Sabda menjadi tempat pengilahian kita. Di tempat inilah kita dijaga dan dipelihara (BS 33). Jika para Montfortan mau menetap di tempat ini, niscaya mereka akan berangsur-angsur bertumbuh akrab dengan Maria dan bertumbuh dalam kesadaran akan kehadiran Yesus dalam diri mereka.
Bertindak dalam Maria dan berdiam di dalam dia, menghantar para Montfortan ke dalam kehadiran Yesus, Sang Kebijaksanaan yang menjadi manusia di dalam Maria, suatu kehadiran yang dirasakan terus-menerus.

1.2.6. Belajar untuk Melakukan Segala Sesuatu Untuk Maria
Hidup untuk Maria, memang agak unik dan menuntut relasi yang mesra dengannya, tidak bisa tidak. Sebagai seorang Montfortan muda, saya tidak hanya dipanggil untuk tahu semangat dan ajaran St. Montfort tentang Maria, tetapi juga mencoba mengintegrasikannya ke dalam hidup saya sehari-hari.
Hidup untuk Maria sungguh merupakan suatu gaya hidup yang lain sama sekali dari pada sekadar mengisi kepala saya dengan pikiran-pikiran saleh. Hidup untuk Maria itu suatu sikap yang menentukan saya atau para Montfortan bagaimana cara bertindak, yang mewarnai setiap hal yang dilakukan, yang mempengaruhi cara kami bergaul dengan sesama dan membimbing kami dalam mendekati umat yang dilayani.

1.3. Kesiapsediaan (Liberos)
Salah satu ciri hidup seorang yang menyebut dirinya Montfortan adalah “siap sedia” dan lepas bebas. Ciri inilah yang diperlukan, diandalkan tatkala saya dan para Montfortan dipanggil dan diutus untuk mewartakan Kerajaan Allah melalui tangan Maria. Hanya dengan kesiapsediaan yang tak menuntut banyak imbalan, saya dan para Montfortan dapat dengan bebas seperti awan yang bergerak mengikuti arah tiupan angin. Dalam arti ini, hal yang paling diperlukan adalah “bebebasan batin” untuk dapat hidup dalam kekaguman dan untuk melaksanakan karya Allah. St. Montfort menulis demikian: “Apa yang kuminta pada-Mu? LIBEROS: Pria dan wanita yang bebas … sesuai dengan kebebasan-Mu…, sama sekali tak lekat hati, tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara, tanpa saudari, tanpa sanak keluarga, tanpa persahabatan duniawi, tanpa harta, tanpa masalah dan persoalan, malah tanpa kehendak sendiri … tokoh-tokoh yang sesuai hasrat hati-Mu, yang tanpa dipalingkan atau direm oleh cinta diri siap sedia melaksanakan kehendak-Mu … LIBEROS: Pria dan wanita yang bagaikan awan yang melayang tinggi di atas tanah dan penuh embun dari langit, melayang-layang ke mana-mana menurut arah tiupan nafas Roh Kudus” (DM 7-9).
Kata-kata Montfort ini sungguh mendalam dan benar-benar keluar dari penghayatan hidup baktinya kepada Allah. Kontemplasinya yang mendalam akan Yesus Kristus, mendorongnya untuk hanya memilih sikap hidup lepas bebas, dan siap sedia dalam melayani-Nya. Dan semangat hidup seperti ini sungguh menantang saya dan para Montfortan untuk tidak lagi lekat hati dan menoleh ke belakang bila sudah di tengah jalan dalam melayani umat-Nya.

1.4. Komunitas
Seorang Montfortan yang sejati adalah seorang yang sungguh-sungguh menghayati hidup berkomunitas dengan baik. Dalam arti ini ia perlu memahami dan mengenal apa arti dan tujuan hidup bersama dengan para konfraternya yang lain. Sebagai suatu kumpulan atau laskar Maria (company of Mary), para Montfortan dipanggil untuk tidak bekerja sendiri-sendiri, melainkan berangkat atau bergerak bersama-sama orang lain untuk mewartakan Kabar Gembira Kristus kepada orang-orang miskin. Berdasarkan pembaktian diri sebagai biarawan Montfortan, saya dan para Montfortan lainnya, turut serta dalam perutusan Yesus untuk menyampaikan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin. Dalam poin ini, kami melakukannya bersama-sama, sebagai komunitas, siap untuk pergi di mana ada orang yang haus akan air kehidupan. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa para Montfortan tidak datang dari satu daerah dan budaya serta bahasa yang sama, meskipun demikian, mereka (kami) berkumpul bersama di bawah semangat St. Montfort untuk bersedia bekerja bersama-sama sebagai serikat. Montfort berkata demikian: “Kita membentuk sekawanan merpati pembawa damai, sekumpulan burung elang rajawi, sekawanan lebah madu, sekelompok rusa gesit, sekawanan singa pemberani, sepasukan tentara berdisplin tinggi…”. Kata-kata ini sungguh keluar dari dalam cita-cita Montfort (bdk. DM 18, 29) dan cita-cita inilah yang menggerakkan hati ribuan pemuda yang gagah berani untuk bersama-sama mewartakan Injil Kristus dan membangun Kerajaan-Nya di tengah-tengah dunia.

II. Aplikasi dari Unsur-unsur Spiritualitas yang Saya Hayati dalam Praktek Cinta Kasih Pastoral Di lapangan Secara Konkrit:
Secara teori, apa yang disajikan atau dipaparkan di atas mengenai unsur-unsur spiritualitas Montfortan (secara garis besar) cukup menarik dan sungguh idealis. Namun kalau mau ditanyakan bagaimana aplikasi nyata atau pembatinan unsur-unsur tersebut sungguh menantang dan mendewasakan panggilan saya sebagai seorang Montfortan. Berkenaan dengan aplikasi ini, ada beberapa hal yang dapat saya paparkan berikut ini:

2.1. Evangelisasi
Upaya untuk semakin mencintai dan mewartakan Kristus sungguh saya hayati sebagai sebuah panggilan yang luhur. Mengapa demikian? Karena di sini, saya dituntut untuk menghayatinya secara sungguh-sungguh pula. Berkenaan dengan hal ini, saya mencoba berguru pada semangat atau ajaran dari St. Montfort, yakni: Cinta kepada Allah saja: mencari Kebijaksanaan untuk hidup menurut semangat Kristus; mengangkat Salib “kebodohan” itu; penghayatan janji-janji baptis; peranan Maria terhadap umat yang dibaptis dalam proses pembentukan kembali serupa dengan Kristus; kesadaran akan pentingnya Gereja; kegiatan-kegiatan kerasulan yang berani dan penuh resiko; kecenderungan untuk memilih pihak orang-orang miskin… semuanya ini merupakan unsur-unsur yang mutlak untuk evangelisasi “ala” Montfort. Tentang semua unsur-unsur tersebut, saya mencoba sejauh kemampuan saya untuk menghayatinya. Salah satu hal yang dapat saya sebutkan dan sharingkan di sini adalah bagaimana saya berusaha mendekatkan diri kepada orang-orang sederhana di kampung-kampung sambil mewartakan Kristus melalui pelayanan yang saya berikan kepada mereka. Pada awalnya saya cukup kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan pola hidup harian mereka di kampung-kampung. Namun lama-kelamaan juga, setelah beberapa kali mengadakan turne, saya menyadari bahwa jikalau saya tidak menceburkan diri ke dalam dinamika hidup mereka, maka sebetulnya saya sudah membuat jarak dengan mereka, saya sudah memisahkan diri dengan mereka. Padahal kenyataannya, saya mesti dituntut untuk membaur dan mengikuti dinamika hidup mereka. Salah satu contoh sederhana yakni, pergi mandi di sungai (karena tidak ada kamar mandi), tidur di atas tikar bambu, makan-makanan yang mereka siapkan, pergi ke ladang bersama mereka untuk menugal atau membakar ladang, dst. Semua dinamika hidup bersama warga kampung ini saya alami sebagai suatu perjumpaan langsung dengan Kristus sendiri yang juga hadir dalam diri orang-orang yang sederhana. Saya selalu berprinsip bahwa kalau saya mau mengikuti Kristus dari dekat, maka saya pun perlu mengenal dan mengalami langsung kehidupan orang-orang yang sederhana, yang miskin, yang berada di daerah-daerah terpencil seperti beberapa tempat yang sempat saya kunjungi beberapa waktu lalu. Dalam poin ini, saya menyadari bahwa bagaimana saya dapat mewartakan Kristus kalau Dia sendiri tidak dikenal dan didekati. Bagaimana mungkin saya dapat mewartakan Kristus kalau saya hanya duduk tinggal dan berpangku tangan di pastoran. Pengalaman turne ke kampung-kampung sungguh menyadarkan dan membesarkan semangatku untuk terus menapaki hidup panggilanku menjadi seorang misionaris Montfortan.

2.2. Marial
Saya selalu menyadari bahwa kemonfortananku tidak akan berarti apa-apa jikalau saya tidak menampakkan dimensi marial dalam diriku, dalam seluruh dinamika hidup harianku. St. Montfort telah mengajarkan banyak hal tentang Maria, peran dan arti kehadiran atau kepengantaraannya bagi manusia.
Sebagai salah satu wujud atau bukti cintaku pada ajaran St. Montfort tentang menghayati dimensi Marial dalam hidupku, saya berusaha meneruskan atau mempertahankan semangat hidup marial yang telah saya bangun sedari awal. Hal sederhana yang sering saya lakukan adalah (dan juga tatkala berada di Paroki Banua Martinus ini) yakni, menghayati kebajikan-kebajikan Maria: kerendahan hati dan “menyangkal diri” serta menolak kecenderungan untuk terpusat pada diri sendiri. Hanya dengan cara inilah saya menyadari bahwa saya dijauhkan segala keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Maria. Dengan terus-menerus menyangkal diri (berusaha untuk hidup sederhana, tidak memamerkan diri, santun dalam bertutur kata tatkala bergaul dengan umat, jujur dan dengan tulus berkata apa adanya kepada umat atau orang lain) sungguh saya alami sebagai sebuah kesempatan emas untuk semakin menampilkan dimensi marial dalam hidupku. Selain itu, saya pun mencoba menghayati bagaimana dalam hidup harianku di paroki, saya dapat menerapkan semangat hidup untuk bertindak dan melakukan segala sesuatu secara bersama, dalam dan untuk Maria. Dalam hal ini, hal sederhana yang bisa saya lakukan yakni, setiap kali saya mengadakan kegiatan bersama umat atau tatkala melakukan pekerjaan-pekerjan di pastoran, saat berdoa, saat rekreasi bersama, saat berkunjung ke rumah-rumah umat, saya mencoba membayangkan atau mengkontemplasikan bagaimana Maria pun turut serta atau hadir dalam setiap aktivitas saya tersebut. Hal ini kadang terkesan berlebihan dan mengada-ada, namun saya berusaha menghayati semuanya dalam dan melalui tangan Maria. Artinya saya tidak bertindak atau berjalan sendirian, melainkan selalu bersama dan dalam roh Maria. Memang kadang-kadang saya tergoda untuk tidak menunjukkan sikap-sikap seperti itu dan ini sungguh-sungguh menantang hidupku di lapangan.

2.3. Liberos: siap-sedia / lepas-bebas
Selama saya menjadi Montfortan, saya selalu disegarkan kembali tatkala melihat dan menyelami hidup Montfort sendiri yang memiliki semboyan hidup liberos, siap sedia dan lepas-bebas. Saya sangat terpukau dengan semangat yang satu ini. Semangat atau gaya hidup ini, sungguh menjadi barometer bagi saya dalam melayani umat di Paroki Banua Martinus. Kesiapsediaan yang coba saya tampilkan atau tunjukkan di sini yakni bersedia pergi ke kampung-kampung (saat turne) untuk memimpin ibadat di tempat mereka. Pada hari pertama turne, saya tidak percaya diri dan kuatir dengan perjalanan saya, apalagi saya baru belajar mengendarai sepeda motor. Kegelisahan memang muncul waktu itu, apalagi saya pergi sendirian ke tempat yang jauh, kemudian harus melewati jalan-jalan yang berlubang-lubang dan cukup membahayakan. Namun salah satu kekuatan yang saya miliki untuk bisa menangkal semuanya itu adalah “keberanian” untuk memulai dan mau pergi. Prinsip saya, hanya dengan berani mengatakan “ya” (siap-sedia) sebetulnya saya sudah mengalahkan rasa takut dan gelisah yang ada dalam diri saya. Dan semuanya itu saya lalui dengan penuh ucapan syukur bahwa Tuhan senantiasa menyertai saya dalam setiap kesempatan mengadakan turne.

2.4. Hidup Komunitas
Salah satu hal yang bisa saya sharingkan di sini adalah bagaimana saya dapat belajar hidup bersama dan bekerja sama dengan konfrater saya di paroki. Di paroki ini, saya hidup bersama dengan P. Leba, smm yang adalah Pastor Paroki Banua Martinus. Sebagai seorang Montfortan, kami berdua selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menjalani dan menerapkan pola hidup berkomunitas secara efisien, praktis dan menyenangkan. Beberapa kegiatan yang kami lakukan secara bersama, yakni; merayakan Ekaristi bersama, makan bersama (kecuali pagi hari), rekreasi bersama, kerja bersama (opera), membicarakan jadwal turne dan khotbah bersama, dsb. Singkatnya, kami berdua selalu berusaha agar sedapat mungkin segala sesuatu dilakukan dan dihidupi secara bersama-sama, tidak berjalan sendiri-sendiri. Mengapa demikian, karena salah satu aspek yang ditekankan dalam pembinaan Montfortan adalah soal team work (kerja sama dalam team).
Berkenaan dengan aspek komunitas, ini saya mencoba menghayati gaya hidup ini sebaik mungkin tanpa ada perasaan takut, malu dan minder, akan tetapi menjalaninya dengan penuh kegembiraan. Dan semangat inilah yang menjadi kekuatan kami para Montfortan untuk bisa bertahan dalam mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Gaya hidup yang selalu mementingkan aspek kebersamaan ini, menuntut saya untuk juga selalu “menyangkal diri” dan membuka diri bagi konfrater saya. Karena hanya demikian, segala macam kesulitan dan rintangan dapat diketahui dan diatasi secara bersama-sama pula.


III. Pengalaman-pengalaman Di lapangan yang Menyadarkan Saya dan Memperdalam Keberakaran Saya pada Spiritualitas Montfortan

3.1. Siap-sedia untuk pergi turne (kunjungan umat) ke kampung-kampung
Di sini saya diajak untuk berkorban demi umat yang dilayani, apalagi harus melewati medan (jalan) yang buruk dan berbahaya. Dalam arti ini, saya juga belajar untuk menyangkal diri, belajar untuk mengalami pengalaman sakit dan tentu hal ini tidak mudah bagi siapa saja, hanya orang yang memiliki hati siap sedialah yang dapat melakukan tugas mulia bagi sesamanya.

3.2. Rendah hati dan tidak memamerkan diri sendiri
Sama seperti hati Maria yang mau bersikap rendah hati, saya pun menyadari bahwa tatkala saya menunjukkan sikap ini di hadapan Tuhan dan sesama, sebetulnya di situ, saya sedang menghidupi roh Maria atau semangat Bunda Maria yang mau rendah hati di hadapan Tuhan dan sesamanya. Selain menunjukkan sikap rendah hati, saya pun mencoba menghidupi semangat atau gaya hidup “tidak memamerkan diri”. Dalam hal ini, saya selalu berprinsip bahwa biarkanlah Kristus sendiri yang dilihat dan diimani orang dalam pewartaan saya, biarkanlah Dia menjadi lebih besar dan saya, hambanya menjadi paling kecil. Hanya dengan demikian, sebetulnya saya dapat bertumbuh dalam semangat hidup Montfortan. Hal ini sungguh saya alami dalam kehidupan berpastoral di Paroki Banua Martinus.

3.3. Sederhana dan santun dalam pergaulan
Salah satu pengalaman sederhana yang bisa saya sampaikan di sini adalah bagaimana saya dapat diterima dan disukai umat, yakni bersikap sederhana dan santun dalam pergaulan. Saya menyadari bahwa hanya dengan hidup sederhana dan tidak berlebihan (apalagi di tengah kampung) sebetulnya juga, di situ saya telah masuk dalam gaya hidup umat setempat, yang dalam keseharian mereka senantiasa menampakan semangat kesederhanaan, jujur, lemah-lembut dan menampilkan diri apa adanya, tidak dibuat-buat.

3.4. Bekerja secara bersama-sama (team work)
Salah satu hal lain yang dapat membantu saya untuk bertumbuh dalam semangat spiritualitas sebagai seorang Montfortan adalah menghidupi apa yang disebut dengan team work. Pengalaman bekerja sama (baik dengan Pastor paroki beserta dewan pastoralnya, juga dengan umat) dalam segala hal, sungguh menyadarkan dan membantu saya untuk terus bertumbuh dalam spiritualitas Montfortan.

3.5. Lepas-bebas
Salah satu hal yang tidak luput dari perhatian saya adalah semangat lepas-bebas, tidak terikat dan tidak mau menetap, akan tetapi terus bergerak dan berpindah-pindah. Semangat ini cukup membantu saya tatkala saya mulai merasa nyaman di suatu kampung (saat turne), saya berusaha untuk tidak tinggal terus di tempat tersebut, melainkan pergi ke tempat lain (kampung lain) dengan hati yang bebas, tanpa harus mengingat terus kenangan indah di tempat sebelumnya. Hanya dengan cara yang sederhana ini, sebetulnya saya sudah menghayati semangat hidup St. Montfort yang tidak mau mencari kemapanan dan kenyamanan dalam hidupnya. Dan hal ini telah ditunjukkannya dengan terus mengadakan misi keliling di kampung-kampung, di wilayah Perancis Barat.

Penutup
Demikianlah laporan I ini yang dapat saya sampaikan. Atas kekurangan dan keterbatasan refleksi saya, dari hati yang paling dalam, saya mohon maaf dan kiranya laporan ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi hidup dan karya panggilan saya. Akhirnya, saya ucapkan limpah terima kasih atas perhatian dan kerja sama yang Romo berikan.