Kamis, 10 Juni 2010

PAHAM PERKAWINAN GEREJA KRISTEN INDONESIA (Gereja Reformasi Calvinis)

1. Pengantar
Setiap Gereja Kristen memiliki paham dan makna teologis di balik perkawinan yang dianutnya. Dalam tulisan ini saya ingin menggali dan menemukan paham serta makna teologis di balik perkawinan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI), khususnya GKI yang ada di Jl. Bromo No. 2, Malang dan validitas perkawinan jemaat serta menelisik sejauh mana perkawinan di Gereja ini dipahami dan dihayati oleh jemaatnya. Berkenaan dengan ini, saya mulai mencari data-data di Gereja yang dimaksud di atas. Informasi yang saya peroleh melalui wawancara langsung dengan Pendeta Josef Andi Soedjono, MA. Saya hanya mewawancarai beliau pada tgl. 4 Oktober 2009. Selain wawancara langsung dengannya, saya masih melanjutkan kontak dengan beliau via e-mail. Tulisan ini akan diperkaya tidak hanya melalui hasil wawancara dengan Pendeta Andi dan kontak dengannya via email, tetapi juga melalui studi kepustakaan.

2. Gereja Kristen Indonesia (GKI Bromo): Kelompok Gereja Reformasi Calvinis
GKI yang ada di Jl. Bromo NO. 2, Malang (selanjutnya disebut GKI Bromo) adalah Gereja yang masuk dalam kelompok Gereja Reformasi Calvinis. Gereja Kristen Indonesia melihat dirinya dan perannya yakni sebagai Gereja yang memiliki aspek eklesiologis, dalam hubungan kesejajaran (level playing field) dengan Negara, serta pembentukan lembaga keluarga, yaitu tentang perkawinan, di mana GKI memiliki pandangannya tersendiri tentang perkawinan.
Gereja Kristen Indonesia, sebagaimana masuk dalam kelompok atau aliran Reformasi Calvinis, memiliki hubungan yang dekat juga atau serumpun dengan beberapa kelompok atau aliran Gereja lainnya. GKI termasuk dalam rumpun Gereja Ekumenikal, yakni: HKBP, GPIB, GKJ, GKJW, GPIB dan Gereja-gereja di bawah persekutuan PGI, Dewan Gereja se-Asia dan Dewan Gereja sedunia. GKI, sebagaimana Gereja-gereja yang serumpun dengannya, tentu memiliki paham atau pandangan teologis tentang perkawinan. Paham atau pandangan tentang perkawinan tidak akan diurai secara detail untuk tiap Gereja yang dimaksud, akan tetapi di sini kita hanya menelisik paham perkawinan yang dianut oleh Gereja Kristen Indonesia.


3. Paham dan Ajaran Teologis Perkawinan GKI
3.1. Arti dan Makna Perkawinan
Setiap Gereja Protestan entah apa alirannya tentu memiliki paham perkawinannya sendiri. Demikian juga halnya dengan GKI Bromo, memiliki arti perkawinan tersendiri. Menurut tata pernikahan gerejawi, GKI memahami perkawinan atau pernikahan gerejawi dalam arti peneguhan dan pemberkatan secara gerejawi bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menjadi pasangan suami-istri dalam ikatan perjanjian seumur hidup yang bersifat monogamis dan yang tidak dapat dipisahkan, berdasarkan kasih dan kesetiaan mereka di hadapan Allah dan jemaat-Nya, (Tata GKI, bab X, pasal 28). Pernikahan jemaat ini dilangsungkan dalam kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan di tempat kebaktian jemaat.
Perkawinan yang diadakan di GKI tentu tidak hanya sekedar formalitas belaka atau keinginan manusia saja, melainkan lebih dari itu memiliki maksud atau tujuan tertentu yakni: pertama, untuk membentuk persekutuan suami-istri berdasarkan kasih yang bersifat khusus dan menyeluruh. Kedua, untuk membangun keluarga yang mencerminkan citra Allah dan memuliakan Allah. Ketiga, untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan bertanggungjawab sebagai anggota Gereja dan anggota masyarakat.

3.2. Ajaran Teologis Perkawinan
Pada umumnya Gereja Protestan hanya mengenal dua sakramen, yakni sakramen baptis dan sakramen perjamuan kudus. “Perkawinan” tidak masuk dalam kategori sakramen. Pada dasarnya, GKI mengakui bahwa perkawinan itu adalah “urusan dunia”, hanya lembaga dunia yang berwenang mengurusnya. Pertanyaan kita, apa peran Gereja jikalau ada jemaatnya yang mau melangsungkan perkawinannya, oleh karena perkawinan itu lebih dilihat sebagai urusan dunia? Dalam arti ini, bagaimana posisi Gereja tersebut?
Pada umumnya, Gereja Protestan tidak mengakui perkawinan sebagai sakramen. GKI pun demikian melihat dan memahami perkawinan bukan sebagai sakramen. Meskipun demikian, GKI melihat bahwa sebetulnya dari perkawinan itu sendiri terkandung suatu nilai teologis. Pendeta Andi mengatakan bahwa ada dua nilai teologis dari suatu perkawinan kristiani, yakni: pertama, perkawinan itu dilihat sebagai ‘panggilan ilahi’ (Divine vocation) oleh karena Allah sendiri yang melembagakan perkawinan tersebut. Menurutnya, hal ini memiliki pendasaran teologis, dan dasar teologisnya dapat dilihat dalam Kej 2:18 yang berbunyi demikian: …”tidak baik kalau manusia itu seorang diri, Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Kedua, perkawinan itu dilihat sebagai Divine vocation, dimaksudkan agar mereka yang melangsungkan pernikahannya dapat berjalan bersama atau hidup bersama dalam rangka untuk memasuki cita rencana Allah guna mengalami kedamaian dan kesejahteraan.
Dalam penelitian ini, saya mencermati bahwa GKI Bromo -seperti GKI pada umumnya- menganut paham “perkawinan sipil” yang hukumnya dilaksanakan oleh Kantor Catatan Sipil. Namun menurut hemat Pendeta Andi, pemahaman ini rupanya berseberangan dengan ketentuan UU No. 1/1974 tentang perkawinan, yang mengatakan bahwa sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan agama kedua mempelai. Kalau kita menyimak perkawinan di Gereja Katolik, di sana tampak bahwa menurut hukum Gereja Katolik Roma, perkawinan merupakan sakramen Gereja (Kan 1055) . Oleh karena itu, berdasarkan prinsip Gereja Katolik Roma yang mengesahkan terjadinya hubungan perkawinan suami-istri, maka logikanya instansi itu pulalah yang berwenang menyelesaikan masalah pasangan suami-istri termasuk soal perceraian antar suami-istri. Hal ini tentu berbeda dengan paham perkawinan GKI yang memandang perkawinan itu sebagai “urusan dunia.”

4. Pranata atau Norma Perkawinan GKI
GKI menganut paham perkawinan sipil, maksudnya bahwa ikatan perkawinan dilakukan menurut Hukum Sipil Indonesia. Dalam konteks ini, berdasarkan ketentuan Tata Gerejanya, GKI baru bisa memberi berkat pernikahan secara gerejawi kalau kedua pasangan tersebut telah memenuhi syarat pernikahan sebagaimana yang diatur dalam Tata GKI tentang pernikahan Gerejawi, di mana kedua calon mempelai telah mendapatkan surat keterangan atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya, atau calon mempelai telah membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil, yang formulasinya ditetapkan oleh Majelis Sinode, (Lih. Tata GKI bab X, pasal 29). Berbeda dengan Gereja Katolik, para reformator, khususnya Calvin (dan GKI adalah sebuah Gereja dengan latar-belakang Calvinis) menegaskan bahwa perkawinan adalah masalah sipil. Menurut Pendeta Andi, perkawinan di sini berada dalam juridiksi sipil (negara). Dan dengan itu apakah perkawinan menjadi “urusan duniawi” lantas GKI tidak punya kepentingan di dalamnya? Menurut Tata GKI, Gereja hanya meneguhkan perkawinan yang sudah dilangsungkan menurut Hukum Sipil, lantas berkas-berkas perkawinannya pun diurus di Kantor Catatan Sipil. Berkas-berkas perkawinan itu diberkaskan pula di arsip Gereja. Dengan demikian, kita dapat memahami lebih lanjut bahwa jikalau terjadi perceraian di antara kedua pasang mempelai maka yang berhak menanganinya adalah pihak sipil. Dan pihak Gereja samasekali tidak berhak untuk mengurusnya, karena menurut aturan atau hukum Gereja ini, GKI bukanlah otoritas yang mengesahkan suatu perkawinan. Oleh karena itu, mereka harus pergi ke Pengadilan Negeri, karena instansi itulah yang berwenang melayani kebutuhan hukum mereka, dalam wujud vonis perceraian yang diucapkan hakim Pengadilan Negeri yang berwenang. Vonis itu kemudian dicatat di Kantor Catatan Sipil, sebagaimana halnya pada waktu terjadi perkawinan, kelahiran dan kematian. Meskipun demikian bahwa perkawinan di sini merupakan “urusan sipil”, ternyata menurut Pendeta Andi, tidak selamanya demikian. Menurutnya, saat ini sudah ada “kerjasama” antara pemerintah (sipil) dan Gereja, di mana kalau melihat pemberlakukan UU perkawinan No. 1 tahun 1974 saat ini, menurutnya bahwa pihak sipil belum bisa mencatat perkawinan tersebut kalau belum diberkati di Gereja, begitu pula halnya Gereja belum bisa mengeluarkan Akta Pernikahan, (belum bisa memberkatinya) kalau kedua mempelai tersebut tidak mau mencatatnya di Kantor Catatan Sipil.
Menurut aturan Gereja ini, ada beberapa ketentuan yang dilihat sebagai prosedur (norma) sebuah perkawinan kristiani. Apa saja yang menjadi prosedurnya atau normanya? Dari hasil wawancara, di sana dikatakan bahwa setiap calon mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum pernikahan gerejawi dilangsungkan. Dalam poin ini, setiap calon diwajibkan untuk melampirkan KSK (Kartu Susunan Keluarga) untuk diketahui apakah calon tersebut duda atau janda, dsb. Selain itu, mereka juga harus menyertakan Surat Keterangan dari Kantor Catatan Sipil kalau hal itu diproses. Jadi tampak bahwa di sini ada kerjasama di antara kedua lembaga tersebut. Menurut Pendeta Andi, pemerintah baru bisa mencatat jika ada Akta Pernikahan. Begitu juga halnya dengan Gereja, di mana Gereja akan memberikan Akta Pernikahan kalau calon mempelai tersebut benar-benar mencatatnya di Kantor Catatan Sipil. Selain beberapa ketentuan atau pranata tersebut, tentu masih ada banyak ketentuan atau aturan lain sebagaimana yang dimaksudkan oleh Tata GKI tentang aturan atau prosedur perkawinan jemaat, (Lih. Lampiran Tata GKI, Bab X, pasal 30).

5. Syarat-syarat Perkawinan yang Sah yang Dianut GKI
Ada beberapa hal yang digariskan yang menjadi ketentuan atau peraturan GKI mengenai syarat-syarat sebuah perkawinan, yakni: pertama, kedua atau salah satu calon mempelai adalah anggota sidi (anggota baptisan) yang tidak berada di bawah penggembalaan khusus. Kedua, calon mempelai telah mengikuti Pembinaan Pranikah yang bahannya ditetapkan oleh Majelis Sinode. Ketiga, calon mempelai telah mendapatkan surat keterangan atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya. Keempat, calon mempelai mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode, selambat-lambatnya 3 ( tiga ) bulan sebelum pernikahan gerejawinya dilaksanakan dengan melampirkan beberapa hal berikut :
a. Foto Kopi KSK (Kartu Susunan Keluarga),
b. Surat Keterangan Sipil yang menyatakan bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya,
c. Foto kopi Surat Baptis,
d. Surat Keterangan dari Gereja lain. Jika salah seorang dari calon mempelai adalah anggota sidi atau baptisan dari jemaat atau Gereja lain, maka ia terlebih dahulu meminta surat persetujuan dari Majelis Jemaat atau pimpinan Gerejanya. Atau jika salah sorang calon mempelai bukan anggota Gereja, maka ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode bahwa ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara kristiani, ia tidak akan menghambat suami atau istrinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman kristiani dan ia tidak akan menghambat anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara kristiani.



5.1. Unsur-unsur yang Mengesahkan Perkawinan Warga Umat GKI
Kita mengetahui bahwa GKI pada dasarnya menyadari dan mengakui bahwa Gereja hanya berperan meneguhkan dan memberkati perkawinan bagi warga umatnya, sedangkan pihak yang mengesahkan sebuah perkawinan warga adalah petugas pencatatan sipil. Dalam arti ini, validitas sebuah perkawinan bagi warga GKI pertama-tama bukan terletak pada pemberkatan oleh Gereja saja, melainkan pertama-tama dilihat apakah secara “yuridis kenegaraan”, hal itu sudah dicatat di Kantor Catatan Sipil atau belum. Menurut Pendeta Andi, Gereja baru akan berani meneguhkan dan memberkati perkawinan warganya, kalau ternyata dari hasil penyelidikan terhadap kedua calon itu bahwa kelak setelah diberkati di Gereja mereka sungguh-sungguh mau mencatatnya di Kantor Catatan Sipil. Hal ini mengandaikan bahwa sebelum diberkati di Gereja, kedua calon mempelai telah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Majelis Sinode, yaitu bahwa mereka telah mendapatkan surat keterangan atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan bahwa mereka telah memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya. Dari situlah Gereja pun berani memberikan Akta Pernikahan.

5.2. Unsur yang Menentukan Ikatan Nikah Warga Umat GKI
Menurut peraturan GKI, yang menciptakan “ikatan nikah sah” dalam perkawinan warga adalah kedua-duanya baik secara sakral atau ritual pemberkatan tersebut, namun lebih dari itu, secara yuridis (hukum), yang menciptakan ikatan nikah adalah pemerintah.

6. Fungsi dan Posisi Pemberkatan Nikah Gerejawi
Menurut Pendeta Andi, fungsi dari pemberkatan nikah gerejawi adalah sebagai pelayanan ibadah di dalam pernikahan suci. Jadi dalam arti ini, perkawinan tidak disimak sebagai sebuah sakramen. Akan tetapi menurut hemat atau kesan pribadi dari Pendeta Andi bahwa memang secara kodrati pernikahan di sini bukan merupakan sebuah sakramen, akan tetapi kalau kita mau melihat subjek yang melayaninya (minister) adalah pendeta, maka sebetulnya perkawinan di sini masuk juga dalam bilangan sakramen, oleh karena Allah sendiri yang melembagakannya.
Posisi dari pemberkatan tersebut hanyalah untuk mendampingi dan menyertai kedua mempelai dalam mengarungi bahtera hidup mereka agar selanjutnya mereka pun bisa mengalami kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup mereka.

7. Kesepakatan Nikah dalam GKI
Menurut pendeta Andi GKI memiliki pula apa yang disebut dengan kesepakatan nikah, hanya saja hal ini tidak sedetail seperti yang ada dalam Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Secara sederhana dilukiskan demikian bahwa secara formulasi pendeta membaca rumusan pernyataan nikah suci dan kedua mempelai menandatangani Akta Pernikahan tersebut. Salah satu hal yang bisa ditunjuk di sini yakni soal “janji mempelai”. Menurut Tata Perayaan Pernikahan GKI, kedua mempelai diminta untuk mengucapkan janji nikah mereka dengan berdiri, saling berhadapan dan berjabat tangan. Pendeta mengawalinya dengan mengatakan ucapkanlah sekarang janji Saudara berdua, satu kepada yang lain. Selanjutnya mempelai laki-laki mulai menyatakan janjinya, setelah selesai mempelai wanita langsung menyatakan janjinya. Rumusannya sama yakni, aku mengaku dan menyatakan menerima dan mengambilmu sebagai istriku atau suamiku. Sebagai suami atau istri yang beriman aku berjanji akan memelihara hidup kudus denganmu, dan akan tetap mengasihimu pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit dan tetap merawatmu dengan setia, sampai kematian memisahkan kita.
Setelah kita menyimak hal tersebut, kita dapat mengatakan bahwa ternyata kesepakatan nikah di GKI tampaknya begitu sederhana. Dan hal ini tidak dibicarakan sedetail-detailnya sebagaimana yang diuraikan dalam Hukum Perkawinan Katolik.

8. Fungsi dan Posisi Pencatatan Sipil
Menurut Pendeta Andi, secara yuridis kenegaraan (hukum), pernikahan itu baru diterima di masyarakat, kalau sudah dicatat di Kantor Catatan Sipil. Pada dasarnya prosesnya sama, di mana di Gereja, si calon mengajukan permohonan pernikahan 3 (tiga) bulan sebelum pernikahan dilaksanakan, maka selama 3 (tiga) hari minggu berturut-turut diwartakan sebelumnya, andaikata tidak ada halangan, maka Gereja akan mengumumkan pernikahan kedua calon tersebut, begitu juga di Kantor Catatan Sipil diwartakan kepada masyarakat kalau sudah dicatat di sana. Yang menjadi pertanyaan kita, apa saja yang dicatat di Kantor Catatan Sipil oleh karena sipil tidak berhak menikahkan kedua mempelai tersebut, dia hanya mencatatnya dan bukan memberkatinya. Menurut Pendeta Andi, yang dicatat di Kantor Catatan Sipil yakni berkaitan dengan rumus-rumus atau formulasi tertentu yang berkaitan dengan pernikahan kedua mempelai tersebut dan pengesahan dari pihak Sipil. Dan hal ini disaksikan oleh anggota masyarakat bahwa pernikahan dari kedua mempelai itu sah.

9. Status Perkawinan Warga Umat GKI
Ada beberapa status perkawinan warga umat GKI. Ada beberapa poin penting yang mau digali di sini antara lain, status perkawinan warga umat yang diberkati, baik hanya di Gereja namun belum diberkati di Kantor Catatan Sipil maupun status perkawinan warga umat yang menikah secara sipil namun belum diberkati di Gereja serta bagaimana status perkawinan warga yang menikah secara Katolik dan menikah dengan umat non-Kristiani, apakah menurut peraturan GKI perkawinan itu sah atau tidak.
Menurut Pendeta Andi, status perkawinan warga yang hanya diberkati di Gereja dan belum dicatatkan di Kantor Catatan Sipil pada dasarnya ‘tidak sah’, oleh karena pernikahan tidak terjadi secara ritual dan juga tidak terjadi secara yuridis. Status perkawinan warga umat yang hanya dicatat di Kantor Catatan Sipil dan belum diberkati di Gereja pada dasarnya, secara yuridis perkawinan itu ‘sah’, hanya saja hal itu tidak mungkin terjadi. Menurutnya, petugas sipil sekarang sudah bekerjasama dengan umat agama. GKI akan memandang sah perkawinan kedua mempelai, kalau keduanya melanjutkan proses pencatatan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil. Demikian juga halnya, GKI tetap memandang sah kalau warga umatnya menikah dengan pihak Katolik dan pernikahannya diatur seluruhnya oleh Gereja Katolik. Menurut Pendeta Andi, sahnya atau validitas perkawinan di sini tampak dalam beberapa poin distingtif, antara lain: pertama, Gereja pada dasarnya mengizinkan, hanya saja ia tidak mengakuinya sebagai bilangan sakramental. Kedua, GKI akan memandang sah perkawinan tersebut kalau memang dilanjutkan di Kantor Catatan Sipil. Gereja juga mau mengurusnya di Kantor Catatan Sipil. Ketiga, selain itu, perkawinan itu masih dipandang sah andaikata pihak Katolik (Gereja) mau mengurus atau menguatkannya di dalam Gerejanya dan GKI hanya memberi surat pengantar tentang si calon tersebut bahwa memang niatnya adalah mau atau sungguh-sungguh ingin diberkati di Gereja Katolik. Selanjutnya, bagaimana kalau pihak GKI menikah dengan umat non-kristiani (Islam, Hindu, Budha, dll), apakah GKI masih memandangnya sebagai sebuah perkawinan yang sah? Menurut hemat Pendeta Andi, pernikahan itu ‘sah’ hanya saja mesti melalui proses pastoral mengapa pernikahannya dilakukan seperti itu?




10. Penutup
Setelah kita menyimak paham perkawinan dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) khususnya KGI yang ada di Jl. Bromo 2, Malang dengan segala proseduralnya, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, kalau kita menelisik atau mencermati latar-belakang Calvinisnya, perkawinan dipahami di sini pertama-tama merupakan “urusan duniawi”. Dengan kata lain, perkawinan di GKI adalah perkawinan sipil. Gereja hanya berhak atau berkewajiban untuk memberi pendampingan dan berkat. Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana validitas atau sahnya perkawinan itu tampak? Validitas perkawinan jemaat GKI tampak ketika Gereja memberi berkat dan dicatat di Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian, sahnya perkawinan di sini bukan hanya berhenti pada saat Gereja memberi berkat atau saat dicatat di Kantor Catatan Sipil, melainkan ketika setelah diberkati di Gereja langsung dilaksanakan proses pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Hanya saja Gereja baru bisa memberkati kedua mempelai kalau mereka (kedua mempelai) telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Majelis sinode yakni mereka mendapatkan surat keterangan dari Kantor Catatan Sipil, atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan bahwa mereka telah memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya. Begitu pula halnya, pihak sipil baru bisa mencatatnya kalau kedua mempelai tersebut menunjukkan Akta pernikahan mereka. Dari sebab itu, sebetulnya peran dari kedua pihak (sipil dan Gereja) saling “mengandaikan dan bukan mengeklusi atau menegasi. Dan poin penting yang ditekankan di sini adalah “kerjasama” antar pihak negara dan Gereja, sebagaimana yang dikatakan oleh Pendeta Andi, amatlah penting untuk menunjukkan validitas perkawinan. Dengan demikian, poin penting lain yang perlu dipahami di sini adalah bahwa yang menikahkan kedua mempelai bukan pihak sipil karena sipil tidak berhak untuk urusan itu, melainkan Gereja, meskipun yang menentukan sahnya perkawinan warga GKI pertama-tama adalah pihak sipil. Dalam arti ini Gereja hanya memberi pendampingan dan peneguhan apa yang sudah dicatat di Kantor Catatan Sipil.









DAFTAR PUSTAKA

Sumber Utama :
Wawancara langsung dengan Pendeta Josef Andi Sujono, MA.

Sumber pendukung :

Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia, Tata Gereja Kristen Indonesia, Jakarta: GKI, 2003.
Catur Raharso, Alf. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik, Malang: Dioma, 2006.
Panduan Praktis Majelis Jemaat, Departemen Pembinaan BPMS GKI Jateng, 2003.

Tidak ada komentar: