Kamis, 10 Juni 2010

KOMUNITAS BASIS SEBAGAI BASIS MENGEMBANGKAN KOMUNIO DI PAROKI

I. Pengantar
Gereja menyadari bahwa dirinya bukan semata-mata hierarki (uskup dan para imam) melainkan seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Sabda Allah dan penebus, yang dipersatukan oleh sakramen Baptis dan bersatu dalam Gereja hierarki. Dari sebab itu, panggilan Gereja diperuntukkan bagi seluruh umat, bukan saja para hierarki, atau rohaniwan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seluruh umat didesak untuk berpartisipasi dalam pengutusan Gereja untuk membangun tubuh Gereja. Itu berarti umat awam sebagai anggota Gereja berdasarkan imamat umum yang diterimanya, dipanggil untuk menunaikan tugas perutusannya itu sebaga nabi, imam dan raja dalam kehidupannya di dalam Gereja. Dan salah satu tugasnya adalah membangun persekutuan di antara mereka khususnya sebagai anggota Gereja lokal, yakni di dalam paroki.
Berkenaan dengan hal ini, tulisan ini mencoba mendalami peran umat awam dalam menghidupi persekutuan yang dijalankannya, yakni lewat “komunitas basis”. Persekutuan ini dapat disebut juga sebagai bentuk paguyuban umat, menurut hemat penulis dapat dipikirkan sebagai cara atau upaya dalam mengembangakan persekutuan umat di paroki. Dimensi persekutuan inilah yang menjadi penekanan tulisan ini, yang disimak sebagai salah satu persoalan besar dalam kehidupan menggereja. Menjadi persoalan karena dewasa ini, nilai persekutuan mulai dikikis oleh kecenderungan individualisme. Namun sebelum mendalaminya, baiklah kita menyimak terlebih dahulu apa itu komunitas basis dan bagaimana peran dan kehadirannya di dalam sebuah paroki.

II. Komunitas Basis sebagai Suatu Paguyuban Umat
2.1. Pemahaman Umum tentang Komunitas Basis
Ada beberapa definisi atau pemahaman tentang Komunitas Basis. Dalam pembahasan ini, penulis mencoba mengikuti definsi sebagaimana yang dipaparkan oleh Yanuarius Seran. Menurut Yanuarius Seran (selanjutnya disebut Yanuarius) bahwa ada banyak istilah tentang komunitas basis, antara lain: comunidades de Base=Basic Communities (Komunitas Basis); CCB: Comunidad Christiana de Base =BCC: Basic Christian Communities (Komunitas Basis Kristiani); Grassroots Communities (Komunitas Masyarakat Akar Rumput); CEB: Comunidades Eclesiais de BASE=BEC: Basic Ecclesial Communities (Komunitas Basis Gerejawi), dll. Selain itu, ada beberapa pengertian lain yang bisa kita simak sebagaimana yang disarikan oleh Yanuaris, misalnya dari dua tokoh yang ia angkat: C. Boff dan Jose Marins.
Menurut Clodovis Boff, Komunitas Basis Gerejani terdiri dari kelompok kecil, umumnya terkelompok dalam jumlah sepuluh orang di suatu wilayah, biasanya di satu paroki. Kelompok kecil ini memiliki nama yang berbeda bahkan menghidupi aspek-aspek hidup menggereja yang berbeda pula, entah kelompok evangelisasi, kajian Kitab Suci, doa, renungan. Siapakah kelompok keci ini? Menurut C. Boff mayoritas KBG adalah orang miskin, mereka yang paling menderita, yang berasal dari lapisan masyarakat yang paling rendah, petani dan buruh. Menurut C. Boff, ini merupakan fakta sosial yang ada bukan fakta religius. Kelompok ini berkembang di wilayah-wilayah orang miskin yakni, di daerah-daerah pedalaman dan daerah-daerah di kota-kota besar. Kepada merekalah Injil diwartakan. Selain itu, menurutnya, KBG terdiri dari orang-orang kelas menengah bahkan kelas atas. Pada umumnya mereka adalah pekerja-pekerja pastoral yang bertanggungjawab atas tugas-tugas tertentu dalam komunitas. Ringkasnya mereka ini adalah umat awam yang mengabdikan diri kepada kaum miskin demi evangelisasi yang membebaskan.
Menurut studi dari Yanuaris, KBG di Brazil secara pastoral menciptakan dan memfasilitasi proses evangelisasi, serta proses pertumbuhan iman dan hidup kristiani yang menjawabi kebutuhan-kebutuhan mayoritas penduduk. Dari segi institusional, KBG menunjukkan paradigma organisasi gerejawi yang sangat berbeda dari model-model yang sudah ada sebelumnya dan berdampak pada seluruh kehidupan institusional Gereja di Brazil. Dengan demikian, menurut hematnya, KBG adalah “elemen kunci” dalam hidup gerejawi di Brazil sekaligus upaya untuk memahami hidup menggereja. Berbeda dengan C. Boff, Jose Marins melihat KBG adalah Gereja itu sendiri, sakramen keselamatan universal yang melaksanakan misi Kristus, suatu komunitas penyembahan dan cinta kasih pada tingkat lokal (basis), keuskupan dan dunia.

2.2. Ciri-ciri Komunitas Basis
Ciri-ciri komunitas basis sebagaimana yang akan diparafrasekan berikut ini akan mengikuti garis besar pemikiran Marcello Azevedo seperti yang dipahami oleh Yanuarius. Ciri-ciri ini akan diringkas dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama, KBG adalah komunitas. Sebagai sebuah komunitas, KBG memperlihatkan pola hidup Kristen yang sangat bertentangan dengan pendekatan yang individualis, egois dan kompetitif dalam hidup sehari-hari yang melekat pada budaya kontemporer-modern Barat. Sebagaimana KBG di sini adalah mengikuti model KBG Brazil, maka dimensi yang ditonjolkan di sini adalah menghidupkan dua dimensi komunitas: komunio dan partisipasi. Dari dimensi komunio, jelas KBG lebih menekankan dimensi menghidupkan iman bukan sebagai pengalaman nyata pribadi tetapi pengalaman nyata yang dikembangkan dan disharingkan bersama.
Kedua, KBG adalah eklesial. Menurut Yanuaris, melalui KBG, signifikansi Sabda Allah dan sharing doa biblis menjadi nyata. Hal ini dimaksudkan agar KBG dapat menguji pendekatan konfrontal atau bermusuhan dengan hierarki, yang disimaknya menjadi ciri komunitas basis tahun 1960-an khususnya di Italia dan Perancis, atau Gereja Bawah tanah di Amerika.
Ketiga, KBG adalah basis. Ciri yang menonjol dalam komunitas ini adalah keaktifan dari kaum awam. Secara eklesial, KBG berada “di dasar” Gereja, karena hubungannya dengan hierarki Gereja. Selain itu, Yanuaris melihat pula bahwa KBG berada di “dasar masyarakat”. Dengan ciri ini, Yanuaris menyimak bahwa kaum miskin merasa didukung dan dikuatkan. Ia melihat pula bahwa kelompok ini terbuka pada partisipasi, karena di sana kebutuhan bersama lebih diperhatikan. Dengan berada di dasar, KBG lebih mudah mengaitkan iman dengan kehidupan nyata.
Keempat, KBG adalah komunitas yang hidup dari Sabda. Dalam poin ini, Sabda Allah menjadi titik acuan langsung dan sumber inspirasi seluruh kegiatan harian.. Dalam arti ini, Sabda Allah menjadi katalis utama komunitas. Yanuaris melihat bahwa proses evangelisasi akan berjalan karena adanya simbiosis antara sabda dan hidup nyata
Kelima, KBG adalah komunitas yang hidup dari ekaristi. Komunitas ini menjadikan ekaristi sebagai pusat hidup mereka. Sebagai sel pokok Gereja, komunitas ini merasa penting memiliki atau hidup dari ekaristi. Dan inilah yang ditekankan oleh Konsili Vatikan II bahwa tidak ada komunitas Kristen yang dibangun tanpa mendasarkan diri pada perayaan ekaristi kudus.

2.3. Komunitas Basis: Basis Mengokohkan Communio Di dalam Paroki
2.3.1. Peran Khas Awam dalam Gereja
Konsili Vatikan II menegaskan identitas Gereja pertama-tama tidak lagi bersifat hierarkis semata-mata, melainkan seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Sabda Allah dan penebus, yang dipersatukan oleh sakramen Baptis dan bersatu dalam Gereja hierarkis. Dari sebab itu, Gereja tidak lagi menjadi monopoli kaum klerus atau hierarki melainkan melibatkan pula peran dan tanggungjawab kaum awam. Konsili Vatikan II berkata: ”Kaum beriman kristiani, yang berkat sakramen baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengembangkan tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus” (LG 31). Dari pemahaman ini, kita dapat mengatakan bahwa kaum awam dipanggil untuk mengambil bagian dalam tugas-tugas gerejani, yakni aneka kegiatan yang lebih mengarah pada kehidupan dan perkembangan internal Gereja itu sendiri. Hal ini ditegaskan secara gamblang oleh LG 32. Di sana dikatakan bahwa kaum awam diangkat ke pelayanan suci dengan mengajar, menguduskan serta membimbing dengan kewibawaan Kristus menggembalakan keluarga Allah. Dengan menjalankan tugas ini, maka perintah baru tentang cintakasih pada akhirnya dilaksanakan oleh semua pihak. Panggilan dan perutusan kaum awam adalah bekerja sama dengan hierarki. Gagasan ini secara tegas dikatakan oleh dokumen Gereja yang sama, yakni LG 33. Hal yang ditegaskan di dalam dokumen ini yaitu bahwa kaum awam bekerja sama dengan hierarki secara lebih langsung.
Keterlibatan kaum awam ke dalam Gereja disimak sebagai suatu bentuk partisipasi yakni keterlibatan dengan harapan agar Gereja Katolik hidup dan berkembang, serta menghasilkan buah yang berlimpah bagi seluruh umat beriman Katolik (bdk. AA 10). Menurut pemahaman L. Prasetya bahwa keterlibatan kaum awam adalah upaya untuk mengembangkansuburkan Gereja Katolik. Dan menurutnya, hal ini tampak secara nyata dalam kegiatan liturgi (mengambil bagian dalam imamat Kristus), kegiatan pewartaan (mengambil bagian dalam kenabian Kristus) dan kegiatan penggembalaan anggota Gereja (mengambil bagian dalam rajawi Kristus). Pertanyaan kita, apakah Gereja itu dapat bertumbuh dan berkembang sebagaimana yang dicita-citakannya dalam semangat partisipatif ini? Kita harus mengatakan dan menunjukkan bahwa partisipatif aktif dari seluruh umat (hierarkis dan umat awam) adalah modal utama dalam mengembangkan dan menghidupkan Gereja itu sendiri. Itu berarti tanggungjawab dan keaktifanlah yang bisa menunjukkan hal ini lewat keutamaan dan karunia yang telah mereka terima (bdk. AA 4).

2.3.2. Gereja sebagai Communio dan Missio
Gereja adalah communio (persekutuan). Communio di sini tentunya merupakan persekutuan dengan dan dalam Allah yang diikat Roh Kudus berkat jasa Yesus Kristus. Aspek persekutuan semacam ini begitu ditekankan dan dirindukan oleh Gereja atau umat Allah. Menurut John Djegadut, apa yang disebut sebagai aspek communio ini disimaknya menjadi kerinduan, keprihatinan dan doa serta usaha utama Yesus Kristus sendiri dalam membangun Kerajaan Allah di dunia. Ia melihat bahwa ternyata dosa sesungguhnya telah mencerai-beraikan persekutuan asli manusia dengan Allah dan antara manusia itu sendiri. Dan kita tahu bahwa Allah datang ke dunia juga untuk memulihkan kembali persekutuan tersebut, yang didambakan-Nya untuk membentuk umat sebagai satu kawanan dengan satu gembala saja.
Wawasan seperti ini, mesti dilihat sebagai unsur konstitutif dan hal yang amat penting untuk menyadari bahwa salah satu usaha utama dalam karya pastoral ialah menciptakan persekutuan. Dengan demikian benarlah apa yang dikatakan oleh Paulus bahwa di dalam suatu jemaat tidak ada lagi apa yang disebut sebagai gap (jurang pemisah) atau perbedaan kelas sehingga di dalam Kristus tidak ada lagi ”orang Yahudi atau Yunani, wanita atau laki-laki, hamba atau orang merdeka, karena semuanya telah menjadi anak-anak Allah” (Gal 3:28). Menurut hemat John, pemahaman seperti ini sangat penting untuk menciptakan seluruh paroki sebagai suatu persekutuan, yang satu dalam kegiatan dan tindakan, yang bersatu hati dalam kehidupan menggereja tanpa membebankan salah satu pihak saja. Dari poin ini, jelas sekali bahwa sebuah paroki menekankan kesatuan di antara umat adalah paroki yang mau menumbuhkembangkan model hidup menggereja yang diharapkan Kristus. Bagi John, wawasan ini penting juga untuk menciptakan persekutuan-persekutuan basis (pelbagai kelompok basis baik kategorial maupun teritorial) di dalam paroki. Aspek persekutuan atau komunio inilah yang mesti dibangun dan dihidupkan dalam diri umat awam dengan maksud agar mereka pun memiliki kesadaran akan keselamatan yang dibawa Yesus yakni keselamatan dalam persekutuan (baik dalam iman maupun tindakan atau perbuatan serta pelayanan persaudaraan). Hanya dengan semangat untuk bersekutu, mengadakan suatu paguyuban bersama, maka sebetulnya di situ, secara tidak langsung telah ditanamkan suatu usaha pengembangan hidup berparoki yang menurut hemat penulis begitu berharga, yakni mengokohkan persekutuan umat di dalam sebuah paroki. Gereja hadir pada dasarnya bukan untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini dalam bentuk yang paling sederhana tampak dalam kehidupan kelompok-kelompok umat basis. Dalam persekutuan yang mereka adakan, selain karena keinginan untuk berkumpul atau mengadakan paguyuban bersama, tetapi juga karena ingin saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, termasuk dalam penghayatan imannya.
Dewasa ini, tak dapat dipungkiri lagi bahwa di mana-mana muncul fenomena dalam hidup menggeraja, yakni, kelompok-kelompok umat hadir baik sebagai suatu keluarga maupun sebagai persaudaraan berkumpul secara rutin untuk merayakan dan mengamalkan iman kristianinya. Menurut pemahaman Raymundus, bahwa komunitas-komunitas basis, yang telah ada, pada dasarnya ada bukan untuk diri mereka sendiri, bukan pula hanya untuk Gereja, melainkan untuk masyarakat sekitarnya. Dari poin ini, ia melihat bahwa apa yang disebut dengan dimensi hidup Gereja, yakni communio dan missio, merupakan dua hal yang saling melengkapi. Di satu pihak, setiap anggota dalam relasi personal satu sama lain memiliki komitmen untuk menghayati seperangkat nilai ideal yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Pertanyaan kita, apa sumbangsih dari kehadiran komunitas-komunitas ini dalam kehidupan menggereja? Dalam kacamata, Raymundus, komunitas-komunitas tersebut sering kali menjadi motivator pembaruan dan revitalisasi hidup Gereja. Di lain pihak, dalam relasinya dengan masyarakat sekitar, komunitas-komunitas tersebut turut memberi andil dalam membangun dunia yang baru.

III. Komunitas Basis dan Tantangan Persekutuannya
3.1. Komunitas Basis di Pusaran Globalisasi
3.1.1. Hedonisme dan Pengaruhnya bagi Manusia
Kemajuan dunia dewasa ini dalam banyak hal begitu memengaruhi pola dan gaya hidup manusia. Dan dalam arti tertentu sikap dan karakter hidup manusia pun dari sendirinya tidak jauh berbeda dengan kemajuan zaman yang begitu pesat dewasa ini dunia sekarang sedang berada dalam pusaran globalisasi, di satu pihak memengaruhi manusia ke arah positif, tapi di sisi lain justru menghanyutkan manusia. Dan dalam arti tertentu dapat menghancurkan (bersifat destruktif) terhadap perkembangan iman seseorang.
Kalau kita menyimak dengan baik pola dan gaya hidup zaman ini, apa yang kita sebut sebagai individualisme dan hedonisme begitu kuat mewarnai gaya hidup manusia abad ini. Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengkonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada. Dan salah satu gaya hidup yang begitu kental tampak dalam pola hidup zaman ini adalah konsumtif dan hedonis. Kenyataan ini merajalela di mana-mana di berbagai belahan dunia. Hedonisme merupakan sebuah fenomena yang masih menjadi pusat perhatian orang-orang di zaman ini. Hal ini tampak sekali dalam kehidupan di negara-negara berkembang, misalnya di Indonesia. Di negara kita, fenomena ini tampak dalam pemilikan barang-barang mutakhir yang bercirikan teknologi tinggi. Hal ini begitu menguasai lini kehidupan manusia abad ini dan merupakan sebuah prestasi yang harus dikejar. Dari sebab itu, ukuran keberhasilan dan kesuksesan manusia akhirnya tampak sejauh mana dia memakai dan mengkonsumsi barang-barang mutakhir dan karena itu mempunyai ’gengsi’ atau prestise tersendiri bila menikmatinya. ‘Memilikinya’ jauh lebih bermakna daripada sekedar menguasainya secara fungsional. Simbol-simbol lahiriah seperti arsitektur rumah kediaman, pusat-pusat perbelanjaan modern (adanya mal di mana-mana), makanan modern, dsb., menjadi gaya hidup modern, dan kalau orang sudah menikmati atau merasakan serta memperlihatkan gaya hidup itu, maka ia menjadi puas, lantas tidak heran bila ia mengidentikkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat modern. Tentu saja di sisi lain, apa saja yang berbau ‘tradisional’, dirasakan sebagai sesuatu yang sudah ’usang’, dari sebab itu perlu ditinggalkan. Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa ukuran keberhasilan hidup manusia tidak lagi terletak pada keunggulan hal-hal rohani, tetapi justru pada hal-hal jasmaniah semata-mata. Norma menjadi longgar, karena apapun dapat dilakukan untuk menuju keberhasilan di bidang jasmani dan materi. Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru di zaman ini.
Kenyataan di atas, dalam banyak hal terjadi atau dialami pula oleh umat kristiani dewasa ini, tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga sudah masuk ke daerah-daerah pedalaman. Tanpa disadari, kebanyakan dari antara mereka telah terperangkap oleh pola atau gaya hidup zaman ini. Manusia begitu ’terobsesi’ dengan pencarian dirinya dalam dunia ”digital” ini, oleh karena itu, tidak mengherankan jikalau ia berusaha mengidentikkan dirinya dengan apa saja yang ia cari, pakai (konsumsi) dan alami dalam kehidupannya (saya konsumsi maka saya ada). Manusia memang menguasai hasil atau daya kreasinya, tetapi di sisi lain, sesungguhnya dia sedang dikuasai oleh buatan tangannya sendiri. Dari sebab itu, tidak heran jikalau orang menjadi budak atasnya, dikendalikan dan dikontrol olehnya. Dan salah satu puncak kepuasannya adalah mencari, menemukan, memakai dan terus-menerus menumpuk segala-galanya (uang, status atau kedudukan atau privilege), dsb. Antusiasme seperti ini, sebetulnya juga tidak luput dari kecenderungan manusia zaman ini, yakni cenderung rapuh terhadap penderitaan. Bagi mereka penderitaan itu tidak membahagiakan dan karenanya sebisa mungkin dihindari. Hal ini dapat kita simak dalam komentar yang diberikan Alfathri Adlin, yaitu bahwa manusia kontemporer cenderung rapuh terhadap penderitaan, dengan alasan bahwa karena mereka terbiasa hidup dalam budaya kenikmatan dan keinstanan. Semua hal ini, hanya mau menunjukkan betapa manusia di abad ini begitu dikuasai dan dikendalikan oleh mentalitas zaman ini.

3.1.2. Perayaan Individualisme
Manusia zaman modern ditandai apa yang disebut “perayaan individualisme”. Secara filosofis kecenderungan ini merujuk kepada penolakan secara radikal situasi relasionalitas antara manusia dengan realitas lain dan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Tampaknya situasi ini lahir sebagai akibat dari hebatnya tendensi manusia untuk mengafirmasi kekhasan diri dan keagungan kodratnya di hadapan makhluk lain. Penegasan ini lantas menghantar manusia kepada sebuah rumusan tentang diri yang baru: komunitas dunia tidak lagi memiliki primas tertinggi dengan individu sebagai produknya, melainkan dianggap sebagai hasil bentukan individu yang berkumpul secara sukarela untuk meraih tujuan tertentu. Berbagai bentuk relasi tidak lagi memiliki poin penting, tapi hanya disimak sebagai unsur yang memiliki arti preferensial.
Lewat kemajuan teknologi maju orang akhirnya merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial. Orang menjadi pribadi yang tenggelam atau hanyut dalam dunianya sendiri. Hidup lantas dilihat hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan yang lain bukan menjadi urusannya. Kenyataan ini paling sering bisa kita jumpai dalam kehidupan di kota-kota besar. Dan dalam kehidupan berparoki pun, hal ini bukan asing lagi bagi kita, karena di mana-mana kecenderungan untuk hidup hanya untuk diri sendiri tidak dapat disangkal lagi. Hal praktis yang bisa kita amati misalnya di paroki adalah kurangnya antusias umat untuk melibatkan dirinya dalam berbagai aktivitas yang diadakan. Kita bisa melihat pula bahwa umat kurang aktif dalam mengikuti doa-doa di lingkungan, kalau pun hadir, yang datang biasanya orang-orang tertentu, misalnya ibu-ibu sementara bapak-bapak kurang menunjukkan keaktifan mereka. Fenomena ini penulis alami sendiri ketika mengadakan praktek pastoral di Paroki St. Martinus, Keuskupan Sintang (September 2009-Mei 2010), ataupun dalam salah satu penelitian yang penulis adakan (untuk matakuliah Teologi Kontekstual) beberapa waktu silam di Lingkungan Sta. Monika, Paroki Kathedral Ijen.
Dua fenomena di atas (hedonisme dan indivualisme), merupakan persoalan yang serius dan menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja dalam mengembangkan kehidupan menggerejanya, khususnya dalam menumbuhkembangkan persekutuan. Pertanyaan kita adalah bagaimana umat kristiani menyikapi hal ini, dan apakah mungkin lewat paguyuban, misalnya melalui KBG, pengaruh negatif di atas bisa diminimalisir. Dari sebab itu, kita akan mendalami bagaimana KBG bisa menjadi titik kekuatan untuk mengkounternya.

3.1.3. Komunitas Basis:Titik Kekuatan yang Memberangus Hedonisme
Hedonisme dewasa ini kita tahu begitu memengaruhi mentalitas manusia. Kenyataan ini dalam arti tertentu sebetulnya telah memperlihatkan sebuah gaya hidup atau ciri kemodernan. Budaya ini dengan demikian merupakan budaya masyarakat, sudah menjadi bagian integral kehidupan orang-orang zaman ini. Menurut Magnis Suseno, sebagaimana yang dikutip Yanuaris, bahwa kebanyakan orang mengira dirinya bisa menjadi “orang” dengan membeli barang-barang bagus atau mewah, misalnya membeli handphone atau mobil merek tertentu dst. Dan inilah mentalitas konsumerisme. Bagi kaum elite, konsumerisme berarti terus meningkatkan konsumsi mereka, misalnya berlibur ke luar negeri, berziarahnya juga harus ke Tanah Suci dsb. Menurut hematnya, masyarakat biasa pun tidak ketinggalan, mereka juga terus meniru gaya hidup kaum elite. Efeknya, kehidupan rumah tangga pun menjadi rusak.
Di tengah-tengah derasnya arus kecenderungan ini, tentunya umat kristiani ditantang untuk menunjukkan jati dirinya. Budaya di atas (hedonistik) harus disadari sebagai budaya yang persis bertentangan dengan budaya hati dan pergaulan yang dibawa Yesus. Dari sebab itu, ketika orang kristen berhadapan dengan budaya ini, maka mereka dituntut untuk membuktikan bahwa Injil membebaskan manusia dari kuasa-kuasa dunia; bahwa hidup adalah kesederhanaan, cinta, kejujuran dan solider dengan orang-orang kecil. Menerapkan pola ini oleh Yanuaris dilihatnya sungguh membebaskan dan membahagiakan daripada menjalani pola hidup hedonistik.
KBG sebagai sebuah komunitas paguyuban umat kristiani merupakan wadah yang baik dan dapat membantu umat kristen untuk semakin mematangkan imannya di tengah-tengah cengkeraman atau himpitan budaya hedonistik. Sebagai sebuah komunitas yang sangat menekankan nilai Sabda Allah, menjadi titik acuan langsung dan sumber inspirasi seluruh kegiatan mereka, maka umat kristiani ditantang untuk menghidupi nilai Sabda Allah (Injil) itu dalam pengalaman konkret mereka. Dan dalam menghadapi realitas kontemporer ini (misalnya hedonisme, dll.), umat kristiani ‘didesak’ untuk berani menolak tawaran-tawaran kenikmatan dan mentalitas konsumtif. Mengapa semuanya itu harus ditolak, oleh karena apa yang disebut budaya hedonistik dan konsumerisme tadi samasekali tidak membebaskan manusia. Manusia justru dikungkungnya, ketika nilai-nilai Injili (hidup sederhana, ugahari, solider dengan yang berkekurangan) tidak diinternalisasi secara sungguh-sungguh dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam arti ini, Sabda Allah menjadi katalis utama komunitas. Yanuarius melihat bahwa proses evangelisasi akan berjalan karena adanya simbiosis antara sabda dan hidup nyata. Artinya bahwa evangelisasi itu akan semakin tampak memperlihatkan nilai-nilainya bila nilai-nilai Sabda (Injil) diungkapkan atau diwujudkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat.

3.1.4. Komunitas Basis : Titik Kekuatan untuk Mengkounter Individualisme
Salah tugas panggilan hidup menggereja adalah membentuk persekutuan atau communio Dan communio ini dapat dijumpai dan dihayati dalam cara hidup jemaat perdana yang sangat menekankan semangat kesatuan, persaudaraan. Jemaat perdana telah memperlihatkan cara hidup berguyub, di mana cara hidup mereka ini (Kis 2: 41-47) menjadi cara hidup umat kristiani di segala zaman, termasuk zaman ini. Satu poin penting yang menjadi karakter kehidupan komunitas jemaat perdana, yakni persekutuan (Kis 2:42) di mana para murid Kristus hidup dalam kerukunan dan persaudaraan. Dalam poin ini, para rasul sangat menjunjung tinggi nilai persatuan,
Sebagaimana cara hidup jemaat perdana, demikianlah kaum beriman kristiani dewasa ini, dalam segala situasi dan kondisi hidupnya di tengah arus kemodernan dewasa ini, dipanggil untuk senantiasa menghayati dan membina imannya. Dan KBG adalah salah satu wadah yang bisa membantu mereka dalam menghayati dan membina imannya bersama anggota gereja yang lain sebagai sebuah persekutuan atau paguyuban. Di tengah “perayaan individualisme” yang begitu mengental di setiap lini kehidupan dewasa ini, KBG dipanggil untuk sungguh-sungguh melawan individualisme, yang mengabaikan kebersamaan. Dalam disposisi inilah, sebagaimana yang ditegaskan Yanuarius, KBG justru mengedepankan kebersamaan dan menghargai kepentingan orang lain. Berkenaan dengan hal ini, ia melihat bahwa Gereja Katolik nyaris runtuh karena banyak anggota tidak mau mengikatkan diri dengannya sebagai satu komunitas. Keprihatinan lain yang disimaknya di sini adalah bahwa masing-masing orang mau mengatur imannya atau membina relasi pribadi dengan Allah’nya’ sendiri. Akan tetapi kenyataan itu tidak ditemukan dalam KBG. Dalam KBG, hal yang ditekankan adalah “menjadi seorang Kristen” dan “ hidup berkomunitas” pada dasarnya identik. Dalam poin ini, setiap orang tidak lagi terisolasi atau ditinggalkan sendirian, tetapi dibantu untuk semakin mengembangkan dirinya menjadi semakin kristiani.



3.2. Komunitas Basis: Titik Pijak Mengembangkan Persekutuan Umat Paroki
Panggilan dan perutusan para awam tidak mempunyai arti apapun apabila tidak bertitik tolak dari eklesiologi persekutuan. Menurut John Tondowidjojo kaum awam harus menghayati secara serentak ketiga hal esensial, yakni, berada dalam Kristus, menjadi Gereja dalam Gereja dan berada di dunia. Baginya, awam itu lahir di dalam Kristus untuk pelayanan terhadap Gereja, dan karenanya berada di dalam Gereja. Berbicara tentang kesadaran umat awam mengenai perannya amat bergantung pada pola kepemimpinan yang dijalankan hierarki. Persoalan kita di sini sebagaimana yang disinggung oleh Yanuarius Seran adalah apakah praksis kepemimpinan yang dilaksanakan di kalangan jemaat mampu mengembangkan kaum awam dalam dunia modern ini? Berkenaan dengan ini, Yanuarius mempertanyakan model kepemimpinan yang tepat yang dijalankan selama ini, apakah itu sudah dijalankan atau belum, yakni transformatif (mengembangkan), partisipatif (mengikutsertakan) atau sebaliknya feodal dan otoriter.
Kalau agak disimak dengan baik tampak bahwa pola kepemimpinan yang dijalankan selama ini, praktis banyak menerapkan model top-down (atas-bawah), di mana unsur seseorang menjadi penguasa tunggal, penekanan dan kekerasan dari sang pemimpin terhadap komunitasnya tak dapat dihindari. Kepemimpinan yang demikian, menurut hemat Yanuarius sungguh memperlihatkan unsur ”kekuasaan atau wewenang”. Akibatnya, pola kepemimpinan yang menekankan segi pelayanan kurang ditekankan, malahan yang terjadi adalah tercipta kepemimpinan hierarkis sebagai ”pemberi petunjuk”. Berkenaan dengan kesadaran ini, kaum awam perlu diberi penyadaran dan dibangkitkan antusiasme untuk menunjukkan partisipasi aktifnya di dalam kehidupan menggereja, secara khusus di dalam parokinya masing-masing. Bentuk dan cara bagaimana ia melibatkan diri bisa bermacam-macam, misalnya terlibat dalam berbagai macam kerasulan awam.

IV. Beberapa Strategi Pastoral
4.1. Menciptakan Sikap Kritis
Di tengah pusaran globalisasi atau kemajuan zaman yang demikian pesat dewasa ini, Gereja perlu selalu memiliki kesadaran kritis. Tanpa sikap seperti ini, upaya untuk membangun sebuah kehidupan iman dari dalam diri sendiri tidak akan berhasil. Dengan kata lain misi untuk membangun sebuah persekutuan iman yang kokoh tidak akan cukup bila tidak mengkhamiri konteks atau pengaruh-pengaruh buruk yang ada di sekitarnya.
Kita sudah melihat bahwa dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, globalisasi telah melumpuhkan kesadaran sosial, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Kirchberger bahwa penting sekali kita meningkatkan kesadaran kritis dalam masyarakat untuk melindungi korbannya. Baginya tidak ada pembelaan yang lebih kuat daripada kesadaran yang tajam. Kesadaran kritis ini penting untuk melihat apakah dunia dan segala kemajuannya sudah cukup menghantar orang kepada perjumpaan akan suatu nilai hidup yang didambakan oleh seorang beriman atau tidak. Jikalau tidak demikian maka, kesadaran seperti itu perlu selalu dimunculkan.
Berkenaan dengan kenyataan ini, bagaimana Gereja bisa berbicara atau bertindak? Kita tahu di mana-mana jemaat basis begitu ditanamkan dan menjadi semacam way of life kaum beriman kristiani yang ingin memperdalam dan mengembangkan imannya. Semangat syering dan dialog mewarnai persekutuan mereka. Dan model penghayatan hidup seperti ini menurut hemat Kirchberger merupakan sarana penting untuk mengembangkan kesadaran kritis. Baginya apabila Injil itu diwartakan kepada kaum miskin, dan hidup KBG adalah hidup yang terarah pada Sabda yang hidup, maka sepantasnya mereka diminta untuk mendiskusikan persoalan yang tengah di hadapi, misalnya persoalan tentang kaum miskin. Ataupun hal lain yang menurut hemat penulis penting juga adalah bersikap kritis terhadap pengaruh-pengaruh negatif lainnya yang ditimbulkan oleh arus globalisasi di atas (individualistik, hedonistik/konsumeristik, dsb). Mungkin kesadaran kritis ini sangat tepat kalau bisa diungkapkan lewat kesaksian hidup mereka di mana mereka berada baik secara moral maupun spiritual.
Sebuah paroki tentunya akan menjadi paroki yang berkembang dan bertumbuh subur apabila di dalamnya tertanam kesadaran kritis mulai dari Pastor Paroki sebagai kepala sekaligus motivator dan pembimbing sampai ke umat level bawah. Dalam arti inilah, kesadaran untuk mengkounter dan menghilangkan pengaruh-pengaruh buruk inilah perlu diciptakan secara bersama-sama dan menjadi semacama suatu habitus baru.

4.2. Membangun Kesadaran Umat untuk Berpartisipasi Aktif
Menyimak dinamika konteks dunia saat ini, yang diwarnai oleh arus globalisasi, penulis menyadari pentingnya menjadikan KBG sebagai gambaran ideal dan cermin bagi hidup beriman dewasa ini. Dari sebab itu, arah pastoral yang harus selalu dibangkitkan dan ditanamkan dalam konteks ini adalah plantatio fidei (penanaman iman) atau missio ad intra (reksa pastoral). Dalam arti ini, KBG boleh dijadikan sebagai medan untuk menanamkan iman, membangun dan menghidupkan iman di tengah arus globalisasi ini. Penulis melihat, kesadaran semacam ini perlu dibangkitkan dan ditanamkan selalu dalam diri mereka. Partisipasi aktif mereka menjadi tanda keterlibatan mereka bagi perkembangan iman mereka sendiri, tetapi juga dapat menjadi sebuah kesaksian bagi umat lain bagaimana mestinya menjadi umat Kristen yang sejati. Dengan partisipasi dimaksudkan di sini bahwa semua orang melibatkan diri dalam membangun sebuah persekutuan iman, oleh karena iman itu selain ditanggapi secara pribadi perlu diungkapkan secara bersama. Dan melalui keterlibatan bersama dalam aneka karya pastoral paroki (berguyub, aktif dalam salah satu kegiatan parochial, dsb) di situ iman seseorang dipupuk dan dikembangkan. Dengan demikian, semua orang pada akhirnya tanpa kecuali mengambil bagian yang sama dalam perutusan Gereja. Jadi dalam poin ini, penulis melihat bahwa umat secara keseluruhan perlu menyadari peranan mereka sebagai anggota Gereja yang juga dipanggil untuk melanjutkan karya Yesus Kristus di dunia, mewartakan Injil dan membangun Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Konsili Vatikan II, sudah menegaskan hal ini, bahwa Gereja pada hakekatnya bukan semata-mata hierarki. Seluruh umat dipanggil untuk berpartisipasi dalam pengutusan Gereja untuk membangun tubuh Gereja, menjadi saksi Kristus dalam masyarakat dan untuk tampil sebagai garam dunia serta meresapi dunia dengan kasih Allah.
Konsili Vatikan II memahami Gereja bukan sebagai kesatuan organisatoris dan bersifat yuridis semata, melainkan lebih sebagai kesatuan iman, yang dibangun bersama-sama oleh seluruh umat beriman Katolik, sehingga kehidupan dan perkembangan Gereja Katolik sungguh menjadi tanggungjawab bersama umat beriman Katolik. Dengan ini, menuurt hemat L. Prasetya Gereja Katolik ditampilkan dan dipahami lebih sebagai paguyuban umat beriman akan Yesus Kristus, yang disebut Umat Allah ”yang disatukan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” (LG 4). Dengan pemahaman ini menjadi jelas juga bahwa perutusan Gereja tidak lain adalah tugas seluruh umat beriman dan tidak lagi dimonopoli kaum klerus atau hierarki. Dari sebab itu, kaum beriman awam dipanggil, lewat KBG untuk bersama seluruh Gereja mewujudkan perutusannya.

4.3. Membangun Budaya Tandingan: KBG Menjadi Tanda Kehadiran Kristus di Dunia
Kalau kita menyimak konteks hidup beriman zaman ini, tak dapat disangkal lagi bahwa penghayatan iman umat kristiani sekarang berangsur-angsur menurun, jikalau dibandingakan dengan pola hidup beriman umat yang belum tersentuh oleh kemajuan teknologi atau perkembangan zaman. Menurut Theo C. Vergeer, dalam banyak situasi, komunitas Kristen terancam eksistensinya karena gejala individualisme dan depersonalisme yang merajalela. Baginya, pengaruh “dunia modern” antara lain lewat high technology (yang membawa pergeseran nilai-nilai), sistem pendidikan (terarah pada prestasi pribadi), pasar bebas (yang mengalahkan yang lemah) dan digitalisasi (segala-galanya diatur dari belakang komputer, tanpa melihat wajah orang) telah masuk ke dalam kehidupan banyak orang. Kenyataan ini, tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi umat kristiani, yang juga adalah komunitas zaman ini. Tantangannya yang mungkin cukup berat dihadapi yakni apakah jemaat Kristen sekarang bisa menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia saat ini. Tanda-tanda itu adalah hidup dalam persekutuan seperti para rasul atau jemaat perdana, berkumpul bersama, berdoa bersama dan saling mengasihi satu sama lain (bdk. Kis 2: 41-47).
Penghayatan hidup seperti di atas dalam arti tertentu mesti menjiwai umat Kristen sekarang. Dan hanya dengan cara penghayatan demikian, umat Kristen telah memulai apa yang disebut dengan membangun budaya tandingan yakni mengokohkan iman akan Kristus di tengah kemajuan zaman dengan berkumpul bersama, berdoa bersama, atau mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan lainya atau bahkan mengadakan suatu kegiatan karitatif (karya sosial) dalam hidup bersama. Citra diri seperti ini, perlu selalu dijaga dan ditingkatkan sehingga akhirnya menjadi sebuah way of life, bahkan budaya baru dalam mengokohkan iman Kristen di tengah-tengah arus perubahan dunia yang selalu menawarkan nilai-nilai baru, yang kadang-kadang berseberangan dengan nilai-nilai Kristiani.

4.4. Perlu Perhatian dan Pendampingan dari Pastor Paroki
Kita telah melihat bahwa mentalitas hidup manusia dalam banyak hal telah terperangkap dalam gaya hidup mondial, akibat adanya globalisasi. Dan kenyataan ini, kalau kita simak dengan baik, sebetulnya merupakan tantangan-tantangan yang cukup serius bagi Gereja saat ini. Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan John Tondowidjojo bahwa sejumlah tantangan tersebut merupakan akibat langsung dari keadaan dunia yang sedang berubah. Menurutnya, tantangan itu sudah dan terus memasuki kehidupan Gereja dan ini tidak hanya melanda kehidupan masyarakat. Baginya, terhadap tantangan-tantangan itu, Gereja Paroki harus menghadapinya, sebab menurut hematnya, Gereja dipanggil untuk mengetahui pemikiran-pemikiran dan kecenderungan di dalam negeri maupun sedunia, baik dalam masyarakat maupun dalam terutama dalam Gereja sendiri. Dalam arti ini, ia dipanggil untuk terus melihat tanda-tanda zaman. Apa artinya? Maksudnya adalah bahwa Gereja mesti melihat, mengamati dengan serius dan sekaligus memperbaharui imannya kepada Allah. Pertanyaan kita, tanda-tanda zaman apakah yang sekarang ini dihadapi secara serius oleh Gereja? Tanda-tanda yang dimaksud adalah seperti yang sudah kita bahas di atas yakni menguatnya materialisme, hedonisme ataupun konsumerisme bahkan individualisme di segala lini kehidupan. Jikalau demikian, langkah atau strategi apa yang bisa diterapkan di sini selain membangun budaya tandingan untuk mengkounter budaya zaman ini, terutama dalam kehidupan di tingkat paroki (dalam keluarga, lingkungan maupun dalam kelompok-kelompok kategorial, dsb.).
Menyimak bahwa tantangan dan harapan ini, menurut hemat penulis, perlu juga sikap dan tanggungjawab dari Pastor Paroki dalam mendampingi atau membimbing umatnya. Kita melihat bahwa munculnya KBG adalah pertama-tama karena kesadaran mereka untuk berguyub oleh karena iman dan kesaksian hidup mereka akan Sabda Allah. Dari sebab itu, tidak ada cara lain yang paling memungkinkan paguyuban ini semakin bertumbuh dan berkembang selain keprihatinan dan sikap (respon) positif dari Pastor Paroki. Dengan kata lain, Pastor Paroki atau pun petugas pastoral lainnya jangan sampai mematikan dinamika kehidupan mereka di tingkat basis. Dalam arti ini, mereka harus dibina agar perkembangan dan kemajuan Gereja semakin nyata melalui mereka sebagai anggota tubuh yang satu. Dalam arti ini, Pastor Paroki sebagai pemimpin umatnya perlu selalu membangkitkan minat dan antusiasme umat untuk menghidupi dinamika kehidupan berparoki. Salah satu tugas Pastor Paroki adalah menjalankan reksa pastoral untuk kelompok (umatnya). Reksa pastoral yang dimaksud di sini pertama-tama menyangkut pewartaan dan perayaan (Ekaristi), tetapi khususnya tertuju kepada pembentukan persekutuan, sebagaimana ditentukan dalam kan 529 par 2. Di dalam kanon ini, dikatakan bahwa Pastor Paroki bekerjasama dengan uskupnya dan para imam keuskupan, dalam usahanya agar umat beriman memperhatikan kesatuan (communio) paroki dan mengambil bagian dalam mendukung karya-karya yang memajukan kesatuan itu. Perhatian yang mendalam terhadap kegiatan-kegiatan pastoral yang dijalankan umat, misalnya lewat komunitas basis, sebetulnya merupakan modal yang kuat dalam mengembangkan persekutuan umat di dalam paroki. Dalam poin ini benarlah apa yang dikatakan oleh Thomas P. Sweetser bahwa seorang Pastor Paroki adalah seorang yang memiliki sikap kegembalaan yang baik. Itu mengandaikan bahwa seorang pastor atau seorang pribadi, yang mengambil alih tempat pastor sebagai administrator pastoral. Ia harus tampil sebagai pembawa atau pemegang impian maupun sebagai pendorong perubahan. Dalam hubungan dengan umatnya, seorang Pastor Paroki adalah seorang yang sungguh-sungguh mau memperhatikan kebutuhan dan keinginan umatnya. Dengan gaya kepemimpinan sebagai pendamping yang baik inilah maka kita dapat mengatakan bahwa paroki itu sesungguhnya adalah milik umat dan bukan milik Pastor Paroki. Dari sebab itu, kerinduan dan harapan umat untuk mengembangkan imannya dengan berguyub bersama dalam komunitas basis (atau pun dalam kelompok-kelompok kategorial lain) perlu dipelihara dan dikembangkan terus-menerus.

V. Penutup
Di tengah-tengah derasnya arus globalisasi, Gereja ditantang untuk menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya. Salah satu identitas yang mesti selalu dipelihara adalah menghidupkan semangat persekutuan atau paguyuban. Paguyuban atau persekutuan inilah yang diharapkan bisa membantu mereka dalam mengembangkan dan menumbuhkan kehidupan beriman mereka di tengah-tengah dunia yang terus berubah dan bergerak ini. Dengan mengupayakan paguyuban bersama, misalnya lewat KBG tersebut, umat awam menampakkan partisipasi aktifnya dalam mengupayakan sebuah pengembangan persekutuan di dalam Gereja, khususnya dalam paroki. Sebuah paroki akan menjadi paroki yang berkembang dan bertumbuh subur, bila di dalamnya tertanam semangat paguyuban di mana di dalamnya, umat beriman (awam) berdasarkan imamat umumnya ikut menunaikan tugas perutusannya di dunia. Dan karya perutusan ini, akan semakin sempurna bila Pastor Paroki atau hierarki berkenan memperhatikan, mendukung dan mengarahkannya selalu sebagaimana tugas yang dipercayakan kepadanya (bdk. Kan 529 par 2).

DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Gereja:
Kitab Hukum Kanonik, 1983, terj. Sekretariat KWI, Jakarta: Obor, 1991.
Dokumen Konsili Vatikan II, ter. R. Hardawiryana, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993.

Buku-buku dan Artikel:
Adlin, Alfathri, “Realitas Spiritualitas dan Hierarki Realitas” dalam Alfathri Adlin (ed.), Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer, Bandung: Jalasutra, 2006.
Djegadut, John (ed.), Evangelisasi Baru dalam Jemaat Basis, Ende: Nusa Indah, 1996.
Griffin, David Ray (ed.), ”Introduction: Postmodernimse Spirituality and Society” dalam Spirituality and Society Postmodern Visions, Albany: State University of New York Press, 1988.
Kirchberger, Georg, Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004.
Prasetya, L., Keterlibatan Awam sebagai Anggota Gereja, Malang: Dioma, 2003.
Piliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Bandung: Jalasutra, 2003.
Seran, Yanuarius, Pengembangan Komunitas Basis, Cara Baru Menjadi Gereja dalam Rangka Evangelisasi Baru, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2007.
Sudhiarsa, Raymundus, Evangelisasi Berlanjut Meneruskan Wasiat Sang Guru, Yogyakarta, Kanisius 2009.
________, Kearifan Sosial Lintas Budaya, SVD Surya Wacana Merespon Misi Gereja, Bantul, Yoyakarta: Lamalera, 2008.
Susanto, Al. Amin & Tom Jacobs, “Sumbangan Pemikiran di Sekitar Kepemimpinan Pastoral Khususnya Kepala Paroki” dalam J. B. Banawiratma (ed.), Petugas Pastoral Imam dan Awam,Yogyakarta: IKIP Sanata Darma, 1987.
Tondowidjojo, John, Pastoral Paroki Masa Kini, Arah Dasar, Malang: Dioma, 1989.
_________, Arah dan Dasar Kerasulan Awam,Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Vergeer, Theo C., Mencari Model Misi: Penabur Menjadi Benih, Yogyakarta: Kanisius, 2002.







Tidak ada komentar: