Kamis, 10 Juni 2010

FUNDAMENTALISME ISLAM DAN DEMOKRASI

1. Pengantar
Manusia pada dasarnya bebas berpikir, berekspresi atau bertindak. Di mana-mana apa yang disebut dengan kebebasan berpikir dan berpendapat sangat dihargai dan dijunjung tinggi. Dalam negara-negara sekular seperti Amerika dan negara-negara di Eropa, kebebasan seperti ini mendapat perhatian. Hal ini berbeda dengan negara-negara yang mendasarkan dirinya pada doktrin atau ajaran agama tertentu saja sebagai satu-satunya patokan nilai dan kebenaran.
Fundamentalisme agama pada dasarnya baik, tentu bagi kelompok atau aliran yang mengikuti paham ini. Segala sesuatu diukur berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh agama tersebut. Namun tentu hal ini tidak benar jika diterapkan untuk masyarakat pluralis yang berbeda keyakinan satu dengan yang lain. Mengapa demikian? Oleh karena ketika adanya pemutlakan penghayatan nilai-nilai keyakinan satu agama bagi semua masyarakat yang multikultural, maka sebetulnya di situ sudah ada pemaksaan, sudah ada ‘teror’ yang memberangus kebebasan dasariah manusia untuk berpikir dan bertindak menurut keyakinannya sendiri. Dewasa ini, antusiasme untuk menggoalkan (mencuatkan) nilai-nilai kebenaran agama sebagai satu-satunya nilai yang tidak bisa tidak diikuti atau dihayati semakin merebak di negara-negara berbasis agama Islam.
Tulisan ini mencoba melacak sejauh mana fundamentalisme radikal atau fundamentalisme Islam (kelompok Islam radikal) dapat membawa keharmonisan dalam hidup bersama, apakah hal itu dapat dimungkinkan atau justru sebaliknya melahirkan perpecahan atau konflik. Apakah fundamentalisme ini menerima paham demokrasi atau sebaliknya menentang dan menolaknya. Apakah ada upaya atau langkah strategis untuk mendamaikan atau mengatasi ketegangan antara fundamentalisme Islam dan demokrasi? Bagaimana hal itu dapat diupayakan?

II. Terminologi Fundamentalisme : Antara Konsepsi dan Praksis
Istilah fundamentalisme sering diartikan atau dimaknai secara peyoratif. Dalam arti luas, istilah ini disimak sebagai revitalisasi atau penegakan kembali ajaran-ajaran dasar atau doktrin-doktrin fundamen dari setiap agama. Menurut kamus Oxford, fundamentalisme berarti taat terhadap ajaran tradisional ortodoks. Pada awalnya fundamentalisme merupakan sebuah gerakan konservatif di kalangan Protestan (Amerika) yang menolak liberalisme (dalam teologi) dan modernisme . Belakangan ini ada yang mengidentikan istilah ini dengan Islam. Pertanyaan kita, apakah fundamentalisme itu identik dengan Islam? Chaider S. Bamualim mengatakan bahwa ada sejumlah terminologi yang digunakan kaum fundamentalis itu sendiri untuk menyebut gerakan mereka: di antaranya, ush_liyy_n (kaum fundamentalis), Islamiyy_n (kaum islamis, ashliyy_n (kaum otentik) dan salafiyy_n (kaum salaf). Chaider menambahkan bahwa selain istilah-istilah tersebut, dikenal pula beberapa penyebutan yang lebih popular dan paling lazim dipakai oleh kaum fundamentalis, yakni al_ush_liyyah al-Isl_miyyah yang berarti “kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah (syar’iyyah al-hukm-atau fundamen-fundamen keislaman). Dari paparan tersebut, kita dapat memahami bahwa fundamentalisme merupakan revitalisasi dari apa yang menjadi keotentikan suatu ajaran yang dianut di dalamnya (agama atau kelompok tersebut).
Dewasa ini, kalau orang berbicara tentang fundamentalisme, pikirannya langsung mengarah kepada fenomena ‘politik keagamaan’ dan biasanya langsung mengacuh kepada Islam, atau tepatnya muslim fundamentalis. Ringkasnya, muslim dan fundamentalisme sepertinya tidak bisa dilepaskan. Menurut Ismatillah A Nu’ad, keduanya telah termanifestasi ke dalam nalar kesadaran global, terutama ketika telah terjadi fenomena kekerasan, ekstremisme dan terorisme dengan menggunakan nama Islam (violence and terrorism in Islam’s name). Penstigmaan seperti itu bisa saja mencuatkan kenyataan bahwa Islam itu identik dengan kekerasan, atau Islam itu adalah agama kekerasan. Lebih lanjut kecenderungan itu, menurut Ismatillah, justru memverifikasi ‘bias Barat’ tehadap Islam (baca: kaum orientalis) yang mengenal dan memperkenalkan Islam kepada dunia publik dalam beberapa idiom dan frase di seputar barbarisme, vandalisme, pedang dan Qur’ran.
Menyadari adanya bahaya atau ancaman stigmatisasi ini, lantas muncul sejumlah upaya untuk mengkounternya. Salah satunya adalah dengan meredefinisi fenomena fundamentalisme, selain itu bisa juga dengan menampilkan kelompok Islam modernis, yang lebih moderat. Meskipun demikian, menurut hemat penulis, apapun usaha untuk menetralkan stigma seperti itu bahwa Islam itu identik dengan fundamentalisme, namun kalau ditelaah secara historis, fakta menunjukkan bahwa apa yang disebut dengan ‘fundamentalisme Islam’ memang tak dapat ditangkis lagi.
Fundamentalisme Islam merupakan fenomena yang menggemparkan banyak pihak selama beberapa dasawarsa belakangan. Secara historis, gerakan ini berakar dalam gerakan Islam modern pada akhir abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 di Mesir dan anak benua India. Ada beberapa nama yang dikenal sebagai pelopor munculnya gerakan ini, antara lain: Jamaluddin al-Afghani, Hasan Al-Banna, Syyid Quthb dan Abdul A’LA Al-Maududi. Chaider mengatakan bahwa ada sebuah organisasi yang bernama Ikhwanul Muslimin (1928) yang didirikan di Mesir dikenal sebagai peletak dasar-dasar sekaligus menandai gelombang awal fundamentalisme di dunia Islam. Pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa kelompok atau gerakan ini muncul, apa latar belakang atau alasan kemunculannya? Menurut hemat Chaider, gerakan ini muncul sebagai bentuk atau upaya revivalisme Islam. Ia lahir sebagai respons terhadap ideologi modernis sekular yang mendominasi dunia Mesir saat itu. Menyadari bahwa pengaruh Islam saat itu mulai digoyahkan oleh ideologi tersebut, maka gerakan ini lahir sebagi kontra modernisme untuk melawan apa yang disebut “the prevailing patterns of modernization.” Lebih lanjut dikatakan bahwa gelombang anti modernisme ini semakin menguat karena dua alasan yang paradoksal, pertama, melemahnya pengaruh Islam di dunia Islam itu sendiri, kedua, menguatnya pengaruh Barat di dunia Islam. Dalam disposisi ini, bisa dipahami juga bahwa fundamentalisme Islam sesungguhnya merupakan potret revivalisme Islam yang mengeras (radikal) di dunia Islam akibat kompleksistas sejarah sosial dan politik umat Islam. Ringkasnya gerakan ini lahir sebagai akibat superioritas atau hegemoni Barat atas dunia Islam dengan jargonnya seperti liberalisme, sekularisme, modernisme. Jargon-jargon ini samasekali tidak disukai oleh kaum fundamentalis radikal. Mereka justru menentangnya.
Fenomena fundamentalisme di atas, selain menggema di negara-negara Timur-Tengah, ternyata muncul pula di Indonesia. Ridwan al Makassary berkata bahwa fundamentalis di Indonesia berakar dari gerakan the Muslim Brothers di Mesir. Menurutnya, pasca reformasi, fenomena fundamentalisme Islam yang radikal begitu dominan di Indonesia. Fundamentalisme ini tampak dalam beberapa kelompok Islam garis geras seperti: Laskar Jihad Forum Komunikasi Ahlus-Sunnah Waljama’ah (FKAWJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin (MMI), dll. Dari semua kelompok Islam radikal ini, kita bisa melihat bahwa gerakan atau aktivitas mereka dalam beberapa hal sungguh meresahkan masyarakat dan menimbulkan masalah, sebab selain melanggar rambu-rambu hukum, kerugian banyak pihak pun tidak bisa dihindari. Misalnya FPI menamai gerakan mereka sebagai “gerakan anti maksiat” yang bertujuan memberantas pelbagai bentuk kemaksiatan di ibu kota. Aktivitas mereka dapat dilihat dalam pengrusakan tempat-tempat hiburan yang diyakini sebagai sarang maksiat.
Lahirnya fundamentalisme di atas sebetulnya tidak lepas dari kepasifan atau ketaatan buta. Dengan kata lain, fundamentalisme tak lepas dengan skriptualisme, yakni paham yang meyakini kekuatan dan kesakralan teks serta menafsirkannya secara literal. Fundamentalisme mengganggap bahwa agama adalah totalitas, ia menempatkan agama pada posisi yang berlawanan dengan realitas. Ia juga tidak bisa lepas dengan aktivisme yang mengekspresikan protes dengan cara-cara kekerasan serta berjuang atas dasar benar dan salah, baik dan buruk serta hitam dan putih.

III. Fundamentalisme Islam: Memberangus Kebebasan Manusia?
Cara berpikir dan juga termasuk cara bertindak aliran yang disebut kaum fundamentalis pada dasarnya bersifat monolitik, hanya satu saja pola pemikirannya. Berbeda dengan liberalisme, modernisme. Modernisme dan liberalisme memberi ruang kebebasan untuk berpikir dan berpendapat. Fundamentalisme Islam atau fundamentalisme radikal pada dasarnya -sekurang-kurangnya kalau kita mencermati terminologinya dan paham yang dianutnya- di sana tampak bahwa aliran ini atau kelompok ini mendeklarasikan corak pemikiran yang eksklusif dan apologetik. Corak pemikiran yang demikian sebenarnya lahir sebagai suatu reaksi dari kaum fundamentalis yang ingin membedakan Islam dengan barat, maka corak pemikirannya cenderung seperti itu (eksklusif, apologetik). Kelompok fundamentalis radikal sering menebarkan kekerasan atas nama agama, dalam tradisi agama apapun memiliki karakter umum dan sikap keagamaan yang tekstualis, anti pluralisme, intoleran dan selalu mengukur kebenaran agama dari perspektifnya sendiri. Armada Ryanto dalam artikelnya “Membongkar eksklusivisme Hidup Beragama” menggarisbawahi bahwa keagamaan yang fundamentalis, yang fanatik (fundamentalisme) dan integralisme dapat menimbulkan terjadinya kekerasan agama. Lebih lanjut dikatakan di sana bahwa kekerasan itu dapat muncul oleh karena adanya keimanan yang logoistis, yang memiliki kekuatan bahasa yang provokatif, sempit dan kaku (rigid).
Eksklusivitas sungguh mewarnai aliran yang berhaluan keras ini. Eksklusivitas yang demikian di satu sisi dapat menjamin keutuhan eksistensi aliran ini, namun di sisi lain dapat menekan atau memberangus kebebasan orang lain, apalagi ketika kaum fundamentalis mulai “mematok” (memasang) nilai-nilai tertentu untuk dijadikan tolok ukur dalam bertindak. Dan lebih runyam lagi persoalannya ketika nilai-nilai itu diklaim secara mutlak tak tergantikan dan tak dapat dilawan oleh nilai-nilai lain. Akibatnya konflik antar sesama atau antar agama, ras atau golongan pun tak dapat dihindari lagi. Atas nama agama, atas nama eksistensi agama, lantas yang lain (pihak atau kelomok lain) ditekan, disisihkan.
Kenyataan ini dapat kita simak dalam berbagai macam kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Ada beberapa peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam, misalnya pengeboman WTC yang dilakukan oleh Mahmoud Abouhalima sebagai dalang dari peristiwa ini , atau peristiwa pengeboman di Bali yang menelan korban jiwa yang tidak sedikit, atau kasus-kasus pengeboman yang terjadi di tanah air ini, misalnya; bom bunuh diri yang baru-baru ini terjadi di Hotel Ritz Charlton dan JW Marriot Jakarta dan sejumlah kasus bom bunuh diri lainnya. Tindakan-tindakan anarkis, represif seperti ini pada dasarnya dari sisi kemanusiaan tidak bisa direspon secara positif, tidak bisa diterima dengan baik oleh semua pihak. Dan pada dasarnya tindakan ekstrem tersebut dapat disimak sebagai akibat dari penghayatan nilai secara mutlak yang mengatasnamakan agamanya sendiri. Absolutisme penghayatan nilai-nilai seperti ini -demi bertahannya nilai-nilai suatu agama lantas yang lain ditekan, direpresi dan menjadi korbannya- sebetulnya harus dikritisi. Apabila hal ini tetap dipertahankan sebagai tujuan hidup dari kelompok tertentu, dengan sendirinya konflik antar sesama tidak bisa dihindari lagi dan dengan cara itu juga, apa yang disebut sebagai ruang kebebasan untuk hidup secara damai, demokratis, hidup berdampingan dan bebas berpendapat dalam sebuah negara yang demokratis perlahan-lahan dipasung dan disubordinasikan.

IV. Fundamentalisme Islam sebagai Musuh Demokrasi
4.1. Fundamentalisme Islam dan Paham Demokrasi
Pada dasarnya setiap bangsa atau lebih khusus lagi setiap orang menghendaki terciptanya keharmonisan dan kesejahteraan dalam hidup bersama. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak menghendaki adanya perdamaian dan kerukunan dalam hidup bersama. Negara-negara sekular pun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Demikian juga dalam suatu agama manapun pada dasarnya menjunjung nilai-nilai keharmonisan dan kesejahteraan. Hanya saja kadang-kadang dalam pemahaman dan praktik keagamaan setiap komunitas, muncul deviasi dan reduksi. Katakanlah semua agama mengajarkan dan menjunjung tinggi nilai perdamaian, tetapi faktanya sudah berapa banyak umat agama di dunia ini yang bisa menciptakan kondisi seperti itu.
Fundamentalisme Islam seringkali menebar ancaman bagi kebanyakan orang oleh karena paham dasar dan sistem atau tata nilai yang dianut di dalamnya. Dan ancaman itu muncul bisa berupa kekerasan, pemaksaan nilai-nilai tertentu bagi kelompok lain dan pemasungan kebebasan dalam hidup berdemokrasi. Dalam hal yang terakhir ini (demokrasi), kaum fundamentalis sungguh begitu ekstremis dan eksklusif terhadapnya, karena pada dasarnya, demokrasi tidak memberi ruang kebebasan kepada mereka untuk bertumbuh dan berkembang di dalamnya, bahkan kehadiran demokrasi atau kehidupan yang demokratis di sebuah negara disimak sebagai suatu ancaman yang membahayakan eksistensi mereka.
Demokrasi pada dasarnya baik sebagai suatu sistem politik dan bisa menjamin sebuah kehidupan yang menekankan semangat egaliter dan kebebasan berpikir atau berpendapat. Demokrasi dapat dikatakan sebagai sebuah pilihan sistem politik yang paling baik untuk diterapkan dalam kehidupan suatu bangsa atau negara. Dan bahkan hingga saat ini demokrasi masih dinilai sebagai sebuah proses dan sistem politik yang paling baik. Meskipun demikian, itu lantas tidak berarti demokrasi mudah diterapkan di mana-mana, karena demokrasi -ditilik dari sejarahnya- merupakan produk dari sejarah sosial masyarakat Barat, sehingga menurut Umi Sumbulah paham tersebut belum tentu bisa diambil dan diterapkan di tempat lain karena konteks sosial-budayanya berbeda. Menurut Effendi Bachtiar, sebagaimana yang dikutip Umi Sumbulah, kendati demokrasi bisa dilakukan di tempat lain, namun tetap akan terbatasi dengan berbagai faktor, baik bersifat doktrinal, sosial maupun kesiapan politik.

4.2. Pesimisme Kaum Fundamentalisme Radikal atas Demokrasi
Paham demokrasi yang menekankan kebebasan dan inklusivitas dalam kehidupan bersama tampaknya tidak mendapat respon positif dari golongan fundamentalis misalnya fundamentalisme Islam yang beraliran keras, rigid atau kaku. Menurut beberapa pakar politik seperti Larry Diamond dan S. Martin Lipset sebagaimana yang dikatakan Umi Sumbulah, bahwa demokrasi cukup sukar tumbuh dalam lingkungan muslim. Pesimisme ini dapat ditunjukkan dalam beberapa poin berikut ini: Pertama, demokrasi sebagai konsepsi Barat, tidak relevan jika diterapkan kepada negara Islam. Karena Islam merupakan agama ‘kaffah’, yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk pemerintahan. Mengutip pandangan Ali Benhaj sebagaimana yang dikatakan Umi, tampak bahwa demokrasi merupakan ilusi, ide dan monster yang diciptakan Barat sebagai alat untuk misi imperialisme-nya atas dunia Islam. Bagi Umi, ide demokrasi lantas dijadikan oleh sejumlah gerakan aktivisme Islam untuk menolak dan menyerang demokrasi. Lebih lanjut, tulisan-tulisan yang bernada mengkritik dan membabat habis demokrasi, semakin bermunculan. Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan dan dipraktikkan sebagaimana di Barat. Sedangkan Islam merupakan sistem politik yang demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif, yakni kedaulatan di tangan rakyat. Dengan demikian, demokrasi adalah konsep politik yang sejalan dengan Islam setelah diadakan adaptasi penafsiran terhadap makna demokrasi itu sendiri. Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang diterapkan di negara-negara maju. Menurutnya, arus pemikiran yang ketiga ini mendominasi sistem demokrasi di Indonesia, karena telah ada dalam penyelenggaraan negara.
Dari beberapa pesimisme tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata paham demokrasi itu hanya dapat hidup di kalangan moderat (kelompok Islam Modernis) yang menerima dan mengakui serta menghayati paham demokrasi yang menekankan kedaulatan ada di tangan rakyat. Demokrasi akan ditolak kalau paham itu muncul sebagai sebuah ide dan monster yang diciptakan Barat sebagai alat untuk misi imperialismenya atas dunia Islam. Apalagi kalau yang menentang paham ini adalah kaum fundamentalis atau mereka yang memegang teguh doktrin-doktrin keagamaannya (Islam) dan menafsirkannya secara tekstual-literalis. Dengan demikian, dapat ditambahkan juga bahwa persoalan kealamiahan atau karakter dasar dari demokrasi agaknya susah diinternalisasikan ke dalam tubuh masyarakat Islam yang terbentur dengan warisan kulturalnya yang terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif. Hal ini bisa menjadi penghambat membangun kesadaran demokratis. Demokrasi pada dasarnya menjamin kebebasan dan persamaan hak bagi setiap orang dalam hidup bermasyarakat. Dari sebab itu, dari hakikat dasarnya ini, jelas bahwa dalam demokrasi tidak ada pengkotakan kelompok, juga tidak ada istilah diferensiasi mayoritas, minoritas. Dalam arti ini, semua orang diperlakukan sama, tanpa kecuali. Persoalan yang muncul kemudian adalah ruang kebebasan untuk berpikir, berpendapat dan diperlakukan adil dipersempit, ketika kaum fundamentalis radikal berupaya menggoalkan paham kehidupan yang apologetik, tekstual atau skriptualis dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Demokrasi tidak akan berkembang dengan baik di sebuah negara (misalnya di Indonesia) kalau masih ada upaya menggoalkan cita-cita atau nilai-nilai agama tertentu di dalamnya. Ketika terjadi revivalisme nilai-nilai agama yang harus dibaca dan ditafsir secara tekstual-literalis, maka sebetulnya di situ telah terjadi upaya pemaksaan nilai-nilai tertentu bagi komunitas lain yang hidup dalam keanekaragaman budaya, etnis dan agama. Dengan ini pun demokrasi tidak akan berjalan dengan baik. Demokratisasi di Indonesia pelan-pelan akan luntur dan hancur tatkala muncul gerakan-gerakan dari kaum fundamentalis radikal atau yang beraliran kiri, kelompok Islam fundamental yang mengusung agenda terpenting mereka yakni mengislamkan negara ini. Dalam konteks kebangsaan dan kemajemukan, isu ini menjadi teramat rumit. Oleh karena negara tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk mempertahankan prinsip ¬nation-state, di mana kontrak sosial-politik antara segenap elemen masyarakat harus dibangun berdasarkan kepentingan bersama sebagai suatu bangsa. Dalam hal ini, apa yang disebut dengan sekularisasi menjadi sebuah kepastian, yakni pemisahan yang tegas antara agama dari negara, atau menurut bahasa Chaider meminimalisasi pengaruh agama terhadap wilayah publik (public sphere). Keadaan seperti ini bisa memicu terjadinya ketegangan antara Islam Fundamentalis dan demokrasi, ketika Islam dengan upaya keras menggoalkan jargon revivalismenya di dalam kehidupan yang demokratis, ketika itu pula kedudukan demokrasi, eksistensinya pelan-pelan digerogoti. Begitu juga sebaliknya, ketika demokratisasi begitu mengental di setiap lini kehidupan masyarakat di dalam negara ini, fundamentalisme Islam atau kelompok fundamentalisme radikal merasa terancam eksistensinya, akibatnya, tidak heran jikalau kelompok ini begitu getol untuk mencuatkan cita-cita keagamaannya dalam kehidupan sekuler. Hal ini terbaca dari keinginan mereka untuk “mengamankan kepentingan mereka dan seringkali berusaha kembali ke identitas ajaran agama, etika, dan ideologi yang khas dan asli.”

V. Beberapa Langkah Strategis
Ada beberapa upaya atau langkah strategis untuk mendamaikan ketegangan antara fundamentalisme Islam dan demokrasi di atas. Ketegangan ini dapat diatasi dengan mengadakan sebuah dialog agar keduanya bisa saling memahami dan membiarkan yang satu hidup berdampingan dengan yang lain, di mana paham yang satu tidak menegasi atau mengeksklusi yang lain. Dari sebab itu, ada beberapa tawaran yang mungkin bisa memberikan jalan keluar dari ketegangan ini. Meminjam solusi yang ditawarkan Ismatillah, kita dapat melihat adanya upaya terjadinya harmonisasi di antara keduanya. Pertama, perlu adanya reinterpretasi pandangan konservatif dan fundamentalistik. Hal ini menjadi tanggungjawab utama masyarakat beragama guna keluar dari kungkungan dan belenggu dogmatisasi serta normativisme belaka. Menurut Ismatillah, sikap tersebut tidak serta merta mengganti atau menghilang masa lalu, melainkan mengisi masa lalu dengan pandangan-pandangan yang dapat menghargai keberbedaan dan keragaman. Upaya ini dilakukan dengan harapan agar masyarakat beragama didorong untuk “beragama ke bawah”, bukan beragama ke atas.” Tekanan yang mau ditonjolkan di sini adalah memaknai penghayatan nilai-nilai agama bukan demi ajaran atau doktrin itu sendiri melainkan demi kemanusiaan secara holistik. Kedua, masifikasi pemahaman keagamaan moderat. Yang perlu dilakukan di sini menurut Ismatillah adalah mendiseminasikan “pandangan-pandangan anti” sebagai bentuk perlawanan atas kalangan fundamental. Ini dilakukan dalam upaya memberikan pandangan lain bahwa agama menyediakan seperangkat pikiran yang justru mendorong dialog.
Selain redefinisi arti keimanan yang logoistik, tekstual-literal, menurut hemat penulis jalan lain yang bisa dipikirkan di sini adalah mengupayakan atau melakukan ”pencerahan akal budi”. Represi di bawah Orde Baru memang membawa akibat yang kita rasakan sekarang, misalnya dengan munculnya berbagai macam parpol berbasiskan agama atau munculnya gerakan fundamentalisme di negara ini. Menurut hemat penulis, berbagai forum diskusi dengan kelompok-kelompok moderat dapat membantu memperluas mereka yang dicerahkan. Selain itu, dibutuhkan ketokohan dari kelompok moderat ini. Kita melihat dan mengalami bahwa setelah Gus Dur, kita tidak lagi memiliki tokoh seperti itu. Gus Dur sendiri tidak lagi memiliki otoritas yang besar sebagaimana pernah dimilikinya sebelum menjadi presiden. Mayoritas orang Indonesia masih perlu tokoh. Dan tokoh mesti dibesarkan. Apakah bangsa ini masih memiliki upaya untuk membesarkan tokoh seperti Gus Dur atau mereka yang beraliran moderat?

VI. Penutup
Menyimak idealisme kaum fundamentalis radikal (Islam fundamnetalis) yang begitu menekankan eksklusivitas, kepasifan dan ketaatan buta terhadap doktrin keagamaannya, lantas kita dapat meneropong lebih jauh bahwa pada dasarnya fundamentalisme radikal samasekali belum memberi ruang kebebasan, dalam kehidupan yang demokratis. Hal ini terjadi oleh karena bagi kaum mereka, demokrasi itu -sebagai ilusi barat, alat untuk menekan kaum muslim- samasekali mengancam eksistensi mereka. Menyadari akan hal ini tidak heran jika kelompok muslim garis keras begitu getol untuk menolak demokrasi. Dalam arti ini pula kaum fundamentalis tidak bisa bertumbuh dan bergerak secara bebas dalam situasi atau dunia yang sangat menekankan demokratisasi. Mereka justru berpikir secara naif bahwa demokrasi adalah “penghambat” dan musuh mereka yang perlu diberangus demi kelanggengan eksistensi mereka. Hal ini mungkin berbeda dengan kelompok Islam modernis yang menghargai pluralitas dan kebebasan. Ketegangan dua kubu atau paham ini tidak akan pernah berhenti kalau yang satu tidak pernah meredefinisikan citra dirinya ketika ia bersatu atau hidup di tengah dunia yang terus berubah dari hari ke hari.
Fundamentalisme Islam dan demokrasi pada dasarnya bisa berdiri dengan tegak dan aman jikalau masing-masingnya menyadari identitasnya di mana dia hidup dan bagaimana keduanya mampu meredefinisi jatidirinya dalam konteks di mana ia hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul. Agama sebagai Instrumen Gerakan Sosial, Tawaran Teoretik, Kajian Fundamentalisme Agama, (ed.), dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No 1, Malang: STFT Widya Sasana, 2008.

Al-Makassary, Ridwan. Syurga Komunal Kaum Fundamentalis Islam Indonesia dalam Budiman, Hikmat, (eds.), Komunalisme dan Demokrasi, Negosiasi Rakyat dan Negara, Jakarta: The Japan Foundation Asia Center, 2003.

A Nu’ad, Ismatillah. Fundamentalisme Progresif, Era Baru Dunia Islam, Jakarta: Panta Rei, 2005.

Bamualim, Chaider S. Fundamentalisme Islam: Antara Komunalisasi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Budiman, Hikmat (eds.), Komunalisme dan Demokrasi, Negosiasi Rakyat dan Negara, Jakarta: The Japan Foundation Asia Center, 2003.

C. Preble, Robert. The Britannica World Language, Edition of the Shorter Oxford English Dictionary, Vol. 1, London : Oxford University Press, 1962.

Riyanto, Armada. “Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama” dalam Riyanto, Armada (ed.), Agama Kekerasan Membongkar Eksklusivisme, Malang: Dioma-STFT Widya Sasana, 2000.

Sumbulah, Umi. Agama dan Kekerasan, Menelisik Akar Kekerasan dalam Tradisi Islam (ed.), dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No 1, Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2005.

_________. Islam dan Demokrasi, menelisik akar-akar sosio religius, (ed.), dalam Perspektif, Jurnal Agama dan Kebudayaan, Malang: Adiyta Wacana, Pusat pengkajian Agama dan Kebudayaan, 2006.

Sidahmeh, Abde Salam dan Anonshirawan Ehterhami: Islamic Fundamentalisme, USA: Westview Press, 1999.

Tidak ada komentar: