Kamis, 10 Juni 2010

KEBERPIHAKAN KEPADA ORANG MISKIN SEBAGAI PILIHAN UTAMA (Sebuah Upaya untuk Berdiri Di Pihak Kaum Miskin)

1. Pengantar
Salah satu persoalan yang senantiasa menghimpit hidup manusia adalah ”kemiskinan”. Fenomena ini ada di mana-mana, dari dulu sampai sekarang dan hal ini terus dialami dan dihadapi manusia. Dengan kata lain, persoalan ini merupakan persoalan klasik.
Berbicara tentang kemiskinan, mengingatkan kita akan beberapa hal, misalnya mengapa kemiskinan itu sering terjadi dan menjadi sebuah persoalan yang serius dalam hidup manusia? Dan mengapa orang berupaya mengentaskannya atau berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkannya, dan ini harus mulai dari mana? Gereja, sebagai salah satu lembaga keagamaan juga telah menyadari hal ini. Sebagai bagian dari komunitas dunia, Gereja tidak pernah tinggal diam ketika melihat realitas kemiskinan.
Tulisan kecil ini bukan bermaksud untuk segera mengentaskan atau menghapus masalah ini dalam kehidupan sehari-hari, melainkan mencoba membantu orang untuk pertama-tama menyadari kondisi hidupnya dan memberi penyadaran terhadap mereka yang berkuasa dalam pelbagai segi kehidupan masyarakat; menghimbau pada kesadaran sosial mereka, kemudian menunjuk pada hak orang miskin dan memperlihatkan kewajiban atau tanggung jawab Gereja kepada kepentingan masyarakat agar betul-betul merata sampai akhirnya semua pihak diperlakukan dengan adil. Dengan kata lain, tulisan ini hendak memperlihatkan komitmen yang perlu dibangun untuk membantu yang miskin agar bisa keluar dari kungkungan hidupnya.

II. Panorama Kemiskinan dalam Masyarakat
2.1. Definisi dan Persoalan Kemiskinan
Menurut Godlif J. Sianipar (selanjutnya disebut Godlif) kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang terbesar di abad ke-20 dan problem yang sama menurut hematnya masih akan berlanjut hingga abad ke-21. Baginya, untuk memahami dengan baik persoalan ini ada banyak pendekatan yang dipakai untuk mendalami dan memahami kemiskinan di dalam masyarakat dan di sepanjang zaman. Berkenaan dengan ini, ia mengajak kita untuk menyimak bagaimana para ahli menjelaskan ”kemiskinan” dan aspek-aspek yang berhubungan dengan kemiskinan.
Encyclopedia Britannica memandang ”kemiskinan” -sebagaimana yang dikutip Godlif- sebagai ”The state of one who lacks an usual or socially acceptable amount of money or material possessions”. Godlif memahami bahwa kemiskinan itu membawa orang kepada situasi di mana mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yang ia simak di sini adalah kebutuhan-kebutuhan untuk bertahan hidup atau secara luas mereka merefleksikan standar umum dari kehidupan di dalam komunitas. Ia menyimak bahwa ada dua kriteria dari kebutuhan-kebutuhan dasar ini. Pertama, kriteria pertama hanya akan melindungi orang-orang yang berada dekat dengan garis kematian. Kedua, kriteria kedua menunjuk kepada gizi makanan, perumahan, pakaian yang cukup memadai untuk mempertahankan kehidupan. Dengan demikian menurut hematnya, kebutuhan-kebutuhan dasar menjadi parameter bagi kemiskinan. Dalam arti ini, ketika orang gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya demi mempertahankan hidupnya, mereka dapat dikelompokkan sebagai orang miskin.
Beberapa ahli ilmu sosial dan khususnya para pakar ekonomi memahami kemiskinan yang didasarkan pada soal pendapatan, konsumsi dan lebih luas dari itu kesejahteraan manusia, sebagai hal yang perlu untuk memahami dan mengukur kemakmuran dan kemiskinan seseorang. Menurut studi Godlif, apa yang disebut dengan konsep tentang ekonomi yang baik, berakar dari persoalan apakah seseorang memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kesejahteraannya. Misalnya, di Amerika pada tahun 2001, dikatakan bahwa jikalau sebuah keluarga dengan empat anggota memiliki kas pendapatan kurang dari $ 18, 104, maka hal itu dikategorikan sebagai orang miskin. Kemudian ia membandingkan antara batas kemiskinan pemerintahan Amerika Serikat dengan catatan Bank Dunia bahwa sekitar 2 juta orang hidup kurang dari $ 1 dolar per hari atau $ 365.00 per tahun. Menurutnya, siapakah orang miskin itu?
Menurut Godlif para ahli ilmu sosial lain melihat kemiskinan sebagai sebuah fungsi kurangnya kemampuan-kemampuan individu, seperti pendidikan, kesehatan, untuk memeroleh tingkat dasar kesejahteraan manusia. Lain halnya dengan para ahli sosiologi dan antropologi, para ahli ini memusatkan perhatiannya pada soal sosial, tingkah laku dan landasan-landasan politik kemakmuran manusia. Dalam arti ini, menurutnya isolasi atau pemisahan sosial dianggap sebagai penyebab kemiskinan. Senada dengan apa yang dipahami Godlif tersebut, Magnis Suseno menyimak bahwa kemiskinan merupakan suatu kondisi di mana orang tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang masih dapat dinilai secara manusiawi.
Pemahaman-pemahaman tersebut, kalau agak disimak dengan baik, membawa kita kepada suatu pemikiran bahwa sesungguhnya, ketika kita berbicara tentang kemiskinan itu sendiri, kiranya juga kita mesti menyadari kompleksitas persoalan yang ada di dalamnya terutama dalam hal menjelaskan apa yang menjadi hakekat terdalam dari kemiskinan itu sendiri. Dan seperti yang digagas oleh Godlif, untuk sampai ke situ perlu sebuah pendekatan yang integratif yang dapat memberikan arti yang penuh untuk memahami kemiskinan itu sendiri. Dari sebab itu, dalam arti ini, baiklah kita perlu mendalami dan melacak sebab-sebab terjadinya kemiskinan itu sendiri.

2.2. Sebab-sebab Kemiskinan
Kalau kita memperhatikan dengan baik, sesungguhnya kenyataan yang sering kita alami atau kita lihat sehari-hari adalah di mana-mana masih terdapat kemiskinan. Kenyataan bahwa kebanyakan orang kurang mampu mengakses kebutuhan hidup atau sarana fisik yang secukupnya boleh kita katakan menjadi kenyataan hidup sehari-hari. Jikalau disimak dengan baik, di mana-mana orang yang mengalami hal ini berada dalam kondisi yang sungguh memprihatinkan. Secara ekonomis, praktis orang tidak mampu secara maksimal memenuhi kebutuhan hidupnya, kalau pun itu dipenuhi, tingkat kesejahteraannya pun masih berada di bawah standar. Dan dalam disposisi inilah bisa disimak bahwa kondisi kaum miskin sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang berkecukupan atau berbeda sekali dengan orang kaya, yang dari segi ekonomis mampu mengakses kebutuhan-kebutuhan hidup secara maksimal dan memuaskan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mengamati kenyataan bahwa perbedaan antara yang kaya dan miskin begitu menyolok terutama kalau diukur secara ekonomis. Kemampuan orang kaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari berbeda jauh dengan orang miskin, malahan dalam tingkatan yang lebih tinggi orang kaya bahkan selalu mengakses kebutuhan-kebutuhan tersier sementara orang-orang kecil atau miskin jangankan memikirkan kebutuhan tersier, kebutuhan primer dan sekunder saja masih menjadi halangan atau hambatan tersendiri.
Kalau kita menyimak kembali perbedaan antara yang kaya dan miskin dari segi ekonomis, maka kita bisa bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi. Persisnya kita ingin melacak mengapa ada kemiskinan, apakah sebab-sebabnya? Apakah hal ini terjadi karena orang kaya, selain memiliki banyak modal (uang) untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, juga dikenal sebagai orang yang ulet, tekun, sedangkan orang miskin tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, karena selain kurang mampu atau samasekali tidak memiliki modal yang cukup, mereka adalah orang-orang yang malas? Ataukah ini terjadi karena ada struktur yang tidak adil, karena sistem kehidupan yang diciptakan oleh orang-orang yang berkuasa? Untuk menyimak dan melacak hal ini, baiklah kita memparafrasekan beberapa penyebabnya

2.2.1. Kemiskinan Muncul karena Rendahnya ”Etos Kerja”
Meminjam pemikiran para ahli ilmu sosial, sebagaimana yang dikutip oleh Loekman Soetrisno (selanjutnya disebut Soetrisno), dapat dikatakan bahwa masalah kemiskinan, khususnya penyebab munculnya kemiskinan dalam suatu masyarakat sangat berbeda. Soetrisno menyimak bahwa ada sekelompok ahli ilmu sosial melihat munculnya kemiskinan dalam suatu masyarakat berkaitan dengan budaya yang hidup dalam suatu masyarakat. Menurutnya, dalam konteks seperti ini, sebetulnya kemiskinan itu sering dikaitkan dengan rendahnya etos kerja anggota masyarakat atau menurut hematnya, kemiskinan terjadi karena perkara apakah orang itu rajin atau tidaknya seseorang dalam bekerja/mengolah sumber alam yang tersedia. Jadi dari pandangan ini, kita dapat mengatakan bahwa faktor kerajinan atau etos kerja rupanya turut memengaruhi tingkat kehidupan orang tersebut, mengapa karena kalau orang itu memiliki etos kerja yang tinggi (rajin, tekun/ulet dan hemat), maka bisa dipastikan ia tidak akan jatuh miskin (melarat). Berkenaan dengan panorama ini, Seotrisno mengajak kita untuk melihat ke dalam kenyataan hidup kita sehari-hari bahwa rata-rata suku bangsa Cina lebih baik tingkatan hidupnya dari segi ekonomi, daripada suku lain, misalnya di Indonesia. Mengapa demikian? Oleh karena kita sendiri dari pengalaman, mengetahui bahwa orang Cina dikenal sebagai orang yang sangat ulet, tekun lagi hemat dalam hidup sehari-hari. Kenyataan ini berbanding terbalik -meski tidak seluruhnya benar demikian- dengan kenyataan suku-suku pribumi (penduduk asli). Menurut Soetrisno salah satu faktor penyebabnya adalah kebanyakan penduduk asli di Indonesia miskin karena kemalasan dan mentalitas konsumtif.

2.2.2. Kemiskinan Muncul karena Ketidakadilan dalam ”Pemilikan Faktor Produksi dalam Masyarakat”
Menurut studi dari Soetrisno, sejumlah ahli ilmu sosial lainnya melihat munculnya kemiskinan karena ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi dalam masyarakat. Soetrisno menyimak bahwa pemilikan tanah yang tidak merata dalam suatu masyarakat pedesaan akan menimbulkan kemiskinan dalam masyarakat. Ketidakmerataan pembagian faktor produksi ini menyebabkan terbaginya masyarakat pedesaan menjadi dua kelompok: pemilik tanah dan yang tidak memiliki tanah. Kelompok pemilik tanah ini mendominasi yang tidak memiliki tanah, baik secara ekonomis maupun dalam kehidupan politik masyarakat pedesaan.

2.2.3. Kemiskinan Muncul karena Model Pembangunan yang Dianut oleh Suatu Negara
Soetrisno melihat bahwa para pendukung perspektif ini ketika menekankan model pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi suatu negara justru akan menimbulkan kemiskinan pada sekelompok manusia dalam negara. Pertanyaan kita, bukankah justru dengan ini kehidupan suatu masyarakat menjadi semakin lebih baik karena pemerintah mencoba mengangkat taraf kehidupan ekonomi menjadi lebih baik? Memang betul di satu sisi, model ini membantu meningkatkan taraf kehidupan suatu masyarakat. Namun menurut penganut perspektif ini, mereka melihat bahwa pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan akan menimbulkan kepincangan antara sektor ekonomi modern dan sektor ekonomi tradisional, di mana sebagian besar penduduk suatu negara sedang berkembang menggantungkan hidup mereka. Menurut hemat Soetrisno, pemerintah pasti membantu sistem pembangunan seperti ini, kalau model ini mengedepankan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi sektor ekonomi modern. Dengan sistem yang demikin, maka jelas sekali sektor ekonomi tradisional akan terhambat proses perkembangannya. Akibatnya, sektor ini akan mengalami hidup dalam kemiskinan karena minimnya fasilitas yang diberikan. Dengan kata lain, kemiskinan mereka lebih disebabkan oleh ”penganaktirian” dari suatu kebijaksanaan ekonomi yang diterapkan pemerintah tersebut. Dalam situasi seperti ini, Soetrisno menyimak bahwa mayoritas penduduk akan hidup tanpa menikmati hasil pembangunan bila dibandingkan sekelompok kecil manusia, yang memiliki akses secara langsung dengan pemerintah.

2.2.4. Kemiskinan Muncul karena Ketidakadilan Struktural
Sebetulnya faktor ketidakadilan seperti ini yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, sudah sedikit disinggung di atas meski tidak belum begitu eksplisit. Meskipun demikian, baiklah kita menyimak faktor yang satu ini secara lebih mendalam sebagaimana yang diuraikan oleh Magnis Suseno.
Menurut hemat Prof. Magnis Suseno, sesungguhnya kemiskinan itu terjadi pertama-tama bukan karena dalam skala makro akibat kesalahan orang miskin sendiri, melainkan akibat kondisi-kondisi objektif kehidupan mereka. Ia melihat bahwa kondisi-kondisi yang ia maksudkan di sini malah hanya sebagian besar merupakan akibat ketimpangan dalam proses-proses pembagian hasil produksi masyarakat. Baginya, kemiskinan untuk sebagian terbesar merupakan akibat ketidakadilan struktural atau ia memakai istilah lain kemiskinan struktural. Apa maksudnya? Maksudnya bahwa kemiskinan itu bukanlah akibat kehendak jelek orang miskin sendiri (misalnya: ia malas, suka main judi) atau orang kaya (misalnya: ia pribadi rakus), melainkan akibat strukturisasi proses-proses ekonomis, politik, artinya hanya sekelompok kecil yang menjadi penguasa sarana-sarana produksi dan merekalah yang mengambil keputusan mengenai kehidupan masyarakat), sosial (misalnya hak-hak tradisional golongan atas), budaya (misalnya perbedaan akses terhadap pendidikan) dan ideologis bahwa masyarakat dibelenggu faham-faham yang menutup-nutupi ketidakadilan kemiskinan dan memperlihatkannya sebagai akibat faktor-faktor objektif belaka.

III. Pandangan dan Sikap Ajaran Sosial Gereja (ASG) atas Kemiskinan
Gereja sebagai representasi Kerajaan Allah di dunia, yang hadir dan berada di dunia selalu berhadapan dengan bermacam-macam persoalan dunia. Salah satu persoalan yang boleh dikatakan sangat serius dihadapi oleh komunitas dunia dari zaman ke zaman adalah kemiskinan. Terhadap realitas ini, Gereja selalu berada dalam posisi untuk mendahulukan kaum miskin. Posisi ini sesungguhnya berangkat dari sikap Yesus sendiri yang dalam hidup-Nya selalu memihak dan mengutamakan orang-orang kecil. Namun sebelum kita melihat bagaimana peran Gereja atau sikap Gereja terhadap kaum miskin, terutama dalam hal mendahulukan kaum miskin (option for the poor), baiklah kita melihat sekilas pandangan Gereja tentang kaum miskin. Siapakah orang miskin itu? Dan bagaimanakah Gereja memandang realitas kemiskinan dewasa ini?

3.1. Martabat Kaum Miskin di Mata Gereja
Ada beberapa dokumen yang berbicara tentang kaum miskin dan persoalannya. Salah satu dokumen Gereja yang menyebut kelompok kaum miskin adalah Centesimus Annus no. 11. Menurut dokumen ini, ada berbagai macam kelompok orang miskin. Kelompok yang dimaksud antara lain: para lansia, pengungsi, kaum emigran. Termasuk di dalamnya adalah para korban perang dan bencana yang melanda dunia. Selain itu, Ensiklik Rerum Novarum no. 23 menaruh perhatian yang besar terhadap kaum miskin. Ensiklik ini mengatakan bahwa bagi Allah kemiskinan itu bukan sesuatu yang tidak pantas, dan kewajiban bekerja demi mencari nafkah bukan alasan untuk merasa malu. Berkenaan dengan ini, Paus Leo XIII melalui ensiklik ini, menunjukkan sikap dasar Yesus yang rela mau menjadi miskin seperti yang dikatakan oleh St. Paulus: Dia yang kaya-raya menjadi miskin demi kita (2 Kor 8:9). Yesus sendiri tampil dan dianggap sebagai anak tukang kayu, kendati Ia Putra Allah dan Allah sejati; dan dengan penampilan-Nya itu, Ia tidak berkeberatan melewatkan sebagian besar hidup-Nya sebagai tukang kayu (Mrk 6:3). Paus Leo XIII melihat teladan hidup Yesus ini mempermudah pemahaman bahwa nilai dan keluhuran manusia terletak pada corak hidupnya. Apa maksudnya? Maksudnya bahwa keluhuran manusia terletak pada keutamaannya. Paus melihat bahwa tampaknya kehendak Allah sendiri jelas berpihak pada orang-orang yang malang. Dan hal ini sudah ditegaskan dengan sangat jelas oleh Yesus sendiri dalam Khotbah di Bukit: ”berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah” (Mat 5:3). Pilihan untuk berpihak pada mereka yang lemah ini ditunjukkan pula dalam sikap Yesus yang mengundang siapa saja yang berjerih payah dan bersedih hati untuk datang kepada-Nya, sumber penghiburan (Mat 11:28). Paus Leo melihat bahwa Yesus dengan hati penuh cinta merangkul dan mengangkat hati orang miskin yang penuh derita dan sikap Yesus ini disimaknya sebagai cara hidup yang mampu meredam kesombongan hati kaum kaya.

3.2. Keberpihakan kepada Kaum Miskin sebagai Pilihan Utama (Preferential Option for the Poor)
Salah satu tema yang berkembang dalam kehidupan dan refleksi di Gereja-gereja Dunia Ketiga adalah ”Gereja Kaum Miskin”. Menurut C. Putranta, tema ini merupakan salah satu bentuk ”penerimaan” dari semangat dan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II di dalam konteks situasi Dunia Ketiga yang sangat ditandai oleh kemiskinan. Salah satu keprihatinan pokok yang terkandung dalam tema ”Gereja Kaum Miskin” adalah bagaimana Gereja memahami dan merumuskan kembali dirinya dengan memperhitungkan serta memasukkan kaum miskin dalam pengertian diri tersebut. Hal yang ingin ditanyakan di sini adalah apa tujuan keberadaan Gereja di tengah dunia. C. Putranta melihat bahwa dalam tema ini pula tersirat suatu kesadaran yang masih berkembang bahwa soal kemiskinan itu bukan suatu kebetulan belaka yang ada di dalam hidup sehari-hari, melainkan sungguh disadari sebagai suatu gejala ketidakadilan, yakni sesuatu yang ada dalam lingkup tanggung jawab dan kemampuan manusia.
Kesadaran Gereja akan kenyataan kaum miskin sebagai kaum yang tersisihkan, yang lemah dan menderita, mendesaknya untuk mengambil sikap. Dan hal ini dengan cukup jelas dideklarasikan dalam LG 8 dan AG 5. Dalam LG 8 Gereja menyadari diri bahwa ia dipanggil untuk meneladani semangat Kristus yang telah melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan. Dalam hal ini, Gereja dipanggil untuk mengikuti jalan yang sama. Samaseperti Kristus yang rela menghampakan diri dan mengambil wujud hamba (Flp 2:6-7) dan mau menjadi miskin walaupun sebetulnya Ia kaya (2 Kor 8:9), Gereja pun dipanggil untuk mengungkapkan kerendahan hati dan penyangkalan diri. Selanjutnya dokumen ini, menegaskan bahwa samaseperti Kristus diutus untuk memperhatikan orang-orang kecil (kaum miskin), yang putus asa (Luk 4:18), mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk 19:10), demikian juga Gereja dipanggil untuk melimpahkan cinta kasihnya kepada semua yang mengalami kelemahan manusiawi, dan berusaha menolong kebutuhan mereka dan mengabdikan diri bagi mereka (Lih. LG 8C).
Menurut pemahaman C. Putranta, keberpihakan Gereja pada orang miskin didasarkan bukan karena kaum miskin itu suci atau jumlah mereka besar, melainkan karena kepertamaan cinta Kristus terhadap mereka. Hal senada menurutnya, diungkapkan pula dalam Dokumen AG 5 Di sana ditegaskan bahwa misi atau perutusan Gereja tidak lain adalah seperti Kristus yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin, maka Gereja harus menempuh jalan Kristus tersebut yakni jalan kemiskinan dan ketaatan, jalan pelayanan dan pengorbanan.
Konsili Vatikan II melalui dokumen Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes memandang bahwa kemiskinan tidak lagi merupakan sesuatu yang ditanggung dengan sabar demi kebahagiaan di akhirat, melainkan sebagai sesuatu yang harus ditangani atau diatasi dengan usaha-usaha perkembangan (Lih. GS 65, 85-88). Konstitusi ini di nomor yang lain, melihat persoalan kemiskinan juga merupakan gejala ketidakmerataan (Lih GS 63).
Menurut Mgr. Ignatius Suharyo, Pr, (selanjutnya disebut Ignatius) pilihan untuk mendahulukan kaum miskin tidak lain bersumber pada teladan Yesus sendiri. Ia menegaskan bahwa Yesus mencurahkan seluruh perhatian-Nya kepada orang-orang miskin. Dan pilihan utama ini lebih besar daripada perhatian-Nya kepada yang lain (bdk. Mat 11:28). Baginya, dengan meneladan Yesus, sejak awal Gereja selalu mendekatkan diri dengan orang miskin. Kisah tentang St. Laurentius ia jadikan sebagai contoh untuk menggambarkan kenyataan ini, yaitu bahwa ketika Gubernur memerintahkan supaya Laurentius menyerahkan seluruh kekayaan Gereja, ia malah mengumpulkan semua orang miskin di kota Roma dan berkata kepada Gubernur itu: “Tuan, inilah karya kekayaan Gereja.”
Ignatius melihat bahwa sampai sekarang ini keprihatinan Gereja terhadap kaum miskin sungguh tampak, misalnya lewat aktivitas dari beberapa lembaga Gereja yang selalu berkaitan dengan orang miskin. Misalnya di Keuskupan Semarang dikenal lembaga Gereja yang disebut PGPM (Pengurus Gereja Papa Miskin). Atau misi dari Yayasan Sosial Soegijapranta -sebagaimana yang dilihatnya- memberi pelayanan kepada anak-anak jalanan, penyandang cacat ganda, para lansia. Juga Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang yang memberi perhatian kepada para korban gemba 2006. Dan masih banyak contoh lain lagi yang bisa disebutkan di sini. Menurutnya masih ada lembaga Gereja lain yang ada di setiap keuskupan yang memiliki keprihatinan yang sama. Ignatius mengharapkan agar melalui identitas ini, Gereja sendiri dapat menunjukkan realitas yang sama. Maksudnya bahwa Gereja perlu memperhatikan keberadaan orang miskin. Namun kenyataan ini harus disadari tidak mudah dilakukan, artinya Gereja sendiri harus selalu menunjukkan komitmennya terhadap mereka yang miskin dan menderita.
Optio fundamentalis dari Gereja untuk mendahulukan mereka yang miskin dan menderita secara eksplisit diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II, Centesimus Annus (no.11):

“Pembacaan ulang Ensiklik dalam terang kenyataan-kenyataan zaman sekarang memungkinkan kita untuk menghargai perhatian dan dedikasi Gereja terus-menerus terhadap golongan-golongan masyarakat yang secara khas dikasihi oleh Tuhan Yesus sendiri. Sebab isi dokumen itu merupakan kesaksian yang gemilang tentang apa yang disebut ‘pilihan untuk mengutamakan kaum miskin’, yang tiada hentinya mewarnai kehidupan Gereja. Pilihan itu kami rumuskan pula sebagai bentuk istimewa prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani.”

Dokumen ini menyadari bahwa kesaksian lewat tindakan nyata akan lebih berwibawa dan layak. Dan kesadaran inilah yang kemudian mendesaknya untuk mengutamakan kaum miskin tanpa harus menafikan kelompok-kelompok lain. Dokumen ini menyadari pula bahwa realitas kemiskinan itu merambah ke dalam berbagai macam dimensi kehidupan, tidak hanya soal materiil tetapi juga menyentuh dimensi perekonomian, pendidikan dan keagamaan.


IV. Komitmen Pribadi: Apa yang Harus Dilakukan?
Berpihak kepada orang miskin berarti berpihak kepada kehidupan dengan asumsi dasar: Allah tidak menghendaki manusia binasa atau yang miskin menderita. Oleh karena kemiskinan pada hakikatnya adalah sebuah peristiwa kematian vitalitas: kematian fisikal, psikologis dan spiritual, maka berpihak kepada kaum miskin berarti membuat seruan profetis atas nama orang miskin untuk menghantam berbagai situasi yang mematikan orang, termasuk menghantam sistem kehidupan yang tidak adil dalam masyarakat. Ini adalah salah satu tuntutan Kerajaan Allah, kerajaan kehidupan. Meminjam bahasa Gustafo Gutierrez, kita berpihak kepada orang miskin bukan karena kita sudah mengetahui fakta kemiskinan dengan sangat baik atau bahkan orang miskin itu baik, melainkan karena kita percaya kepada Allah yang mencintai kehidupan, Allah yang baik. Dengan demikian, menurutnya keberpihakan ini merupakan sebuah pilihan teosentris.
Model yang mesti dibawa adalah seluruh tindakan Yesus. Karena peristiwa hidup Yesus adalah peristiwa penampakan cinta Allah, maka mesti dibuat adalah memperjelas penampakan cinta itu dalam tindakan konkret. Pertanyaan kita, apa yang harus dilakukan dan bagaimana itu bisa dilakukan

4.1. Mencintai dan Mengutamakan yang Miskin
Kaum miskin menurut hemat penulis adalah orang-orang yang kurang diperhatikan, orang-orang yang kalah bersaing dalam kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang lemah, yang tidak memiliki akses secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam banyak hal mereka kurang dan bahkan tidak beruntung. Kondisi hidup mereka sungguh memprihatinkan.
Gereja sendiri sedari awal -dengan meneladani sikap Yesus- sungguh-sungguh menunjukkan komitmen hidupnya untuk memperhatikan dan mengutamakan yang miskin. Kaum miskin tentunya menjadi objek cinta atau perhatiannya. Sebagai orang yang dipanggil untuk meneladani cara hidup Yesus sebagai calon imam, penulis pun terpanggil untuk mewujudkan komitmen itu. Komitmen ini penulis sadari pertama-tama mesti dari diri penulis sendiri untuk berani keluar dari kemapanan hidup sehari-hari, keluar dari status quo dan mau menceburkan (melibatkan) diri ke dalam kehidupan mereka; melayani dan memperhatikan mereka. Namun komitmen ini, penulis sadari tidak mudah bila penulis bekerja sendirian. Penulis merefleksikan bahwa perlu kerjasama dengan orang lain, dengan siapa saja yang mau ikut memperhatikan mereka yang lemah dan berkekurangan. Kerjasama yang solid akan meringankan beban dan tanggungjawab yang diberikan. Pertanyaan kita adalah mengapa mesti melibatkan diri untuk memperhatikan mereka yang miskin, mengapa hidup itu dicurahkan untuk mereka? Dengan kata lain mengapa kemiskinan mereka perlu dihilangkan?
Meminjam pemikiran Magnis Suseno, sesungguhnya ada tiga sebab yang mendesak kita berkewajiban moral untuk menghilangkan kemiskinan. Pertama, kemiskinan membuat orang menderita karena itu orang tidak boleh apatis. Kedua, kemiskinan mencegah seseorang untuk mengembangkan kemanusiaannya secara utuh. Jadi menurutnya, itu bertentangan dengan martabat manusia. Ketiga, kemiskinan untuk sebagian besar adalah akibat ketidakadilan sosial, maka orang miskin berhak menuntut suatu perubahan. Pemikiran seperti ini menggugah kesadaran penulis untuk mau berkorban bagi mereka. Itu berarti resiko konflik terutama dengan orang-orang yang mengendalikan sistem kehidupan dalam masyarakat, yang selalu beruntung dari struktur-struktur yang tidak adil atau siapa saja yang menekan dan menindas orang-orang kecil harus ditanggung dengan penuh ketabahan. Mengapa harus konflik? Konflik ini baik dalam arti bahwa justru kesediaan untuk berkorban bagi mereka yang kecil menjadi tanda kesungguhan keterlibatan pada kaum miskin.
Pilihan untuk mencintai dan mengutamakan kaum miskin, memang merupakan sebuah pilihan berat dan beresiko, namun kemauan untuk memperhatikan mereka menurut hemat penulis, kiranya selalu dipupuk, dibangun dan dikembangkan mulai dari dalam diri sendiri. Tanpanya, perhatian terhadap mereka tidak akan berarti dan berbuah apa-apa. Dan komitmen ini harus terungkap sungguh-sungguh pula dalam pola dan gaya hidup, salah satu yang bisa dihayati dari dalam diri adalah hidup miskin atau sederhana. Poin ini akan dibicarakan berikut ini.

4.2. Menghayati Hidup Miskin (Sederhana) sebagai Bentuk Keberpihakan kepada yang Miskin
Sebagai seorang calon biarawan, penulis merasa tertantang untuk menunjukkan pilihan hidup di tengah-tengah dunia yang terus bergerak dan berubah ini. Globalisasi yang begitu cepat masuk ke dalam hidup manusia, dalam banyak hal membuat persaingan hidup menjadi semakin ketat. Mereka yang kaya akan semakin kaya dan mereka yang miskin tetap tinggal dalam kemiskinannya. Dalam banyak hal lain, perkembangan teknologi pun turut memengaruhi pola atau gaya hidup manusia. Tak jarang, kecenderungan untuk semakin materalisme tak dapat dielakkan begitu juga hedonisme dan konsumerisme pun terus mewarnai pola hidup zaman ini.
Hidup sederhana, miskin di tengah-tengah kemajuan zaman ini tampaknya tidak mudah karena di sini orang sungguh-sungguh dituntut penyangkalan diri yang mendalam. Penyangkalan diri dengan mau menjalani hidup sederhana, miskin tidak hanya sekedar bentuk ketaatan terhadap semangat injili, namun lebih dari itu merupakan salah satu bentuk kepedulian atau keberpihakan terhadap orang kecil dan miskin. Yesus sendiri pun sudah menunjukkan hal ini dan dalam banyak hal Ia menunjukkan komitmen-Nya terhadap orang-orang kecil. Ia mendekati mereka tanpa prasyarat. Dengan begitu Ia menampakkan tindakan Allah sendiri, Kerajaan-Nya, yang mendatangi orang malang, berdosa, tanpa prasyarat apa pun (bdk. Luk 4:18-19). Lewat pengalaman salib yang dialami-Nya kita bisa melihat model penyangkalan diri sekaligus menjadi ungkapan kemiskinan-Nya di hadapan Allah dan sesama (1 Kor 1:18-30).
Memilih untuk hidup miskin berarti mengkontemplasikan Yesus Kristus yang mau menjadi miskin dan mengidentikan diri-Nya dengan orang miskin. Yesus Kristus memilih kemiskinan untuk solider dengan orang miskin yang tidak memiliki apa-apa, yang tidak mendapat dukungan dari sesamanya. Sandaran mereka hanyalah Allah.
Pilihan hidup menjadi miskin samaseperti Yesus yang berpihak kepada yang miskin adalah model hidup yang tidak mudah. Namun hal itu tidak cukup bila menjadi sebuah wujud kongkret keprihatinan yang bisa dirasakan oleh kaum miskin. Menurut Paul Suparno, menghayati kaul kemiskinan di zaman ini tidak cukup hanya hidup sederhana dan hidup miskin, tidak memiliki apa pun. Menurutnya, hidup miskin itu baik, tetapi tidak cukup di zaman ini. Hal yang harus diupayakan lebih dari itu adalah memiliki kepekaan untuk ikut bertindak dan memperbarui situasi ketidakadilan, pendindasan, kemiskinan struktural dan perlakukan tidak adil bagi beberapa kelompok masyarakat. Bagaimana itu bisa diungkapan secara nyata? Salah satunya adalah membangun semangat ”solidaritas” dengan kaum miskin. Hal ini akan dijelaskan dalam poin berikut ini.

4.3. Membangun Solidaritas yang Terus-Menerus: Upaya Preferential Option for the Poor
Ada banyak cara atau strategi yang bisa membantu kaum miskin keluar dari kungkungan hidup mereka. Dan salah satu cara yang kiranya diterapkan adalah mewujudkan solidaritas dengan kaum miskin. Bagi Ignatius, keberpihakan kepada orang miskin tidak bisa dipisahkan dari gerakan solidaritas, secara khusus demi mereka yang kurang beruntung. Gereja sendiri pun telah menyerukan hal ini melalui ensiklik Sollicitudo Rei Socialis no. 39. Di dalam dokumen ini dikatakan bahwa solidaritas bisa dilaksanakan jika warganya saling mengakui sebagai pribadi, mau bertanggung jawab atas mereka yang lebih lemah dan bersedia berbagi segala milik kepunyaan mereka.
Menurut Sad Budianto bahwa perlu diakui kenyataan adanya orang kaya dan miskin, ada yang pandai dan kurang pandai, ada yang terampil dan kurang terampil, ada yang normal dan ada yang catat, dst. Berkenaan dengan ini, ia menegaskan bahwa kalau hidup adalah sesuatu yang berharga, maka konsekwensinya orang harus solider agar semua dapat hidup layak dan manusiawi. Menurutnya, solider itu akan memanusiawikan manusia. Dalam arti ini, orang diajak untuk menjadi manusia yang solider dengan yang lain, bukan menjadi serigala bagi yang lain. Solidaritas lantas menurut hematnya, menjadi wujud yang paling nyata bahwa orang mau menjadi sesama manusia bagi orang lain.
Di tengah-tengah perbedaan yang menonjol antara yang kaya dan miskin, kita ditantang untuk menunjukkan kepedulian dan berpihak kepada yang miskin dan berkekurangan. Harapannya adalah agar mereka yang kurang mampu, mereka yang miskin bisa mendapatkan hidup yang layak sebagaimana yang dicita-citakan Gereja. Menurut Sad Budianto bahwa kasih dan solidaritas manusia sebagai citra Allah harus diupayakan untuk semakin muncul dan berkembang dalam diri kita dan umat kita. Baginya, perlu sekali apa yang disebut upaya menciptakan sistem agar solidaritas itu dapat terwujud. Dari sebab itu, ia melihat bahwa andaikata ini digerakan mulai dari diri sendiri, maka sesungguhnya kita dapat menyelenggarakan sekolah Katolik yang bermutu, guru dan karyawannya sejahtera dan bisa juga terjangkau bagi orang miskin. Begitu pula dengan lembaga kesehatan, hal ini dapat diterapkan. Berkenaan dengan ini ia mengajukan pertanyaan bahwa jikalau dulu Gereja bisa bersolidaritas karena umat negara lain yang cukup mampu, mengapa hal itu tidak dapat dilakukan sekarang dengan menggerakkan umat yang mampu?
Solidaritas seperti ini baru akan menjadi sebuah bentuk keprihatinan atau keberpihakan kepada kaum miskin, bila setiap orang yang berkehendak baik mau mewujudkannya. Dan ini berarti yang harus disisihkan adalah mentalitas mementingkan diri dan yang dibangun adalah mentalitas mau berkorban untuk bersama-sama dengan mereka yang mampu dan mau dalam mengubah keadaan mereka yang miskin dan berkekurangan.

V. Penutup
Setelah menyimak dan merefleksikan kenyataan atau kondisi yang dialami oleh kaum miskin, sebagai orang Kristen kita mesti merasa tertantang untuk berani memperlihatkan kepedulian kepada mereka. Dalam banyak hal mereka yang miskin, praktis tidak bisa berbuat banyak dalam mengelolah kehidupan mereka sehari-hari. Dari segi ekonomis praktis mereka mengalami kekurangan. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka pun kadang-kadang sangat sulit. Usaha dan perjuangan mereka untuk bertahan hidup kadang-kadang membuat kita yang berkecukupan terbelalak mata, menimbulkan rasa simpati dan empati yang mendalam. Keprihatinan kita tentu akan menjadi semakin besar ketika kita melihat dan menyaksikan bahwa dalam banyak hal mereka yang tergolong sebagai kaum miskin, adalah kelompok yang mengalami korban ketidakadilan, terutama ketidakadilan struktural. Ketidakadilan seperti ini pasti mendesak kita untuk berupaya dan berkewajiban untuk dapat membantu mereka yang miskin, tertindas dan tersisihkan dalam kehidupan bersama. Namun kesadaran seperti ini tentu dibarengi pula komitmen pribadi yang kuat untuk membongkar struktur seperti itu dengan mulai mengajak orang-orang yang mampu dan berkehendak baik untuk menyadarkan kaum miskin akan kondisi hidupnya untuk mau berubah dan memberi penyadaran terhadap mereka yang berkuasa dalam pelbagai segi kehidupan masyarakat; menghimbau pada kesadaran sosial mereka, menunjuk pada hak orang miskin dan kewajiban Gereja, pada seluruh kepentingan masyarakat agar betul-betul merata dengan maksud agar semua pihak diperlakukan dengan adil.
Kalau kita menyatakan diri bahwa kita masih mencintai Allah dan beriman kepada-Nya, maka kita mesti menunjukkan identifikasi identitas kekristenan kita harus jelas terlihat pada upaya untuk berdiri di pihak orang-orang miskin. Samaseperti sikap Yesus yang selalu mendekati dan berpihak kepada Yesus tanpa prasyarat. Hanya dengan demikian kita pun telah berpartisipasi dalam kemiskinan Allah, Dia yang selalu mau hadir dan mendekatkan diri dengan mereka yang miskin atau kurang diperhatikan.





DAFTAR PUSTAKA


DOKUMEN GEREJA
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, terj. Yosef Maria Florisan, et al, Maumere: Ledalero, 2009.

Seri Dokumen Gerejani, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus, terj. R. Hardawiryana, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.

BUKU-BUKU:
Banawiratma, J. B. (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Budianto, Sad, Diktat Kuliah Justice in the World, Menghayati dan Mewartakan Ajaran Sosial Gereja dalam Hidup Kita, 2010.

Gutierrez, Gustavo, “Joy in the Midst of Suffering” dalam Hilary D. Regan (eds.), Christ and Context: The Confrontation Between Gospel & Culture, Edinburgh: T & T Clark, 1993.

Sianipar, Godlif, J., ”Poverty and Global Capitalism” dalam Studia Philosophica et Theologica Vol 8 No. 1 Maret 2008, Malang: STFT Widya Sasana, 2008.

Soetrisno, Loekman, Kemiskian, Perempuan, Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Suharyo, Ignatius, The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Suparno, Paul, Saat Jubah Bikin Gerah 1, Keperawanan, Kemiskinan, Ketaatan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Tillich, Paul, The Courage to Be, Massachusetts: Yale University Press, 1952.

Tidak ada komentar: