Kamis, 10 Juni 2010

The Passion of The Womb (Penderitaan Rahim)

(By Fidel)
1. Bukan Cinta Setengah Hati
Song memparafrasekan kata penderitaan dalam dua arti yang berbeda namun terkait satu sama lain. Pertama, penderitaan merupakan cinta yang kuat. Dalam arti ini, cinta yang setengah hati bukan merupakan penderitaan. Dari sebab itu, ia menegaskan bahwa dapatkah hati yang mati dapat mencintai. Hati yang mati bukan merupakan cinta sejati. Bagi Song, jikalau cinta adalah cinta, maka mestinya ia menjadi cinta yang sepenuh hati. Cinta dengan hati yang tak terbagi adalah cinta yang sesungguhnya. Song Melihat bahwa Yesus tidak hanya berbicara soal cinta sepenuh hati, tetapi juga menghayatinya. Kedua, penderitaan berarti pula menderita (suffering). Jadi ada dua poin penting yakni, cinta dan menderita. Menurutnya, penderitaan merupakan cinta segenap hati oleh karena ia keluar dari dirinya dan masuk ke dalam (diri) orang lain. Baginya jikalau tidak ada transformasi cinta ke dalam penderitaan, maka cinta bagi yang lain tidaklah sejati, contoh: cinta orang tua terhadap anak-anaknya dan mereka mau menderita demi anak-anaknya dan sebaliknya. Ia melihat lebih lanjut bahwa ternyata sebuah pengalaman yang pahit sekalipun dapat berubah menjadi suatu idealisme kaum beriman. Dan ini dilukiskan secara indah dalam sebuah puisi yang menggambarkan potret yang suram dari seorang ibu, yang membenci anaknya namun sekaligus mencintainya. Song melihatnya sebagai sebuah mukjizat, bahwa kebenciannya terhadap anaknya, lenyap karena ditelan oleh cinta. Inilah penderitaan yang dilihatnya sebagai cinta dan menderita. Baginya, penderitaan sang ibu ini, membantu kita untuk mengerti penderitaan Allah yang mencintai dan menderita. Dan ini diringkas dalam kata ‘salib’.
2. Gunung Api Penderitaan
Bagi Song, penderitaan yang dialami sang ibu di atas sebetulnya membuat kita merasakan penderitaan Allah lebih dekat, hidup dan personal. Ia bertanya: apakah ini karena kuatnya penderitaan -mencintai dan menderita- saat ibu itu mengalami kelahiran anaknya? Dan apakah penderitaan tersebut serentak memperlihatkan penderitaan Allah yang memberikan kelahiran ciptaan? Gambaran ini kemudian dilukisnya dalam sebuah puisi. Puisi tersebut merupakan sebuah ungkapan puitis tentang suatu pengalaman yang nyata. Song melihat kelahiran anak itu dianalogikan seperti sebuah gunung api penderitaan, sebuah gunung api yang dipenuhi dengan penderitaan yang siap meletus. Dari rahim itu muncullah sebuah kehidupan baru. Rahim ini merupakan rumah (kediaman) dari kehidupan baru itu. Dan rahim ini kemudian direfleksikannya sebagai dunia yang memiliki kehidupan baru. Song melihat bahwa gunung api penderitaan di mana seorang ibu mengalami kelahiran anaknya mesti menjadi suatu penderitaan spiritual yang sangat mendalam. Melalui puisi tersebut, Song berupaya menggali secara teologis makna gunung api penderitaan. Bagi Song, mungkin saja ini merupakan alasan mengapa teologi kita kurang menampilkan dimensi penderitaan. Ia melihat bahwa kita tidak mengalami banyak penderitaan seperti sebuah gunung api dalam teologi kita. Menurutnya, tentu ini mengatakan pula bagaimana kita berteologi, yaitu bahwa teologi itu kiranya bertitik-tolak dari diri kita sebagai manusia yang ada dalam persekutuan dengan Allah. Kita perlu berteologi dengan hati baru kemudian dengan otak (akal). Hati membuat kita menyadari bahwa Allah dan manusia bersatu dalam mencintai dan menderita. Penderitaan dan hati ini dilihat Song mesti menjadi penderitaan dan hati dari teologi juga.
3. Dimensi Feminis Gambar (Citra) Alllah
Song melihat bahwa salah satu alasan mengapa teologi itu kurang dijumpai dalam pengalaman penderitaan seperti penderitaan ibu tadi dan mengapa teologi itu tampak setengah hati soal penderitaan -cinta dan menderita- yang dilihat dan dialami di sekitar kita, yakni bahwa teologi mengabaikan dimensi feminis gambar Allah. Dengan nada retoris Song menafsir bahwa wanita adalah bagian dari pria, dan bergantung padanya dan tidak punya kendali atasnya. Ia mau mengatakan bahwa hal ini bukan merupakan bukti yang jelas adanya dominasi sistem patriarkal dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian, Song sendiri menyimak bahwa teks Kej 2:33 yang secara puitis diperlihatkan oleh Phyllis Tribble ternyata bukan bermaksud untuk menyiratkan subordinasi. Dalam arti ini, Song merefleksikan bahwa sebetulnya tidak ada lawan jenis, tidak ada jenis kelamin kedua, ringkasnya, tidak ada “tulang rusuk Adam”. Ia mau mengatakan bahwa justru wanita adalah puncak ciptaan dan bahwa wanita itu sama dengan pria dalam ciptaan. Lebih lanjut Song mengangkat satu hal lagi yang ada dalam teks Kej 1:26-27 untuk menegaskan bahwa antara pria dan wanita tidak ada subordinasi, yaitu bahwa sesungguhnya dalam kata “adam” tercakup dua pribadi yakni pria dan wanita. Ia berkata bahwa adam bukanlah adam jikalau (ia) hanyalah seorang pria. Manusia bukanlah manusia jikalau itu hanyalah pria. Allah dalam teologi yang hanya menampilkan sisi kepriaan Allah dan tanpa rekannya perempuan, memunculkan gambaran otokrasi, denominasi dan tak dapat disentuh, seperti ayah dalam sebuah keluarga, kaisar dalam masyarakat feodal atau diktator dalam sebuah negara totaliter. Ia melihat sebagian besar Gereja telah menjadi sebuah lembaga yang didominasi oleh kaum pria. Baginya, teologi telah melakukan ketidakadilan yang luar biasa terhadap ciptaan Allah dengan menekan dan kemudian melupakan dimensi gambaran wanita dari Allah dalam adam, umat manusia. Walapun demikian, di sisi lain justru Song melihat bahwa Kitab Suci menunjukkan suatu teologi yang bergairah dan sepenuh hati ketika sisi feminis gambar Allah masuk ke dalam aktivitas penyelamatan Allah di dunia. Pada poin ini, ia mengacuh pada Magnificat Maria (Luk 1:46-55). Ia melihat bahwa teologi yang ada dalam Magnificat Maria tidak dimulai dari dalam kepalanya, tetapi dari rahimnya. Teologi ini berawal dari dalam rahimnya. Dan teologi rahim Maria ini dilihatnya mencapai titik terbaik, oleh karena itu kemudian berubah menjadi teologi politik. Song menutup refleksinya ini dengan mengatakan bahwa teologi rahim ini harus menjadi dasar dari semua teologi , -teologi politik, teologi historis, teologi budaya, -teologi Kasih Allah yang menyelamatkan semua manusia, semua diciptakan dalam gambar (citra) Allah sendiri.

Tidak ada komentar: