Kamis, 10 Juni 2010

KOMUNITAS BASIS DI PUSARAN GLOBALISASI (Bermisi di Tengah Kemajuan Zaman)

I. Pengantar
Sepanjang perjalanan misi Gereja untuk mewartakan Kerajaan Allah, ia senantiasa berhadapan atau berjumpa dengan konteks dunia atau situasi yang ada di sekitarnya. Dalam disposisi ini, konteks yang dihadapinya pun turut menentukan kehadirannya, dalam arti mempengaruhi karya misi atau kehadirannya di dunia. Namun Gereja selalu tidak pernah mudah dikendalikan atau dipengaruhi olehnya, melainkan justru dalam beberapa hal mempengaruhi konteks atau situasi yang ada, terutama memberikan arti baru konteks sosio kultural, bahasa dan simbol-simbol budaya setempat atau kondisi dunia yang dihadapinya. Misalnya Gereja para rasul mencoba mewartakan Kristus di tengah-tengah budaya Yunani, sebuah budaya yang sangat besar pengaruhnya pada waktu itu. Berhadapan dengan konteks ini, selain dipengaruhi olehnya, tetapi Gereja juga mencoba mengkhamiri konteks Yunani dengan ciri atau identitas yang ada padanya, yakni warna kekristenannya, pewartaan dan kesaksiannya akan Yesus Kristus.
Pewartaan tersebut bisa disebut sebagai model bermisi di tengah konteks atau situasi yang ada. Dewasa ini, Gereja juga -samaseperti dulu- masih meneruskan karya atau pewartaan yang sama, namun sekarang model bermisinya bukan lagi plantatio ecclesiae, sebagaimana yang didengungkan oleh pandangan sekolah Louvain (Belgia) yang menekankan penanaman dan pengakaran Gereja melainkan lebih menekankan plantatio fidei (penanaman iman), apalagi di tengah-tengah multikulturalisme budaya, suku, ras dan agama , tentu cara bermisi seperti plantatio ecclesiae itu kurang relevan, akan tetapi lebih menekankan pelayanan kepada manusia dengan mewartakan kepadanya cinta kasih Allah yang telah nampak dalam Yesus Kristus. Dan inilah tujuan misi Gereja sebagaimana yang didengungkan oleh Redemptoris Missio no. 2.
Berkenaan dengan ini, tulisan berikut ini, mencoba memperlihatkan bagaimana Gereja bermisi di tengah zaman ini, secara khusus di tengah derasnya arus globalisasi dewasa ini, yang dalam banyak hal mempengaruhi mentalitas dan gaya hidup manusia. Untuk itu, baiklah pada poin berikut kita memparafrasekan dulu, apa itu globalisasi dan dampaknya bagi kehidupan manusia dewasa ini.

II. Globalisasi dan Pengaruhnya
2.1. Arti dan Makna Globalisasi
Globalisasi dapat didefinisikan sebagai “penyebaran kebiasaan-kebiasaan yang mendunia, ekspansi hubungan yang melintasi benua, organisasi dari kehidupan sosial pada skala global, dan pertumbuhan dari sebuah kesadaran global bersama.” Pemahaman ini dalam arti yang lebih spesifik dapat kita simak dalam pemikiran beberapa ahli ternama. Ada cukup banyak pakar atau ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang globalisasi. Setiap mereka memiliki tekanan yang berbeda. Kita bisa menyebut beberapa nama berikut ini, misalnya, Jean Aart Scholte, Adam Smith, Tiglitz, Soros dan Giddens dan masih banyak lagi ahli lainnya. Dalam bagian ini, penulis tidak bermaksud untuk menguraikan satu-satu persatu pendapat mereka. Untuk itu, penulis hanya menyajikan konsep yang diparafrasekan oleh Jean Aart Sholte. Konsep ini akan diringkas ke dalam lima terminologi besar sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Dr. Armada Ryanto:
Pertama, Globalisasi sebagai internasionalisasi. Globalisasi di sini dimengerti sebagai internasionalisasi relasi antar bangsa. Dalam arti ini, globalisasi dipahami pula sebagai lukisan ketergantungan satu sama lain masyarakat internasional. Hal yang disimak di sini adalah bahwa term ini erat kaitan dengan aneka perkembangan lalu lintas perdagangan antarnegara, antarbangsa, antarinstitusi di dunia. Armada melihat bahwa aktivitas transaksi pasar sudah bukan lagi berupa penawaran dan pembelian melainkan menampilkan keterkaitan yang sangat dekat antara satu dengan yang lain dan saling memengaruhi. Kedua, globalisasi sebagai liberalisasi. Term ini mengajukan pengertian model ekonomi dunia yang ”borderless” (tanpa pembatas), ”open” (terbuka). Terminologi ini, kemudian menimbulkan dua sikap; pro dan kontra. Mereka yang pro melihatnya sebagai medan di mana perdagangan antar bangsa atau negara dapat dilakukan dengan bebas dengan memberlakukan tarif biaya masuk dinolkan. Sedangkan para eksponen anti-globalisasi menyebut realitas perdangan bebas lebih sebagai bentuk kolonialisme baru dari negara kuat terhadap negara yang lemah secara ekonomis. Ketiga, globalisasi sebagai universalisasi. Universalisasi di sini menyangkut transfer informasi dunia yang bisa diakses di mana-mana. Misalnya melalui media internet, orang bisa melihat dan mendapatkan informasi tentang apa saja secara cepat dan leluasa. Menurut Armada bahwa ketika orang melakukan browsing internet, perpustakaan di seluruh dunia ada di depan matanya. Dengan ini, “universalisasi” yang dipahami tidak lain keseluruhan proses luar biasa perkembangan informasi dunia yang bisa diakses secara langsung. Keempat, globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi atau MacDonaldisasi. Sebutan ini memaksudkan bahwa segala produk luar negeri (misalnya makanan, dsb) tidak lagi dilihat jauh di negeri seberang atau ada di layar kaca TV tetapi secara langsung hadir di hadapan kita. Misalnya Armada berkata: “Made in USA” (MacDonald) tidak perlu dilihat di televisi tetapi langsung menjadi warung sehari-sehari kita.” Globalisasi, dalam arti ini, lantas identik dengan westernisasi atau Macdonaldisasi. Kelima, globalisasi sebagai deteritorialisasi. Istilah ini mau mengatakan lenyapnya wilayah atau teritori fisik sebagai penghalang “globalized world”. Deteritorialisasi dapat disebut pula “supraterritoriality” atau “transworld relation”. Armada berkata: “karena teritori tidak lagi determinatif dalam hidup manusia, imbas lain yang konkret ialah kesadaran identitas perlahan-lahan lenyap”. Menurutnya, konkretnya, hal ini tampak di negara-negara Eropa yang telah membentuk ”pemerintahan komuniter”, Uni Eropa. Apa yang disebut sebagai identitas karakter lokal dalam sistem komuniter global tidak lagi penting.
Beberapa pemahaman di atas bisa kita jadikan sebagai sebuah panorama yang mewakili konsep globalisasi. Kalau menyimak konsep-konsep tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa globalisasi telah membuka dunia yang sebelum tampak begitu tertutup dan amat jauh antar negara yang satu dengan negara lain, antar manusia satu dengan manusia lain di berbagai belahan dunia,menjadi satu dunia dalam satu rumah yang sama, misalnya dalam hal mengakses berbagai informasi dunia termutahkir, mengakses produk-produk suatu negara secara luas dsb. Namun percepatan dan kemudahan ini, ternyata tanpa disadari –ketika membuka batas-batas dunia (teritori)- membawa dampak atau pengaruh yang tidak kalah hebatnya. Dan dalam kondisi yang paling tragis, globalisasi dapat membuat manusia, kehilangan identitas dirinya, menjadi pribadi anonim, yang tenggelam dalam ’badai’ globalisasi tersebut, termasuk ketika itu menyentuh ranah iman seseorang. Berkenaan dengan ini, baiklah dalam poin berikut ini kita menyimak apa saja yang menjadi pengaruh munculnya globalisasi bagi manusia dewasa ini.

2.2. Pengaruh Globalisasi bagi Manusia Modern
Kemajuan zaman dan perkembangannya yang demikian pesat telah membuat dunia dan manusia banyak mengalami kemajuan hidup tetapi sekaligus juga kemunduran hidup. Kemajuan di sini memaksudkan bahwa manusia mengalami perkembangan yang luar biasa berkat adanya kemajuan zaman, misalnya lewat globalisasi dalam bidang pembangunan dan teknologi. Apa yang dahulu masih dikerjakan dan dimanfaatkan secara tradisional, sekarang sudah bisa diakses dengan mudah, praktis dan cepat lewat globalisasi. Namun di sisi lain, ketika orang masuk dalam dunia percepatan itu sebetulnya di situ ia sedang berada dalam ambang kemunduran, kemunduran dalam memperlihatkan mentalitas atau identitas dirinya, orang menjadi malas, individualistik, hedonis, konsumeristis, dsb.

2.2.1. Pengaruh Positif
Sebetulnya dampak positif globalisasi meliputi banyak bidang, namun di sini kita hanya membatasinya dalam dua bidang, yang menurut hemat penulis begitu mempengaruhi hidup manusia.

2.2.1.1. Ekonomi Dunia Menjadi Maju (Makmur)
Menurut George Soros, sebagaimana yang disarikan Raymundus Sudhiarsa, apa yang disebut globalisasi (pasar bebas) akan membawa kemakmuran ekonomi, integrasi peradaban dan penghargaan akan potensi manusia (individu). Menurut Raymundus, hal ini dilihat jauh lebih baik daripada masa sebelumnya. Pandangan ini didukung kuat oleh para ekonom, praktisi, perbankan, investor, dan pemain valas.
Dampak lain yang bisa dirasakan misalnya di bidang ekonomi adalah mampu memacu produktivitas dan inovasi para pelaku ekonomi agar produk yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk-produk yang lain Dengan pemahaman ini kita dapat mengatakan bahwa persaingan ekonomi pun akhirnya bersifat mondial dan tidak lagi terbatas di suatu wilayah tertentu, karena globalisasi telah memungkinkan itu dapat dilakukan di mana-mana.


2.2.1.2. Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Menurut Yanuar Nugroho, globalisasi memiliki dampak yang cukup signifikan. Menurut hematnya, teknologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap seluruh proses globalisasi ini. Mulai dari media elektronik sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan telepon genggam dengan protokol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang. Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Baginya, perubahan harga saham sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju. Dalam segala hal semuanya yang dipakai atau dikonsumsi manusia bisa diakses secara mudah cepat dan praktis. Ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi dalam arti tertentu membawa banyak perubahan bagi manusia. Manusia dibuatnya menjadi lebih berwawasan dan berpikir lebih maju daripada sebelumnya (masa tradisional).

2.2.2. Pengaruh Negatif
2.2.2.1. Pola Hidup Konsumtif (Mental Instan) dan Hedonis
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengkonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada. Dan salah satu model hidup atau gaya hidup yang begitu kental tampak dalam pola hidup zaman ini (khususnya kaum muda) adalah konsumtif dan hedonis. Kenyataan ini merajalela di mana-mana di berbagai belahan dunia. Hedonisme merupakan sebuah fenomena yang masih menjadi pusat perhatian orang-orang di zaman ini. Hal ini tampak sekali dalam kehidupan di negara-negara berkembang, misalnya di Indonesia. Di negara kita, fenomena ini tampak dalam pemilikan barang-barang mutakhir yang bercirikan teknologi tinggi. Hal ini merupakan ciri kemodernan, sebuah gaya hidup yang begitu menguasai lini kehidupan manusia abad ini dan merupakan sebuah prestasi yang harus dikejar. Dari sebab itu, ukuran keberhasilan dan kesuksesan manusia akhirnya tampak sejauh mana dia memakai dan mengkonsumsi barang-barang mutakhir dan karena itu mempunyai ’gengsi’ atau prestise tersendiri bila memiliki atau menikmatinya. ‘Memilikinya’ jauh lebih bermakna daripada sekedar menguasainya secara fungsional. Simbol-simbol lahiriah seperti arsitektur rumah kediaman, pusat-pusat perbelanjaan modern (adanya mal di mana-mana), makanan modern, dsb., menjadi gaya hidup modern, dan kalau orang sudah menikmati atau merasakan serta memperlihatkan gaya hidup itu, maka ia menjadi puas, lantas tidak heran bila ia mengidentikkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat modern. Tentu saja di sisi lain, apa saja yang berbau ‘tradisional’, dirasakan sebagai sesuatu yang sudah ’usang’, dari sebab itu perlu ditinggalkan.
Kalau kita mengkaji lebih jauh, sebetulnya persepsi seperti itu telah merusak semua lini masyarakat (pemimpin, pejabat, masyarakat). Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa ukuran keberhasilan hidup manusia tidak lagi terletak pada keunggulan hal-hal rohani, tetapi justru pada hal-hal jasmaniah semata-mata. Norma menjadi longgar, karena apapun dapat dilakukan untuk menuju keberhasilan di bidang jasmani dan materi. Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru di zaman ini.
Kenyataan di atas, dalam banyak hal terjadi atau dialami pula oleh umat kristiani dewasa ini. Tanpa disadari, kebanyakan dari antara mereka telah terperangkap oleh pola atau gaya hidup zaman ini. Manusia begitu ’terobsesi’ dengan pencarian dirinya dalam dunia ”digital” ini, oleh karena itu, tidak mengherankan jikalau ia berusaha mengidentikkan dirinya dengan apa saja yang ia cari, pakai (konsumsi) dan alami dalam kehidupannya (saya konsumsi maka saya ada). Manusia memang menguasai hasil atau daya kreasinya, tetapi di sisi lain, sesungguhnya dia sedang dikuasai oleh buatan tangannya sendiri. Dari sebab itu, tidak heran jikalau orang menjadi budak atasnya, dikendalikan dan dikontrol olehnya. Dan salah satu puncak kepuasannya adalah mencari, menemukan, memakai dan terus-menerus menumpuk segala-galanya (uang, status atau kedudukan atau privilege), dsb. Antusiasme seperti ini, sebetulnya juga tidak luput dari kecenderungan manusia zaman ini, yakni cenderung rapuh terhadap penderitaan. Bagi mereka penderitaan itu tidak membahagiakan dan karenanya sebisa mungkin dihindari. Hal ini dapat kita simak dalam komentar yang diberikan Alfathri Adlin, yaitu bahwa manusia kontemporer cenderung rapuh terhadap penderitaan, dengan alasan bahwa karena mereka terbiasa hidup dalam budaya kenikmatan dan keinstanan. Semua hal ini, hanya mau menunjukkan betapa manusia di abad ini begitu dikuasai dan dikendalikan oleh mentalitas zaman ini.

2.2.2.2. Sikap Individualistik
Manusia zaman modern ditandai apa yang disebut “perayaan individualisme”. Secara filosofis kecenderungan ini merujuk kepada penolakan secara radikal situasi relasionalitas antara manusia dengan realitas lain dan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Tampaknya situasi ini lahir sebagai akibat dari hebatnya tendensi manusia untuk mengafirmasi kekhasan diri dan keagungan kodratnya di hadapan makhluk lain. Penegasan ini lantas menghantar manusia kepada sebuah rumusan tentang diri yang baru: komunitas dunia tidak lagi memiliki primas tertinggi dengan individu sebagai produknya, melainkan dianggap sebagai hasil bentukan individu yang berkumpul secara sukarela untuk meraih tujuan tertentu. Berbagai bentuk relasi tidak lagi memiliki poin penting, tapi hanya disimak sebagai unsur yang memiliki arti preferensial.
Lewat kemajuan teknologi maju orang akhirnya merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial. Orang menjadi pribadi yang tenggelam atau hanyut dalam dunianya sendiri. Hidup lantas dilihat hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan yang lain bukan menjadi bagian atau urusannya.

2.2.2.3. Kaum Miskin menjadi Semakin Miskin dan Terpinggirkan
Dunia yang demikian luas dan besar ini kini menjadi dunia yang begitu kecil bahkan dapat digenggam dan dilihat dalam sebuah layar kecil, misalnya lewat media internet atau hp, dsb. Lantas dunia itu bak sebuah ”daun kelor”.
Semuanya itu karena globalisasi. Globalisasi menjadikan segala sesuatu di dunia ini menjadi kecil dan dapat dirasakan di mana-mana, entah itu soal komunikasi, barang-barang produksi suatu negara dsb. Lantas yang terjadi adalah pola hidup manusia pun menjadi seragam, misalnya hidup dalam budaya atau mentalitas modern. Menurut Raymundus, ia melihat bahwa selera hidup dan pilihan nilai-nilai cenderung diseragamkan. Produksi dan konsumsi menjadi jiwa zaman ini dan ukuran kemanusiaan sejati. Dunia tidak lain senantiasa diatur oleh tangan-tangan tak kelihatan, yang ia sebut Neokolonialisme, Neokapitalisme. Dan ini berdampak buruk bagi manusia, terutama mereka yang miskin menjadi semakin tidak berdaya.
Felix Wilfred melihat situasi ini (akibat adanya globalisasi) sebagai sebuah kondisi yang memprihatinkan. Ia mendapat kesan bahwa ada dua kenyataan yang harus dihadapi manusia dewasa ini, yakni: globalisasi dan liberalisasi. Keprihatinannya adalah bahwa kesadaran akan kaum miskin samasekali dianaktirikan, dilupakan begitu saja. Kenyataan yang paling ekstrim yang disimaknya adalah bahwa orang miskin tidak lagi dibutuhkan tatkala globalisasi sudah masuk ke wilayah hidup manusia sekarang. Mereka dilihat sebagai beban, mereka malah dianggap sebagai penghalang. Ia menyimak bahwa seluruh suasana hidup dijiwai oleh semangat eugenika dan filsafat kemenangan bagi yang terkuat. Bagaimana ini bisa dipahami dengan baik? Ia melihat bahwa untuk mengungkapkan filosofi ini ialah mengeluarkan kaum miskin dari segala bidang.

III. Bagaimana Bermisi di Tengah Arus Globalisasi
Menyimak kenyataan dunia zaman ini dengan segala kemajuan dan perkembangannya, membuat Gereja sebagai bagian dari komunitas dunia ditantang untuk tetap bermisi, melanjutkan pewartaannya tentang Injil dan Kerajaan Allah di tengah-tengahnya. Pertanyaan mendasarnya adalah apa sikap Gereja berhadapan dengan hal ini dan bagaimanakah cara atau strategi yang bisa ditempuhnya dalam menghadapinya. Maksudnya bagaimanakah Gereja menjadikan dunia ini seimbang dan selaras dengan misi kehadirannya di dunia. Apakah dunia yang carut-marut ini dibiarkan tergeletak begitu saja ataukah perlu dikhamiri dan atau digarami lagi. Dengan cara apakah hal itu dapat dilakukan?
Penulis melihat bahwa sebetulnya Gereja sudah melakukan banyak hal berhadapan dengan kenyataan ini, bagaimana ia harus bersikap dan mengambil langkah-langkah konkrit dalam menyikapinya. Namun penulis melihat bahwa salah satu cara (boleh disebut cara baru menggereja) di tengah situasi saat ini adalah bermisi lewat pembentukan dan penanaman semangat misioner dalam komunitas basis. Namun sebelum masuk ke dalam poin itu, baiklah kita menyimak sebentar apa yang menjadi sumber dan tujuan misi Gereja.
Menurut Raymundus, sumber dan tujuan misi Gereja tidak lain adalah Allah Tritunggal (EA 12; bdk. AG 2-4). Baginya, misi Yesus adalah mengungkapkan dan memenuhi rencana Bapa untuk menyelamatkan dunia dan seluruh umat manusia. Dalam arti ini, menurut hematnya, sumber misi Gereja adalah ’dari atas’ dan bukan ’dari bawah’, sebab Gereja adalah umat Allah yang dikumpulkan dalam satu kesatuan oleh Allah Bapa lewat pengutusan Putra dan Roh Kudus (EA 24; bdk. LG 9). Lebih lanjut ia mengafirmasi bahwa Gereja berakar pada pengalaman akan Allah (EA 23). Ia melihat di sini bahwa misi Gereja memancar dari Sumber Trinitas dan terarah kembali ke communio intim dengan dan di dalam Trinitas (EA 12).
Sumber misi Gereja baginya memiliki arah yang jelas. Menurut hematnya, arah dan tujuan misi Gereja –seperti halnya misi Yesus- adalah membaharui persekutuan itu sendiri baik persekutuan vertikal (dengan Allah) maupun horisontal (dengan sesama).

3.1. Gereja sebagai Communio dan Missio
Gereja hadir pada dasarnya bukan untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini dalam bentuk yang paling sederhana tampak dalam kehidupan kelompok-kelompok umat basis. Dalam persekutuan yang mereka adakan, selain karena keinginan untuk berkumpul atau mengadakan paguyuban bersama, tetapi juga karena ingin saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, termasuk dalam penghayatan imannya.
Dewasa ini, tak dapat dipungkiri lagi bahwa di mana-mana muncul fenomena dalam hidup menggeraja, yakni, kelompok-kelompok umat hadir baik sebagai suatu keluarga maupun sebagai persaudaraan berkumpul secara rutin untuk merayakan dan mengamalkan iman kristianinya. Raymundus Sudhiarsa , melihat fenomena ini sebagai suatu hal yang tidak bisa disangkal lagi. Dalam poin ini, ia mengutip pendapat Avery Dulles yang melukiskan peran besar yang diperlihatkan oleh komunitas-komunitas tersebut bagi hidup Gereja seluruhnya. Avery Dulles berkata:

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja di beberapa benua, termasuk Amerika Latin, telah dihidupkan kembali oleh berkembangnya ribuan kelompok umat basis, yang memajukan secara sangat baik hakikat hidup sebagai seorang murid dalam arti yang sebenarnya.

Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya, Gereja ada bukan untuk dirinya sendiri. Menurut pemahaman Raymundus, bahwa komunitas-komunitas basis, yang telah ada, pada dasarnya ada bukan untuk diri mereka sendiri, bukan pula hanya untuk Gereja, melainkan untuk masyarakat sekitarnya. Dari poin ini, ia melihat bahwa apa yang disebut dengan dimensi hidup Gereja, yakni communio dan missio, merupakan dua hal yang saling melengkapi. Di satu pihak, setiap anggota dalam relasi personal satu sama lain memiliki komitmen untuk menghayati seperangkat nilai ideal yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Pertanyaan kita, apa sumbangsih dari kehadiran komunitas-komunitas ini dalam kehidupan menggereja? Dalam kacamata, Raymundus, komunitas-komunitas tersebut sering kali menjadi motivator pembaruan dan revitalisasi hidup Gereja. Di lain pihak, dalam relasinya dengan masyarakat sekitar, komunitas-komunitas tersebut turut memberi andil bagi pembangunan dunia. Mereka memiliki tanggungjawab untuk membangun dunia baru.
Komunitas-komunitas tersebut memiliki spritualitasnya tersendiri. Menurut Raymundus, spiritualitas yang mereka hayati adalah ”pengisian” dan ”pengosongan”, ibadat/liturgi dan pastoral praktis. Lebih lanjut, ia menandaskan bahwa melalui perayaan iman dan belajar bersama dalam komunitasnya -Gereja sebagai persekutuan mistik (koinonia)- murid-murid Kristus diberdayakan dengan sarana-sarana yang memadai. Maksud yang hendak digagasnya adalah agar setiap anggota dapat menghayati hidup kristiani sebagai ”umat Allah yang baru”.
Menyimak kenyataan yang ada sekarang, panggilan bagi kaum beriman untuk membentuk sebuah komunitas yang benar-benar kristiani tidak selalu mudah dan juga tidak selalu berjalan lancar. Dalam hal ini, selalu saja ada dinamika jatuh-bangunnya sebagaimana yang ditandaskan Raymundus. Ia melihat bahwa sebuah komunitas baru dikatakan benar-benar kristiani atau disebut komunitas kristiani bila komunitas tersebut memiliki kualitas religius dan moral yang kokoh. Pertanyaan besar yang diajukannya adalah bagaimana keadaan komunitas-komunitas kristen dewasa ini? Dalam arti ini, dapat ditambahkan bahwa apakah mereka juga sudah menunjukkan kualitas tersebut?
.
3.2. Pembentukan Komunitas Basis sebagai Sasaran Bermisi
3.2.1. Komunitas Basis: Cara Baru Menjadi Gereja
3.2.1.1. Definisi
Menurut Yanuarius Seran (selanjutnya disebut Yanuarius) bahwa ada banyak istilah tentang komunitas basis, antara lain: comunidades de Base=Basic Communities (Komunitas Basis); CCB: Comunidad Christiana de Base =BCC: Basic Christian Communities (Komunitas Basis Kristiani); Grassroots Communities (Komunitas Masyarakat Akar Rumput); CEB: Comunidades Eclesiais de BASE=BEC: Basic Ecclesial Communities (Komunitas Basis Gerejawi), dll. Selain itu, ada beberapa pengertian lain yang bisa kita simak sebagaimana yang disarikan oleh Yanuaris, misalnya dari dua tokoh yang ia angkat: C. Boff dan Jose Marins.
Menurut Clodovis Boff, KBG terdiri dari kelompok kecil, umumnya terkelompok dalam jumlah sepuluh orang di suatu wilayah, biasanya di satu parok. Kelompok kecil ini memiliki nama yang berbeda bahkan menghidupi aspek-aspek hidup menggereja yang berbeda pula, entah kelompok evangelisasi, kajian Kitab Suci, doa, renungan. Siapakah kelompok keci ini? Menurut C. Boff mayoritas KBG adalah orang miskin, mereka yang paling menderita, yang berasal dari lapisan masyarakat yang paling rendah, petani, dan buruh. Menurut C. Boff, ini merupakan fakta sosial yang ada bukan fakta religius. Kelompok ini berkembang di wilayah-wilayah orang miskin yakni di daerah-daerah pedalaman dan daerah-daerah di kota-kota besar. Kepada mereklah Injil diwartakan. Selain itu, menurutnya, KBG terdiri dari orang-orang kelas menengah bahkan kelas atas. Pada umumnya mereka adalah pekerja-pekerja pastoral yang bertanggungjawab atas tugas-tugas tertentu dalam komunitas. Ringkasnya mereka ini adalah umat awam yang mengabdikan diri kepada kaum miskin demi evangelisasi yang membebaskan.
Menurut studi dari Yanuaris, KBG di Brazil secara pastoral menciptakan dan memfasilitasi proses evangelisasi, serta proses pertumbuhan iman dan hidup kristiani yang menjawabi kebutuhan-kebutuhan mayoritas penduduk. Dari segi institusional, KBG menunjukkan paradigma organisasi gerejawi yang sangat berbeda dari model-model yang sudah ada sebelumnya dan berdampak pada seluruh kehidupan institusional Gereja di Brazil. Dengan demikian, menurut hematnya, KBG adalah “elemen kunci” dalam hidup gerejawi di Brazil sekaligus upaya untuk memahami hidup menggereja.
Berbeda dengan C. Boff, Jose Marins melihat KBG adalah Gereja itu sendiri, sakramen keselamatan universal yang melaksanakan misi Kristus sebagai nabi, imam dan gembala, suatu komunitas penyembahan dan cinta kasih pada tingkat lokal (basis), keuskupan dan dunia.

3.2.1.1. Ciri-ciri Komunitas Basis
Ciri-ciri komunitas basis sebagaimana yang akan kita parafrasekan berikut ini akan mengikuti garis besar pemikiran Marcello Azevedo seperti yang dipahami oleh Yanuarius. Ciri-ciri ini akan diringkas dalam beberapa poin berikut ini:
a. KBG adalah komunitas. Sebagai sebuah komunitas, KBG memperlihatkan pola hidup Kristen yang sangat bertentangan dengan pendekatan yang individualis, egois dan kompetitif dalam hidup sehari-hari yang melekat pada budaya kontemporer-modern Barat. Sebagaimana KBG di sini adalah mengikuti model KBG Brazil, maka dimensi yang ditonjolkan di sini adalah menghidupkan dua dimensi komunitas: komunio dan partisipasi. Dari dimensi komunio, jelas KBG lebih menekankan dimensi menghidupkan iman bukan sebagai pengalaman nyata pribadi tetapi pengalaman nyata yang dikembangkan dan disharingkan bersama.
b. KBG adalah eklesial. Menurut Yanuaris, melalui KBG, signifikansi Sabda Allah dan sharing doa biblis menjadi nyata. Hal ini dimaksudkan agar KBG dapat menguji pendekatan konfrontal atau bermusuhan dengan hierarki, yang disimaknya menjadi ciri komunitas basis tahun 1960-an khususnya di Italia dan Perancis, atau Gereja Bawah tanah di Amerika.
c. KBG adalah basis. Ciri yang menonjol dalam komunitas ini adalah keaktifan dari kaum awam. Secara eklesial, KBG berada “di dasar” Gereja, karena hubungannya dengan hierarki Gereja. Selain itu, Yanuaris melihat pula bahwa KBG berada di “dasar masyarakat”. Dengan ciri ini, Yanuaris menyimak bahwa kaum miskin merasa didukung dan dikuatkan. Ia melihat pula bahwa kelompok ini terbuka pada partisipasi, mengapa? Karena di sana kebutuhan bersama lebih diperhatikan. Dengan berada di dasar, KBG lebih mudah mengaitkan iman dengan kehidupan nyata.
d. KBG adalah komunitas yang hidup dari Sabda. Dalam poin ini, Sabda Allah menjadi titik acuan langsung dan sumber inspirasi seluruh kegiatan harian.. Dalam arti ini, Sabda Allah menjadi katalis utama komunitas. Yanuaris melihat bahwa proses evangelisasi akan berjalan karena adanya simbiosis antara sabda dan hidup nyata
e. KBG adalah komunitas yang hidup dari ekaristi. Komunitas ini menjadikan ekaristi sebagai pusat hidup mereka. Sebagai sel pokok Gereja, komunitas ini merasa penting memiliki atau hidup dari ekaristi. Dan inilah yang ditekankan oleh Konsili Vatikan II bahwa tidak ada komunitas Kristen yang dibangun tanpa mendasarkan diri pada perayaan ekaristi kudus.

3.2.1.2. Komunitas Basis Di Tengah Pusaran Globalisasi
3.2.1.2.1. Komunitas Basis sebagai Medan Plantatio Fidei
Kalau menyimak kenyataan bahwa dewasa ini, Gereja selalu dihadapkan dengan selaksa aneka, dari realitas sehari-hari, misalnya sekularisme, fanatisme/fundamentalisme atau pun soal globalisasi yang menjadi sorotan kita dalam tulisan ini, maka dalam menghadapi kenyataan itu, Gereja tidak bisa berdiam diri, atau berpaling diri dari fakta atau kenyataan tersebut. Pertanyaan kita adalah apa yang bisa dilakukan Gereja dalam melihat kenyataan itu, yang dalam beberapa hal justru sangat mempengaruhi kehidupan iman umat, misalnya pengaruh-pengaruh negatif dari globalisasi. Dari sebab itu, menurut hemat penulis, KBG adalah salah satu jawabannya. Dan salah satu tujuan utama pembentukan KBG adalah, plantatio fidei (penanaman iman) terutama dalam upaya semakin memperlihatkan peranan misi (hidup misioner) agar semakin tampak di tengah derasnya arus globalisasi dewasa ini. Lewat KBG, menurut hemat Mgr Edmund Woga, peranan misi semakin tampak sebagai pengejawantahan sakramental dari tawaran keselamatan dalam dan melalui Diri Yesus Kristus yang disampaikan Allah kepada seluruh umat manusia.

a. Komunitas Basis : Titik Kekuatan untuk Mengkounter Individualisme
Salah tugas panggilan hidup menggereja adalah membentuk persekutuan atau komunio. Dan komunio ini dapat dijumpai dan dihayati dalam cara hidup jemaat perdana yang sangat menekankan semangat kesatuan, persaudaraan. Jemaat perdana telah memperlihatkan cara hidup berguyub, di mana cara hidup mereka ini (Kis 2:41-47) menjadi model cara hidup umat kristiani di segala zaman, termasuk zaman ini. Satu poin penting yang menjadi karakter kehidupan komunitas jemaat perdana, yakni persekutuan (Kis 2,42) di mana para murid Kristus hidup dalam kerukunan dan persaudaraan. Dalam poin ini, para rasul sangat menjunjung tinggi nilai persatuan, lantas apa yang disebut dengan perselisihan dan segala macam ketegangan dihindari mereka.
Sebagaimana cara hidup jemaat perdana, demikianlah kaum beriman kristiani dewasa ini, dalam segala situasi dan kondisi hidupnya di tengah arus kemodernan dewasa ini, dipanggil untuk senantiasa menghayati dan membina imannya. Dan komunitas basis adalah salah satu wadah yang bisa membantu mereka dalam menghayati dan membina imannya bersama anggota gereja yang lain sebagai sebuah persekutuan atau paguyuban. Di tengah “perayaan individualisme” yang begitu mengental di setiap lini kehidupan dewasa ini, KBG terpanggil untuk sungguh-sungguh melawan individualisme, yang sangat menekankan kepentingan pribadi di atas segala-galanya, nilai kebersamaan malah disingkirkan. Dalam disposisi inilah, sebagaimana yang ditegaskan Yanuarius, KBG justru mengedepankan kebersamaan dan menghargai kepentingan orang lain. Berkenaan dengan hal ini, ia melihat bahwa Gereja Katolik nyaris runtuh karena banyak anggota tidak mau mengikatkan diri dengannya sebagai satu komunitas. Keprihatinan lain yang disimaknya di sini adalah bahwa masing-masing orang mau mengatur imannya atau membina relasi pribadi dengan Allah’nya’ sendiri. Akan tetapi kenyataan itu tidak ditemukan dalam KBG. Dalam KBG, hal yang ditekankan adalah “menjadi seorang Kristen” dan “ hidup berkomunitas” pada dasarnya identik. Dalam poin ini, setiap orang tidak lagi terisolasi atau ditinggalkan sendirian, tetapi dibantu untuk semakin mengembangkan dirinya menjadi semakin kristiani.

b. Komunitas Basis:Titik Kekuatan yang Menekan Gaya Hidup Hedonisme
Dalam banyak hal kehidupan manusia dewasa ini dipengaruhi oleh arus kecenderungan dunia, yakni hedonisme (budaya hedonistik). Dan mentalitas ini telah merambah masuk ke dalam lini kehidupan masyarakat. Salah satu hal yang tampak adalah orang menjalani hidupnya berdasarkan prinsip kesenangan. Prinsip dasarnya adalah bahwa, hidup itu baru bermakna dan diakui oleh orang lain, jika hidup penuh kesenangan, kemewahan dan kenikmatan. Dengan kata lain, orang yang tidak menikmati kesenangan adalah orang yang tidak laku.
Kenyataan di atas, dalam arti tertentu sebetulnya telah memperlihatkan sebuah gaya hidup atau ciri kemodernan, sebuah gaya hidup yang begitu menguasai lini kehidupan manusia abad ini dan merupakan sebuah prestasi yang harus dikejar. Dari sebab itu, ukuran keberhasilan dan kesuksesan manusia akhirnya tampak sejauh mana dia memakai dan mengkonsumsi barang-barang mutakhir dan karena itu mempunyai ’gengsi’ atau prestise tersendiri bila memiliki atau menikmatinya. ‘Memilikinya’ jauh lebih bermakna daripada sekedar menguasainya secara fungsional. Simbol-simbol lahiriah seperti arsitektur rumah kediaman, pusat-pusat perbelanjaan modern (adanya mal di mana-mana), makanan modern, dsb., menjadi gaya hidup modern, dan kalau orang sudah menikmati atau merasakan serta memperlihatkan gaya hidup itu, maka ia menjadi puas, lantas tidak heran bila ia mengidentikkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat modern. Tentu saja di sisi lain, apa saja yang berbau ‘tradisional’, dirasakan sebagai sesuatu yang sudah ’usang’, dari sebab itu perlu ditinggalkan.
Budaya ini dengan demikian merupakan budaya masyarakat, sudah menjadi bagian integral kehidupan orang-orang zaman ini. Menurut Magnis Suseno, sebagaimana yang dikutip Yanuaris, bahwa kebanyakan orang mengira dirinya bisa menjadi “orang” dengan membeli barang-barang bagus atau mewah, misalnya membeli handphone atau mobil merek tertentu dst. Dan inilah mentalitas konsumerisme. Bagi kaum elite, konsumerisme berarti terus meningkatkan konsumsi mereka, misalnya berlibur ke luar negeri, berziarahnya juga harus ke Tanah Suci dsb. Menurut hematnya, masyarakat biasa pun tidak ketinggalan, mereka juga terus meniru gaya hidup kaum elite. Efeknya, kehidupan rumah tangga pun menjadi rusak.
Di tengah-tengah derasnya kecenderungan ini, tentunya umat kristiani ditantang untuk menunjukkan jati diri atau identitasnya. Budaya di atas (hedonistik) harus disadari sebagai budaya yang persis bertentangan dengan budaya hati dan pergaulan yang dibawa Yesus. Dari sebab itu, ketika orang kristen berhadapan dengan budaya ini, maka mereka dituntut untuk membuktikan bahwa Injil membebaskan manusia dari kuasa-kuasa dunia; bahwa hidup adalah kesederhanaan, cinta, kejujuran dan solider dengan orang-orang kecil. Menerapkan pola ini oleh Yanuaris dilihatnya sungguh membebaskan dan membahagiakan daripada menjalani pola hidup hedonistik. Pertanyaannya, apa yang harus mereka lakukan? Bagaimana mereka -yang sudah dibaptis menjadi Kristen- memberikan kesaksian tentang jati diri mereka?
Komunitas basis sebagai sebuah komunitas paguyuban umat kristiani merupakan wadah yang baik dan dapat membantu umat kristen untuk semakin mematangkan imannya di tengah-tengah cengkeraman atau himpitan budaya hedonistik. Sebagai sebuah komunitas yang sangat menekankan nilai Sabda Allah, menjadi titik acuan langsung dan sumber inspirasi seluruh kegiatan harian, maka umat kristiani ditantang untuk menghidupi nilai Sabda Allah (Injil) itu dalam pengalaman konkret mereka. Dan dalam berhadapan dengan realitas kontemporer ini (misalnya hedonisme, dll.), umat kristiani ‘didesak’ untuk berani menolak tawaran-tawaran kenikmatan dan mentalitas konsumtif. Mengapa semuanya itu harus ditolak, oleh karena apa yang disebut budaya hedonistik dan konsumerisme tadi samasekali tidak membebaskan manusia. Manusia justru dikungkungnya, ketika nilai-nilai Injili (hidup sederhana, ugahari, solider dengan yang berkekurangan) tidak diinternalisasi secara sungguh-sungguh dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam arti ini, Sabda Allah menjadi katalis utama komunitas. Yanuarius melihat bahwa proses evangelisasi akan berjalan karena adanya simbiosis antara sabda dan hidup nyata. Artinya bahwa evangelisasi itu akan semakin tampak memperlihatkan nilai-nilainya bila nilai-nilai Sabda (Injil) diungkapkan atau diwujudkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat.

c. Komunitas Basis : Komunitas yang Mengapropriasi Budaya Solidaritas
Dewasa ini kita tahu bahwa selain individualisme, hedonisme (konsumerisme) dan aneka gaya hidup kontemporer lainnya, kita juga melihat dan mengamati betapa persoalan kemiskinan dari kaum yang terpinggirkan begitu memprihatinkan. Di mana-mana fenomena ini melilit golongan kelas bawah, mereka yang nyaris tidak memiliki akses apa-apa dalam kehidupan ini. Dan hal ini semakin diperparah dengan kurangnya kesadaran dari banyak orang untuk memperhatikan atau bertanggungjawab atas nasib kaum kecil. Hal ini terjadi karena salah satunya adalah kuatnya individualisme modern lewat globalisasi dan ekonomi pasar yang tertanam di dalam masyarakat kita. Dan dalam tingkat tertentu membuat orang menjadi asing satu dengan yang lain. Dalam poin ini, menurut Georg Kirchberger bahwa kita sedang berhadapan dengan sebuah filsafat solipsisme yang berpusat pada pribadi manusia yang sebagai homo oeconomicus membuat pilihannya sendiri dlm sistem pasar. Lebih lanjut ia menyimak bahwa kehidupan publik dan masyarakat madani dalamnya seorang berinteraksi dengan orang lain didesak ke belakang. Baginya kesadaran untuk terikat satu sama lain, terutama kesadaran untuk memperhatikan dan bertanggungjawab atas hidup kaum miskin, tertindas dan mereka yang lebih lemah dalam masyarakat begitu kurang atau rendah. Menyimak kenyataan ini, apa peran Gereja atau apa yang bisa dilakukan Gereja?
Menurut Kirchberger, peran Gereja di sini tidak lain yakni membantu untuk menciptakan sebuah budaya solidaritas. Bagaimana hal ini bisa dimengerti. Menurut hematnya, hanya budaya solidaritaslah yang dapat menjadi jaminan bahwa martabat dan kesejahteraan kaum miskin dan tersingkir bisa dihargai di dalam masyarakat. Ada banyak cara atau strategi yang bisa membantu kaum miskin keluar dari kungkungan hidup mereka. Dan salah satu cara yang kiranya diterapkan adalah mewujudkan solidaritas dengan kaum miskin. Bagi Ignatius Suharyo, keberpihakan kepada orang miskin tidak bisa dipisahkan dari gerakan solidaritas, secara khusus demi mereka yang kurang beruntung. Gereja sendiri pun telah menyerukan hal ini melalui ensiklik Sollicitudo Rei Socialis no. 39. Di dalam dokumen ini dikatakan bahwa solidaritas bisa dilaksanakan jika warganya saling mengakui sebagai pribadi, mau bertanggung jawab atas mereka yang lebih lemah dan bersedia berbagi segala milik kepunyaan mereka.
Kesadaran Gereja ini, kiranya juga menjadi kesadaran seluruh umat kristiani, dan tidak hanya menjadi kesadaran hirarki. Hanya dengan ini kemudian menjadi sebuah kesadaran semua pihak. Itu berarti -seperti yang ditegaskan Kirchberger- perlu semakin banyak interaksi antara pelbagai individu dan kelompok di dalam masyarakat madani dengan kaum miskin sebagai fokus. Menurut hematnya, selain perlu digalakan interaksi komunal, perlu ditanamkan kesadaran untuk secara tetap menggerakkan dan mengaktifkan masyarakat untuk mengungkapkan solidaritasnya dengan kaum miskin dan tak beruntung. Baginya, inilah tugas yang paling penting untuknya Gereja dipanggil saat ini. Akan tetapi, ini tidak akan berdaya guna, bila komitmen untuk itu tidak dibarengi dengan opsi konkret yang bisa dirasakan oleh kaum miskin.
Gereja menyadari bahwa panggilan untuk mewujudkan preferential option for the poor adalah sesuatu yang mendesak dan terus-menerus disuarakan dan dilaksanakan sebagaimana yang telah diteladankan oleh Yesus sendiri. Yesus sendiri pun sudah menunjukkan hal ini dan dalam banyak hal Ia menunjukkan komitmen-Nya terhadap orang-orang kecil. Ia mendekati mereka tanpa prasyarat. Dengan begitu Ia menampakkan tindakan Allah sendiri, Kerajaan-Nya, yang mendatangi orang malang, berdosa, tanpa prasyarat apa pun (bdk. Luk 4:18-19). Lewat pengalaman salib yang dialami-Nya kita bisa melihat model penyangkalan diri sekaligus menjadi ungkapan kemiskinan-Nya di hadapan Allah dan sesama (1 Kor 1:18-30).
Dalam kaitan dengan pilihan utama ini (mendahulukan kepentingan kaum miskin), Gereja melalui persekutuan KBG ditantang pula untuk menunjukkan komitmennya terhadap kaum kecil, orang-orang yang kerap dilupakan dalam masyarakat. Kesadaran Gereja universal tersebut juga mesti menjadi kesadaran komunitas ini sebagaimana karakter atau jiwa hidupnya, yakni sebagai suatu komunitas yang secara eklesial, berada “di dasar” Gereja, karena hubungannya dengan hierarki Gereja. Dengan ciri ini, sebagaimana yang telah disinggung di atas, kaum miskin merasa didukung dan dikuatkan. Hanya saja pertanyaan besar kita adalah apakah komunitas basis sungguh-sungguh menunjukkan ciri ini dalam praksis kehidupan mereka?
KBG atau jemaat basis akan sungguh menjadi garam dan terang dunia, jika ia siap melaksanakan panggilannya, yakni solider dengan kaum miskin, menjadi sahabat orang-orang kecil sebagaimana penghayatan mereka akan Sabda Allah (Injil) yang mereka hidupi setiap hari dalam persekutuan itu. Gema penghayatan Injil yang dikonfrontasikan dalam pengalaman hidup sehari-hari mereka, akan semakin kokoh dan berbuah apabila rasa solider mereka menjelma menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu mengangkat dan memulihkan martabat kaum miskin dalam perbuatan konkret. Menurut Yanuarius, misi pelayanan komunitas basis dengan kiprah istimewa kepada kaum papa, miksin dan tersingkir ini sekaligus juga disimaknya menjadi kekuatan yang bisa mengubah wajah ”dunia” atau masyarakat kita. Dari sebab itu, kesaksian hidup –sebagai hasil dari apropriasi (penginternalisasian) nilai-nilai Injil- amat diperlukan untuk mengendalikan arus-arus besar zaman ini, terutama arus globalisasi yang begitu merasuki setiap lini kehidupan manusia dewasa ini.

3.2.1.2.2. Komunitas Basis : Bersikap Kritis dan Transformatif
a. Menciptakan Kesadaran Kritis
Di tengah pusaran globalisasi atau kemajuan zaman yang demikian pesat dewasa ini, Gereja perlu selalu memiliki kesadaran kritis. Tanpa sikap seperti ini, misi untuk membangun sebuah kehidupan iman dari dalam diri sendiri tidak akan berhasil. Dengan kata lain misi untuk membangun sebuah persekutuan iman yang kokoh tidak akan cukup bila tidak mengkhamiri konteks atau pengaruh-pengaruh buruk yang ada di sekitarnya.
Kita sudah melihat bahwa dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, globalisasi dan liberalisasi telah melumpuhkan kesadaran sosial, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Kirchberger bahwa penting sekali kita meningkatkan kesadaran kritis dalam masyarakat untuk melindungi korbannya. Baginya tidak ada pembelaan yang lebih kuat daripada kesadaran yang tajam. Kesadaran kritis ini penting untuk melihat apakah dunia dan segala kemajuannya sudah cukup menghantar orang kepada perjumpaan akan suatu nilai hidup yang didambakan oleh seorang beriman atau tidak. Jikalau tidak maka, kesadaran seperti itu perlu selalu dimunculkan.
Berkenaan dengan kenyataan ini, bagaimana Gereja bisa berbicara atau bertindak? Kita tahu di mana-mana jemaat basis begitu ditanamkan dan menjadi semacam way of life kaum beriman kristiani yang ingin memperdalam dan mengembangkan imannya. Semangat syering dan dialog mewarnai persekutuan mereka. Dan model penghayatan hidup seperti ini menurut hemat Kirchberger merupakan sarana penting untuk mengembangkan kesadaran kritis. Baginya apabila Injil itu diwartakan kepada kaum miskin, dan hidup mereka (KBG) adalah hidup yang terarah pada Sabda yang hidup, maka sepantasnya mereka diminta untuk mendiskusikan persoalan yang tengah di hadapi, misalnya persoalan tentang kaum miskin. Ataupun hal lain yang menurut hemat penulis penting juga adalah bersikap kritis terhadap pengaruh-pengaruh negatif lainnya yang ditimbulkan oleh arus globalisasi di atas (individualistik, hedonistik/konsumeristik, dsb). Mungkin kesadaran kritis ini sangat tepat kalau bisa diungkapkan lewat kesaksian hidup mereka di mana mereka berada baik secara moral maupun spiritual.

b. Menciptakan Kesadaran untuk Menggarami Dunia (Mengubah Wajah Dunia)
Menurut Raymundus, KBG merupakan suatu gambaran ideal dan cermin bagi rancang bangun hidup beriman dan masyarakat dewasa ini. Sebagai sebuah gambaran ideal dan cermin bagi keberlangsungan hidup beriman tersebut, KBG dalam banyak hal sebetulnya mampu untuk menjadi sebuah komunitas yang membawa misi untuk merekonstruksi dunia dengan mendasarkan dirinya pada daya dorong dari Sabda Allah; ”Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Why 21:15). Dengan kata lain, menurut hemat penulis, KBG, dengan mengandalkan kekuatan dari Sabda Allah itu bisa menjadi garam dan juga terang bagi dunia di sekitarnya, lewat syering Kitab Suci, doa-doa bersama, Ekaristi dan berbagai macam karya karitatif yang mungkin bisa mereka usahakan. Dan dalam arti yang lebih mendalam, melalui kesaksian hidup mereka, mereka sendiri sebetulnya dapat merekonstruksi dan mentransformasi wajah dunia dewasa ini, khususnya dunia yang dibaluti oleh wajah globalisasi.
KBG adalah komunitas yang memiliki daya transformatif. Daya transformatif di sini tidak lain adalah kekuatan untuk mengubah “wajah dunia” atau entitas masyarakat dari dalam. Namun ini hanya dimungkinkan, menurut hemat Yanuarius bila ia lebih dahulu membersihkan dirinya. Maksudnya adalah bahwa agar dengan itu ia pun sanggup membebaskan masyarakat dari pelbagai rantai yang mengikat dan membelenggu. Rantai-rantai yang dimaksud, penulis ringkaskan sebagai rantai yang menghancurkan dan mematikan kehidupan beriman itu sendiri. Rantai-rantai yang mematikan ini bisa saja sistem kehidupan yang tidak adil (ketidakadilan struktual) yang menguntungkan kelompok elit atau kelas atas sedangkan kaum miskin atau marginal tidak mendapat keuntungan apa-apa, malahan ditindas dan ditekan. Kesadaran ini perlu dibangkitkan demi keluhuran wajah dunia di mata Allah dan umat manusia. Yesus sendiri pun telah menunjukkan sikap-Nya ketika orang tidak lagi memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang seutuhnya, di mana manusia dijadikan ditindas dan samasekali tidak dianggap (bdk. Luk 4:18-19).

IV. Rekomendasi Pastoral
Setelah menyimak dan menelaah konteks hidup dunia dewasa ini dan merefleksikan makna penting mengadakan suatu paguyuban bersama dalam sebuah komunitas (KBG), maka pada poin ini, kita ingin menyajikan beberapa kemungkinan, sebagai sebuah rekomendasi pastoral yang bisa berguna untuk kehidupan menggereja dewasa ini.

4.1. Bermisi dari Dalam: Teologi Partisipatif
Menyimak dinamika konteks dunia saat ini, yang diwarnai oleh arus globalisasi, penulis menyadari pentingnya menjadikan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai gambaran ideal dan cermin bagi hidup beriman dewasa ini. Dari sebab itu, misi yang haruis selalu dibangkitkan dan ditanamkan dalam konteks ini bukan lagi plantatio ecclesiae (penanaman Gereja) melainkan lebih pada plantatio fidei (penanaman iman) atau missio ad intra (reksa pastoral). Dalam arti ini, KBG boleh dijadikan sebagai medan untuk menanamkan iman, membangun dan menghidupkan iman yang di tengah arus globalisasi ini. Itu berarti perlu juga apa yang disebut partisipasi aktif dari dalam diri kaum beriman kristiani untuk menjadikannya sebagai wadah bermisi dewasa ini. Penulis melihat, kesadaran semacam ini perlu dibangkitkan dan ditanamkan selalu dalam diri mereka. Partisipasi aktif mereka menjadi tanda keterlibatan mereka bagi perkembangan iman mereka sendiri, tetapi juga dapat menjadi sebuah kesaksian bagi umat lain bagaimana mestinya menjadi umat Kristen yang sejati. Dengan partisipasi dimaksudkan di sini bahwa tak ada satu pun yang tidak melibatkan diri dalam membangun sebuah persekutuan iman, oleh karena iman itu selain ditanggapi secara pribadi tetapi perlu diungkapkan secara bersama. Dan melalui keterlibatan bersama dalam mengikuti semua kegiatan lingkungan, di situ iman seseorang dipupuk dan dikembangkan. Dengan demikian, semua orang pada akhirnya tanpa kecuali mengambil bagian yang sama dalam perutusan Gereja. Jadi dalam poin ini, penulis melihat bahwa umat secara keseluruhan perlu menyadari peranan mereka sebagai anggota gereja yang juga dipanggil untuk melanjutkan misi Yesus Kristus di dunia, mewartakan Injil dan membangun Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Konsili Vatikan II, sudah menegaskan hal ini, bahwa Gereja pada hakekatnya bukan semata-mata hierarki. Seluruh umat dipanggil untuk berpartisipasi dalam pengutusan Gereja untuk membangun tubuh Gereja, menjadi saksi Kristus dalam masyarakat dan untuk tampil sebagai ragi dan garam dunia serta meresapi dunia dengan kasih Allah.
Konsili Vatikan II memahami Gereja bukan sebagai kesatuan organisatoris dan bersifat yuridis semata, melainkan lebih sebagai kesatuan iman, yang dibangun bersama-sama oleh seluruh umat beriman Katolik, sehingga kehidupan dan perkembangan Gereja Katolik sungguh menjadi tanggungjawab bersama umat beriman Katolik. Dengan ini, menuurt hemat L. Prasetya Gereja Katolik ditampilkan dan dipahami lebih sebagai paguyuban umat beriman akan Yesus Kristus, yang disebut Umat Allah ”yang disatukan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” (LG 4). Dengan pemahaman ini menjadi jelas juga bahwa misi Gereja tidak lain adalah misi seluruh umat beriman dan tidak lagi dimonopoli kaum klerus atau hirarki. Dari sebab itu, kaum beriman awam dipanggil, lewat komunitas basis untuk bersama seluruh Gereja mewujudkan tugas perutusan mereka di dunia.

4.2. Membangun Budaya Tandingan: Komunitas Kristiani Menjadi Tanda Kehadiran Kristus Di tengah Dunia
Kalau kita menyimak konteks hidup beriman zaman ini, tak dapat disangkal lagi bahwa penghayatan iman umat kristiani sekarang berangsur-angsur menurun, jikalau dibandingakan dengan pola hidup beriman umat yang belum tersentuh oleh kemajuan teknologi atau perkembangan zaman. Menurut Theo C. Vergeer, dalam banyak situasi, komunitas Kristen terancam eksistensinya karena gejala individualisme dan depersonalisme yang merajalela. Baginya, pengaruh “dunia modern” antara lain lewat high technology (yang membawa pergeseran nilai-nilai), sistem pendidikan (terarah pada prestasi pribadi), pasar bebas (yang mengalahkan yang lemah) dan digitalisasi (segala-galanya diatur dari belakang komputer, tanpa melihat wajah orang) telah masuk ke dalam kehidupan banyak orang. Kenyataan ini, tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi umat kristiani, yang juga adalah komunitas zaman ini. Tantangannya yang mungkin cukup berat dihadapi adalah apakah jemaat Kristen sekarang mampu menghadirkan diri, menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia saat ini. Tanda-tanda itu adalah hidup dalam persekutuan seperti para rasul atau jemaat perdana, berkumpul bersama, berdoa bersama dan saling mengasihi satu sama lain (bdk. Kis 2: 41-47)
Penghayatan hidup seperti di atas dalam arti tertentu mesti menjiwai umat Kristen sekarang. Dan hanya dengan cara penghayatan demikian, umat Kristen telah memulai apa yang disebut dengan membangun budaya tandingan yakni mengokohkan iman akan kristus di tengah kemajuan zaman yang lebih menekankan dimensi hedonis dan individualistik, dengan berkumpul bersama, berdoa bersama, atau mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan lainya atau bahkan mengadakan suatu kegiatan karitatif (karya sosial) dalam hidup bersama. Citra diri seperti ini, perlu selalu dijaga dan ditingkatkan sehingga akhirnya menjadi sebuah way of life, bahkan budaya baru dalam mengokohkan iman Kristen di tengah-tengah arus perubahan dunia yang selalu menawarkan nilai-nilai baru, yang kadang-kadang berseberangan dengan nilai-nilai Kristiani.
V. Penutup
Setiap anggota Gereja dipanggil untuk menjadi saksi kebaikan dan Cinta Kasih Allah di tengah dunia. Inilah letak tugas panggilan komunitas beriman, yakni pertama, dipanggil untuk membangun persatuan dalam cinta kasih. Umat Kristen mesti mengalami diri sebagai komunitas kasih, bergembira dalam kebersamaan, merasa bersatu, sehati dan sepenanggungan, merasa bersekutu dalam iman yang sama dan bersama dengan Allah, iman itu akan semakin dikokohkan, penuh harapan, gembira karena mengalami dicintai oleh satu sama lain. Kedua, umat Kristen diutus untuk mewartakan dan menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidup bersama. Hanya dengan demikian, aspek misioner dari Gereja semakin tampak dan melekat dalam diri masing-masing umat Kristen. Menjadi Katolik berarti menjadi saksi Kristus yang aktif, berani dan penuh iman di tengah-tengah dunia yang terus bergerak dan berubah ini dengan mau menunjukkan sikap hidup yang baik (moral dan spiritual) di dalam lingkungan, di dalam paroki dan di dalam keuskupan akhirnya di dalam Gereja universal.


DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Gereja:
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, terj. Yosef Maria Florisan, et al, Maumere: Ledalero, 2009.

Seri Dokumen Gerejani, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus, terj. R. Hardawiryana, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.

Buku-buku dan Artikel-artikel:
Adlin, Alfathri (ed.), Realitas Spiritualitas dan Hierarki Realitas dalam Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer (ed.), Bandung: Jalasutra, 2006.

Kirchberger, Georg, Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004.

Piliang,Yasraf Amir, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Bandung: Jalasutra, 2003.

Prasteya, L. Keterlibatan Awam sebagai Anggota Gereja, Malang: Dioma, 2003.

Ray Griffin, David (ed.), ”Introduction: Postmodernimse Spirituality and Society” dalam Spirituality and Society Postmodern Visions, Albany: State University of New York Press, 1988.

Sudhiarsa, Raymundus (ed.), Kearifan Sosial Lintas Budaya, SVD Surya Wacana Merespon Misi Gereja, Bantul, Yoyakarta: Lamalera, 2008.

_________, Evangelisasi Berlanjut Meneruskan Wasiat Sang Guru, Yogyakarta, Kanisius 2009.

_________, Gereja Misioner Gereja Terlibat, Tema-tema Pilihan untuk Studi Misiologi, Malang: STFT Widya Sasana, 2010.

_________,”Berenang dalam Arus Deras Globalisasi: Mencari Strategi Pastoral Orang Muda Katolik Indonesia”, dalam A. Denny Firmanto dan Yustinus (eds.), Orang Muda Katolik dalam Pusaran Globalisasi, Malang: STFT Widya Sasana, 2007.

Rizter, George, The Globalization of Nothing, Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi, terj. Lucianda M. Lett, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2006.

Ryanto, Armada, “Badai” itu Bernama Globalisasi, Telaaf Filosofis untuk “Kaum Muda di Pusaran Globalisasi”, dalam A. Denny Firmanto dan Yustinus, (eds.), Orang Muda Katolik dalam Pusaran Globalisasi, Malang: STFT Widya Sasana, 2007.

Seran, Yanuarius, Pengembangan Komunitas Basis, Cara Baru Menjadi Gereja dalam Rangka Evangelisasi Baru, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2007.

Suharyo, Ignatius, The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Wilfred, Felix, ”Keprihatinan Gereja bagi Kaum Miskin pada Zaman Globalisasi”, dalam G. Kirchberger (ed.), Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004.

Woga, Edmund, Misi, Misiologi & Evangelisasi Di Indonesia, Yogyakarta; Kanisius, 2009.

Vergeer, Theo C., Mencari Model Misi: Penabur Menjdi Benih, Yogyakarta: Kanisius, 2002.


Internet:
http://www.crayonpedia.org/mw/Dampak_Globalisasi_6.2, diakses tanggal 1 Mei 2010.

http://audentis.wordpress.com/2000/12/25/globalisasi-teknologi-inform, diakses tanggal 1 Mei 2010

Tidak ada komentar: