Kamis, 10 Juni 2010

MEMBEDAH FILSAFAT SEJARAH MENURUT ARNOLD TOYNBEE

I. Pengantar
Filsafat sejarah di abad ke-17 pertama-tama memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan metodologis. Mulai akhir abad ke-19, teori-teori tentang makna di dalam sejarah dalam sebuah pemahaman religius atau metafisika, yang didominasi oleh interese para filsuf dan teolog mulai dari Agustinus sampai Hegel dirasakan merosot tajam. Teori-teori ini bergantung pada keyakinan-keyakinan agama dan metafisika yang menyoal unitas dan struktur sejarah serta perkembangan (kemajuan) tujuan akhir masa depan. Keyakinan-keyakinan sebagian besar ditolak oleh sebuah pandangan yang bersifat metafisis dan lebih empiris, sebuah zaman yang menolak perspektif ahistoris dan meyakini pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa hidup manusia itu sendiri secara historis. Pada permulaan tahun 1930, muncullah sebuah perhatian baru mengenai tanggapan-tanggapan agama terhadap pertanyaan tentang arti dalam sejarah. Hal ini didorong (digerakkan) oleh peristiwa-peristiwa di Eropa yang menantang kepercayaan akan kemampuan manusia untuk menjadikan sejarah di dalam gambaran atau citranya sendiri. Perang dunia pertama yang menunjukkan kemampuan manusia melalui teknologi membawa kehancuran bagi seluruh populasi dan kebudayaan, depresi yang hebat, dan kengerian revolusi NAZI yang menyerang seluruh dunia, dipanggil ke dalam pertanyaan seputar keyakinan sekular dalam rasionalitas manusia. Beberapa teolog dan filsuf kembali kepada keyakinan agama dalam mencari sebuah kesalahan tertentu dari sejarah manusia. Publikasi di tahun 1929 tentang kemajuan dan agama oleh sejarahwan, Kristoper Dawson, diteruskan di tahun 1930 melalui volume awal Arnold Toynbe tentang

A Study of History (Studi tentang Sejarah).
Berikut ini, kita akan menyimak bagaimana Arnold Toynbee menggagas konsep peradaban. Sebagai seorang sejarahwan yang genial, sejarahwan modern yang mencoba membahas secara komparatif kemunculan, pertumbuhan, kemunduran dan keruntuhan peradaban-peradaban dunia. Karyanya, A Study of History, mencapai dua belas jilid. Yang hendak digagasnya bukan manusia atau negara melainkan “peradaban”, yang menjadi basis karya sejarahnya. Untuk memahami dengan lebih detail baiklah kita menyimak apa yang diuraikannya dalam terjemahan yang saya parafrasken berikut ini.

II. Panorama Studi Filsafat Sejarah
2.1. Riwayat Singkat (Sekilas tentang Toynbee)
Arnold Toynbee (1889-1975) adalah seorang jebolan Balliol College, Oxford. Dia adalah seorang Professor Bahasa Yunani Modern dan Bizantium serta, menjadi guru besar sastra dan sejarah Internasional di Universitas London dari tahun 1919-1924. Selanjutnya selama 30 tahun menjadi direktur studi di Institut Royal Urusan Internasional. Dia adalah seorang yang memiliki pandangan-pandangan yang menakjubkan tentang sejarah manusia volume 10, karya monumentalnya tentang A Study of History (Studi Sejarah), serentak dinilai sebagai sebuah mahakarya yang genial, penuh dengan pandangan-pandangan yang asli dan dikritik (dicela) oleh karena tampak kurang baik mengembangkan argumen dan tendensinya untuk menafsirkan semua sejarah dalam terminologi-terminologi sejarah Helenis. Toynbee berkata bahwa studi ini terjadi sebagai sebuah hasil dari keadaannya yang dibenturkan oleh kesejajaran antara pengalaman-pengalaman masyarakat Helenis yang telah dipelajarinya dan masyarakat kontemporer Barat di mana dia menjadi bagian di dalamnya. Toynbee lahir dalam abad kejayaan optimisme dan dalam menghadapi perang Dunia I, ia lantas berkutat dengan alasan-alasan matinya peradaban-peradaban tersebut. Ia menginginkan baik peradaban Barat modern mengalami keruntuhan di masa depannya maupun kehancuran yang sama dengan penderitaan yang terjadi di masyarakat Helenis.

2.2. Beberapa Pemikiran Arnold Toynbee
2.2.1. Unit Studi Historis
Dalam bagian ini, kita akan menyimak bagaimana Toynbee menggali dan memetakan konsep peradaban. Menurut penulis teks (artikel ini), Toynbee adalah salah seorang kritikus yang ‘mengkritik’ apa yang disebut parochialisme (kepicikan) para sejarahwan yang berbicara tentang sejarah bangsa-bangsa. Ia berpendapat bahwa unit-unit (bagian-bagian) yang dapat dipahami dari studi tersebut, bukan menyangkut bangsa-bangsa atau zaman-zaman, melainkan peradaban-peradaban. Sebuah bangsa tidak dapat dimengerti dalam dirinya sendiri, akan tetapi hanya dapat disimak menjadi bagian dari suatu keseluruhan yang besar. Keseluruhan yang ia maksudkan di sini meliputi bagian-bagian yang merupakan subjek yang sama yang menggerakkan-memberi rangsangan, melainkan bergerak dalam cara-cara yang berbeda. Toynbee memperlihatkan lima macam peradaban yang masih bertahan, antara lain: Kekristenan Barat (peradaban Barat), Kristen Ortodoks, Islam, Hindu dan Timur Jauh. Mengikuti apa yang dipaparkan tersebut, ia menyebut 21 spesies (jenis) hingga 32 jenis peradaban (tergantung pada apa yang termasuk di dalamnya dan bagaimana mereka dibagi di sana) ternyata tetap bereksistensi. Kemudian ia menyusunnya dengan maksud untuk mengadakan sebuah studi komparatif tentang kemunculan, pertumbuhan dan kehancuran kebudayaan-kebudayaan tersebut. Pendekatan yang ia pakai adalah empiris dan ilmiah (scientific).

2.2.2. Kemunculan dan kehancuran Peradaban-peradaban
2.2.2.1. Awal-Mula Munculnya Peradaban
Toynbee menolak penjelasan-penjelasan tentang asal-usul dan pertumbuhan dari peradaban-peradaban di atas dalam terminologi-terminologi biologis yang melampaui suku-suku bangsa atau lingkungan-lingkungan yang menghasilkan kondisi-kondisi kehidupan yang menguntungkan. Dengan penjelasan-penjelasan seperti itu, justru ia berpendapat bahwa adalah keliru menjelaskan prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pengetahuan akan hal-hal materi dengan sebuah persoalan yang sungguh-sungguh rohani. Ia menemukan petunjuk perkembangan dari peradaban-peradaban di dalam mitos-mitos besar, di mana kebijaksanaan suku bangsa manusia diungkapkan. Dalam poin ini, ia mengusulkan kemungkinan bahwa peradaban-peradaban tersebut muncul sebagai sebuah tanggapan terhadap tantangan di dalam sebuah situasi khusus yang sukar. Tantangan-tantangan tersebut ditanggapi dengan mengerahkan segala usaha yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Tantangan-tantangan yang dimaksud mencakup beberapa hal, yakni; lingkungan fisik yang keras, penaklukan militer, penaklukan kelas-kelas dan suku-suku bangsa. Dalam studinya tentang varietas peradaban, Toynbee menemukan bahwa di dalam banyak segi, tantangan-tantangan mungkin tampak begitu berat. Peradaban-peradaban muncul tatkala ada suatu keseimbangan yang paling maksimum antara tantangan dan tanggapan. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya.
Selanjutnya pertanyaan yang diajukan Toynbee adalah bagaimana pertumbuhan ini diukur? Dengan kata lain apa yang menjadi parameter pertumbuhan itu? Toynbee menolak kriteria seperti meningkatkan kontrol yang berlebihan terhadap lingkungan-lingkungan fisik dan manusiawi. Perkembangan yang nyata terjadi dalam apa yang disebutnya sebagai “penghalusan” (etherialization), sebuah proses di mana kondisi tantangan dan tanggapan berubah dari hal yang bersifat eksternal ke hal yang bersifat internal (rohani), dari lingkungan eksternal ke keadaan terdalam dari tubuh sosial peradaban. Dalam segi ini, “tantangan-tantangan tidak datang dari luar tetapi dari dalam, dan tanggapan-tanggapan yang menang tidak mengambil bentuk dari halangan-halangan eksternal atau bentuk yang mengatasi sebuah tantangan eksternal yang hebat, melainkan mewujudkan mereka (tantangan-tantangan) di dalam sebuah pengungkapan dari dalam diri atau kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat (self determination).” Dengan kata lain, dapat diringkas bahwa kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual. Ia melukiskan perkembangan ini dengan menyinggung peradaban barat di mana nenek-moyang barat telah mendapatkan kemenangan atas tantangan suku bangsa Skandinavia dengan menempah (kekuatan) militer dan instrumen sosial feodalisme. Dalam tahap sejarah selanjutnya, pertumbuhan peradaban menghadapi tantangan-tantangan ekonomi dan sosial yang ditanggapi oleh perkembangan bangsa, di mana di sana muncullah suatu jenis hubungan yang baru antara negara-negara asing dan individu masyarakat kota.

2.2.2.2. Kehancuran (Keruntuhan) sebuah Peradaban
Pengujian selanjutnya menuntun Toynbee kepada sebuah kesimpulan bahwa semua peradaban, dengan kemungkinan kekecualian dari peradaban barat, berada dalam posisi, baik yang mati maupun sedang berada dalam proses kehancuran. Dengan pemahaman ini, ia memaksudkan bahwa ada sebuah kegagalan kreativitas dan sebuah kehilangan kesatuan sosial, sebuah kehilangan akan kapasitas untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat (self determination). Ia menampik penjelasan-penjelasan tentang keruntuhan hal-hal tersebut dalam istilah-istilah hukum alam atau kehilangan kuasa atas lingkungan fisik dan manusia. Tampaknya, Toynbee menghubungkannya dengan sebuah kehilangan kreativitas. Pertumbuhan merupakan karya kaum minoritas kreatif yang membawa massa yang tidak kreatif bersama dengan mereka melalui imitasi atau mimesis. Bagaimanapun juga sejarah menunjukkan bahwa kaum minoritas kreatif dari satu era cenderung untuk berhenti bekerja dan jarang pemimpin menjawab tantangan-tantangan selanjutnya dengan berhasil. Pertanyaan kita adalah kapan dan bagaimana kehancuran peradaban itu terjadi? Kehancuran (keruntuhan) muncul tatkala kekuatan kreatif dari kaum minoritas menjadi stagnan dan tidak beredar ke yang lain. Mereka semata-mata menjadi minoritas yang dominan yang menentukan kehendak mereka atas kelompok mayoritas. Sejarah menunjukkan bahwa dominasi kaum minoritas biasanya berubah menjadi beberapa bentuk idolisasi diri (pengidolaan diri), baik dari raja-raja, parlamen-parlamen, klas-klas penguasa atau para imam. Hal ini mengakibatkan kelompok mayoritas menjadi teralienasi. Lantas masyarakat kehilangan kapasitasnya untuk meningkatkan semangat yang kuat dan masuk ke jalan kehancuran.
Kehancuran terjadi ketika ada perpecahan peradaban ke dalam dominasi kaum minoritas dan kelompok proletariat. Bagaimana pun juga kehancuran bukan merupakan sebuah proses yang tidak dapat diganggu-gugat. Kehancuran ini bergantung pada periode kemajuan dan kemunduran, periode penyatuan kembali dan hancur lagi serta kejatuhan ini mungkin disebabkan oleh pembatuan (petrification) peradaban. Toynbee mengatakan bahwa petrification (pembatuan) sangat dekat dengan nasib peradaban Hellenis dan mungkin menjadi nasib peradaban barat. Bagaimanapun juga, normalnya proses kehancuran mengikuti pola meningkatnya konflik-konflik antara dominasi kaum minoritas (kaum militer, para legislator, atau para filsuf), internal proletariat (tidak mewarisi societas di dalamnya) dan external proletariat (kaum barbar tertentu). Selama proses kehancuran kaum barbar tertentu memperlihatkan tekanan-tekanan terhadap peradaban hingga semuanya itu menembus dan menghancurkannya. Sumber daya spiritual yang perlu lahir kembali ditemukan bukan di luar, melainkan di dalam kelompok proletariat dan proses kelahiran kembali tersebut muncul di dalam tumbuhnya sebuah agama baru dan agama yang besar. Dengan demikian, peradaban barat lahir dari kepompong Gereja Kristen yang merupakan sebuah karya kreatif sendiri dari kaum proletariat Romawi. Padahal dominasi kaum minoritas dan proletariat luar dirintangi oleh sebuah inspirasi asing, agama-agama besar biasanya meminta ketertarikan pada inspirasi asing.

2.2.2.3. Makna Penting Konsep tentang Agama Universal (Gereja-gereja Universal)
Dalam volume VII, Toynbee mengatakan bahwa ia telah melangkah jauh ke dalam suatu asumsi/pengandaian bahwa peradaban-peradaban menjadi protagonis di dalam sejarah dan bahwa agama memainkan sebuah peran yang lebih rendah sebagai kepompong dari peradaban-peradaban. Ia meminta agar kita membuka pikiran kepada kemungkinan di mana Gereja-gereja mungkin dalam kenyataan menjadi protagonis-protagonis dan bahwa sejarah peradaban-peradaban mungkin ditafsir dalam terminologi yang berkaitan dengan pengaruh-pengaruh mereka atas sejarah dan agama. Ia mengakui bahwa hal ini mungkin tampak menjadi novel dan paradoksal, namun ini tampak setelah adanya pendekatan terhadap sejarah yang direpresentasikan di dalam Kitab Suci. Mengikuti cara berpikir seperti ini, Toynbee mengajak kita untuk memikirkan peradaban-peradaban dari generasi kedua yang bereksistensi dengan maksud agar sepenuhnya menjadi calon agama-agama besar yang mungkin ada. Dan kita akan berpikir tentang peradaban-peradaban yang utama atau sebelumnya yang bereksistensi dengan tujuan yang sama. Hanya mereka yang dipenuhi dengan misinya secara tidak langsung dengan melahirkan peradaban-peradaban dasar dari mana agama-agama besar memiliki awal-mulanya. Kemajuan spiritual dalam agama-agama besar muncul dari penderitaan awali yang terkait dengan kehancuran peradaban-peradaban. Toynbee melihat bahwa di dalam Gereja-gereja agama-agama besar, yakni kemungkinan akan adanya sebuah jenis masyarakat yang besar. Ia mengakui bahwa catatan dari Gereja-gereja tersebut tidak begitu tampak menjanjikan dalam hal ini. Namun ia percaya bahwa di sana akan menjadi sedikit lebih baik bagian yang diperlihatkan di antara agama-agama besar tersebut dan membedakan tanda mereka yakni bahwa semua pribadi saling sharing di dalam satu kemuridan yang sejati bersama Allah. Inilah yang menempatkan Gereja-gereja sebagai bagian dari tipe-tipe masyarakat yang lain. Dan hanya melalui agama, kita akan melampaui bahaya-bahaya peniruan yang disebabkan oleh pembatasan-pembatasan kreativitas manusia. “Dalam Civitas Dei bahaya ini dibuang/disingkirkan lewat sebuah transfer mimesis (peniruan) yang baru dari para pemimpin biasa kebudayaan-kebudayaan dunia kepada Allah yang adalah sumber dari segala kreativitas manusia.” Pembangunan sebuah Gereja universal yang tunggal, bagaimanapun juga kelihatannya selalu dibatasi oleh kapasitas baik untuk yang jahat maupun yang baik. Dunia ini merupakan sebuah wilayah kerajaan Allah tetapi dunia yang sama juga merupakan sebuah wilayah yang menantang/melawan.
Dalam tulisan-tulisannya tahun 1995, Christianity Among the World Religions, Toynbee menjelaskan bahwa apakah dia berekspetasi ataupun menganjurkan perpaduan agama-agama sejarah yang besar ke dalam sebuah agama. Akan tetapi ia tidak dapat melihat dunia yang sedang berubah dari sebuah zaman, di mana salah satu agama ditentukan, diatur oleh kejadian kelahiran kepada sebuah dunia di mana ada kesatuan dunia yang lebih besar dan pribadi-pribadi yang akan memilih bentuk agama mereka. Dunia yang baru ini merupakan hasil dari jumlah faktor-faktor yang mencakup dunia pertama dan peradaban barat yang terkemuka yang luas ekspansinya. Toynbee berbicara tentang peradaban barat kontemporer sebagai sebuah peradaban post-kristianitas yang memaknai bahwa ciri-ciri yang hidup (bertahan) dari agama Kristen tidak terlalu berbeda ciri khasnya dengan peradaban ini. Teknologi dan emansipasi barat yang ideal merupakan ciri khas utama dari luasnya ekspansi peradaban barat. Di sana ada bahaya bahwa emansipasi yang ideal akan bergerak ke dalam kekuatan kolektif manusia di dalam bentuk-bentuk nasionalisme, komunisme, dan fasisme. Dan teknologi modern memberikan semacam perkembangan/pergerakan potensi yang tidak dapat tenggelam demi menekan kebebasan individu.
Toynbee melihat ibadat manusia berada dalam bentuk kekuatan kolektif dan kurang menampakkan bentuk yang berbahaya dalam tujuan manusia semata-mata yang bersifat sekular dan kebahagiaan dunia yang bertentangan, serta persaingan terbesar demi kehidupan agama-agama. Agama-agama, tidak diikatkan, disatukan dengan peradaban-peradaban dari mana mereka menjadi salah satu bagiannya. Kristianitas mendahului kebudayaan barat, yang meluas melampaui batasan-batasannya, dan selanjutnya akan menjadi sebuah kekuatan spiritual yang panjang setelah peradaban barat berakhir. Toynbee menemukan adanya dasar umum di dalam keyakinan-keyakinan bahwa kemanusiaan bukanlah kehadiran spiritual yang terbesar di dunia, bahwa pribadi-pribadi seharusnya mengambil sisi baik untuk melawan kejahatan dan hidup secara harmoni dengan kehadiran spiritual besar di alam, dan bahwa penderitaan dapat dipadamkan lewat hasrat yang memadamkan. Dasar umum yang diberikan ini seharusnya menjadi tugas dari agama-agama besar untuk berdiri bersama (berdampingan) guna menebus dan memperbaiki idealisme emansipasi, membawanya kembali kepada tujuan spiritual di mana tujuan emansipasinya adalah untuk memuliakan Allah. Keadilan sosial, ia yakini, hanya dapat diterima sebagai produk atau hasil pencapaian dari tujuan spiritual ini.
Toynbee percaya bahwa kemungkinan bagi agama-agama memegang keyakinan-keyakian mereka sendiri yang mengakui bahwa dalam beberapa ukuran semua agama-agama besar adalah pewahyuan dari apa yang benar dan adil. Tampaknya ia mencita-citakan sebuah pergerakan historis dengan cara menggabungkan antara sebuah kekuatan spiritual dan warisan-warisan kultural yang berbeda. Bahkan ia mengusulkan bahwa kita meyakini bahwa di dalam sebuah persaingan yang damai, apa yang disebut “persaingan agama-agama terbaik yang pada akhirnya akan memenangkan kesetiaan dari seluruh suku bangsa manusia.” Ia tidak bisa percaya bahwa sebuah agama sinkretis dapat menangkap imaginasi dan kesetiaan umat manusia. Lagipula, apakah ia mendambakan sebuah situasi di mana ada suatu agama yang berjaya dan adanya budaya yang menguasai yang lain. Apapun agama yang menang, itu tidak akan mengeliminir agama-agama yang menggantikannya. Paling banter agama yang menang akan menyerap ke dalam dirinya sendiri apa yang terbaik di dalam agama-agama lain. Toynbee seakan-akan memiliki ide suatu jenis perluasan batasan-batasan spiritual dan warisan-warisan budaya kita yang teratur sehingga mereka berkembang menjadi ukuran suatu bagian dari warisan semua kemanusiaan. “Saya tidak akan mengatakan bahwa saya berharap melihat sebuah peleburan agama-agama historis, tetapi saya berpikir itu mungkin diekspetasikan, dan mungkin juga diharapkan, bahwa semua agama, sambil mencapai apa yang menjadi identitas historis mereka, akan menjadi lebih dan lebih terbuka, serta (apa yang lebih penting) hati yang terbuka, yang mengarah kepada satu dengan yang lain sebagai kebudayaan dunia yang berbeda dan menjadi warisan spiritual, dalam ukuran yang berkembang, menjadi milik umum semua manusia.

III. Beberapa Catatan dan Komentar Atas Konsep Peradaban A. Toynbee
Setelah menyimak pemetaan konsep peradaban yang digagas oleh Toynbee di atas, pertama-tama saya akui bahwa saya sedikit mengalami kesulitan untuk menggali secara sempurna gagasannya tentang peradaban, oleh karena teks yang saya terjemahkan dan pahami di sini cukup sulit. Walaupun demikian, konsep tentang peradaban ini merupakan tema yang menarik dan tetap aktual dan saya berusaha melacak arti dan maknanya, meski tidak sesempurna yang digagas oleh Toynbee. Oleh karena itu, saya ingin mengomentari dan memberi beberapa catatan penting atasnya. Poin-poin itu akan saya parafrasekan berikut ini, sebagaimana yang telah saya pahami sebelumnya.

3.1. Unit Studi Sejarah
Dalam mengkaji peradaban, Toynbee memperlihatkan sebuah elaborasi yang sangat genial. Ia sangat teliti dan dengan detail mengupas asal-usul, pertumbuhan, kemunduran, status universal, dan kehancuran suatu peradaban. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan keseluruhan umat, bukan menyangkut manusia secara universal dan juga bukan menyangkut satu negara-bangsa tertentu melainkan merupakan “unit menengah” yang lebih besar daripada sebuah masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni “peradaban.” Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali, contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat, dll.
Toynbee menyimak gejala peradaban sebagai sebuah siklus, apa maksudnya? Maksudnya bahwa “peradaban” itu dilihat seperti riwayat organisme hidup yang mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasa dan hancur (runtuh). Dalam siklus seperti ini, kita bisa melihat bahwa ternyata sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total. Ada kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun karakter atau pun ciri khasnya tidak sepenuh atau sama dengan peradaban yang mendahuluinya. Peradaban-peradaban baru yang muncul, yang kemudian menggantikannya itu bisa saja mencapai sebuah prestasi yang melebihi peradaban sebelumnya atau yang menggantikannya. Menyimak konsep peradaban di atas sebagaimana yang digagas oleh Toynbee, dapat dilihat bahwa peradaban merupakan suatu rangkaian siklus kehancuran dan pertumbuhan, akan tetapi setiap peradaban baru yang kemudian muncul, sebetulnya bisa belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dan mungkin juga bahwa peradaban yang muncul kemudian bisa mencapai sebuah prestasi yang spektakuler dari sebelumnya.

3.2. Awal-Mula Munculnya sebuah Peradaban
Pertanyaan awal kita adalah bagaimana Toynbee mensistematisir awal-mula atau pertumbuhan sebuah peradaban? Kapan peradaban itu muncul? Menyimak apa yang dikonsepir oleh Toynbee di atas, peradaban baginya muncul ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian mampu menjawab pula tantangan lingkungan sosial. Dalam arti ini, pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan itu berhasil di atasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Parameter pertumbuhan yang dimaksud di sini tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi) atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya lewat penaklukan), tetapi diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang kuat (self determination). Parameter pertumbuhan dengan menggunakan beberapa kriteria tersebut dimaksudkan agar rintangan-rintangan eksternal tersebut dapat diatasi. Dalam arti ini, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu, menurut pemikiran Toynbee, pada dasarnya bersifat internal dan spiritual Toynbee bertanya bahwa mengapa peradaban itu bisa muncul. Pertanyaan besar inilah yang dapat kita simak mengawali pemikirannya tentang munculnya peradaban. Menyimak apa yang dipaparkan Toynbee tentang munculnya sebuah peradaban, ternyata bukan faktor gen dalam ras dan kondisi fisik yang menjadi alasan utamanya. Mengapa demikian, oleh karena apa yang disebut sebagai ras yang superior dan faktor lingkungan fisik pada dasarnya tidak mampu menciptakan peradaban dalam dirinya sendiri. Lantas faktornya apa? Bagi Toynbee peradaban muncul oleh karena ada dua faktor: pertama, minoritas kreatif dan kedua, kondisi lingkungan. Menurut pemahaman Toynbee, mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup suatu kultur dikonsepir dalam term tantangan dan tanggapan (challenge and response). Baginya, lingkungan (alamiah dan sosial) senantiasa menantang masyarakat dan masyarakat melalui kekuatan minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Selanjutnya, segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncullah tantangan baru dan diikuti oleh tanggapan berikutnya. Pertanyaan kita selanjutnya, apa yang dimaksudkan dengan minoritas kreatif dan apa pengaruhnya bagi sebuah peradaban? Kaum minoritas kreatif (creative minorities) adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang oleh Toynbee, memiliki apa yang disebut dengan “self determination”, sebuah kelompok yang memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat.
Peradaban muncul sebagai tanggapan atas tantangan sebagaimana yang telah dijelaskan dengan sangat baik oleh Toynbee. Dengan kata lain, peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan. Bagi Toynbee dengan mengatasi tantangan seperti ini, pertumbuhan itu pun dengan sendirinya akan terjadi. Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan itu. Dalam poin inilah, creative minorities (kaum minoritas kreatif) menciptakan kebudayaan; dan massa yang lain (mayoritas) mengadakan mimesis (meniru). Pertanyaan kita, apakah dengan demikian, pertumbuhan peradaban bergantung pada perilaku minoritas kreatif? Dalam arti ini, ’ya’, benar bahwa pertumbuhan peradaban bergantung pada perilaku kelompok tersebut. Seluruh tindakan sosial adalah karya individu-individu pencipta. Namun dalam kenyataan sehari-hari kita bisa mengamati bahwa rupanya kebanyakan manusia cenderung tetap terperosok ke dalam pola-pola hidup yang lama. Dari sebab itu, tugas kelompok minoritas ini, meminjam bahasa Toynbee, bisa menciptakan cara-cara membawa mayoritas ini bersama-sama dengan mereka untuk mencapai sebuah kemajuan yang lebih baik.

3.3. Kehancuran sebuah Peradaban
Tak ada peradaban yang terus-menerus tumbuh tanpa batas. Pada umumnya peradaban akan mengalami kehancuran apabila elit kreatifnya tidak berfungsi lagi, mayoritas tak lagi memberikan kesetiaan kepada minoritas dan menirunya; dan bila kesatuan sosial mengalami perpecahan. Dalam fase perpecahan dan kehancuran peradaban, Toynbee melihat bahwa minoritas kreatif berhenti menjadi manusia kreatif. Dalam hal ini, peradaban itu justru hancur dari dalam karena kemampuan manusia kreatif sangat “melempem”, padahal tantangan baru pasti akan semakin meningkat. Kehancuran peradaban disebabkan oleh kegagalan kekuatan kreatif kaum minoritas dan karena hilangnya kesatuan sosial dalam masyarakat sebagai satu kesatuan. Logikanya jelas bahwa, apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Akibatnya, minoritas pasti menyerah, mundur dan pertumbuhan akan mandek, berhenti. Salah satu tahap kehancuran yang dimaksudkan di sini adalah kehancuran kebudayaan. Pertumbuhan kebudayaan ini berhenti karena benih-benih kehidupan kebudayaan itu mati. Akibatnya, daya hidup kebudayaan membeku dan tidak memiliki roh lagi. Toynbee menyebutnya sebagai petrification (pembatuan); menjadi fosil kebudayaan.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa faktor kehancuran atau keruntuhan (kemunduran) itu timbul dari dalam, yang muncul sebagai akibat kemandulan dari “minoritas kreatif”, kemudian menjadi “minoritas dominan” yang memaksa mayoritas untuk mematuhi tanpa batas menerima ketaatan. Hal yang bisa kita simak dalam kenyataan bahwa kaum minoritas kreatif gagal dalam menunjuk tantangan selanjutnya yang mereka hadapi. Dalam pemahaman ini, keruntuhan peradaban sebetulnya muncul ketika tercipta dua kelompok (internal proletariat dan eksternal proletariat). Proletariat internal berhasil ditundukkan oleh minoritas yang dominan di dalam peradaban, akan tetapi kaum proletariat eksternal yang ada di luar peradaban itu berada dalam kemiskinan dan kekacauan dan akhirnya menimbulkan kebencian. Dan hal ini merupakan sebuah kemunduran peradaban yang diparafrasekan dengan terma “mundur teratur”.

3.4. Signifikansi adanya suatu Agama Universal dan Catatan Kritisnya
Toynbee sebetulnya memiliki sebuah harapan akan adanya sebuah agama universal (Gereja universal). Cita-cita ini sebetulnya lahir dari keprihatinannya akan kehancuran peradaban yang disebakan oleh faktor konflik dan persaingan antar kelas, kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dalam arti ini, ia mengajukan semacam adanya suatu pola umum yang berlaku untuk semua peradaban. Pola umum itu tidak lain yakni “kemajuan spiritual dan agama.” Peradaban baginya jelas menjadi semacam “tangan pelayan” dari agama. Dan fungsi historis peradaban adalah sebagai suatu batu loncatan menuju wawasan keagamaan yang semakin mendalam dan untuk bertindak (hidup dalam jiwa) keagamaan seperti itu. Kehancuran peradaban itu dapat dihentikan dan hal ini dapat dilakukan dengan penggantian segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Dengan penggantian itu, maka tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau Kerajaan Allah akan semakin tampak. Dari sebab itu, tidak heran jikalau Toynbee mencita-citakan adanya sebuah agama universal yang berlaku untuk semua manusia di segala budaya. Agama inilah, menurut hematnya bisa mengayomi dan menjadi landasan hidup semua peradaban tanpa kecuali. Pertanyaan kritis kita, apakah hal ini mungkin, jikalau kita melihat fakta bahwa masing-masing peradaban (kebudayaan) memiliki norma dan nilainya tersendiri, yang dari dirinya sendiri tidak bisa dileburkan begitu saja. Meleburkan setiap peradaban atau kebudayaan, dengan keanekaan nilai-nilainya yang tampak berbeda satu sama lain, ke dalam sebuah payung tertentu, itu samasaja menenggelamkan identitas setiap budaya. Logikanya jelas bahwa peleburan seperti itu tidak hanya sekedar menenggelamkan jati diri atau identitas suatu budaya atau peradaban, tetapi lebih parah lagi membuat nilai-nilai sebuah peradaban, kebudayaan suatu bangsa, negara, menjadi anonim, tampak tak memiliki akar atau keberdikariannya yang jelas. Dan jikalau Toynbee merekomendasikan adanya sebuah agama universal yang memayungi segala peradaban yang ada, menggantikan norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan, lantas apakah ini bisa diterima oleh bangsa atau negara, atau entitas tertentu yang memiliki paham ketuhanannya sendiri. Bukankah dengan demikian, samasaja merelativisir keyakinan dari agama tertentu, meskipun maksud utamanya adalah apapun agama yang menang tidak akan mengeliminir agama-agama yang menggantikannya.

IV. Penutup
Setelah mencermati dan memahami konsep peradaban menurut Toynbee, dapat dikatakan bahwa sejarah manusia pada dasarnya, sebagaimana yang dikonsepir Toynbee, merupakan suatu siklus berkepanjangan dari peradaban: lahir, tumbuh, pecah dan hancur. Ia berkata bahwa sejarah umat manusia sama halnya dengan konsep peradaban, yaitu terus mengalami siklus, mulai dari kelahiran sampai kematian, dari kemunculan sampai pada kehancuran. Kemunculan peradaban, pertumbuhan dan kehancuran peradaban pada dasarnya memiliki sebuah benang merah yang bisa kita tarik di sini, yakni adanya halangan yang memegang pengaruh. Dari kemunculan peradaban dan pertumbuhannya kita ingat terma minoritas kreatif yang dalam pemikiran Toynbee menjadi penentu peradaban dan massa. Pada fase kemunduran, yang terjadi adalah mandeknya kaum minoritas kreatif dalam menanggapi tantangan dengan tepat. Dari semua uraian di atas, saya dapat menarik poin penting yakni bahwa sebuah peradaban manusia tidak akan pernah ‘langgeng’ dan menjadi dewasa jika tidak pernah mengalami proses kehancuran, karena menurut hemat saya, justru dalam hal inilah kematangannya akan semakin teruji.


Bibliografi

Sumber Utama:
Teks yang dibagikan Rm. Donatus Sermada Kelen, SVD, MA (yang saya terjemahkan).

Sumber pendukung:
H. Dray, William. An Empirical Approach, Philosophy of History, New York: Prentice-Hall Inc, 1964.
Rahardjo, Supratikno. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama dan Ekonomi Jawa Kuno, Jakarta: Komunitas Bambu, 2002.

Internet:
Wikipedia Free Encyclopedia. Arnold Joseph Toynbee. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Arnold Joseph Toynbee. (Diakses pada 7 Desember 2009).
Wikipedia Free Encyclopedia. A study of History. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/A study of History (Diakses pada 7 Desember 2009).

Tidak ada komentar: