Kamis, 10 Juni 2010

MARIA RATU PARA RASUL, RATU UMAT BERIMAN

By Fidel Wotan

Kita meyakini bahwa Maria adalah sosok yang penuh keibuan, lemah-lembut dan begitu dekat kita. Kehadiran seorang ibu dalam keluarga tentu kita rasakan bersama dan mungkin saja setiap kita mengalami pengalaman yang berbeda-beda. Seorang ibu yang baik bagi anak-anak tentu ibu yang tahu apa yang menjadi kebutuhan anak-anaknya, dan juga kebutuhan dalam rumah tangganya. Ibu yang baik adalah ibu yang selalu memberi diri bagi anak-anak, apapun kebutuhan anaknya pasti dia akan segera melayani atau memenuhinya. Pengalaman kita sendirilah yang bisa membuktikan semuanya ini, bapa-ibu saudara-saudarai, para konfrater pun pasti mengalami kebaikan hati dari ibunda tercinta.

Bacaan Kis 1:12-14, mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kedekatan hati antara Maria dan para murid Yesus samaseperti kedekatan ibu dan anak. Sebetulnya kedekatan Maria dan para rasul ini bukan baru terjadi setelah kebangkitan tetapi sesungguhnya sudah sejak Yesus berada bersama-sama dengan mereka sebelum kebangkitan. Peristiwa kebangkitan Yesus itu sebetulnya menjadi momen yang tepat bagi Maria dan para murid Yesus untuk semakin meneguhkan dan menguatkan iman mereka, terutama iman akan kebangkitan Yesus, Guru dan sahabat mereka dan momen pengharapan akan kedatangan Roh Kudus, Roh yang dijanjikan Yesus.
Menarik bahwa para murid yang dalam beberapa hari setelah kebangkitan Guru mereka mau menyatukan hati mereka bersama untuk bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus. Keinginan mereka untuk berkumpul bersama di dalam sebuah ruangan, yang disebut dalam teks Kis sebagai ’ruang atas’ tidak hanya sekedar berkumpul untuk bersenang-senang, untuk sekedar ramai-ramai, melainkan sebuah perkumpulan dalam rangka menantikan janji Yesus, yakni Roh Kudus dan Yesus sendiri telah menegaskan hal ini bahwa setelah kenaikanNya ke Surga, ia akan mengutus Roh Penghibur, yakni Roh Kudus.

Perkumpulan Maria dan para rasul ini pada dasarnya merupakan cerminan atau model bagi kita sebagai umat Allah yang dipanggil untuk juga bertekun sehati, sejiwa dalam doa-doa di dalam keluarga kita, di lingkungan, dan juga di dalam paroki kita sendiri. Namun pertanyaan mendasar untuk kita renungkan sekarang adalah, apakah kita juga, sebagai umat Allah dewasa ini selalu mau menyatukan hati kita untuk berdoa bersama, apakah kita sungguh-sungguh meluangkan waktu, menyempatkan diri di tengah-tengah kesibukan kita, di tengah-tengah rutinitas kita, entah sebagai pegawai, ibu rumah tangga, mahasiswa, mahasiswi untuk berkumpul bersama di lingkungan ini pada hari atau waktu yang telah disepakti bersama, untuk datang dan berdoa bersama atau pun melakukan kegiatan-kegiatan rohani lainnya secara bersama?
Kita boleh-boleh saja berkumpul bersama untuk berdoa, atau pun untuk melakukan kegiatan rohani lainnya dalam keluarga dan lingkungan kita, namun rasanya belum lengkap kalau MARIA tidak kita ikutsertakan di dalamnya. Kalau kita berkumpul bersama sebagai umat Allah, maka kita tidak bisa melepaskan Maria sebagai bagian yang penting dari persekutuan kita. Maria bukan hadir secara kebetulan dalam ruang atas bersama-sama dengan murid-murid Yesus. Ia menjadi jantung dari pengharapan dan doa-doa mereka yang menantikan kedatangan Roh Kudus. Para rasul pada dasarnya sudah menyadari sungguh bahwa kehadiran MARIA begitu penting bagi mereka pertama-tama karena Maria sudah sejak awal dipilih Allah menjadi Ibu yang melahirkan Yesus, Guru mereka, Ibu yang sudah menjalankan peran kebundaannya ketika tuan pesta kekurangan anggur, Ibu yang dengan setia sampai akhir mengikuti jalan Salib Putranya dan yang dipercayakan Putranya untuk menjadi ibu mereka yang pada gilirannya menjadi Ibunda Gereja Ibunda kita semua umat beriman (bdk. Yoh 19:25-27).
Saudara-saudara, beberapa minggu lagi, kita akan merayakan Pentekosta, saat di mana Roh Kudus yang dijanjikan Yesus kepada para muridNya itu turun. Kalau kita merenungkan bacaan pada malam hari ini, maka sebetulnya saat ini pula bersama dengan MARIA dan para rasul kita sudah sedang menantikan datangnya Roh Kudus. Namun pertanyaan kita, apakah kita sungguh menyadari bahwa sekarang kita sedang berkumpul dan berdoa bersama Maria atau tidak?


PENTEKOSTA itu tidak pernah selesai, karena Pentekosta itu selalu terjadi setiap saat, setiap hari dalam hidup kita. Pentekosta bagi kita umat kristiani merupakan saat di mana turunnya ROH KUDUS untuk membaharui lagi semangat komunitas gerejawi yag sedang berkumpul. Pentekosta dalam arti ini, saudara-2 harus kita imani, kita yakini dan kita refleksikan sebagai sebuah pengalaman perubahan radikal dalam hidup pribadi para rasul yang mengarah ke semangat yang berkobar-kobar untuk memberi kesaksian. Namun kita pun harus ingat itu tidak berhenti pada masa para rasul di Yerusalem, tetapi terus berlangsung sampai sekarang dan di sini, hari ini. Pentekosta dengan demikian baru dimulai dan memang belum pernah selesai sampai kedatangan Kristus yang kedua kalinya dalam kemuliaan untuk menyatukan segala sesuatu di Surga dan di bumi sehingga menjadi segala bagi semua (1 Kor 15:28).
Menarik bahwa dalam menantikan kedatangan RK, para rasul tidak sendirian, tetapi selalu ditemani MARIA. Dari sebab itu, pengalaman kehadiran bersama MARIA dalam hal apapun mestinya tidak boleh kita abaikan, MARIA harus selalu kita libatkan dalam hidup kita karena Dialah yang memungkinkan Roh Kudus itu hadir dan berkarya. MARIA bukan hadir secara kebetulan dalam Gereja. Ia sudah berperan penting dalam rencana keselamatan Allah.
Kita tidak bisa menantikan kedatangan Roh Kudus tanpa menyiapkan hati kita untuk berdoa bersama dalam lingkungan ini. Bagaimana kita mau menantikan kedatangan Roh itu, kalau kita sendiri tidak mau diajak untuk berkumpul bersama guna berdoa bersama, bagaimana kita mau mengharapkan kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita kalau kita sendiri tidak mau mengikutsertakan MARIA dalam hidup kita, tidak mau membuka diri bagi MARIA dan meneladani cara dia berdoa. Oleh karena itu, kalau kita mau menantikan Roh itu, maka kita perlu juga meneladani bagaimana MARIA berdoa, yakni ia berdoa dengan tekun dan penuh pengharapan samaseperti yang telah kita lihat dalam bacaan tadi. Pertanyaan kita, apakah sampai saat ini kita semua mau membiarkan MARIA sebagai Ibu hadir dalam hidup kita, membiarkan dia menemani kita dalam suka-duka hidup kita dan menyertakan Dia dalam seluruh perjalanan hidup kita untuk menjadi anak-anak Allah yang selalu setia, taat dan percaya kepada Kristus dan Roh yang dijanjikanNya untuk menghibur dan membakar semangat kita dalam memberi kesaksian di tengah-tengah kehidupan kita. Semoga pengalaman para rasul dan MARIA ini menjadi jiwa dan semangat hidup kita sehari-hari.



Malang 24 April 2010
Fidel, smm

KONTEMPLASI BERSAMA DIA DI TENGAH RUTINITAS PASTORALKU

By Fidel Wotan I. Pengantar Hidup adalah sebuah pergumulan bahkan merupakan sebuah kontemplasi di hadapan Allah sendiri. Kontemplasi ini mesti menyadarkan diri kita bahwa apakah kita di hadapaNya, mengapa kita harus berhenti sejenak di tengah segala kesibukan kita sehari-hari. Dengan berhenti sejenak, di situ kita bisa melihat dan menghadirkan Dia yang tersembunyi dalam hidup kita sehari-hari. Berikut ini adalah refleksi singkat tentang pengalamanku bersama Dia di sela-sela rutinitas harianku.

II. Bagaimana Aku Mengalami Allah dalam Hidupku
2.1. Pengalaman-pengalaman yang menyadarkan saya sebagai manusia Allah:
Selama saya berada di tempat pastoral, khususnya di Paroki St. Martinus, Embaloh Hulu, saya mengalami banyak hal yang berkenaan dengan kedekatan atau intimitasku dengan Allah. Dan pengalaman-pengalaman tersebut sungguh saya alami sebagai suatu pengalaman yang menyadarkan saya sebagai manusia Allah. Pengalaman-pengalaman tersebut antara lain:

1. Membaca dan Merenungkan Sabda Tuhan
St. Hieronimus pernah berkata bahwa orang yang tidak pernah mengenal atau membaca Kitab Suci, itu sama dengan orang yang tidak mengenal Kristus. Secara pribadi, kata-kata orang kudus ini sungguh menggugah semangatku untuk senantiasa hidup dekat dengan Sabda Tuhan (Kitab Suci). Kitab suci bagi saya sangat penting dan bahkan menjadi santapan rohani atau makananku sehari-hari. Kitab Suci yang saya baca dan renungkan dalam suasana doa menunjukkan kepada saya suatu dunia yang membantu saya menemukan janji-janji Allah dan pemenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Dalam arti ini, pengalaman mengajarkan saya bahwa ternyata dengan membaca dan merenungkan Sabda Tuhan dalam suasana doa, di situ saya semakin mengenal dan mengalami kehadiran Tuhan Yesus. Kitab suci yang saya baca dan renungkan setiap hari menjadi panduan hidupku. Sambil mendengarkan Sabda Allah, saya menemukan jalan-jalan pertobatan terus-menerus untuk semakin bersatu dengan Yesus Kristus. Hanya dengan demikian, saya sudah mau menjadikan diri sebagai anak Allah yang tidak pernah mau memisahkan atau mengabaikan kehadiran-Nya dalam hidupku.

2. Berdoa dan Berkontemplasi
Setelah sekian bulan hidup dan tinggal di paroki, saya mengalami dan merasakan bahwa ternyata di tengah-tengah kesibukan pastoral saya, saya pun perlu meluangkan waktu untuk berdoa dan berkontemplasi. Sering hal ini saya abaikan, oleh karena kesibukan saya dalam berpastoral (sibuk melayani umat, akhirnya kadang lupa mengisi (men-charge) diri dengan doa-doa pribadi, meditasi dan berkontemplasi). Oleh karena itu, sering terjadi juga bahwa saya lupa bahwa diri saya pun perlu diisi (charged), dengan kekuatan rohani.
Saya merefleksikan dan mudah-mudahan ini menjadi bekal perjalanan hidup rohaniku, yaitu bahwa bagaimanapun juga, sebagai seorang biarawan, saya merasa perlu mengarahkan diri kepada sebuah cara hidup (way of life) yang berakar pada Kristus. Dalam arti ini, saya perlu membangun selalu keakraban yang intim dengan Kristus Yesus. Mengapa saya harus berbuat demikian? Karena bagaimana pun juga, saya memahami dan juga mengalami bahwa hidup rohani yang otentik dan berdaya guna menuntut bahwa dalam kesibukan dan karya pelayanan saya, saya perlu secara bertahap, setiap hari (bahkan setiap saat) meluangkan waktu yang tepat untuk bertemu dengan Tuhan. Dalam arti ini, saya sendiri ingin membangun gaya hidup yang tidak didominasi oleh aktivisme belaka, melainkan diseimbangkan atau diselaraskan dengan kehidupan doa dan kontemplasi.

3. Memusatkan Diri pada Daya Karya Ekaristi
Bagi saya, sebagai seorang Montfortan, Ekaristi merupakan sumber yang membangkitkan tenaga dan puncak ke mana seluruh kegiatan saya tertuju. Dengan berpartisipasi dalam perayaan misteri iman ini, saya menyatukan diri dengan Yesus yang wafat dan bangkit.
Ekaristi yang saya rayakan di paroki dan di dalam komunitas saya, sungguh memberi bentuk kepada persembahan hidup saya, kepada komitmen untuk hidup berkomunitas dan kepada perutusan untuk merasul dan membaharuinya terus-menerus. Dengan merayakan Ekaristi, saya pun dapat membaharui diri saya setiap hari.
4. Menghayati Cinta Kasih Kristus
Salah satu kerinduan terdalam saya adalah berusaha selalu (dan berkat dorongan Roh Kudus) untuk menjadi tokoh Allah atau anak Allah yang mau membaktikan seluruh hidup saya kepada perintah cinta kasih yang terarah kepada Alllah dan sesama. Dalam semangat ini, pengalaman mengajarkan bahwa hanya dengan menanamkan semangat cinta kasih yang menyala-nyala kepada Tuhan dan sesama melalui karya pelayanan saya di paroki, sebetulnya di situ, saya sudah membuka pintu bagi Yesus Kristus, yang juga secara tidak langsung hadir dalam diri orang-orang sederhana (umat sederhana, yang miskin dan berkekurangan).


Nilai-nilai dalam diri Yesus (sebagai Misteri, Komunio, Misi, Kepala, Gembala, Mempelai) yang saya hayati:

1. Sebagai Misteri

Sebagai misteri, Yesus sungguh menjadi Wahyu Allah sekaligus pengantara. Dialah kepenuhan wahyu, Utusan Allah, Sabda Kekal yang menyinari hati semua orang. Sebagai Sabda yang menjadi daging, saya memahami (dan mengalami) bahwa Yesus benar-benar diutus Bapa sebagai manusia kepada manusia, “menyampaikan Sabda Allah (Yoh 3:34) dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa-Nya.
Selama 5 (lima) bulan berada di tempat pastoral (Paroki St. Martinus), saya berusaha agar menghayati dengan sungguh-sungguh kehadiran Kristus sebagai misteri dengan menyerahkan diriku seutuhanya kepada-Nya, mempersembahkan segala kehendak pribadiku kepada Allah dan dengan sukarela menerima kehadiran-Nya dalam Sabda yang kubaca dan kurenungkan sebagai suatu kebenaran wahyu yang dikaruniakan-Nya. Firman atau Sabda-Nya itu, selain menjadi santapan rohani yang mesti kurenungkan dan kuhidupi sehari-hari, mesti saya wartakan pula kepada siapa saja yang saya layani. Hal sederhana yang bisa saya lakukan di sini adalah dengan cara membawa renungan untuk diperdengarkan kepada umat (saat ibadat sabda pada waktu turne atau waktu berkhotbah di paroki, atau pada waktu memimpin doa-doa di rumah-rumah umat). Oleh karena apa yang hendak saya sampaikan dalam renungan itu adalah sabda Tuhan, maka saya berusaha agar sebelum hal itu disampaikan kepada orang lain, saya pun mesti mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya (membaca dan merenungkannya, minimal untuk refleksi pribadiku).

2. Sebagai Komunio
Sebagai komunio, Yesus hadir untuk membawa persekutuan, menciptakan kerukunan. Kehadiran Kristus yang mempersatukan semua orang ini, sungguh membantu saya untuk melihat kembali perjalanan hidup dengan orang lain, terutama dalam lingkungan paroki. Selama berada di tempat pastoral, saya sudah berusaha sejauh kemampuan saya untuk senantiasa menjaga semangat persatuan dan kerukunan, baik dengan umat secara global, maupun dengan konfrater saya di pastoran. Hal sederhana yang saya lakukan adalah, bagaimana saya harus bersikap santun, ramah, sopan dan taat kepada orang lain, terutama mereka yang dituakan dan juga terhadap Pastor Paroki sendiri. Pada dasarnya kerinduan saya adalah menciptakan suasana hidup yang harmonis, rukun dan damai dengan siapa saja. Berkenaan dengan ini, hal yang selalu saya hindari adalah membuka peluang terjadinya konflik intern maupun ekstern dengan orang lain.
Dengan menciptakan situasi hidup yang nyaman dan damai bersama orang lain, sebetulnya di situ, secara tidak langsung saya telah membangun atau menghidupi ”spiritualitas persekutuan”. Spiritualitas ini, sudah mulai saya bangun, pertama dalam hidup intern (dengan Pastor Paroki), kemudian dalam jemaat (dalam lingkungan lokal maupun dalam scope yang lebih luas lagi). Dalam mengarungi hidup bersama umat, saya menyadari betapa penting dan berharganya peran seorang pemimpin yang memiliki jiwa mempersatukan. Sebagaimana Yesus hadir untuk membawa persekutuan, menciptakan kerukunan, begitu pula saya sebagai orang yang dipanggil untuk memimpin umat (kelak) diajak untuk belajar dari sekarang bagaimana menjadi figur yang bisa menciptakan situasi hidup yang harmonis, yang rukun, hidup yang dilandasi semangat persatuan. Dalam arti ini, saya menyadari pentingnya persekutuan dan persatuan di antara umat beriman itu terpelihara. Kesadaran seperti ini, tidak hanya saya ciptakan dalam lingkungan komunitas saya (bersama Pastor Paroki) melainkan terlaksana pula dalam hubungan saya dengan umat beriman di paroki. Saya mencoba menghayati arti communio ini dengan membina relasi yang baik dengan umat paroki (baik di stasi pusat maupun di stasi-stasi lainnya). Dalam membina relasi ini, saya sendiri tidak hanya membuka diri dan bergaul dengan umat katolik, melainkan juga terbuka dengan umat yang beragama lain (misalnya, Protestan dan Islam).



3. Sebagai Misi
Bagi saya, Yesus adalah seorang misionaris sejati, yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain tanpa mengenal lelah. Semangat misioner seperti ini sungguh menggugah semangatku untuk pergi mengunjungi dan melayani umat di setiap stasi atau kampung yang ada di dalam Paroki Martinus. Salah satu aspek atau nilai yang dapat saya peroleh dari semangat bermisi seperti ini adalah kesediaan untuk membuka diri dengan orang lain dengan segala macam budaya atau adat-istiadatnya. Hanya dengan cara seperti ini, saya merefleksikan bahwa sebetulnya di situ secara tidak langsung saya mau berdialog dengan aneka kelas sosial di dalam lingkungan masyarakat. Semangat bermisi seperti ini, pada dasarnya menuntut jiwa seorang yang mau lepas-bebas, tanpa ada ikatan apapun. Hanya dengan lepas-bebas, siap-sedia untuk diutus ke mana saja, seperti awan yang ditiupkan ke mana saja menurut arah tiupan angin, sebetulnya di situ saya mau membuka diri dengan dunia luar, bertemu dan berdialog dengan aneka macam budaya, suku, bahasa dan kelas sosial, tanpa sedikit membuat diferensiasi atau mengkotak-kotakkannya.

4. Sebagai Kepala
Berdasarkan thabisan, seorang imam memiliki keserupaan ontologis dengan Yesus sebagai kepala. Sebagaimana Yesus, sebagai Kepala Gereja, Ia menjadi teladan kekudusan, demikian juga seorang imam dalam keserupaan yang sama pun mesti menjadi teladan kekudusan bagi umat yang dilayaninya. Dan ia juga memiliki tugas untuk mempersatukan umat dengan Sang Kepala, yakni Kristus sendiri. Dalam hal ini, bagaimana umat memiliki hubungan yang intim atau dekat dengan Kristus, itu pun menjadi tugas pelayanan yang mesti saya perhatikan juga dalam kehidupan menggereja. Selama berada di tempat pastoral, saya berusaha menghayati teladan hidup Kristus sebagai Kepala dengan memperlihatkan kesalehanku di hadapan umat, misalnya: mengajak mereka untuk selalu mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan dengan berdoa bersama (misalnya: saat latihan koor, saat hendak makan, saat hendak bepergian, dsb). Selain itu, saya juga berusaha membangkitkan semangat umat untuk aktif dalam kehidupan menggereja. Hal sederhana yang bisa saya lakukan di sini yakni, dengan mengajak dan mendorong umat setempat untuk ikut latihan koor di gereja, melatih umat dalam menyanyikan lagu-lagu misa (melatih koor). Semuanya ini saya lakukan hanya supaya umat memiliki hubungan yang lebih baik dengan Sang Kepala Gereja. Mengapa demikian, karena bagaimana pun juga kelak, sebagai seorang imam, saya memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar untuk mempersatukan umat dengan Kepalanya yakni Kristus sendiri.

5. Sebagai Gembala
Yesus adalah Sang Gembala yang baik. Sebagai Gembala yang baik, Dia tahu apa yang harus dilakukan demi kesejahteraan dan keselamatan kawanan domba-Nya. Dalam hal ini, Ia menjadi pemimpin umat, dan Ia memimpin persekutuan umat, memberikan hidup-Nya demi kawanan domba-Nya. Cara hidup seperti ini, sungguh menantangku, oleh karena bagaimanapun juga mengurbankan diri untuk memperhatikan dan menjaga kawanan domba (umat) itu bukan merupakan sebuah pelayanan yang mudah dilakukan. Di sini perlu kerelaan dan kerendahan hati untuk mau menjadi hamba bagi orang lain. Walaupun berat, saya merasa termotivasi untuk tetap menghayatinya. Selama berada di Paroki St. Martinus, saya berusaha sejauh kemampuanku untuk menghayati nilai-nilai dalam diri Yesus sebagai Gembala. Nilai-nilai tersebut yang sudah dan sedang saya hayati antara lain:
 Meluangkan waktu pribadi dalam 2 x seminggu untuk pergi mengunjungi umat yang tinggal di kampung-kampung / stasi-stasi. Dalam kunjungan itu, saya bisa melakukan banyak hal, selain ibadat bersama mereka, saya juga bisa menggunakan waktu yang ada pada saat torne itu untuk mendengarkan sharing kehidupan mereka, atau bertukar-pikiran dengan mereka.
 Melayani sakramen bagi orang-orang yang sakit (membawa komuni kepada mereka).
 Mendoakan orang sakit (entah dari jauh, maupun dengan cara mendatangi rumah mereka).

6. Sebagai Mempelai
Kristus adalah “Mempelai Gereja”. Sebagai Sang Mempelai, tentu Ia sendiri tahu apa yang harus dilakukan untuk Gereja. Dalam hal ini, Ia tidak bisa tidak melakukan tugas kemempelaian-Nya. Sebagai Mempelai Gereja, Kristus pertama-tama menunjukkan cinta-Nya yang total kepada umat-Nya. Kesediaan Kristus untuk selalu mencintai umat-Nya dengan salah satu cara rela mengorbankan diri demi menebus dosa-dosa manusia, sebetulnya merupakan ungkapan pemberian diri yang total dan sehabis-habisnya kepada Gereja atau umat-Nya. Dalam arti ini, tidak perlu saya ragukan lagi bahwa Kristus memang benar-benar telah menunjukkan kepada saya bahwa Dia sungguh memberikan diri secara total bagi umat-Nya. Kalau saja Kristus bertindak demikian, lantas apakah saya tidak juga meneladani semangat hidup seperti itu. Ia mencintai gereja atau umat-Nya bagaikan seorang suami yang mencintai istrinya dengan penuh ketulusan. Istri siapakah yang tidak merasa gembira dan senang memiliki suami yang selalu memperhatikannya? Demikian pula, umat manakah yang tidak merasa gembira dan bersyukur memiliki Allah yang mau mencintainya sehabis-habisnya bahkan dengan cara yang paling ngeri, yakni mati di kayu salib. Sama seperti Kristus yang dalam segala hal mau memperhatikan umat-Nya, kawanan-Nya, begitu pula saya yang dipanggil secara khusus untuk mengikuti-Nya termotivasi untuk juga mau memberi diri secara total kepada umat yang saya layani. Dalam arti ini, saya dituntut untuk rela berkorban, setia dan mau melayani umat dengan sepenuh hati, tanpa paksaan dan mencari popularitas diri. Kenyataan ini, memang masih dalam taraf belajar, namun yang pasti bahwa saya memiliki semangat seperti itu sekarang ini untuk juga terus menghayati panggilan saya demi pelayanan kepada Gereja dan Kristus sendiri.

2.2. Kesadaran-kesadaran baru yang saya temukan di dalam menghayati nilai-nilai tersebut berdasarakan pengalaman-pengalaman pastoralku:
2.3.1 Saya dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus
Dengan menghayati aspek-aspek yang dimiliki Kristus tersebut, secara tidak langsung membuka mata dan hati serta pikiran saya untuk semakin serupa dengan Kristus. Apa maksudnya, artinya saya dipanggil untuk meneladani Kristus, belajar pada-Nya dan mewartakan-Nya kepada umat atau sesama manusia. Menjadi serupa dengan Kristus bisa menuntut banyak hal dari saya. Namun yang pasti bahwa saya ingin menjadi serupa dengan Dia dalam hal pikiran, perkataan dan perbuatan-Nya.
2.3.2. Menjadi hamba bagi orang lain
Panggilan menjadi murid Kristus pertama-tama menyangkut kesiapsediaan dan kerelaan hati untuk melayani Dia yang hadir dalam diri orang lain, umat yang dipercayakan Tuhan kepada saya. Bagi saya, pengalaman bagaimana harus melayani orang lain (misalnya dalam memimpin doa atau ibadat untuk umat atau kelompok-kelompok tertentu di paroki, melayani komuni bagi orang sakit, mengunjungi umat di kampung-kampung pada waktu torne, dsb) sungguh bukan perkara yang mudah, oleh karena saya mengakui semua bentuk pelayanan ini hanya dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya jikalau saya memang memiliki semangat untuk melayani mereka, menjadi hamba bagi mereka. Tanpa semangat yang satu ini (hamba) tidak mungkin pelayananku itu benar-benar menyentuh di hati mereka dan tidak mungkin juga saya merasa at home kerasan dalam melayani mereka. Prinsip pelayanan semacam ini justru senantiasa menguatkan saya untuk tetap menjadi hamba Kristus, menjadi pelayan Dia, yang hadir pula dalam diri orang-orang yang saya layani.

2.3.3. Menjadi seorang pendoa
Di tengah kesibukan menjalani masa pastoralku; entah dalam pelayanan apa saja, saya menyadari bahwa saya mesti mengisi diri saya dengan kekuatan rohani. Dalam arti ini, kehidupan doa mesti menjadi barometer kehidupan saya. Hanya dengan mengimbangi karya pelayanan saya dengan meluangkan waktu untuk terus berdoa (secara pribadi) sebetulnya di situ saya menyadari bahwa saya pun tidak terjebak dalam aktivisme belaka. Kenyataan ini hendak mengatakan bahwa, hidup doa itu sangatlah perlu. Dari pengalaman selama beberapa bulan di sini, saya mengalami bahwa ketika saya sibuk dalam karya pastoral dan lupa mengisi diri dengan doa, ternyata karya pelayananku itu terasa “hambar” dan sama sekali tidak membekas di hati orang. Kesadaran semacam ini, semakin menguatkan saya untuk senantiasa bertahan dalam semangat seperti ini. Hal ini saya rasakan betapa penting dan bermakna bagi diri saya sendiri dan juga bagi umat yang saya layani. Apakah artinya pelayanan saya kepada umat, jikalau diri saya sendiri tidak pernah bersentuhan dan tidak memiliki hubungan yang intim dengan Sang Kepala Gereja, Yesus Kristus? Apakah artinya, saya berkobar-kobar mewartakan Kristus, jikalau saya sendiri tidak pernah atau jarang berdiam diri dan berkontemplasi tentang Dia dalam hidup harianku?

2.3. Unsur-unsur yang ingin saya kembangkan dan perdalam untuk hidup pribadiku:
1. Hidup Doa dan kontemplasi
2. Semangat Bermisi (menjadi seorang misionaris yang handal)
3. Menjadi seorang pribadi yang rendah hati dan melayani orang lain dengan tulus hati
4. Semangat lepas-bebas, tak lekat hati dan tidak mau menetap (instabilles sumus) atau mencari kemapanan dalam hidup.

Unsur-unsur yang saya rasakan menghambat di dalam penghayatanku akan nilai-nilai tersebut dan ingin saya tinggalkan:
1. Kenginan untuk mencari hidup yang lebih mapan dan nyaman.
2. Keinginan untuk terus bergantung pada hal-hal materi.
3. Keinginan untuk dipertuan-agungkan, mau dijadikan sebagai pembesar, yang mesti dilayani, dihormati dan disegani, mencari popularitas diri sendiri.
4. Keinginan untuk tenggelam dalam aktivisme belaka (bermisi terus, berpastoral terus, tetapi tidak pernah mengisi diri dengan kekuatan rohani; doa dan kontemplasi).

III. Penutup
Demikianlah laporan II ini yang dapat saya sampaikan. Atas kekurangan dan keterbatasan refleksi saya, dari hati yang paling dalam, saya mohon maaf dan kiranya laporan ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi hidup dan karya panggilan saya. Akhirnya, saya ucapkan limpah terima kasih atas perhatian dan kerja sama yang Romo berikan.

AKU ADA UNTUK DIA YANG HADIR DALAM DIRI ORANG LAIN

By Fidel Wotan Pengantar Hidup itu baru bermakna kalau dibagikan kepada orang lain. Kebermaknaan kita baru berarti kalau kita mampu memberi diri, keluar dari diri sendiri dan masuk dalam realitas hidup orang lain. Tanpa itu kita tidak dapat menjadi apa-apa. Bukankah panggilan hidup kita untuk mencintai dan merangkul orang lain, melayani dan memperhatikan mereka yang berkekurangan? Samaseperti Yesus yang rela keluar dari kemapanan diriNya sebagai Allah dan mengosongkan diri menjadi manusia hina dina, memiskinkan diri demi memperkaya orang lain. 1. Pengalaman-pengalaman yang menyadarkan saya akan tiga tugas Kristus: 1.1. Menguduskan Ada beberapa pengalaman kecil yang dapat saya refleksikan di sini berkenaan dengan kesadaran saya akan tugas Kristus yakni “menguduskan”. Namun sebelum mensharingkan beberapa pengalaman tersebut, saya merefleksikan beberapa poin kecil berikut ini. Saya menyadari bahwa saya dipanggil untuk menjadi pelayan Kristus (secara khusus) menjadi Imam nanti, dari sebab itu saya mesti membentuk diri sedari awal untuk bertumbuh dalam kekudusan. Di dalam Kristuslah, kekudusan Allah menjadi kelihatan dan dapat diakses (lih. Yoh 1:14-18). Ialah pewahyuan Allah yang definitif, sumber dan modal bagi manusia ideal. Allah adalah segala-galanya yang dapat dan harus diharapkan. Jika panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk menjadi serupa dan bersatu dengan Kristus, konsekuensinya adalah bahwa panggilan kepada kekudusan membawa kita masuk ke dalam sebuah perjalanan terus-menerus untuk mencintai dan mengenal Kristus. Berkaitan dengan hal ini, saya merefleksikan bahwa dapatkah saya membawa umat, membantu umat untuk mengenal Kristus secara lebih mendalam andaikata pengenalan saya akan Kristus ternyata samar-samar. Dan bagaimana mungkin umat yang saya layani dapat juga bertumbuh dalam kekudusan, jikalau saya sendiri tidak mengenal dan memiliki hubungan yang intim dengan Kristus? Dengan semakin mengenal Kristus secara lebih mendalam, maka cinta saya kepada-Nya justru membuat saya berani memberi diri secara total dalam hidup dan karya Kristus, sehingga hal ini memperdalam dan memperkaya pengenalan saya akan Dia dan semakin dalam pula cinta saya terhadap umat-Nya.
Saya menyadari bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan semua orang Kristen yang mengimani Kristus dan itu berarti siapa saja mesti berusaha mewujudkan hal ini. Namun apakah setiap orang Kristen menyadari akan hal ini, apakah mereka juga sungguh-sungguh memberi ruang dalam hidupnya untuk mewujudkan hal ini? Berkenaan dengan hal ini, saya yang dipanggil untuk menjadi Pelayan Kristus, didesak pula untuk membantu umat mewujudkan panggilan hidup seperti ini. Ada beberapa pengalaman yang mengungkapkan hal ini: a. Mengajak Umat untuk Rajin Berdoa atau Mendekatkan diri dengan Tuhan Selama menjalani tahun pastoral di Paroki St. Martinus, hal sederhana yang bisa saya lakukan untuk membantu umat bertumbuh dalam kekudusan adalah mengajak umat baik di paroki pusat maupun di stasi-stasi untuk rajin berdoa (mengikuti Ekaristi atau Ibadat Sabda), mengajak atau mendorong serta memotivasi umat untuk terlibat dalam kegiatan pendalaman iman dan lectio divina. Namun hal ini saya alami belum terlalu maksimal dipraktekkan di Paroki St. Martinus, hanya dua kelompok kategorial yang bisa melaksanakan hal ini (misdinar dan anak-anak asrama putri). b. Memberi kesaksian hidup yang baik dan benar sebagai sebagai orang yang dipanggil secara khusus melayani umat. Kesaksian hidup yang saya berikan adalah kesaksian yang keluar dari pengalaman kedekatan saya dengan Kristus, pengalaman hidup yang sudah diresapi oleh jiwa dan semangat Kristus. Dalam arti ini, saya memberikan kesaksian hidup saya bukan karena ketenaran dan kekayaan hidup saya, melainkan kesaksian hidup saya akan Kristus Yesus. Kesaksian saya ini, saya rasakan dan hayati pertama-tama adalah kesaksian hidup saya sebagai seorang religius Montfortan yang memiliki corak atau karakter yang khas. Berkenaan dengan ini, gaya hidup saya adalah hidup yang “dibaluti” semangat missioner seorang Montfortan dan bukan yang lain: entah dalam hidup doa, kontemplasi, maupun dalam pergaulan dengan umat, dsb.Berkenaan dengan kesaksian hidup tersebut, hal yang bisa saya praktekkan selama ini adalah misalnya siap-sedia menjalankan perutusan saya sebagai seorang petugas atau pelayan pastoral dengan rajin mengunjungi umat di kampung-kampung, mengajak umat untuk mau berdoa rosario, mengajak umat untuk aktif dan mau terlibat dalam kegiatan di gereja, mengajak umat untuk selalu mengandalkan pertolongan Tuhan, berharap dan percaya sungguh-sungguh kepada-Nya, mengajak umat untuk rajin menolong orang lain, dan juga rajin mendekatkan diri kepada Tuhan (hal ini bisa saya tunjukkan tidak hanya lewat katekese atau khotbah di gereja tetapi juga dalam seluruh perilaku hidup saya sehari-hari).c. Mengajak umat untuk menjadikan seluruh karya, hidup dari umat sebagai kurban persembahan rohani yang hidup yang berkenan kepada Allah melalui Kristus. Bagi saya salah satu hal sederhana yang bisa saya perlihatkan kepada umat bagaimana mereka bisa bertumbuh dalam kekudusan adalah dengan jalan memberi pemahaman atau pengertian kepada mereka bahwa seluruh hidup, karya atau perjuangan hidup mereka, segala pengalaman suka-duka hidup mereka, atau pun hal-hal yang mereka alami dan rasakan dalam hidup mereka sungguh merupakan sebuah persembahan hidup rohani yang bisa mereka berikan kepada Tuhan. Semuanya ini akan semakin dihayati dan dialami sebagai kurban persembahan hidup yang sungguh-sungguh rohani, jikalau mereka sendiri mau menyadarinya bahwa di dalamnya Tuhan sendiri akan berkarya dan membantu mereka bisa bertumbuh dan berkembang menjadi murid-murid Kristus yang sejati. Semunya ini dapat saya berikan baik melalui kesaksian hidup sehari-hari maupun melalui katekese dan juga pendalaman iman serta Lectio divina, serta dalam beberapa kegiatan lainnya (misalnya ketika melibatkan umat dalam kegiatan-kegiatan di gereja: latih koor, latihan mendarazkan mazmur tanggapan, latihan misdinar, dsb). 1.2. Mengajar (sebagai Nabi) Berkaitan dengan tugas kenabian, saya juga dipanggil untuk membuat terang nilai Injil bersinar dalam realitas hidup konkret. Sebagai nabi, sebetulnya saya juga dipanggil untuk mengemban dua tugas sekaligus, yakni memberi kritik kepada orang-orang atau kelompok atau institusi yang menindas dan untuk memberi kesegaran kepada mereka yang benar-benar berada dalam posisi terjepit di dalam kehidupan masyarakat, mereka yang tertindas, ditinggalkan dan kurang diperhatikan. Namun dalam kenyataannya, hal ini kurang dialami dan hayati selama saya menjalani tahun pastoral di Paroki St. Martinus. Ada beberapa pengalaman kecil yang mengingatkan saya bahwa saya melaksanakan tugas kenabian Kristus. a. Mengunjungi dan mendoakan orang sakit (juga termasuk di dalamnya menghantar komuni untuk para lansia dan orang sakit lainnya). b. Menguatkan orang yang sedang berada dalam kesulitan, memberi penghiburan kepada mereka yang berkekurangan, mendekatkan diri dengan saudara-saudari atau umat yang kurang diperhatikan di dalam masyarakat (pengalaman saat mengunjungi umat baik di paroki pusat/stasi pusat maupun di stasi-stasi yang terpencil). c. Mengajari dan memotivasi umat bagaimana harus menjalani hidup sebagai orang Kristen yang sejati, misalnya lewat katekese atau pendalaman iman, lewat lectio divina, dan juga lewat perilaku atau sikap hidup saya sebagai seorang religius Montfortan. 1.3. Menggembalakan (Raja) Berpartisipasi dalam tugas rajawai Kristus berarti saya juga dipanggil untuk menyebarkan Kerajaan Allah. Dan Kerajaan Allah ini benar-benar harus diungkapkan dalam hidup saya sebagai seorang beriman kristiani. Ada beberapa pengalaman kecil yang saya alami dan hayati, yang menyadarkan saya akan tugas Kristus sebagai Raja. Pengalaman-pengalaman yang dimaksud antara lain : a. Memberi perhatian kepada umat di stasi-stasi atau kampung-kampung. Orang-orang sederhana yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang seringkali dilupakan oleh para pemimpin dalam masyarakat, terutama mereka yang berada di kampung-kampung. Salah satu cara saya memberi perhatian kepada mereka adalah dengan pergi mengunjungi mereka. Dan saat yang tepat untuk bisa melakukan hal ini adalah ketika saya mengadakan ibadat sabda di tempat atau wilayah mereka. Bagi saya ibadat sabda belaka tidak cukup untuk bisa menggerakkan mereka, di satu pihak ibadat sabda memang penting harus selalu dihayati umat, namun itu saja tidak cukup, saya juga perlu memotivasi mereka agar aktif dan terlibat dalam kehidupan beriman mereka, juga lewat sharing pengalaman dengan mereka, tukar-pikiran, mendengarkan mereka, (mendengarkan keluh-kesah hidup mereka, segala kekurangan dan juga perjuangan hidup mereka, kesulitan-kesulitan mereka sehari-hari). Dan saya menyadari bahwa saya tidak bisa membuat perubahan total bagi mereka, saya juga tentu tidak langsung mengubah nasib mereka, akan tetapi dari sharing dan tukar pengalaman hidup tersebut, saya sendiri bisa memberi masukan berupa saran, ide dan pemikiran yang berarti bagi mereka. Berkenaan dengan hal ini: bagaimana saya bisa membantu umat yang sering diabaikan dalam pelayanan terhadap mereka terutama di bidang rohani, hal yang bisa dilakukan adalah mendekati para ketua lingkungan, wilayah atau DPL (Dewan Pengurus Lingkungan) setempat untuk mulai mengaktifkan umatnya, mendorong umatnya untuk rajin berdoa di dalam keluarga. Dan menurut hemat saya, semuanya ini akan semakin dirasakan oleh mereka, juga dalam waktu-waktu mendatang setiap DPL atau pengurus stasi/kampung sudah mandiri, dalam arti bahwa mereka tidak lagi banyak bergantung kepada Pastor Paroki atau tim pastores lainnya. Mereka sendiri bisa mengatur waktu untuk melakukan ibadat sabda atau doa bersama pada Hari Minggu atau juga pada Hari Raya (Natal-Paskah) dan hari-hari lainnya. Dengan pergi mengunjungi mereka, merayakan ibadat sabda bersama mereka, sebetulnya di situ, saya sudah mulai memberi perhatian kepada umat atau orang-orang yang selama ini kurang diperhatikan dalam pelayanan di bidang rohani. Mengapa harus demikian? Oleh karena bagaimana pun juga semua orang mesti mendapat penyegaran rohani dalam hidup mereka, mereka juga (terutama yang di kampung-kampung) perlu diberi perhatian yang cukup dan bukan hanya umat yang ada di pusat paroki saja yang mendapat pelayanan yang lebih baik. Hanya dengan demikian, tidak ada lagi umat yang dianaktirikan dalam pelayanan rohani. Mungkin saja, selama ini mereka yang jarang ke gereja untuk berdoa bersama umat lainnya, sekarang bisa merasakan atau mengalami kesempatan untuk memperkuat tali persatuan dengan Tuhan.b. Tidak membeda-membedakan atau mengkotakkan umat yang dilayani. Selama saya berada di Paroki St. Martinus, saya sudah berusaha semaksimal mungkin agar saya tidak pernah membeda-membedakan siapa saja, tidak mengkotak-kotakkan siapa saja, dan mau bergaul dengan siapa saja (dari anak-anak sampai orang tua). Hal ini sudah saya rencanakan sejak awal kedatangan saya. Namun saya juga menyadari bahwa tidak semua orang bisa saya jadikan sahabat, teman, kakak, orang tua (bapak-ibu) atau kakek dan nenek saya, karena untuk bergaul satu-persatu saya sendiri merasa tidak bisa dilaksanakan secara maksimal. Hanya saja secara umum saya mencoba menanamkan dalam diri saya semangat untuk merangkul siapa saja, tanpa membeda-membedakan mereka. Berkenaan dengan hal ini, salah satu contoh kecil yang bisa saya tunjukkan di sini yakni, saya mau bersedia diminta untuk melayani doa yang diminta umat tanpa harus memandang status, jabatan, kelompok atau golongannya.Kerja samaku dengan kaum awam Secara umum selama menjalani tahun pastoral ini, saya merasa terbantu dengan kehadiran kaum awam (umat) yang ada di Paroki St. Martinus. Saya merasa terbantu oleh karena memang selama ini saya tidak bekerja sendirian, saya tidak berjalan sendirian. Dalam arti ini, kaum awam turut membantu saya dengan caranya masing-masing, entah dengan menyediakan tenaga, hati dan pikiran serta waktu mereka untuk memberi masukkan, ide atau pikiran, juga nasehat-nasehat yang bisa menguatkan saya, mencerahkan saya, memotivasi saya dalam menjalankan praktek pastoral di tempat mereka. Selama ini, orang yang saya rasakan paling banyak membantu saya untuk bisa bertumbuh dan berkembang ke arah hidup yang lebih baik adalah orang-orang tua, mereka yang dituakan di dalam masyarakat, misalnya DPP paroki, termasuk di dalamnya katekis paroki, juga beberapa kelompok kategorial, Ketua-ketua DPL beserta pengurusnya, guru-guru TK, SD, SMP, SMA. Selain itu, pergaulan dan kerjasama dengan kaum muda di paroki, pun turut membantu saya bisa menjalankan praktek pastoral saya dengan baik. Berkenaan dengan hal ini, adapun beberapa isi pengalaman yang menunjukkan bahwa kaum awam pun bekerja sama dengan saya dalam membangun kehidupan menggereja, atau dalam menjalankan tritugas Kristus : Dalam kegiatan gereja : mengadakan kegiatan pelatihan koor paroki menjelang perayaan Hari Raya Keagamaan (Natal dan Paskah), mengadakan pelatihan misdinar, dan pelatihan pendarazan mazmur. Hal ini dilakukan dalam kerja sama dengan seksi liturgi paroki. Selain itu, mengadakan kegiatan pendalaman iman dan lectio divina. Hal ini dilakukan dalam kerja sama dengan seksi pewartaan. Mengadakan Ibadat Sabda di stasi-stasi atau kampung-kampung. Hal ini dilakukan dalam kerja sama dengan tim pastores lainnya (pastor paroki dan katekis paroki).Hal-hal yang saya alami sebagai saat saya bisa memberikan diri saya (terutama dalam tugas dan pelayanan saya di paroki ini)
 Mengadakan kunjungan atau turne ke stasi-stasi atau kampung :di sana saya memiliki kesempatan untuk mengadakan Ibadat Sabda bersama umat setempat, mengikuti ritme hidup mereka, misalnya salah satu hal yang telah saya lakukan adalah pergi ke ladang bersama mereka untuk menugal dan menanam padi serta membersihkan ladang mereka. Kesempatan mengunjungi umat seperti ini, saya sadari sebagai momen yang paling baik untuk hadir bersama mereka, melihat dari dekat dan merasakan secara langsung suka-duka hidup mereka, serta melihat dinamika hidup mereka secara keseluruhan. Di sini saya memiliki kesempatan untuk bisa memberikan diri, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta hati saya kepada mereka.  Melibatkan kaum awam dalam menyukseskan kegiatan-kegiatan di gereja (latihan koor, latihan misdinar, latihan mendarazkan mazmur tanggapan pada hari Minggu, membersihkan pekarangan atau lingkungan gereja, dll).
 Menyediakan waktu dan tenaga saya untuk melakukan salah satu kegiatan karitatif yang sudah dijalankan beberapa tahun di pastoran Paroki St. Martinus, yakni membuat pas foto umat (mencetak foto umat). 2. Kesadaran-kesadaran baru yang saya temukan di dalam penghayatan tersebut berdasarkan pengalaman praktek di lapangan

CINTA KASIH PASTORAL DALAM PERSPEKTIF SPIRITUALITAS MONTFORTAN

Pengantar
Menjadi seorang Montfortan berarti terus berproses, terus bertumbuh dan berkembang tanpa mesti harus berhenti di suatu titik, lantas saya berkata bahwa “kini saya sudah selesai menjadi seorang Montfortan”. Dalam arti ini, kemontfortananku tidak boleh berhenti pada suatu waktu, tempat dan situasi tertentu, akan tetapi terus bergerak dan terus bertumbuh dalam kedewasaan usiaku sebagai seorang Montfortan yang sejati.
Montfortan adalah sebuah gaya hidup yang tidak terlepas pula dari jiwa atau semangat kristiani. Dan semangat hidup ini pun sudah pernah dihayati secara mendalam oleh ikon Montfortan yakni St. Montfort sendiri pada zamannya. Dari sebab itu, untuk bergerak dan maju di jalan hidup kemontfortanan ini, saya pun mesti melihat dan menyelami gaya atau semangat hidup dari St. Montfort sendiri.
Seluruh hidup, karya dan ajaran St. Montfort merupakan suatu peragaan indah injili, dalam arti bahwa apa yang membuat dirinya dikenal sebagai orang kudus tentu tidak pernah terpisah dari jalinan kasih yang mendalam dengan pribadi dan ajaran Yesus sendiri. Ringkasnya, Montfort adalah seorang yang begitu memesonakan Allah dan manusia. Cintanya pada Sang Kebijaksanaan, Yesus Kristus telah menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang sedemikian rupa, sehingga ia tidak bisa menjadi seorang manusia pada zaman ini, sekurang-kurangnya tidak dalam segala-galanya. Dari sebab itu, saya tidak perlu merasa heran bila berhadapan dengan ungkapan-ungkapannya, pikiran-pikiran dan ajaran-ajarannya yang dapat dikatakan sangat kaku, namun sungguh menarik hati bila dihayati dengan sungguh-sungguh.
Setelah sekian tahun saya mempelajari, mendalami dan menghayati spiritualitas hidup Bapa pendiri (St. Montfort), saya mengalami dan merasakan betapa luar biasa tarikan dan luapan semangat hidupnya, yang terus mendorongku untuk menapaki jalan panggilan hidupku. Pada poin ini, saya mengakui bahwa Montfort telah membuat saya terkagum-kagum. Saya tertarik akan hidup, karya dan ajaran-ajarannya. Peziarahan hidupnya sungguh menggugahku untuk memikirkan dan merefleksikan kembali seluruh perjalanan panggilan hidupku dalam Serikat Maria Montfortan. Saya juga menyadari bahwa Montfort telah mengajarkan banyak hal terutama bagaimana saya harus menjalani hidup sebagai Montfortan muda. Namun apakah semua ajaran dan gaya hidupnya sungguh-sungguh telah menjadi bagian hidupku. Inilah yang mau saya renungkan dalam tulisan ini. Pada poin ini, saya diminta untuk menunjukkan: pertama, unsur-unsur spiritualitas yang saya miliki sebagai seorang Montfortan. Kedua, bagaimana aplikasi dari unsur-unsur spiritualitas yang saya hayati dalam praktek cinta kasih pastoral di lapangan secara konkrit. Ketiga, manakah pengalaman-pengalaman di lapangan yang menyadarkan saya dan memperdalam keberakaran saya pada spiritualitas saya (sebagai seorang Montfortan).

I. Unsur-unsur Spiritualitas yang Saya Miliki sebagai Seorang Montfortan
Sebagai seorang Montfortan saya dipanggil untuk menghayati identitas diriku dalam hidup harianku. Ada beberapa poin penting spiritualitas Montfortan yang saya ketahui dan hayati dalam hidupku, antara lain:

1.1. Evangelisasi
Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi saksi Kristus, demikianlah juga seorang Montfortan dipanggil untuk mewartakan Kristus kepada dunia. Semangat untuk menjadi saksi atau pewarta Kristus sungguh saya hayati sebagai sebuah tugas yang dipercayakan Kristus kepada saya dan semua Montfortan. Demikian juga St. Montfort, dia pun dipanggil untuk menjadi pewarta Kristus. Menjadi pewarta Kristus, yang diharapkannya adalah bahwa Kristuslah yang pertama-tama dan terutama menjadi pusat sasaran pewartaan seorang Montfortan. Dalam arti ini bukan sebaliknya, diri sendiri yang diwartakan.
Spiritualitas Montfortan berakar dalam misteri Yesus, Kebijaksanaan yang menjelma menjadi manusia dan yang datang di tengah-tengah dunia melalui Maria untuk mendirikan Kerajaan Allah. Dalam arti ini, ciri-ciri misioner dan ciri-ciri marial bergandengan tangan. “Inilah ciri-ciri khas serikat anda; inilah sesuatu yang khusus bagi serikat anda… Maria selalu harus ditemukan di tengah, di dalam pusat, pada jantung Gereja yang senantiasa missioner… Dengan demikian serikat anda yang misioner dan sekaligus sedalam-dalamnya berinspirasi marial, memberi ungkapan yang sungguh khas kepada spiritualitas Santo Louis-Marie Grignion de Montfort maupun spiritualitas yang mengalir dari Vatikan II …” (Yohanes Paulus II dalam tatap muka dengan para anggota Kapitel Jenderal 20 Juli 1987).
St. Montfort tidak hanya mewariskan kepada kami (para Montfortan) teladan hidupnya sebagai “Misionaris Apostolik”, tetapi juga suatu spiritualitas dan suatu jalan untuk mencari Kebijaksanaan Abadi yang menjelma menjadi manusia, serta untuk dibentuk kembali menjadi serupa dengan Dia. Upaya untuk mencari dan menikahi Sang Kebijaksanaan yang menjelma, Yesus Kristus inilah yang saya lihat sebagai jiwa yang mendorongnya untuk mewartakan Kristus di tengah-tengah dunia. Pater Jenderal mengatakan bahwa Montfort telah meninggalkan suatu warisan marial, tetapi juga ia mewariskan kepada para Montfortan suatu harta untuk dapat mencari kegiatan-kegiatan kerasulannya yang berani dan penuh resiko, serta dalam pembentukan kembali menjadi serupa dengan Kristus sendiri (bdk. Amanat Pater Jenderal, dalam L’Echo Montfortain, 490).
Cinta kepada Allah saja: mencari Kebijaksanaan untuk hidup menurut semangat Kristus; mengangkat Salib, “kebodohan” itu; penghayatan janji-janji baptis; peranan Maria terhadap umat yang dibaptis dalam proses pembentukan kembali serupa dengan Kristus; kesadaran akan pentingnya Gereja; kegiatan-kegiatan kerasulan yang berani dan penuh resiko; kecenderungan untuk memilih pihak atau orang-orang miskin… semuanya ini merupakan unsur-unsur yang mutlak untuk evangelisasi “ala” Montfort.

1.2. Marial
Menjadi Montfortan itu berarti terus bertumbuh dalam kekudusan yang mau dibentuk oleh Maria, perawan yang setia. Dalam arti ini, seorang Monfortan adalah seorang yang bercorak marial, artinya seluruh hidupnya mesti menampakan semangat atau jiwa Maria. Bagaimana persisnya wujud penghayatan itu?

1.2.1. Membiarkan Diriku Dibentuk oleh Maria, Perawan yang Setia
Pembinaan Montfortan yang saya peroleh selama ini sungguh menghantar saya masuk ke dalam dinamika kesetiaan yang sama yang dihayati oleh St. Montfort. St. Montfort tahu secara luar biasa bagaimana menyambut peranan Bunda Maria sebagai pembimbing dan pemandu di jalan menuju keserupaan dengan Yesus Kristus (bdk. DM 25). Dikatakan bahwa andaikata para Montfortan berguru pada Maria, maka rencana pembinaannya justru menjadi pedoman perjalanan khusus menuju “Pembaktian Diri” Montforttan: kita mempersatukan diri dengan iman murni Maria (BS 214) dan memperoleh kecerdasan budi yang memantulkan keterbukaan yang ramah serta ketaatan Maria terhadap kehendak Allah (bdk. Luk 1:26; Yoh 19:25). Dalam poin ini, para Montfortan diharapkan untuk semakin mengenal dengan lebih baik dan lebih dalam “kerendahan hati” dan “kebijaksanaan Maria”, juga “kebebasan untuk memetik pelajaran dari setiap orang dan setiap kebudayaan, sepanjang hidupnya, dalam setiap usia dan musim, dalam setiap lingkungan dan konteks manusia”. Sebagaimana Yesus bergantung dari Maria untuk kemanusiaan-Nya, demikian juga para Montfortan (saya) bergantung dari Maria untuk mencapai kemanusiaan yang diperbaharui.
Seorang Montfortan adalah seorang yang mau bergantung sepenuhnya kepada Maria, tidak bisa tidak. Ketergantungan inilah yang kalau dihayati dengan sungguh-sungguh, maka akan menghantarnya kepada persatuan yang mesra dengan Yesus, Putranya. Bergantung dari Maria, dalam arti tertentu, memasrahkan seluruh diri kepada penyelenggaraan kebundaannya, bagaimana persisnya? Konkritisasinya cukup sederhana yakni bahwa Montfort mengundang para pengikutnya (para Montfortan) supaya menyerahkan seluruh diri kepada Maria dan hanya dengan cara itu, mereka dibiarkan dibentuk oleh Maria sendiri. Ringkasnya, proses pembinaan seorang Montfortan mencakup di dalamnya suatu penyerahan diri seutuhnya kepada Perawan teramat suci supaya melalui dia, para Montfortan menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya. Dalam arti ini yang ingin diserahkan atau dibaktikan adalah: pertama, badan beserta semua indera dan anggotanya; kedua, jiwa dan seluruh kemampuannya; ketiga, harta lahiriahnya, maksudnya milik duniawinya, baik yang kini maupun yang akan datang; keempat, harta batiniah dan rohaninya, yaitu pahala-pahala, keutamaan-keutamaan dan karya amalnya dari masa lampau, masa kini, dan masa depan. Dengan kata lain, seorang Montfortan bila ingin bersatu dengan Maria, maka dia mesti memberikan kepada Maria segala sesuatu yang kemudian masih akan diperoleh dalam tata alam, tata rahmat dan tata kemuliaan. Ini semua, menurut St. Montfort diberikan tanpa syarat apapun, entah berupa uang, sehelai rambut atau karya amal yang paling kecil sekalipun dan ini untuk selama-lamanya. St. Montfort mengafirmasi bahwa para Montfortan harus menyerahkan itu tanpa menuntut atau mengharapkan balasan apapun untuk penyerahan dan pelayanan mereka, kecuali kehormatan menjadi milik Yesus Kristus melalui Maria dan di dalam Maria (bdk.BS 121).

1.2.2. Membiarkan Maria Membentuk Saya: memilih ketergantungan sebagai jalan kebebasan
Kontemplasi yang mendalam akan ajakan St. Montfort untuk bersatu dan memasrahkan diri kepada tangan Maria, semakin membantu saya untuk membiarkan diri dibentuk oleh Maria. Hanya dengan demikian, saya (dan para Montfortan lainnya) menjadi pribadi yang tersedia baginya dan transparan terhadapnya sambil mendekatkan diri padanya. Maria “membentuk” para Montfortan bilamana mereka menyerahkan seluruh diri kepadanya bagaikan lilin cair meterai yang siap untuk dicap.
Ketergantungan dari Maria merupakan jalan menuju kebebasan. Makin saya membiarkan diri bergantung sepenuhnya dari Maria dalam hidupku, dan makin saya melakukannya secara konkret, maka saya semakin hidup dalam persatuan dengan Putranya. Dalam arti ini, semangat ketergantungan dari Maria sungguh berperan dalam membentuk diri menjadi hamba dan pelayan Putranya, mengapa demikian? Karena melalui penyerahan diri secara total kepada Maria, seluruh diri saya menjadi milik Yesus Kristus dan menghayati janji-janji Baptis saya secara lebih sempurna.

1.2.3. Belajar untuk Melakukan Segala Tindakan Melalui Maria
Seorang Montfortan dipanggil untuk sungguh-sungguh mau belajar bertindak atau melakukan segala sesuatu melalui Maria. Apa maksudnya? St. Montfort mengatakan bahwa orang yang bertumbuh dalam kemampuannya untuk melakukan segala tindakannya melalui Maria berarti membiarkan dirinya dididik dan dibimbing oleh roh Maria (bdk. BS 258). Menyesuaikan diri pada roh Maria sebetulnya menuntut dari diri seorang Montfortan agar terus menerus “menyangkal diri” dan menolak kecenderungan untuk terpusat pada diri sendiri. Hanya dengan cara inilah seorang Montfortan dijauhkan dari dirinya pendiriannya yang tidak tetap, dari keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Maria.



1.2.4. Belajar Melakukan Segala Sesuatu Bersama Maria
Sebagai seorang Montfortan yang dipanggil secara khusus menghayati kharisma Bapa Pendiri, St. Montfort, saya dan juga para Montfortan lainnya, diminta dan bahkan didesak oleh St. Montfort untuk melakukan tindakan sehari-hari bersama dengan Maria. Apa maksudnya? Artinya saya memandang Maria sebagai model yang sempurna dari setiap keutamaan dan kesempurnaan yang dibentuk oleh Roh Kudus di dalam seorang yang murni makhluk, agar saya pun dapat meneladaninya sesuai dengan kemampuan saya yang terbatas. Dalam arti ini, St. Montfort mengajak saya untuk menyelidiki: bagaimana Maria telah melakukan ini sekarang atau bagaimana dia akan melakukannya seandainya dia berada di tempat saya? Untuk memahaminya, para Montfortan diajak supaya merenungkan keutamaannya yang luhur, yang ia hayati selama hidupnya, khususnya: pertama, “imannya yang hidup yang membuat dia percaya akan perkataan malaikat tanpa ragu. Dia telah percaya dengan setia dan tekun sampai di kaki salib di Kalvari. Kedua, kerendahan hatinya yang dalam yang membuat dia menyembunyikan diri, berdiam diri, merendahkan diri di bawah segala-galanya, dan selalu mengambil tempat yang terakhir. Ketiga, kemurnian yang sepenuhnya ilahi yang tak pernah ada dan tak pernah akan ada taranya di dunia ini; serta juga segala keutamaannya yang lain” (BS 260).

1.2.5. Belajar untuk Melakukan Segala Sesuatu dalam Maria
Seorang Montfortan dipanggil untuk belajar bertindak dalam Maria. Bertindak dalam Maria membimbingnya kepada kesadaran terus-menerus akan rahmat Allah yang berkarya. Montfort berkata: inilah tempat surga dan bumi bertemu. Tempat penjelmaan Sang Sabda menjadi tempat pengilahian kita. Di tempat inilah kita dijaga dan dipelihara (BS 33). Jika para Montfortan mau menetap di tempat ini, niscaya mereka akan berangsur-angsur bertumbuh akrab dengan Maria dan bertumbuh dalam kesadaran akan kehadiran Yesus dalam diri mereka.
Bertindak dalam Maria dan berdiam di dalam dia, menghantar para Montfortan ke dalam kehadiran Yesus, Sang Kebijaksanaan yang menjadi manusia di dalam Maria, suatu kehadiran yang dirasakan terus-menerus.

1.2.6. Belajar untuk Melakukan Segala Sesuatu Untuk Maria
Hidup untuk Maria, memang agak unik dan menuntut relasi yang mesra dengannya, tidak bisa tidak. Sebagai seorang Montfortan muda, saya tidak hanya dipanggil untuk tahu semangat dan ajaran St. Montfort tentang Maria, tetapi juga mencoba mengintegrasikannya ke dalam hidup saya sehari-hari.
Hidup untuk Maria sungguh merupakan suatu gaya hidup yang lain sama sekali dari pada sekadar mengisi kepala saya dengan pikiran-pikiran saleh. Hidup untuk Maria itu suatu sikap yang menentukan saya atau para Montfortan bagaimana cara bertindak, yang mewarnai setiap hal yang dilakukan, yang mempengaruhi cara kami bergaul dengan sesama dan membimbing kami dalam mendekati umat yang dilayani.

1.3. Kesiapsediaan (Liberos)
Salah satu ciri hidup seorang yang menyebut dirinya Montfortan adalah “siap sedia” dan lepas bebas. Ciri inilah yang diperlukan, diandalkan tatkala saya dan para Montfortan dipanggil dan diutus untuk mewartakan Kerajaan Allah melalui tangan Maria. Hanya dengan kesiapsediaan yang tak menuntut banyak imbalan, saya dan para Montfortan dapat dengan bebas seperti awan yang bergerak mengikuti arah tiupan angin. Dalam arti ini, hal yang paling diperlukan adalah “bebebasan batin” untuk dapat hidup dalam kekaguman dan untuk melaksanakan karya Allah. St. Montfort menulis demikian: “Apa yang kuminta pada-Mu? LIBEROS: Pria dan wanita yang bebas … sesuai dengan kebebasan-Mu…, sama sekali tak lekat hati, tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara, tanpa saudari, tanpa sanak keluarga, tanpa persahabatan duniawi, tanpa harta, tanpa masalah dan persoalan, malah tanpa kehendak sendiri … tokoh-tokoh yang sesuai hasrat hati-Mu, yang tanpa dipalingkan atau direm oleh cinta diri siap sedia melaksanakan kehendak-Mu … LIBEROS: Pria dan wanita yang bagaikan awan yang melayang tinggi di atas tanah dan penuh embun dari langit, melayang-layang ke mana-mana menurut arah tiupan nafas Roh Kudus” (DM 7-9).
Kata-kata Montfort ini sungguh mendalam dan benar-benar keluar dari penghayatan hidup baktinya kepada Allah. Kontemplasinya yang mendalam akan Yesus Kristus, mendorongnya untuk hanya memilih sikap hidup lepas bebas, dan siap sedia dalam melayani-Nya. Dan semangat hidup seperti ini sungguh menantang saya dan para Montfortan untuk tidak lagi lekat hati dan menoleh ke belakang bila sudah di tengah jalan dalam melayani umat-Nya.

1.4. Komunitas
Seorang Montfortan yang sejati adalah seorang yang sungguh-sungguh menghayati hidup berkomunitas dengan baik. Dalam arti ini ia perlu memahami dan mengenal apa arti dan tujuan hidup bersama dengan para konfraternya yang lain. Sebagai suatu kumpulan atau laskar Maria (company of Mary), para Montfortan dipanggil untuk tidak bekerja sendiri-sendiri, melainkan berangkat atau bergerak bersama-sama orang lain untuk mewartakan Kabar Gembira Kristus kepada orang-orang miskin. Berdasarkan pembaktian diri sebagai biarawan Montfortan, saya dan para Montfortan lainnya, turut serta dalam perutusan Yesus untuk menyampaikan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin. Dalam poin ini, kami melakukannya bersama-sama, sebagai komunitas, siap untuk pergi di mana ada orang yang haus akan air kehidupan. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa para Montfortan tidak datang dari satu daerah dan budaya serta bahasa yang sama, meskipun demikian, mereka (kami) berkumpul bersama di bawah semangat St. Montfort untuk bersedia bekerja bersama-sama sebagai serikat. Montfort berkata demikian: “Kita membentuk sekawanan merpati pembawa damai, sekumpulan burung elang rajawi, sekawanan lebah madu, sekelompok rusa gesit, sekawanan singa pemberani, sepasukan tentara berdisplin tinggi…”. Kata-kata ini sungguh keluar dari dalam cita-cita Montfort (bdk. DM 18, 29) dan cita-cita inilah yang menggerakkan hati ribuan pemuda yang gagah berani untuk bersama-sama mewartakan Injil Kristus dan membangun Kerajaan-Nya di tengah-tengah dunia.

II. Aplikasi dari Unsur-unsur Spiritualitas yang Saya Hayati dalam Praktek Cinta Kasih Pastoral Di lapangan Secara Konkrit:
Secara teori, apa yang disajikan atau dipaparkan di atas mengenai unsur-unsur spiritualitas Montfortan (secara garis besar) cukup menarik dan sungguh idealis. Namun kalau mau ditanyakan bagaimana aplikasi nyata atau pembatinan unsur-unsur tersebut sungguh menantang dan mendewasakan panggilan saya sebagai seorang Montfortan. Berkenaan dengan aplikasi ini, ada beberapa hal yang dapat saya paparkan berikut ini:

2.1. Evangelisasi
Upaya untuk semakin mencintai dan mewartakan Kristus sungguh saya hayati sebagai sebuah panggilan yang luhur. Mengapa demikian? Karena di sini, saya dituntut untuk menghayatinya secara sungguh-sungguh pula. Berkenaan dengan hal ini, saya mencoba berguru pada semangat atau ajaran dari St. Montfort, yakni: Cinta kepada Allah saja: mencari Kebijaksanaan untuk hidup menurut semangat Kristus; mengangkat Salib “kebodohan” itu; penghayatan janji-janji baptis; peranan Maria terhadap umat yang dibaptis dalam proses pembentukan kembali serupa dengan Kristus; kesadaran akan pentingnya Gereja; kegiatan-kegiatan kerasulan yang berani dan penuh resiko; kecenderungan untuk memilih pihak orang-orang miskin… semuanya ini merupakan unsur-unsur yang mutlak untuk evangelisasi “ala” Montfort. Tentang semua unsur-unsur tersebut, saya mencoba sejauh kemampuan saya untuk menghayatinya. Salah satu hal yang dapat saya sebutkan dan sharingkan di sini adalah bagaimana saya berusaha mendekatkan diri kepada orang-orang sederhana di kampung-kampung sambil mewartakan Kristus melalui pelayanan yang saya berikan kepada mereka. Pada awalnya saya cukup kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan pola hidup harian mereka di kampung-kampung. Namun lama-kelamaan juga, setelah beberapa kali mengadakan turne, saya menyadari bahwa jikalau saya tidak menceburkan diri ke dalam dinamika hidup mereka, maka sebetulnya saya sudah membuat jarak dengan mereka, saya sudah memisahkan diri dengan mereka. Padahal kenyataannya, saya mesti dituntut untuk membaur dan mengikuti dinamika hidup mereka. Salah satu contoh sederhana yakni, pergi mandi di sungai (karena tidak ada kamar mandi), tidur di atas tikar bambu, makan-makanan yang mereka siapkan, pergi ke ladang bersama mereka untuk menugal atau membakar ladang, dst. Semua dinamika hidup bersama warga kampung ini saya alami sebagai suatu perjumpaan langsung dengan Kristus sendiri yang juga hadir dalam diri orang-orang yang sederhana. Saya selalu berprinsip bahwa kalau saya mau mengikuti Kristus dari dekat, maka saya pun perlu mengenal dan mengalami langsung kehidupan orang-orang yang sederhana, yang miskin, yang berada di daerah-daerah terpencil seperti beberapa tempat yang sempat saya kunjungi beberapa waktu lalu. Dalam poin ini, saya menyadari bahwa bagaimana saya dapat mewartakan Kristus kalau Dia sendiri tidak dikenal dan didekati. Bagaimana mungkin saya dapat mewartakan Kristus kalau saya hanya duduk tinggal dan berpangku tangan di pastoran. Pengalaman turne ke kampung-kampung sungguh menyadarkan dan membesarkan semangatku untuk terus menapaki hidup panggilanku menjadi seorang misionaris Montfortan.

2.2. Marial
Saya selalu menyadari bahwa kemonfortananku tidak akan berarti apa-apa jikalau saya tidak menampakkan dimensi marial dalam diriku, dalam seluruh dinamika hidup harianku. St. Montfort telah mengajarkan banyak hal tentang Maria, peran dan arti kehadiran atau kepengantaraannya bagi manusia.
Sebagai salah satu wujud atau bukti cintaku pada ajaran St. Montfort tentang menghayati dimensi Marial dalam hidupku, saya berusaha meneruskan atau mempertahankan semangat hidup marial yang telah saya bangun sedari awal. Hal sederhana yang sering saya lakukan adalah (dan juga tatkala berada di Paroki Banua Martinus ini) yakni, menghayati kebajikan-kebajikan Maria: kerendahan hati dan “menyangkal diri” serta menolak kecenderungan untuk terpusat pada diri sendiri. Hanya dengan cara inilah saya menyadari bahwa saya dijauhkan segala keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Maria. Dengan terus-menerus menyangkal diri (berusaha untuk hidup sederhana, tidak memamerkan diri, santun dalam bertutur kata tatkala bergaul dengan umat, jujur dan dengan tulus berkata apa adanya kepada umat atau orang lain) sungguh saya alami sebagai sebuah kesempatan emas untuk semakin menampilkan dimensi marial dalam hidupku. Selain itu, saya pun mencoba menghayati bagaimana dalam hidup harianku di paroki, saya dapat menerapkan semangat hidup untuk bertindak dan melakukan segala sesuatu secara bersama, dalam dan untuk Maria. Dalam hal ini, hal sederhana yang bisa saya lakukan yakni, setiap kali saya mengadakan kegiatan bersama umat atau tatkala melakukan pekerjaan-pekerjan di pastoran, saat berdoa, saat rekreasi bersama, saat berkunjung ke rumah-rumah umat, saya mencoba membayangkan atau mengkontemplasikan bagaimana Maria pun turut serta atau hadir dalam setiap aktivitas saya tersebut. Hal ini kadang terkesan berlebihan dan mengada-ada, namun saya berusaha menghayati semuanya dalam dan melalui tangan Maria. Artinya saya tidak bertindak atau berjalan sendirian, melainkan selalu bersama dan dalam roh Maria. Memang kadang-kadang saya tergoda untuk tidak menunjukkan sikap-sikap seperti itu dan ini sungguh-sungguh menantang hidupku di lapangan.

2.3. Liberos: siap-sedia / lepas-bebas
Selama saya menjadi Montfortan, saya selalu disegarkan kembali tatkala melihat dan menyelami hidup Montfort sendiri yang memiliki semboyan hidup liberos, siap sedia dan lepas-bebas. Saya sangat terpukau dengan semangat yang satu ini. Semangat atau gaya hidup ini, sungguh menjadi barometer bagi saya dalam melayani umat di Paroki Banua Martinus. Kesiapsediaan yang coba saya tampilkan atau tunjukkan di sini yakni bersedia pergi ke kampung-kampung (saat turne) untuk memimpin ibadat di tempat mereka. Pada hari pertama turne, saya tidak percaya diri dan kuatir dengan perjalanan saya, apalagi saya baru belajar mengendarai sepeda motor. Kegelisahan memang muncul waktu itu, apalagi saya pergi sendirian ke tempat yang jauh, kemudian harus melewati jalan-jalan yang berlubang-lubang dan cukup membahayakan. Namun salah satu kekuatan yang saya miliki untuk bisa menangkal semuanya itu adalah “keberanian” untuk memulai dan mau pergi. Prinsip saya, hanya dengan berani mengatakan “ya” (siap-sedia) sebetulnya saya sudah mengalahkan rasa takut dan gelisah yang ada dalam diri saya. Dan semuanya itu saya lalui dengan penuh ucapan syukur bahwa Tuhan senantiasa menyertai saya dalam setiap kesempatan mengadakan turne.

2.4. Hidup Komunitas
Salah satu hal yang bisa saya sharingkan di sini adalah bagaimana saya dapat belajar hidup bersama dan bekerja sama dengan konfrater saya di paroki. Di paroki ini, saya hidup bersama dengan P. Leba, smm yang adalah Pastor Paroki Banua Martinus. Sebagai seorang Montfortan, kami berdua selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menjalani dan menerapkan pola hidup berkomunitas secara efisien, praktis dan menyenangkan. Beberapa kegiatan yang kami lakukan secara bersama, yakni; merayakan Ekaristi bersama, makan bersama (kecuali pagi hari), rekreasi bersama, kerja bersama (opera), membicarakan jadwal turne dan khotbah bersama, dsb. Singkatnya, kami berdua selalu berusaha agar sedapat mungkin segala sesuatu dilakukan dan dihidupi secara bersama-sama, tidak berjalan sendiri-sendiri. Mengapa demikian, karena salah satu aspek yang ditekankan dalam pembinaan Montfortan adalah soal team work (kerja sama dalam team).
Berkenaan dengan aspek komunitas, ini saya mencoba menghayati gaya hidup ini sebaik mungkin tanpa ada perasaan takut, malu dan minder, akan tetapi menjalaninya dengan penuh kegembiraan. Dan semangat inilah yang menjadi kekuatan kami para Montfortan untuk bisa bertahan dalam mewartakan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Gaya hidup yang selalu mementingkan aspek kebersamaan ini, menuntut saya untuk juga selalu “menyangkal diri” dan membuka diri bagi konfrater saya. Karena hanya demikian, segala macam kesulitan dan rintangan dapat diketahui dan diatasi secara bersama-sama pula.


III. Pengalaman-pengalaman Di lapangan yang Menyadarkan Saya dan Memperdalam Keberakaran Saya pada Spiritualitas Montfortan

3.1. Siap-sedia untuk pergi turne (kunjungan umat) ke kampung-kampung
Di sini saya diajak untuk berkorban demi umat yang dilayani, apalagi harus melewati medan (jalan) yang buruk dan berbahaya. Dalam arti ini, saya juga belajar untuk menyangkal diri, belajar untuk mengalami pengalaman sakit dan tentu hal ini tidak mudah bagi siapa saja, hanya orang yang memiliki hati siap sedialah yang dapat melakukan tugas mulia bagi sesamanya.

3.2. Rendah hati dan tidak memamerkan diri sendiri
Sama seperti hati Maria yang mau bersikap rendah hati, saya pun menyadari bahwa tatkala saya menunjukkan sikap ini di hadapan Tuhan dan sesama, sebetulnya di situ, saya sedang menghidupi roh Maria atau semangat Bunda Maria yang mau rendah hati di hadapan Tuhan dan sesamanya. Selain menunjukkan sikap rendah hati, saya pun mencoba menghidupi semangat atau gaya hidup “tidak memamerkan diri”. Dalam hal ini, saya selalu berprinsip bahwa biarkanlah Kristus sendiri yang dilihat dan diimani orang dalam pewartaan saya, biarkanlah Dia menjadi lebih besar dan saya, hambanya menjadi paling kecil. Hanya dengan demikian, sebetulnya saya dapat bertumbuh dalam semangat hidup Montfortan. Hal ini sungguh saya alami dalam kehidupan berpastoral di Paroki Banua Martinus.

3.3. Sederhana dan santun dalam pergaulan
Salah satu pengalaman sederhana yang bisa saya sampaikan di sini adalah bagaimana saya dapat diterima dan disukai umat, yakni bersikap sederhana dan santun dalam pergaulan. Saya menyadari bahwa hanya dengan hidup sederhana dan tidak berlebihan (apalagi di tengah kampung) sebetulnya juga, di situ saya telah masuk dalam gaya hidup umat setempat, yang dalam keseharian mereka senantiasa menampakan semangat kesederhanaan, jujur, lemah-lembut dan menampilkan diri apa adanya, tidak dibuat-buat.

3.4. Bekerja secara bersama-sama (team work)
Salah satu hal lain yang dapat membantu saya untuk bertumbuh dalam semangat spiritualitas sebagai seorang Montfortan adalah menghidupi apa yang disebut dengan team work. Pengalaman bekerja sama (baik dengan Pastor paroki beserta dewan pastoralnya, juga dengan umat) dalam segala hal, sungguh menyadarkan dan membantu saya untuk terus bertumbuh dalam spiritualitas Montfortan.

3.5. Lepas-bebas
Salah satu hal yang tidak luput dari perhatian saya adalah semangat lepas-bebas, tidak terikat dan tidak mau menetap, akan tetapi terus bergerak dan berpindah-pindah. Semangat ini cukup membantu saya tatkala saya mulai merasa nyaman di suatu kampung (saat turne), saya berusaha untuk tidak tinggal terus di tempat tersebut, melainkan pergi ke tempat lain (kampung lain) dengan hati yang bebas, tanpa harus mengingat terus kenangan indah di tempat sebelumnya. Hanya dengan cara yang sederhana ini, sebetulnya saya sudah menghayati semangat hidup St. Montfort yang tidak mau mencari kemapanan dan kenyamanan dalam hidupnya. Dan hal ini telah ditunjukkannya dengan terus mengadakan misi keliling di kampung-kampung, di wilayah Perancis Barat.

Penutup
Demikianlah laporan I ini yang dapat saya sampaikan. Atas kekurangan dan keterbatasan refleksi saya, dari hati yang paling dalam, saya mohon maaf dan kiranya laporan ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi hidup dan karya panggilan saya. Akhirnya, saya ucapkan limpah terima kasih atas perhatian dan kerja sama yang Romo berikan.

SALIB ADALAH KEBIJAKSANAAN, KEBIJAKSANAAN ADALAH SALIB (Tinjauan Teologis atas Salib Menurut St. Louis Marie Grignion de Montfort)

Tulisan ini adalah ringkasan Skripsiku 2008
(Tulisan ini sebagai syarat untuk lulus STFT Widya Sasana, Malang)



1. Pengantar
Salah satu hal yang menjadi gambaran kesucian Montfort adalah bagaimana ia menghidupi salib. Setiap orang kudus ditandai oleh abad yang membentuknya dan di sana kita melihat tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang lazim pada zamannya. Begitu pula halnya dengan Montfort, kekudusan hidupnya tidak pernah terlepas dari abad atau konteks di mana ia hidup. Dari buku catatannya “Cahier des Notes”, kita menemukan apa yang berkesan pada Montfort. Melalui pembacaan buku-buku rohani pada zamannya, ia berusaha memilih hal-hal yang berkenan bagi hidupnya. Dalam minatnya itu, Roh berkarya dan melalui zamannya, ia dibentuk seturut kehendak Allah.
Dalam pembahasan berikut ini, kita akan melihat bagaimana konteks hidup rohani di zaman Montfort turut memengaruhi cara berpikir dan gaya hidup Montfort.

2. Montfort dan Salib dalam Konteks Hidup Rohani Abad XVII
J. Bulteau mengatakan bahwa aksentuasi keistimewaan hidup rohani seorang kudus tidak lain merupakan hasil dari kesetiaan imannya kepada Injil dan kepada karya Roh Kudus. Apa yang dikatakan Bulteau ini sungguh mengena juga dalam kehidupan rohani St. Montfort sendiri. Jikalau kita mengamati seluruh dinamika hidupnya, tampak bahwa ia sungguh memperlihatkan keistimewaan hidup rohaninya di hadapan Allah dan sesamanya. Pertanyaan kita adalah apa yang membesarkan hati dan semangatnya sehingga ia begitu berkobar-kobar menyatakan cintanya kepada Tuhan dalam dan melalui salib dan penderitaannya? Mesti ada yang melatarbelakanginya, yang membangkitkan minatnya untuk mengakrabi dan menghidupi salib. Untuk itu, baiklah kita simak konteks hidup rohani di zamannya, tokoh-tokoh spiritual yang sangat memengaruhi seluruh dinamika kehidupannya.
Montfort hidup pada zaman di mana aliran Spiritualitas Perancis (Sekolah Perancis) begitu kuat mempengaruhinya. Dan pengaruh ini terasa sekali ketika ia masuk ke dalam lingkungan Seminari St. Sulpice (1673-1700), sebuah seminari yang sangat terkenal di bidang formasi pendidikan bagi calon imam di Eropa, bahkan mungkin seluruh Eropa pada waktu itu. Dari lingkungan Sulpisian, Montfort dibantu untuk menghayati kekudusan hidupnya, misalnya melalui tulisan-tulisan dari Henri Boudon, J. J. Olier, Jean-Joseph Surin. Bulteau mengatakan bahwa ajaran Montfort tentang Salib, sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa karya dan spiritualitas dari beberapa tokoh spiritual yang terkenal di zamannya, misalnya: Henri Boudon (1624-1702) dengan karyanya Les saintes voies de la Croix (Jalan-jalan suci dari Salib), Jean-Joseph Surin dengan karyanya Lettres Spirituelle, (Surat-surat Rohani), karya-karya Olier dan lingkungan Sulpisian, tempat ia telah menerima latihan-latihannya selama delapan tahun. Namun dari semua karya tersebut, Boudon, Diakon Agung dari Evreux yang berhutang budi pada tulisan Louis Chardon’s, La Croix de Jésus mempengaruhi secara langsung pada jalan Montfort menuju salib. Menurut Blain, teman kuliah Montfort, buku favorit hari-harinya di seminari adalah Les saintes voies de la Croix, (Jalan-jalan suci dari Salib), karya Boudon. Menurut Boudon, salib merupakan sebuah rahmat yang paling berharga bagi Kristus dan bagi orang-orang Kristen, sehingga salib harus diterima dengan penuh hormat, cinta dan sukacita.
Dari tulisan Boudon tersebut, Montfort dibantu untuk semakin menghayati unifikasi dengan Allah dalam dan melalui salib-salibnya. Berkenaan dengan hal ini, Raja Rao mengatakan demikian: kiranya kata-kata Boudon yang menekankan kebahagiaan dalam menanggung derita sungguh menyentuh hati Montfort untuk semakin mencintai dan menghidupkan salib yang dijumpainya. Bagi Boudon apa yang disebut dengan kebahagiaan itu hanya ditemukan dalam penderitaan dan melalui penderitaan itu orang akan mengalami kegembiraan bersama Allah. Bagi Raja Rao, cara berpikir seperti ini khas Boudon yang pada gilirannya meninggalkan suatu kesan tersendiri bagi Montfort.
Raja Rao melihat hubungan lebih lanjut antara usaha-usaha Montfort dalam rangka untuk melepaskan diri dan hasratnya untuk menempuh dan bertumbuh di jalan mistik dipengaruhi oleh Boudon sendiri. Dan motif terdalam yang menginspirasikan cinta terhadap salib adalah Yesus sendri. Raja Rao mengutip kata-kata Boudon:

Cintailah penderitaan-penderitaan. Mereka adalah harta-Nya, sukacita-Nya, kemuliaan-Nya, terang-Nya, jantung hati-Nya dan cinta-Nya. Ia menikahi salib tatkala Ia menjelma ke dalam dunia dan cintailah itu, Dia menderita sebagai hamba; Ia tidak meninggalkannya; di sana Ia hidup dan mati (le sante vie della Croce).

Ajaran Boudon ini kemudian meyakinkan Montfort untuk melaksanakan praktek matiraga secara ekstrem oleh karena kata-katanya langsung menyentuh hati seminaris muda ini. Akhirnya, dari Boudon sendiri Montfort dibantu untuk mengubah paradigma pemahamannya tentang penderitaan dari pemahaman yang bersifat negatif ke sebuah pemahaman yang lebih positif, yakni menerima penderitaan demi sebuah nilai yang tertinggi.
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, Monfort dipengaruhi juga oleh gagasan dari ketiga tokoh spiritual: Jean-Jospeh Surin, J. J. Olier dan Louis Tronson. Untuk memperoleh keutuhan hidup rohani, Surin menekankan penyerahan jiwa yang total terhadap Allah dan sikap lepas bebas sepenuhnya terhadap ciptaan, yang meliputi matiraga secara sukarela, di samping salib-salib yang biasa dijumpai dalam kehidupan kristiani. Oleh karena ia tertarik dengan pemikiran Surin, Montfort akhirnya pindah dari Boudon dan mengikuti Surin.
Melalui gagasan J. J. Olier (1608-1657), seorang misionaris keliling, Montfort diajari agar mau berjiwa miskin secara radikal dan ditandai oleh hambatan-hambatan sejak awalnya. Di dalam masa pembinaan di St. Sulpice, muncul seorang yang bernama Louis Tronson (1622-1770). Ia mulai dengan pendekatan psikologis yang kemudian mulai dilihat sebagai landasan untuk melawan orientasi pewartaan Injil yang mengawang-ngawang. Trend psikologis diperkenalkan oleh Tronson untuk memperoleh dasar bagi hidup mistik dan misi apostoliknya. Formasi itu bertujuan untuk sungguh-sungguh membawa kepada kehidupan spiritual yang otentik, walaupun diliputi dengan cita-cita yang tak berlebihan, kebijaksanaan, kecocokan dalam hidup komunitas dan ketaatan yang tepat terhadap semua aturan. Montfort tak pernah merasa nyaman dalam kerangka kerja yang kaku ini, yang menyerupai sebuah cetakan. Ia memberikan dirinya hanya dalam ketaatan secara penuh tanpa melekat dalam hatinya. Seminari baginya merupakan tempat di mana dia mengalami penderitaan, misalnya celaan-celaan, ejekan, hinaan, yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya penyesuaian dirinya dengan masyarakat oleh karena watak kepribadiannya yang temperamental. Perjalanan misinya diadakan selama beberapa waktu, tetapi ini hanya memimpinnya untuk menyelami misteri Yesus yang disalibkan. Montfort sedikit demi sedikit menjadi dirinya sendiri setelah dia meninggalkan Seminari St. Sulpice. Dia akan meneruskan perjalanan rohani dan apostoliknya, yang selalu ditandai dengan salib, sebagai konsekuensi logis dari keputusannya untuk hidup menurut tuntutan Injil.
Dari uraian-uraian tersebut, kita dapat mengatakan bahwa di satu pihak Montfort dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh tersebut, namun di pihak lain, (mungkin yang lebih menggerakkan hatinya) untuk meneruskan perjalanan rohani dan apostoliknya, ia didorong oleh keinginannya sendiri tanpa mereduksi sedikit pun pengaruh dari para “mentor” (tokoh) rohani tersebut. Tentu ini oleh karena Rahmat Allah.


3. Refleksi Teologis tentang Salib dalam Terang Ajaran St. Montfort
Di bawah terang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Montfort mencoba menafsirkan misteri penderitaan Kristus sebagai rencana Allah yang ingin mencintai dan menjalin persahabatan-Nya dengan manusia. Dalam poin ini, Montfort, selain ingin menunjukkan betapa besarnya cinta Allah bagi manusia, ia juga mengajak seluruh umat kristiani agar mau menempuh jalan salib dengan penuh iman dan keberanian, tanpa merasa malu dan takut. Refleksi teologis yang akan disajikan dalam pembahasan berikut ini, kiranya dapat membantu kita untuk menemukan apa yang menjadi inti refleksi Montfort tentang salib.

3.1. Salib dan Kerinduan Allah
3.1.1. Salib sebagai Puncak Revelasi Cinta Allah
Bagi Montfort, peristiwa salib merupakan sebuah misteri yang paling agung, rahasia terbesar dari “Kebijaksanaan Kekal” (bdk. CKA 167; K 19:1; K 102:2). Jika Allah diyakini sebagai “Sang Cinta”, maka sebetulnya cinta-Nya itu tidak ditemukan di tempat lain kecuali di dalam penghampaan diri-Nya di kayu salib. Melalui salib, Sang Kebijaksanaan menunjukkan cinta-Nya yang teramat dalam bagi manusia. Dengan kata lain, lewat Salib-Nya, Ia mengaktualisasikan diri-Nya menjadi manusia yang paling hina. Menurut Montfort, kerinduan Sang Kebijaksanaan untuk mati dalam rangkulan salib, dapat kita lihat sebagai sebuah kerinduan untuk memberi kesaksian kepada manusia tentang persahabatan-Nya (bdk. CKA 168).
Montfort memandang salib sebagai puncak pemberian diri Allah sebagai upaya untuk menjalin persahabatan-Nya dengan manusia. Menarik untuk disimak bahwa Montfort melihat esensi cinta akan persahabatan-Nya dengan manusia bukan terjadi dalam segala kemuliaan dan kemegahan-Nya, melainkan justru sebaliknya, yakni tampil dalam kemelaratan, kehinaan dan mati di kayu salib. Dengan demikian, jika Allah lebih suka memilih “jalan negatif” (jalan salib), maka sebetulnya di situ terkandung sebuah harapan agar setiap orang pun masuk ke dalam keilahian dan cinta-Nya. Dari sebab itu, Montfort berkata: Ia rindu turun sendiri ke dalam dunia supaya dunia dapat naik ke surga. Montfort melihat pilihan-Nya ini sebagai sesuatu yang mengherankan, mengagumkan dan sebagai sebuah cinta yang tak terungkapkan. Montfort berkata:

O altitudo sapientiae Dei (Rm 11:33): Ah! Betapa mendalam Kebijaksanaan dan Pengetahuan Allah! Betapa mengherankan pilihan-Nya ini dan betapa agung dan tak terpahami segala rencana dan keputusan-Nya. Tetapi lebih lagi betapa tak terungkapkan cinta-Nya kepada salib ini (CKA 168).

Berkenaan dengan pernyataan tersebut, Pierre Humblet mengafirmasi bahwa dengan menunjukkan penderitaan Kristus sebagai bukti cinta-Nya bagi manusia, sebetulnya di situ Montfort hendak melukiskan cinta-Nya sebagai sebuah cinta yang menggelora (passionate), mendahagakan dan penuh dengan kerinduan.
Montfort telah melihat salib sebagai mediasi cinta Allah bagi manusia, tepatnya locus revelasi diri-Nya. Jika salib disimak sebagai suatu kondisi yang khas manusiawi, maka kondisi ini juga diambil-Nya untuk menunjukkan dan membuktikan kedalaman cinta-Nya. Salib ini justru dilihat Montfort sebagai pemberian diri yang tertinggi dari Allah. Montfort berkata:

Namun, apakah anda menyangka bahwa Kebijaksanaan Abadi ini akan tampil dengan kemuliaan dan kejayaan, diiringi berjuta-juta malaikat atau setidak-tidaknya berjuta-juta pengawal pilihan; dengan pasukan-pasukan ini, yang penuh kemegahan dan keperkasaan ini tanpa sedikit pun disertai kemiskinan, kehinaan, … Ia akan merebahkan semua musuh-Nya dan memenangkan segala hati manusia oleh gaya-Nya yang menawan hati, oleh kesenangan yang dibawa-Nya, oleh keagungan-Nya dan kekayaan-Nya (CKA 168)?

Sebagai puncak pemberian diri Allah, Montfort melihat Salib Yesus dari dua perspektif. Pertama, penghampaan diri menjadi manusia. Kondisi penghampaan diri ini dilihat Montfort sebagai salah satu bentuk penderitaan yang harus “dirangkul-Nya” demi keselamatan umat manusia. Apa maksudnya? Artinya kerinduan Sang Kebijaksanaan untuk menarik manusia kepada diri-Nya tidak bisa tidak lewat penghampaan diri-Nya. Meskipun demikian, keharusan ini justru menjadi sebuah salib yang tidak bisa dihindari-Nya. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Kita mengetahui bahwa Allah itu Mahakuasa, dengan segala kekuasaan-Nya pasti segala sesuatu yang ingin dikehendaki supaya terlaksana, dapat terjadi. Montfort berkata: dengan sepatah kata saja, Dia dapat meniadakan dan menciptakan, apalagi yang dapat saya katakan? Dia hanya perlu menghendaki saja dan semuanya sudah terjadi (CKA 167). Itu berarti Ia tidak perlu menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia, karena Ia dapat menghendaki keselamatan terjadi pada manusia. Akan tetapi, justru cinta-Nyalah yang membuat diri-Nya takluk di bawah kekuasaan-Nya untuk tampil dalam pihak kemanusiaan. Montfort berkata: Tetapi cinta kasih-Nya mengatur kekuasaan-Nya …. (CKA 168).
Kebijaksanaan turun ke dalam dunia berarti Ia masuk ke dalam kategori manusiawi, ke dalam banalitas hidup manusia. Kondisi eksistensial ini, secara gamblang dilukiskan Montfort dalam CKA 109-116 dan juga dalam beberapa kidungnya, yakni Kidung 19:9; 102:10. Ia harus masuk ke dalam situasi seperti ini agar ia dapat memungkinkan manusia menatap dan mengalami kebahagiaan surgawi. Dengan demikian, masuk ke dalam dimensi eksistensial tersebut berarti di satu pihak Ia harus melepaskan segala kemewahan dan kemuliaan diri-Nya dan serentak itu pula Ia harus menghadapi segala macam keterbatasan yang khas manusiawi. Berkenaan dengan hal ini, menurut Montfort, inkarnasi adalah salib pertama yang diterima Sang Kebijaksanaan. Montfort berkata:
Baru saja masuk dunia, Ia memperolehnya dari tangan Bapa Abadi dalam rahim ibu-Nya dan Ia menempatkannya dalam pusat hati-Nya, ... Ia memerintah dan berkata: ‘Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku.’ Allahku dan Bapaku, di dalam pangkuan-Mu sudah Kupilih salib ini …. (CKA 169).

Montfort kemudian melihat seluruh konstelasi kehidupan Yesus sebagai salib. Montfort berkata: sepanjang hidup, Ia telah mencari salib penuh kerinduan … Aku sangat rindu, pada waktu itu semua perjalanan, semua kerinduan, pencarian dan harapan ini tertuju pada salib (CKA 170, bdk. K 19: 9-11; 102:11-14). Malahan ia memandang salib tersebut sebagai puncak kemuliaan dan kebahagiaan yang tertinggi untuk mati dalam “rangkulannya.” Kerinduan-Nya untuk mencari salib dilihatnya sebagai alasan untuk menarik manusia lebih dekat kepada Bapa-Nya.
Kedua, Montfort selanjutnya melihat penderitaan dan kematian Yesus sebagai sebuah salib. Penderitaan dan kematian ini, dapat kita sebut sebagai “puncak revelasi cinta Allah”, klimaks pemberian diri Allah yang tak terlukiskan. Montfort berkata: akhirnya kerinduan-Nya sampai ke puncak. Ia dicemarkan oleh penghinaan. Ia dipaku dan direkatkan pada salib. Ia mati dengan kegembiraan dalam rangkulan sahabat-Nya …. (CKA 171).

3.1.2. Salib sebagai Misteri Cinta dan Kebijaksanaan
Bulteau mengatakan bahwa misteri salib pertama-tama adalah misteri cinta, yang dilahirkan karena cinta. Bapa mencintai Putra dengan cinta yang tak terbatas di dalam penjelmaan-Nya dan Sabda yang tersalib: Inilah Anak yang Kukasihi .... (Mat 3:17). Putra yang menjelma dan tersalib mencintai Bapa-Nya dengan cinta yang sama sebagaimana Bapa mencintai-Nya sejak kekal (Yoh. 14:31). Bapa tidak dapat mencintai Putra-Nya tanpa mencintai Dia dalam keadaan bebas-Nya sebagai manusia yang menderita; Putra, dalam keadaan yang sama akan menerima dengan gembira cinta Bapa-Nya. Begitu pula halnya dengan Roh Kudus merupakan cinta kasih timbal balik dari Allah Bapa dan Putra yang dapat diberikan juga kepada manusia.
Untuk itulah Allah ingin memperlihatkan dan memberikan cinta-Nya kepada manusia. Di dalam cinta-Nya yang tak terbatas, Dia menjadi penyelamat dan pengantara kita kepada Bapa (BS 85, 87). Berkenaan dengan hal ini, Montfort melihat salib sebagai mediasi perwujudan cinta Allah bagi manusia. Dengan kata lain, Montfort tidak melihat sarana lain yang lebih memungkinkan cinta-Nya itu terwujud dan hanya kepada saliblah Ia menjatuhkan pilihan-Nya. Montfort menulis: … Ia lebih suka memilih salib dan penderitaan untuk memberikan bukti cinta yang lebih besar kepada umat manusia (CKA 164; bdk. K 19; 25).
Kebijaksanaan Abadi, Yesus Kristus, dapat saja memenangkan hati pria dan wanita lewat kecantikan-Nya, keindahan-Nya, kecemerlangan-Nya dan kekayaan-Nya; tidak bersentuhan dengan kemiskinan, kehinaan dan jauh dari kelemahan, Dia dapat saja dengan mudah menguasai kejahatan (CKA 168). Dia justru memilih untuk tidak melakukannya. Berkenaan dengan hal ini, Montfort ingin memperlihatkan bahwa Allah memilih salib untuk menunjukkan bahwa pilihan tersebut merupakan suatu kebijaksanaan tertinggi, suatu kebijaksanaan yang berseberangan dengan kebijaksanaan manusiawi, seperti cinta kepada harta duniawi, terhadap kenikmatan dan cinta terhadap kehormatan (bdk. CKA 80, CKA 81, CKA 82). Bulteau melihat hal ini sebagai ringkasan dari argumen Montfort. Berkenaan dengan argumentasi yang diberikan Montfort, Bulteau melihat bahwa Kebijaksanaan Abadi telah menyatukan diri-Nya dengan salib dan itu tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara keduanya sudah mendarah daging sehingga kita dapat memahami mengapa Montfort berkata bahwa Kebijaksanaan sejati, Yesus Kristus menetapkan kediaman-Nya dalam salib dengan begitu kuatnya sehingga kita tidak dapat menemukannya di tempat manapun di dunia ini kecuali dalam salib. Pada poin inilah, ia berseru: Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan (CKA 180).

3.1.3. Salib sebagai Misteri Penderitaan dan Kemuliaan
Hubungan yang tak terputuskan antara Yesus, Kebijaksanaan, dan salib terjalin di Kalvari ketika mereka saling menyerahkan diri dalam “rangkulan” yang luhur: Ia mati dengan kegembiraan dalam rangkulan sahabat-Nya tercinta ibarat di ranjang kehormatan penuh kemuliaan (CKA 170-171). Bagi Monfort, kebangkitan tidak terjadi setelah Jumat Agung; kemuliaan tidak menyusul setelah penyaliban. Baginya, Jumat Agung adalah Paskah dan salib adalah kemuliaan, kematian yang hina di Kalvari adalah kemenangan. Sebagaimana yang lazim pada zaman itu, Montfort kurang memusatkan perhatian pada pesta Paskah. Ia merayakan “Kemenangan dan Kebijaksanaan Abadi dalam dan oleh Salib” (CKA 14).
Montfort menjelaskan semuanya ini hanya untuk membendung argumen yang memisahkan salib dan kemuliaan. Bagi Montfort, “kejayaan” hanya dapat diperoleh dalam Salib Tuhan kita Yesus Kristus. “Kejayaan salib” ini dilambangkan dalam Kidung 19, yang memuji “kejayaan salib” atas maut, dunia dan kefanaan (hawa nafsu), serta musuh yang kelihatan dan yang tak kelihatan di atas bumi dan di dalam surga. Montfort melihat salib sebagai sebuah trofi kemenangan yang pantas disembah. Ia berkata: Kebijaksanaan akan menyuruh orang membawa Salib ini mendahului Dia, tempat-Nya di atas awan yang bersinar dengan cahaya cemerlang serta dengan dan oleh Salib ini Ia akan mengadili dunia (CKA 172). Dalam poin ini, salib menjadi panji para prajurit Kristus yang mengumpulkan mereka untuk memperoleh kemenangan demi kemenangan (CKA 173). Kejayaannya bukan hanya bersifat eskatologis semata; kejayaannya itu menjadi kentara dalam dunia sekarang ini: kegembiraan hati, damai dan kelembutan hati, seperti yang ada pada Kristus.

3.2. Salib: Sebuah Jalan untuk Meraih dan Memeluk Kebijaksanaan
3.2.1. Salib sebagai Bukti Cinta Manusia kepada Allah
Lukisan Montfort tentang unifikasi antara salib dan Kebijaksanaan sungguh menarik untuk disimak. Bagi Montfort, salib dan Kebijaksanaan merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan. Hanya kepada saliblah, Menurut Montfort, Sang Kebijaksanaan mengarahkan diri-Nya dan menganggapnya sebagai puncak kemuliaan dan kebahagiaan. Keterarahan-Nya kepada salib tidak hanya berhenti di puncak Kalvari, akan tetapi menurutnya, justru diteruskannya bahkan sesudah kematian-Nya (bdk. CKA 170).
Lukisan yang indah ini dapat mengantar kita kepada sebuah pemahaman tentang perkawinan rohani antara Kristus dan Salib-Nya. Pemahaman ini pun dapat membantu kita untuk melihat kembali identitas diri kita sebagai murid Kristus. Montfort berkata: mengenal Yesus Kristus Kebijaksanaan Abadi berarti mengenal segala-galanya; mengenal segala-galanya dan tidak mengenal Dia berarti tidak mengenal apa-apa (CKA 11). Itu berarti kita dapat mengatakan bahwa mengenal Kristus berarti pula mengenal dan memahami penderitaan-Nya. Dengan demikian, ungkapan Montfort tersebut dapat juga diartikan demikian: mengenal Yesus Kristus sama dengan mengenal Salib-Nya. Dalam konteks panggilan hidup kekristenan, apa yang menjadi inti kemuridan seseorang harus dikaitkan dengan penderitaan yang dialami Kristus. Dalam hal ini, ia perlu menyangkal diri dan memikul salibnya (bdk Mat 16:24). Montfort pun menegaskan hal yang sama; tidak seorang pun diterima sebagai prajurit, jika tidak rela mengambil salib sebagai senjatanya, … untuk membela diri, menyerang … dan untuk menghancurkan semua musuhnya (CKA 173). Dengan demikian, pengakuan diri kita sebagai seorang pengikut Kristus dapat dijawab, yaitu mengikuti Kristus berarti memikul salib-salib sendiri.
Dalam kaitan dengan unifikasi dengan Kristus dalam dan melalui salib, R. Gabbiadini mengatakan bahwa penerimaan akan Salib Kristus dalam meneladani Kristus sebagaimana yang ditegaskan Montfort, sungguh merupakan suatu keharusan. Prinsip dari pernyataan ini secara gamblang ditegaskan Montfort dalam SSS 42. Dalam amanat ini, Montfort mengajak umat kristiani untuk tidak dengan sengaja mencari salib-salib tetapi berusaha agar meneladani Yesus Kristus. R. Gabbiadini menekankan bahwa aktualisasi seperti ini justru membuat kita lebih menyerupai Kristus dan layak disebut sebagai Putra-putri Bapa, anggota-anggota Kristus dan kenisah Roh Kudus. Tatkala aktualisasi itu dijalankan dengan baik, maka salib tidak lain merupakan tanda cinta kita kepada Tuhan. Kenyataan bahwa Montfort begitu menekankan aspek pengimitasian ini, sebetulnya tidak terlepas dari kerinduannya untuk menunjukkan kepada kita bahwa jalan salib sebagai jalan pengimitasian tersebut merupakan sebuah jalan yang “sedap”, “manis” dan paling menggembirakan (SSS 34-35).
Dalam poin tersebut, Montfort sekali lagi mau meyakinkan kita bahwa sebetulnya salib itu baik, berharga karena beberapa alasan yang mendasarinya. Barbara dan Ann Nielson berkata bahwa andaikata kita melihat dengan lebih cermat lagi, sebetulnya kita dapat memahami maksudnya, yaitu bahwa kita akan menemukan “harta” dari ajaran Kebijaksanaan dalam enam alasan mengapa kita harus mencintai salib. Montfort menunjukkan enam alasannya sebagai berikut:

Pertama, karena salib membuat kita mirip dengan Yesus Kristus. Kedua, karena salib membuat kita pantas disebut anak-anak dari Bapa yang kekal …. Ketiga, karena salib menerangi budi dan memberi pengetahuan lebih banyak daripada segala buku di seluruh dunia. Keempat, karena asal dipikul dengan cara tepat, salib merupakan sebab, penyedap dan bukti cinta kasih. Salib mengobarkan api cinta ilahi …, memelihara dan memperbanyak cinta itu; seperti kayu adalah makanan bagi api, demikian salib adalah makanan bagi cinta, karena salib adalah bukti yang paling jelas untuk menyatakan bahwa orang mencintai Allah. Allah telah menggunakan kesaksian ini untuk membuktikan bahwa Ia mencintai kita. Sekaligus salib merupakan kesaksian yang diminta Tuhan untuk memperlihatkan kepada-Nya, bahwa kita mencintai Dia. Kelima, salib adalah baik, karena salib adalah sumber yang berlimpah-limpah cinta kasih dan penghiburan …. Keenam, akhirnya salib adalah baik, karena ia menghasilkan pahala kekal di surga bagi orang yang memanggulnya (2 Kor 4:17; CKA 176).

Semua alasan tersebut hanya dapat dibuktikan dalam pengalaman yang nyata dan Montfort sendiri telah membuktikannya di dalam pengalamannya sendiri (SSS 50-53). Berkenaan dengan hal ini, Montfort mengajak para “sahabat salib” untuk merenungkan dan mengintegrasikan empat belas aturan praktis bagaimana orang harus mengikuti jalan Salib Kristus (bdk. SSS 42-62).
Untuk mengimitasi Kristus, itu berarti juga tinggal di dalam Kebijaksanaan, yang telah menyediakan kediaman-Nya yang nyaman di sana dan perlahan-lahan menyatukan diri-Nya kepada salib: Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan (CKA 180). Untuk mencari Kristus yang disalibkan itu berarti mencari Kebijaksanaan dan menemukan Kebijaksanaan berarti menemukan Kristus yang disalibkan. Dengan demikian dalam poin ini, Kebijaksanaan Abadi itu tidak dapat ditemukan di mana pun juga kecuali di dalam salib yang dipilih-Nya. Itu berarti pula salib dapat menjadi mediasi bagi siapa saja yang ingin mencintai, menjumpai atau menemukan bahkan “memeluknya” (memiliki) Kebijaksanaan Abadi, karena salib adalah “mempelai-Nya” dan di sanalah Ia telah menyatukan diri-Nya dan menetapkan kediaman-Nya (bdk. CKA 170, 172, 180; bdk. CKA 194-202).

3.2.2. Salib sebagai Medan Transformasi Diri di Hadapan Allah
Menurut Montfort, keberartian seorang pengikut Kristus hanya bisa diverifikasi (dibenarkan) dalam dan melalui unifikasi (persatuan) dirinya dengan Yesus yang menderita. Kesempurnaan seorang pengikut Kristus justru terletak dalam wilayah ini: memikul salib dan menyangkal diri. Montfort berkata: seluruh kesempurnaan kristiani terdiri dari: keputusan untuk menjadi seorang suci: ...., mengingkari diri: ia harus menyangkal dirinya; rela menderita: memikul salibnya; mau bertindak dan mengikut Aku (Mat 16:24; Luk 9:23; SSS 13). Dengan berkata demikian, Montfort ingin menekankan agar kita juga mau mengalami penderitaan seperti yang dialami oleh Tuhan sendiri. Dalam hal ini, ia menantang kita untuk merumuskan ulang hakekat kemuridan kita. Montfort menulis:

Tidak seorang pun diakui sebagai anak-Nya, kecuali kalau ia ditandai oleh salib. Tidak seorang pun diakui sebagai murid-Nya, kecuali kalau ia membawa salib pada dahinya tanpa malu, dalam hatinya tanpa menolaknya, pada bahunya tanpa menyeretnya atau berusaha melepaskannya (CKA 173).

Seruan Montfort ini dapat menghentak kesadaran kita untuk melihat kembali identitas kemuridan kita di hadapan-Nya, malahan dapat menjadi sebuah kritikan bagi kita yang belum menghayati dimensi kemuridan kita. Artinya, bobot kemuridan dan kelayakan identitas kekristenan kita harus didasarkan pada wilayah tersebut. Pada poin ini, kita dapat menjadi manusia baru. Persisnya peristiwa salib pada dasarnya adalah suatu peristiwa transformatif. Pertanyaan kita, mengapa transformasi diri itu harus melalui pengalaman salib.
Transformasi kita harus melalui salib oleh karena salib adalah mediasi yang dipilih Allah untuk membawa manusia kepada kehidupan bahagia di surga. Montfort berkata: ingatlah baik-baik: sejak Kebijaksanaan yang menjelma diharuskan masuk surga melalui salib, anda juga harus masuk melalui jalan yang sama (CKA 180). Dengan seruan tersebut, Montfort hendak membantu kita untuk melihat lagi seluruh peristiwa salib Yesus sebagai momen transformasi untuk mengubah dan membawa manusia kembali kepada Bapa di surga. Seluruh konstelasi hidup Yesus (lahir-mati) disimaknya sebagai momen pembaharuan dunia, karena yang terjadi pada peristiwa itu adalah gugatan eksistensial Yesus terhadap kejahatan yang dilakukan dunia. Kelahiran-Nya di kandang telah menantang keangkuhan dunia untuk tunduk pada-Nya. Montfort berkata:

Para gembala yang datang mengunjungi-Nya di kandang, semuanya begitu terpesona oleh wajah-Nya yang manis dan elok ... malahan para raja yang paling anggun setelah baru saja memandang penampilan jelita anak bagus ini, langsung melepaskan segala keanggunan dan secara spontan bertekuk lutut di depan palungan (CKA 121).

Kemiskinan dan kehinaan yang mau dialami-Nya ini sebetulnya di satu pihak dapat memberi nilai baru pada kemiskinan manusia dan pada saat yang sama pula dapat mengubah kesadaran manusia agar berpihak kepada kemiskinan orang lain (bdk. CKA 124). Begitu pula dengan penderitaan dan kematian-Nya, melalui Salib-Nya, Ia mengangkat setiap penderitaan manusia ke level yang lebih tinggi. Montfort berkata:

Berkat kematian-Nya, Kebijaksanaan yang menjelma telah mengangkat kehinaan salib menjadi suatu kehormatan, kemiskinan dan ketelanjangan suatu kekayaan, ... sehingga bisa dikatakan, Ia telah mengilahikan salib itu dengan maksud agar disembah oleh malaikat-malaikat dan manusia (CKA 180).

Dengan logika seperti ini, kita dapat menyimpulkan bahwa transformasi diri di hadapan Allah dalam dan melalui salib (penderitaan) berarti: pertama, kita mau merumuskan ulang status kemuridan kita, yakni menghampakan diri, menerima segala konsekuensi kemuridan kita (ditolak, dihina, dll.). Kedua, dengan kemauan untuk menanggung derita demi Kristus, maka konsekuensinya penderitaan kita merupakan suatu bentuk penghayatan sikap solider dengan orang lain. Dalam hal ini, Kristus adalah par excellence-nya solidaritas kita.

3.3. Hubungan Misteri Salib dan Maria
“Fiat” Maria terhadap tawaran Allah untuk menjadi wadah penghampaan diri Putra-Nya adalah bukti keikutsertaannya dalam karya keselamatan Allah. Dan peran Maria di sini sungguh penting untuk disimak bahwa ia sendiri mau taat kepada kehendak Allah bahkan sampai pada kematian Putranya di kayu Salib. Pertanyaan kita, bagaimana Montfort melihat kehadiran dan partisipasi Maria dalam misteri Salib Putra-Nya. Berkenaan dengan hal ini, Battista Cortinovis mencoba membantu kita untuk memahami hubungan tersebut.
Menurutnya, misteri Paskah disimak Montfort dalam peristiwa pertama, yakni inkarnasi. Baginya, misteri Paskah berada di dalam misteri ini. Dalam inkarnasi, Yesus melaksanakan segala misteri kehidupan-Nya yang lain yang akan menyusul kemudian karena semua misteri itu terangkum di dalamnya. Jadi misteri ini merupakan rangkuman segala misteri, karena berisikan kehendak tersebut dan dari dalamnya mengalir segala rahmat. Di situ terungkap partisipasi Maria di dalam semua misteri kehidupan Kristus dan ketergantungan Kristus kepada Maria, yakni pada saat Ia dikandung, dilahirkan, dipersembahkan di Bait Allah dan dalam kehidupan-Nya yang tersembunyi selama tiga puluh tahun. Bahkan menurut Montfort, pada saat kematian-Nya, Maria dengan setia mendampingi-Nya. Montfort menulis: … dengan cara itu, Tuhan mau membawa kurban yang satu dan sama bersama Maria. Dia mau dikurbankan melalui persetujuan Maria ….
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kesempurnaan kita terletak dalam konformasi diri kita dengan Yesus Kristus. Montfort berkata bahwa Kebijaksanaan sejati tidak ditemukan dalam perkara-perkara dunia ini, tidak juga dalam jiwa-jiwa mereka yang hidup dengan seenaknya, melainkan di dalam salib (CKA 180). Dengan kata lain, menurut Montfort, sarana yang paling unggul dan paling mengesankan dari semua rahasia untuk memperoleh dan memiliki Kebijaksanaan Ilahi adalah sikap bakti yang lembut dan benar kepada Santa Perawa Maria (BS 203). Perjalanan tersebut dimulai bersama Maria dengan sebuah sikap bakti yang sejati dan benar kepadanya. Melalui Maria kita dimampukan untuk memikul Salib Yesus.
Selanjutnya, kita dapat melihat bahwa dalam rumusan Montfort tentang “Pembaktian Diri kepada Yesus lewat tangan Maria”, selalu disebut Salib Kristus. Menurut Battista, saat itu merupakan momen ajakan bagi kita untuk memikulnya, yakni menolak setan, menyerahkan seluruh diri kepada Yesus melalui tangan Maria untuk memikul salibnya seperti diri-Nya …. Dalam doa Pembaktian Diri, Montfort berkata demikian:

Aku … pendosa yang tidak setia, memperbaharui dan meneguhkan janji-janji baptisku dalam tanganmu pada hari ini. Untuk selamanya aku menyangkal setan, segala kesia-siaannya dan perbuatan-perbuatannya; aku menyerahkan diriku seluruhnya kepada Yesus Kristus … untuk memikul salibku mengikuti Dia di segala hari hidupku supaya menjadi lebih setia kepada-Nya …. (CKA 225).

Dalam pandangan Montfort, andaikata kita mencari Yesus Kristus Kebijaksanaan Abadi, maka kita akan menemukan-Nya tersalib. Menurutnya, jika kita ingin bersatu dengan-Nya, maka kita juga harus memikul salib kita bersama-Nya setiap hari. Pada poin ini, kemampuan seseorang untuk memikul salibnya setiap hari disimaknya sebagai suatu bakti yang sejati dan lemah lembut kepada Maria. Praktek devosi kepada Maria yang dipraktekkan Montfort meliputi di dalamnya suatu ketergantungan total kepada Maria dengan maksud agar orang dapat mengimitasi Yesus Kristus. Montfort berkata:

Ia meluhurkan kedaulatan dan keagungan-Nya dengan bergantung pada Perawan yang jelita itu pada saat Ia dikandung … dan sampai kematian-Nya … Maria dengan setia mendampingi-Nya. Dengan cara itu Tuhan mau membawa kurban yang satu dan sama bersama Maria (BS 18).

Battista melihatnya ini sebagai Paskah, kurban Kristus kepada Bapa. Yesus memenuhinya bersama dengan Maria dan dengan persetujuan bersama Maria.
Kebenaran spiritual yang menghiburkan ini disimak Montfort dalam peristiwa Maria berada di bawah kaki salib. Bagi Maria sendiri, momen tersebut merupakan ujian kelayakan akan kesetiaannya dalam iman. Montfort berkata: imannya yang hidup yang membuat dia percaya akan perkataan malaikat tanpa ragu. Dia telah percaya dengan setia dan tekun sampai di kaki salib di Kalvari (BS 260). Melalui partisipasinya dalam misteri agung Kristus dan dalam konteks Paskah, Maria diberikan kepada kita sebagai ibu dan kita menerimanya di dalam kehidupan rohani kita. Battista melihat kesadaran kita akan penerimaan Maria di dalam kehidupan kita tidak lain merupakan “pembaktian diri” yang diajarkan Montfort. Battista masih melanjutkan bahwa semuanya ini terjadi di bawah kaki salib di Kalvari dalam suasana Paskah. Dengan berpartisipasi dalam Misteri Paskah, kita dapat menemukan Maria, kehadirannya, keberartiannya bagi kita dan menerimanya di dalam kehidupan rohani kita.

4. Kesimpulan
Menarik untuk disimak bahwa elaborasi Montfort tentang “salib” sangat sederhana, tidak mengawang-awang (apalagi abstrak-spekulatif). Meskipun demikian, refleksi teologisnya tidak kehilangan ciri ilmiahnya (sistematis, argumentatif) sehingga lebih mudah diingat dan dihayati oleh umatnya. Montfort adalah produk dari zamannya dan dari sanalah ia dibentuk oleh tradisi dan kebiasaan yang lazim pada waktu itu, yang menuntutnya untuk menghayati hidup secara radikal, mengkontemplasikan Allah, melepaskan segala atribut-atribut lahiriah dengan bermatiraga secara ketat. Dari sebab itu, tidak mengherankan bahwa seluruh hidupnya merupakan sebuah pencarian yang tak pernah berakhir akan Kebijaksanaan Abadi, Yesus Kristus. Antusiasme genial inilah yang mendorongnya memikul salib dan mengikuti-Nya.
Antusiasme itu tidak hanya muncul begitu saja, tetapi sebetulnya lahir dari permenungannya, yang dituangkannya ke dalam tulisan-tulisannya, salah satunya adalah tentang salib. Setelah kita melihat bersama refleksi teologis tentang salib menurutnya, kita akhirnya menyimpulkan beberapa hal berikut ini. Pertama, baginya, salib adalah misteri cinta, puncak revelasi cinta Allah atau momen pemberian diri Allah bagi manusia untuk menarik manusia kembali ke hadapan-Nya. Kedua, salib merupakan jalan bagi manusia untuk meraih dan “memeluk” Kebijaksanaan sebagai bukti cinta manusia kepada-Nya. Pada poin inilah, Montfort menguji setiap umat kristiani untuk menghadapi salib-salibnya dengan sabar.
Momen tersebut merupakan saat perumusan ulang hakekat kemuridannya, menerima dan menghadapi segala macam konsekuensi kemuridannya. Dan konformasi diri tersebut seakan belum lengkap jika tidak melewati tangan Maria, yakni memikul salib bersamanya. Akhirnya, salib itu sendiri tidak lain adalah Yesus Kristus, Kebijaksanaan Abadi yang menjelma dan disalibkan, yang sepanjang hidup-Nya hanya mencari salib, dan mati dalam “rangkulannya.” Pada poin inilah, Montfort berseru: Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan (La Saggese est la Croix, la Croix est la Saggese).










Daftar Pustaka

Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of St. Louis-Marie de Montfort, (Bay shore, NY: Montfort Publications, 1994)

S. A. Muto, in the Preface to W. A. Thompson, Bérulle and the French School, (New York: Paulist Press, 1989)

Thelagathoti Joseph Raja Rao, The Mystical Experience and Doctrine of St. Louis-Marie Grignion de Montfort, (Roma: Editrice Pontificia Universitá Gregoriana, 2005

Jean-Baptiste Blain, Summary of the Life of Louis-Marie Grignion de Montfort, terj. Bross Julien Rabiller et al., (Rome: St. Gabriel Press, 1977)

Benedetta Papasogli, The Man Who Came up from the Wind, Saint Louis Marie Grignion de Montfort, (Singapore: Boy’s Town, 1987),
St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Bakti Sejati kepada Maria, terj. Mgr. R. Ishak Doera, Bandung: SMM.