Kamis, 10 Juni 2010

FENOMENA KRISIS DALAM HIDUP RELIGIUS

FENOMENA KRISIS DALAM HIDUP RELIGIUS
(Fidel)


I. Deskripsi Fenomena Krisis Hidup Religius
Pada dasarnya setiap manusia pasti pernah mengalami apa yang disebut dengan krisis dalam hidupnya. Krisis ini bisa menyangkut pengalaman kekeringan, saat di mana manusia mengalami kehampaan dan kejenuhan dalam hidupnya. Krisis seperti ini bisa berat dan bisa juga ringan. Pengalaman kehampaan atau kekeringan dalam hidup seseorang tidak hanya dalam arti tertentu membuat orang jengkel, marah baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain, tetapi juga dalam tingkatan yang paling ekstrem bisa menyebabkan orang mengalami frustrasi atau depresi yang mendalam.
Menurut Paul Suparno, salah satu krisis yang dialami banyak orang adalah krisis yang disebabkan karena adanya masa transisi dalam kehidupan orang, misalnya berkaitan dengan pertambahan umur dan menjadi semakin tua. Dalam hal ini, krisis itu biasanya terjadi pada masa transisi dalam perkawinan hidup manusia berkaitan dengan seksualitas dan pertumbuhannya. Salah satu contohnya, seperti yang diperlihatkan Paul Suparno, adalah krisis waktu pubertas, krisis tengah umur (midlife) dan krisis masa tua.
Dalam kehidupan membiara, krisis tersebut bukan merupakan fenomena baru melainkan sering terjadi dan bahkan selalu menjadi persoalan tersendiri bagi kaum religius. Dewasa ini, penulis melihat dan mengamati juga bahwa di mana-mana kaum religius (biarawan-biarawati) sering mengalami krisis dalam panggilan hidupnya, dan ujung-ujungnya tidak sedikit pula mereka meninggalkan panggilannya. Dan adalah mengejutkan dan menggemparkan hati penulis ketika penulis melihat bahwa ternyata ada begitu banyak kasus yang menunjukkan bahwa kaum religius berhenti di persimpangan jalan dalam menelusuri panggilannya. Lihat saja seorang Uskup (di Paraguay, Lugo SVD) mengundurkan diri dan kemudian menjadi Presiden Paraguay atau kasus-kasus pedofilia yang merebak di Amerika baru-baru ini, atau kasus-kasus imam yang keluar, para suster atau frater-frater dan bruder-bruder yang keluar bisa memberikan panorama global bahwa ada sesuatu yang kurang beres di dalam kehidupan membiara.
Paul Suparno menyimak bahwa krisis yang terjadi dalam kehidupan membiara sebetulnya dalam arti tertentu memperlihatkan kenyataan yang lebih berat daripada krisis yang dialami oleh kaum awam. Apa yang disebut dengan krisis pada masa transisi di atas, oleh karena akibat pertumbuhan manusia (menjadi semakin tua) memengaruhi pula para biarawan-biarawati. Akibatnya, tidak dapat dihindari lagi bahwa kaum religius ini yang sedang mengalami krisis dapat saja mengambil langkah untuk meninggalkan Kongregasi/Tarekat oleh karena tidak tahan banting dalam menghadapi atau mengatasi krisis dalam hidupnya dan lebih parah lagi, pada saat-saat ini, ketika mereka sangat membutuhkan bantuan atau pertolongan dari sesamanya, tidak ada seorang pun yang mau memerhatikan mereka, malahan membiarkannya, apatis atau masa bodoh. Yang menjadi pertanyaan kita adalah ada apa dengan mereka? Mengapa kaum religius bisa mengalami krisis dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya krisis dalam kehidupan mereka? Apa yang menjadi penyebab dasarnya? Selanjutnya krisis macam mana yang sering terjadi atau dialami oleh kaum religius.

II. Maksud atau Tujuan Penelitian: penelitian tentang makna
Makna yang mau digali di sini pertama-tama bukan dari pikiran atau asumsi (apriori) penulis melainkan makna yang berasal dari subjek yang diteliti. Dengan kata lain, pemaknaan itu datang dari dalam diri subjek yang diwawancarai atau yang diteliti.

2.1. Persoalan yang Muncul
Fenomena yang belakangan ini begitu mencuat dalam kehidupan religius atau membiara adalah keluarnya kaum berjubah (para imam, Sr., Br., dan Fr.) dari hidup membiara. Tentu ada banyak alasan atau faktor yang menyebabkan mereka keluar, bisa saja karena faktor eksternal (dari luar dirinya) atau faktor internal (dari dalam dirinya). Kalau penulis menyimak kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa keluarnya kaum religius dari kehidupan religiusnya mungkin lebih disebabkan karena faktor-faktor dari dalam dirinya, walaupun tampak yang memengaruhi secara kasat mata adalah faktor eskternal, yang datang dari luar dirinya. Dan faktor inilah kemudian turut memengaruhi keadaan batin seseorang. Ada kesan pribadi bahwa kebanyakan mereka tidak merasakan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup membiara, mereka tidak dapat menemukan identitas dirinya dalam hidup membiara. Mungkin juga bagi sebagian besar mereka mengalami bahwa di biara tidak ada hal yang menyegarkan, ritme hidupnya monoton, tidak ada sesuatu yang dibanggakan, hidup membiara malah dilihat sebagai model atau cara hidup yang konvensional, tidak mengikuti perkembangan zaman, seakan-akan hidup di dunia tetapi sangat jauh dari kehidupan duniawi pada umumnya.
Kenyataan ini tidak bisa kita sangkal. Kondisi atau situasi batin yang berkata demikian (tidak ada kedamaian dan kebahagiaan) dapat menghalangi pertumbuhan dan perkembangan panggilan seorang selibater. Beberapa kasus keluarnya para imam atau Sr., Br., Fr., dari hidup membiara bisa saja disebabkan oleh kondisi batin seperti ini. Dari fenomena ini, lantas kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan:
a. Apakah hidup religius (selibat) masih merupakan model sempurna dari panggilan hidup kristiani?
b. Apakah hidup selibater masih menjadi sebuah cara hidup yang aktual untuk zaman ini?
c. Jikalau memang masih aktual, relevan, lantas mengapa ada begitu banyak biarawan-biarawati (kaum religius) meninggalkan panggilannya?
d. Apakah fenomena ini muncul oleh karena krisis dalam hidup membiara begitu menekan dan mengganggu hidup mereka?
e. Krisis macam manakah yang sering terjadi dalam hidup membiara?
f. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya krisis dalam hidup membiara dan faktor manakah yang paling kuat memengaruhinya?

2.2. Pengalaman dan Subjek Pelaku
Fenomena keluarnya kaum religius dari kehidupan membiara dapat disimak sebagai sebuah krisis panggilan dalam hidup membiara. Untuk mengenal dan melihat dengan lebih baik fenomena ini, maka baiklah kita menelisik dan menggali lebih dalam kenyataan ini dari kaum berjubah dan bagaimana mereka sendiri memaknainya
Ada berbagai macam pengalaman atau fakta yang menunjukkan bahwa kaum berjubah mengalami krisis dalam hidup membiara yang kadang bisa diatasi namun seringkali yang terjadi sukar diatasi dan karena itu, tidak heran bahwa tidak sedikit yang memutuskan untuk mengundurkan diri. Berikut ini ada beberapa krisis yang dialami subjek pelaku.

a. Krisis Menemukan Identitas diri
Salah satu krisis awal yang sering menggoncang panggilan seorang biarawan/biarawati adalah kesulitan dalam menemukan jati diri, atau ’identitas diri’. Dalam arti ini, orang sulit menemukan gambaran atau citra dirinya yang ideal dalam hidup membiara. Ia merasa bahwa di biara dirinya tidak menemukan siapa dirinya yang sesungguhnya. Sehubungan dengan ini, pertanyaan yang dapat kita ajukan di sini adalah ”apakah betul” kaum berjubah sungguh yakin dengan panggilannya ini hic et nunc di dalam biara? Apakah mereka benar-benar dipanggil Tuhan dan apakah jalan hidup membiara memang merupakan jalan yang harus dilalui? Apakah mereka bisa mempertahankan gejolak dari dalam diri sebagai seorang manusia normal yang dalam arti tertentu butuh aspek cinta kasih dari lawan jenis? Krisis seperti ini, sebetulnya lebih sering terjadi ketika seseorang masih berada dalam tahap-tahap awal, meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa hal yang sama dapat terjadi pula dalam diri para biarawan yuniorat atau medioker atau bahkan mereka yang sudah berusia lanjut.
Menurut penelitian Paul Suparno, ada beberapa orang menjadi begitu antusias dengan panggilannya, sangat serius waktu di novisiat dan sungguh-sungguh digerakkan untuk menjadi biarawan-biarwati yang sejati. Tetapi setelah lepas dari novisiat dan ketika sudah mulai tinggal di komunitas karya, sering terjadi bahwa antusiasme awal tadi berangsur-angsur memudar. Mereka melihat bahwa rupanya ada hal yang terputus, terjadi diskontunitas antara idealisme menjadi biarawan-biarawati, seperti yang pernah mereka dambakan tatkala masih menjadi seorang novis, dengan penghayatan kebiaraan mereka di tempat karya. Misalnya, kalau di novisiat, para novisnya rajin berdoa, meditasi, namun betapa terkejutnya mereka ketika melihat senior mereka di lapangan kurang atau bahkan tidak menampakan hal ini, spiritualitas doanya kurang, yang tampak hanyalah aktivisme, spiritualisme karya. Kenyataan ini, bisa saja dapat mengganggu hati dan pikiran seorang biarawan muda, lantas dia sendiri pun bertanya, apakah ini tarekatku yang didambakan sebelumnya?

b. Krisis Seksualitas Awal (baru pertama kali jatuh cinta dengan lawan jenis)
Panggilan menjadi religius berarti bersedia menjalani hidup selibat. Dan inilah harapan Yesus sendiri bagi mereka yang mau mengikuti-Nya. Menyimak dari pengalaman hidup kaum biarawan-biarawati dewasa ini, tampaknya tidak sedikit dari antara mereka belum sungguh-sungguh menghayatinya. Hal yang terjadi di sini adalah pengalaman bagaimana biarawan-biarawati muda mengalami jatuh cinta pertama kali, ada dorongan kuat untuk memiliki lawan jenis. Menurut Paul Suparno, pengalaman yang terakhir ini sulit dipisahkan, dilepaskan. Baginya, pemisahan yang drastis kadang meninggalkan luka dalam hati, sedangkan bila tidak ada pemisahan, maka prosesnya dapat membahayakan panggilan. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka panggilannya akan terancam. Krisis pun tidak bisa dihindari lagi.
Pada dasarnya, pengalaman jatuh cinta adalah sebuah anugerah dari Tuhan untuk diwujudkan. Hanya saja yang menjadi persoalan di sini, ketika ada dorongan seperti itu, orang begitu menggebu-gebu untuk segera mewujudkan afeksinya itu. Inilah letak persoalannya. Paul Suparno berkata: celakalah manusia bila merasa jatuh cinta harus selalu menikah dengan yang dicintainya.
Selain kedua krisis di atas, masih ada beberapa krisis lain lagi yang terus menyelimuti kaum berjubah, yakni krisis sosial-kerjasama komunitas. Ini terjadi karena suasana komunitas yang penuh konflik, tidak ada kasih, dll, krisis pekerjaan. Hal yang sering terjadi bahwa kadang beberapa pimpinan karya ada yang tidak mau pekerjaannya diketahui adik-adiknya, maka adiknya tidak diberi tanggungjawab, maka frustrasi pun tak bisa dielakan dalam diri adik-adiknya. Krisis lain lagi, yakni krisis dalam hidup doa, krisis tengah umur (midlife, 40-60 tahun), saat di mana kaum berjubah mengalami fase menopause, andropause. Selain itu muncul krisis kesepian, kesendirian karena ditinggalkan, tidak punya sahabat. Krisis dalam usia lanjut, misalnya sulit menerima keadaaan karena seorang menjadi tua, kurang berdaya, menjadi kurang aktif, dsb.
Semua gambaran atau pengalaman di atas bukan merupakan hal yang asing dalam kehidupan membiara, dalam arti bahwa kaum berjubah tidak pernah tidak luput dari kenyataan ini. Fenomena ini terus dan masih menjadi bahan refleksi lebih lanjut bagi mereka yang ingin sungguh-sungguh menjalani hidup wadat, selibat seumur hidup.

2.3. Observasi (One of Them)
Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan beberapa langkah dalam upaya untuk mengamati dan mengalami secara langsung persoalan yang dihadapi oleh subjek pelaku. Subjek yang diteliti adalah para Frater, Bruder, Suster dan Romo yang ada di Malang. Langkah-langkah yang dimaksud antara lain:

a. Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian yang akan penulis lakukan di sini adalah metode kualitatif. Metode ini sangat membantu penulis untuk melihat dan meneliti persolaan yang digarap dalam tulisan ini. Menurut Robert Bogdan dan Stefen J. Taylor, metode kualitatif ini dapat memungkinkan penulis mengenal orang secara personal dan melihat bagaimana mereka mengembangkan definisi-definisinya sendiri tentang dunia. Di sini penulis akan mengalami bahwa mereka mengalami perjuangan-perjuangannya, suka-duka mereka sehari-hari dalam hubungan dengan societas mereka. Lebih lanjut, metode ini pula memampukan penulis melacak (menggali) konsep-konsep yang poin utamanya atau hal esensialnya hilang dalam pendekatan-pendekatan yang lain. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif ini data yang akan dikumpulkan melalui beberapa cara yakni, melalui wawancara (utama), pengisian questioner dan juga melalui studi kepustakaan lewat pemeriksaan dokumen tertulis (sekunder) yang mengulas atau berbicara tentang tema yang akan penulis garap. Tentu pemeriksaan dokumen tertulis ini bukan yang utama melainkan hanya sebagai pembanding (komparasi) dengan data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara, pengisian questioner.
Dalam metode wawancara, penulis akan memakai motode yang tidak terstruktur (wawancara kreatif dan wawancara post-modern). Wawancara di sini dilakukan berdasarkan situasi yang dihadapi, yang dapat berubah sehingga penulis dapat melupakan aturan-aturan mengenai bagaimana cara berwawancara. Selanjutnya, wawancara di sini dimaksudkan pula agar bisa meminimalisir kenetralan atau keminiman pengaruh penulis sebagai pewawancara.

b. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data ditentukan oleh metode pengumpulan data yang dipakai. Dalam metode wawancara yang akan penulis gunakan, penulis berusaha agar memperhatikan beberapa poin berikut ini, yakni, pertama, bagaimana penulis dapat mendekati setiap orang yang diwawancarai. Kedua, bagaimana penulis bisa memahami bahasa dan budaya orang yang diwawancarai, ketiga, bagaimana penulis mendapatkan orang yang diwawancarai, keempat, bagaimana penulis membuat rapport atau pencatatan, dsb. Selanjutnya data-data yang telah dikumpulkan baik melalui hasil wawancara maupun melalui pengisian questioner akan penulis comparasikan dengan literatur yang penulis baca dan menggali atau menemukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab baik dalam wawancara maupun dari pengisian questioner.
Prosedur pengumpulan data ditentukan oleh metode pengumpulan data yang dipakai. Dalam metode wawancara yang akan penulis gunakan, penulis berusaha agar memperhatikan beberapa poin berikut ini, yakni, pertama, bagaimana penulis dapat mendekati setiap orang yang diwawancarai. Kedua, bagaimana penulis bisa memahami bahasa dan budaya orang yang diwawancarai, ketiga, bagaimana penulis mendapatkan orang yang diwawancarai, keempat, bagaimana penulis membuat rapport atau pencatatan, dsb. Selanjutnya data-data yang telah dikumpulkan baik melalui hasil wawancara maupun melalui pengisian questioner akan dikomparasikan dengan literatur yang ada dan menggali atau menemukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab baik dalam wawancara maupun dari pengisian questioner.

III. Kajian Penelitian
Tema penelitian yang digarap dalam tulisan ini, sebetulnya bukan merupakan sebuah tema yang samasekali baru. Tema seperti ini sudah dibahas secara mendetail oleh beberapa penulis, salah satunya yang menjadi rujukan penulis adalah Paul Suparno. Dalam bukunya yang berjudul tentang Krisis dalam Hidup Membiara, secara panjang lebar dia berbicara tentang persoalan-persoalan yang sering terjadi, yang terus menyelimuti kehidupan kaum berjubah, yakni adanya aneka krisis dan problematikanya dalam hidup biarawan-biarawati. Ia memparafrasekannya ke dalam enam bab yang mengulas persoalan tersebut. Dalam tiga bab ia membongkar dan mengelaborasi secara panjang lebar problem krisis yang terjadi dalam kehidupan kaum berjubah. Ia menyajikannya menjadi tiga bagian menurut tahap-tahapan dalam hidup religius, yakni fenomena krisis pada masa biara awal, krisis pada masa biara tengah dan krisis yang terjadi pada usia lanjut.
Ada beberapa poin penting yang menjadi pokok pemikirannya tentang krisis yang terjadi dalam hidup membiara. Ia mengatakan bahwa krisis yang sering menimpa kaum berjubah sebetulnya merupakan krisis yang lebih disebabkan oleh adanya masa transisi dalam kehidupan orang. Hal ini berkaitan dengan mereka yang bertambah umur dan menjadi semakin tua. Dalam poin ini, ia menyimak bahwa krisis itu biasanya terjadi pada masa transisi dalam perkembangan hidup manusia berkaitan dengan seksualitas dan pertumbuhannya. Di sini ia memberikan contoh, krisis waktu pubertas, krisis tengah umur (midlife) dan krisis yang terjadi pada masa tua. Menurutnya, krisis seperti ini yang terjadi dalam diri kaum berjubah seringkali dirasakan lebih berat daripada krisis yang dialami oleh orang biasa, misalnya krisis dalam kehidupan berkeluarga, dsb. Dalam tingkatan yang paling runyam adalah bahwa akibat yang tak bisa dihindari lagi yakni, ketika kaum berjubah mengalami krisis seperti ini, dapat terjadi mereka mengalami beban yang sangat berat, bahkan sampai meninggalkan Tarekat atau Kongregasi oleh. Dan menurutnya, biasanya hal ini tak bisa dibendung lagi karena mereka tidak mampu menahan atau mengatasinya.
Dalam semua krisis yang dialami oleh kaum berjubah, Paul Suparno menyimak bahwa hal yang paling menonjol adalah kaum berjubah dihadapkan pada pertanyaan mendasar, apa yang mereka cari dengan hidup membiaranya? Pertanyaan dasar yang ia ajukan di sini sebetulnya juga merupakan sebuah pertanyaan yang sangat menantang kaum berjubah dewasa ini. Dan apabila kaum berjubah menemukan jawabannya, bahwa yang dicari adalah Tuhan sendiri, maka pergulatan kaum berjubah akan menjadi lebih jelas. Namun jikalau bukan itu yang dicari, maka orang akan hidup dalam anonimitas, hidup dalam kegamangan, tanpa pedoman dan tanpa arah yang jelas. Akibatnya krisis pun terus menghimpit hidupnya. Hidupnya menjadi tidak tenang dan terus dihantui oleh aneka pergolakan dalam batinnya. Ringkasnya hidup membiara bukan lagi menjadi sebuah panggilan yang membahagiakan atau menyenangkan.
Tema yang sama masih penulis temukan pula dalam tulisan dari orang yang sama, Paul , yang berjudul Saat Jubah Bikin Gerah 2. Dalam buku ini, memang tidak seperti buku tentang ’Krisis Hidup Membiara’, yang mengulas secara panjang lebar krisis dalam hidup membiara, namun dalam beberapa poin yang digagasnya, kita dapat menyimak bahwa ada sekian banyak alasan yang menjadi penyebab terjadinya krisis dalam hidup membiara. Berikut ini akan dipaparkan sebab-sebabnya. Pertama, kaum berjubah mengalami kekeringan karena melalaikan hidup rohaninya, tidak setia kepada cara hidup tarekat, tidak pernah berdoa lagi atau melaksanakan latihan rohani yang lain. Kedua, kaum berjubah sering merasa jenuh karena terlalu banyak pekerjaan dan tidak sempat untuk berhenti atau istirahat, tidak sempat cuti. Pekerjaan yang berat dan bertumpuk, tidak kunjung selesai, terus berganti, lama-lama dapat menjadikan orang merasa sangat rutin dan berat. Ketiga, kaum berjubah merasa kekeringan dan kejenuhan dalam hidupnya, karena sakit fisik dan psikis. Seorang yang mengalami sakit kanker lama sekali, secara fisik memang berat karena merasa tidak berdaya dan secara psikis dapat merasa tersiksa dan tidak berharga lagi. Hal ini tampak berbeda jauh dengan kekuatan yang dimilikinya ketika masih muda dan kuat. Keempat, krisis terjadi ketika ada perbuatan jahat atau tidak benar yang pernah dibuat orang dan tidak diolah, seringkali dapat membuat orang merasa kekeringan dan hidupnya tidak lagi bermakna. Misalnya, seorang imam yang pernah menghamili seorang gadis, meski si gadis tidak pernah menuntut, imam itu akan selalu dihantui kesalahan dalam hidupnya. Sebagai seorang imam yang dituakan dan mengajarkan nilai moral dan tanggungjawab, batinnya akan menderita. Maka menurut hemat Paul, imam itu tidak damai, tidak mudah menjadi gembira lagi. Dari luar tampak bahagia, tapi di dalam batinnya penuh tekanan, derita dan kekeringan. Kelima, krisis kaum berjubah terjadi karena adanya konflik atau relasi yang tidak baik dalam komunits. Hal ini sering membuat seseorang tidak kerasaan, kering dan merasa jauh dari hidup biara. Paul Suparno berkata bahwa andaikata orang disingkiri oleh teman lain, tidak diajak komunikasi, tidak dilibatkan dalam hidup berkomunitas, dia dapat terpojok, kering dan sakit. Lama-kelamaan, ia tidak kerasan dan ingin lari saja. Keenam, kadang krisis muncul karena orang kurang istirahat. Secara fisik, sudah ada indikasi bahwa dia harus istirahat, tetapi ia memaksa kerja terus. Maka, lama-kelamaan fisik tidak kuat dan menjadi tegang, sakit. Dalam keadaan jenuh itu, menurut Paul, hidup rohani tidak bisa berjalan normal. Dalam situasi seperti ini, biasanya orang tergoda untuk cepat lari, mau segera melepaskan bebannya. Dalam disposisi seperti ini, banyak orang yang berada dalam situasi kering tersebut, lalu berpikir keluar dari tarekat. Pertanyaan besar yang diajukannya di sini adalah apakah tindakan itu tepat? Atau justru sebaliknya memperkeruh situasi?
Masih dalam nada yang sama, Paul Suparno dalam bukunya yang berjudul Seksualitas Kaum Berjubah mengulas juga tema seputar krisis ini. Dalam bukunya ini, ia melihat bahwa kesepian atau loneliness dapat menjadi sebab kaum berjubah mengalami kekeringan. Menurutnya, seorang merasa kesepian oleh karena dia dipisahkan dari sahabat dekat, disingkirkan oleh komunitas, teman-teman, orang yang dilayani. Selain itu, kesepian yang sama muncul karena orang kehilangan dukungan dari keadaan, situasi, orang-orang yang tadinya sangat mendukung hidup, karya, dan ide-idenya. Atau kesendirian karena mendapat tugas baru yang tidak disukai, tidak digambarkan dan tidak ada teman di sana. Tugas baru kadang, menurut Paul, membuat orang kesepian, terutama jika orang tidak disiapkan. Misalnya, ditugaskan di negara lain yang berbahasa, berbudaya lain dan pekerjaan yang samasekali baru, tanpa persiapan dan teman. Kesepian terjadi juga karena ada yang tidak mau memahami orang lain, tidak dimengerti oleh orang-orang dekat.

IV. Kepentingan Penelitian
Setelah melihat dan memahami beberapa sumber yang berbicara tentang krisis hidup membiara, ternyata pada umumnya Paul Suparno menonjolkan aspek kekeringan (krisis) yang lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yang datang dari luar. Dan umumnya, lingkungan di mana seseorang tinggal itulah yang begitu kuat memengaruhi disposisi batinnya. Krisis terjadi justru ketika situasi di sekitar orang tersebut (lingkungan hidupnya, sikap dan perilaku pribadi-pribadi di luar dirinya) dalam banyak hal mengganggu keadaan batin diri selibater. Dalam arti apa yang menjadi sebab-sebab internal, yang datang dari dalam diri seorang selibater (disposisi batin) kurang ditonjolkan, meskipun dalam beberapa hal ia sudah menyinggungnya. Menurut hemat penulis, bagaimana pun juga akar dari krisis itu pertama-tama muncul dari dalam diri, sebagai akibat ketidakmampuan diri, mental pribadi dalam mengolah diri dan membentuk jatidiri atau identitas diri seturut teladan hidup Yesus. Bagaimana orang bisa menangkis serangan dari luar kalau dari diri sendiri tidak ada ketahanan yang kuat, integritas diri kuat. Dan memang harus diakui bahwa krisis itu, pada dasarnya selalu dialami manusia dan hampir sebagian besar orang kesulitan dalam mengatasinya, kalau pun ya, itu hanya sesaat atau sebentar saja. Maka perlu apa yang disebut dengan concientia, penyadaran dari dalam diri dan upaya untuk terus melakukan discerment tanpa henti. Penyadaran di sini tidak hanya sekedar bahwa ia sedang mengalami krisis, akan tetapi lebih dari itu ia perlu sadar akan identitas dirinya, siapakah dia, apa kekuatan dan kelemahan dalam dirinya dan apakah ia sadar betul bahwa panggilan hidupnya itu sungguh-sungguh merupakan sebuah pencarian dalam hidupnya serta apakah dia menyadari betul segala macam konsekuensi dari panggilannya. Dan mestinya hal ini terus diintegrasikan, ditanam dan dipupuk selama hayat hidupnya. Dari sebab itu, penelitian yang dilakukan di sini bukan untuk mengesklusi atau mendiskreditkan apa yang telah dipaparkan oleh Paul Suparno akan tetapi berupaya untuk menambah dan bahkan mungkin dalam arti tertentu melengkapinya. Walaupun demikian, penulis sendiri tetap menyadari bahwa dalam banyak hal, riset ini masih jauh dari harapan, jauh dari memuaskan dan barangkali sangat tidak sempurna.
Mencermati semua upaya atau maksud diadakan penelitian ini, maka jelaslah kepentingan penelitian ini disoroti dari dua segi, yakni teoretis dan praktis. Berdasarkan semua latar-belakang tadi atau masalah yang ada, maka penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi beberapa hal:
A. Segi Teoretis: pertama, untuk pengembangan spiritualitas hidup membiara, bagaimana orang mesti memahami dan menghidupi nilai-nilai injili (penghayatan ketiga nasehat injil: ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian) secara baik dan benar. Kedua, untuk membuka cakrawala kaum berjubah untuk terus belajar dari kenyataan yang ada tentang krisis yang terus menggelayuti hidup mereka, supaya bisa bertumbuh dan berkembang menjadi seorang religius yang sejati dan handal.

B. Segi praktis, penelitian ini dilakukan dalam rangka kepentingan pelayanan. Pertama, untuk melayani kaum berjubah agar semakin mengintegrasikan hidupnya dengan Yesus sebagai model utama panggilan hidup mereka sebagai seorang biarawan-biarawati. Kedua, untuk mendorong kaum berjubah supaya bersikap bijaksana, matang dalam menghadapi situasi sulit (krisis) dalam hidup mereka. Ketiga, penelitian ini dilakukan tentu untuk memperkaya literatur yang ada tentang Krisis dalam Kehidupan Religius.

V. Kesimpulan
Hidup selibat merupakan suatu konsekrasi atau pembaktian sempurna kepada Yesus Kristus. Dan ada begitu banyak orang yang ingin membaktikannya. Ini terbukti dari penghayatan yang utuh yang ditunjukkan oleh kaum religius pada umumnya, mereka yang setia sampai mati mengikuti Kristus. Meskipun demikian, tidak jarang terjadi justru sebaliknya yakni adanya pengingkaran terhadap janji setianya. Hal ini terjadi karena kurang adanya pemaknaan yang benar terhadap nilai panggilan hidup membiaranya. Dalam poin ini, apa yang disebut dengan krisis dalam hidup religius itu menemukan sumbernya di sini, yakni kurang adanya concientia dari dalam diri untuk mengintegrasikan dalam dirinya makna menjadi seorang religius. Memang krisis tidak akan pernah lenyap dari kehidupan religius, tetapi tetap selalu ada kemungkinan untuk setia dan bertahan dalam panggilannya jika cerdik atau bijaksana dalam menyikapi atau mengatasi krisis tersebut. Akhirnya penulis sendiri menyadari bahwa upaya untuk membangkitkan kesadaran baru dalam menyikapi krisis dalam hidup membiara, sungguh masih jauh dari harapan, dan di sini penulis menyadari betul akan keterbatasannya. Oleh karena itu, penulis dengan penuh kerendahan hati mau menerima segala kritikan atau masukan dalam rangka semakin memperkaya penelitian ini. Mungkin untuk para peneliti selanjutnya yang membahas tema yang sama bisa menggali lebih mendalam akan hal ini, sehingga dapat saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain.





DAFTAR PUSTAKA


Bogdon, Robert & Stefen J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods, New York: A Wiley-Interscience Publication, 1975.


Suparno, Paul, Krisis dalam Hidup Membiara, Yogyakarta, Universitas Sanatha Dharma, 2007.


___________, Saat Jubah Bikin Gerah 2, Yogyakarta: Kanisius, 2007.


___________, Seksualitas Kaum Berjubah, Yogyakarta: Kanisius, 2007.


Sudhiarsa, Raymundus, Merancang Penelitian, Sebuah Usulan untuk Riset Teologis, Malang: STFT Widya Sasana.

Tidak ada komentar: